Fiqh Waqaf (3)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Waqaf (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang waqaf, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Waqaf mutlak
Apabila seorang pewaqaf mewaqafkan secara mutlak, yakni ia tidak menentukan tempat diarahkan waqaf, misalnya ia hanya berkata: "Rumah ini adalah waqaf," maka yang demikian menurut Malik adalah sah. Namun yang rajih menurut ulama madzhab Syafi'i bahwa hal itu tidak sah jika tidak diterangkan ke mana diarahkan.
Mewaqafkan ketika sakit yang membawa kepada kematian
Apabila orang yang sakit yang membawa kepada kematian mewaqafkan kepada orang asing, maka diperhatikan masalah 1/3, karena ia seperti wasiat, tidak boleh melebih 1/3. Dalam hal ini, tidak tergantung keridhaan para ahli waris, kecuali jika lebih dari 1/3, maka tidak sah mewaqafkan yang lebih itu kecuali dengan persetujuan mereka (para ahli waris).
Waqaf di saat sakit kepada sebagian ahli waris
Adapun waqaf kepada sebagian ahli waris saat sakit yang membawa kepada kematian, maka menurut Imam Syafi'i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, bahwa tidak boleh mewaqafkan kepada sebagian ahli waris di saat sakit. Sedangkan selain Imam Syafi'i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang lain berpendapat, bolehnya mewaqafkan 1/3 kepada ahli waris saat sakit seperti halnya kepada orang asing (di luar ahli waris). Imam Ahmad pernah ditanya, "Bukankah anda berpendapat bahwa tidak ada wasiat kepada ahli waris?" Ia menjawab: "Ya, akan tetapi waqaf bukanlah wasiat, karena waqaf tidak boleh dijual, dihibahkan, diwariskan dan tidak menjadi milik ahli waris, namun mereka bisa memanfaatkan hasilnya.
Mewaqafkan kepada orang-orang kaya
Waqaf merupakan sarana untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Azza wa Jalla. Jika seorang pewaqaf mensyaratkan sesuatu yang bukan sebagai sarana taqarrub. Misalnya ia mensyaratkan untuk tidak diberikan kecuali kepada orang-orang kaya, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang membolehkannya dengan alasan bahwa hal itu bukan maksiat, namun di antara mereka ada yang melarangnya karena hal itu merupakan syarat batil, di samping itu si pewaqaf sama saja mengarahkan kepada sesuatu yang tidak memberikan manfaat bagi pewaqaf baik untuk agama maupun dunia. Pendapat kedua inilah yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ia berkata, "Hal ini termasuk berlebihan dan boros yang dilarang, karena Allah Subhaanahu wa Ta'aala membenci harta itu hanya beredar di kalangan orang-orang kaya, berdasarkan firman-Nya:
ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB
"Supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (Al Hasyr: 7)
Oleh karena itu, barang siapa yang mensyaratkan dalam waqaf atau wasiatnya agar beredar di antara orang-orang kaya, maka ia telah membuat syarat yang menyalahi kitab Allah, dan siapa saja yang membuat syarat yang menyalahi kitab Allah adalah batil meskipun berjumlah seratus syarat; kitab Allah lebih benar dan syarat Allah lebih kuat. Termasuk masalah ini juga adalah apabila pewaqaf atau pemberi wasiat mensyaratkan beberapa perbuatan yang tidak ada dalam syari'at; bukan wajib maupun sunat, maka syarat-syarat ini batil menyalahi kitab Allah, karena memaksa manusia kepada sesuatu yang bukan wajib dan bukan sunat tanpa ada manfaat baginya merupakan kedunguan dan pemborosan yang harus dicegah."
Bolehnya 'amil (pengurus waqaf) memakan harta waqaf
Diperbolehkan bagi orang yang mengurus urusan waqaf untuk ikut memakannya berdasarkan hadits Ibnu Umar yang sudah lewat, di mana di sana disebutkan:
لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوْفِ
"Tidak ada salahnya bagi orang yang mengurusnya memakan secara ma'ruf (wajar)."
Yang dimaksud ma'ruf adalah ukuran yang biasa berlaku. Al Qurthubiy berkata, "Kebiasaan telah berjalan, bahwa 'amil boleh makan dari hasil waqaf, bahkan kalau pewaqaf mensyaratkan bahwa 'amil tidak boleh memakan, tentu akan dianggap jelek sekali hal itu."
Dalam Ad Durarul Bahiyyah (kitab fiqh ringkas yang diambil dari hadits-hadits Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam)  karya Imam Syaukani disebutkan tentang masalah waqaf,
“Bagi yang mengurus harta waqaf boleh mengambil manfaatnya sekedarnya, si pewaqaf juga berhak mengambil bagian sebagaimana kaum muslimin mengambil bagian, dan barang siapa yang mewaqafkan sesuatu yang malah membahayakan bagi ahli waritsnya maka waqafnya batal dan barang siapa yang mewaqafkan harta untuk masjid atau acara tertentu namun ternyata tidak ada yang bisa mengambil manfaat dari harta tersebut, maka tidak mengapa memindahkan kepada orang-orang yang butuh (sehingga bisa diambil manfaatnya), dan untuk maslahat kaum muslimin. Misalnya adalah harta yang ditaruh di atas ka’bah atau di masjid Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Mewaqafkan sesuatu untuk kuburan baik untuk meninggikan kuburan, menghiasinya atau untuk membuat para penziyarah mendatanginya maka itu adalah fitnah (bisa membahayakan ummat) dan batil (tidak sah).”
Kelebihan dari waqaf diarahkan kepada yang semisalnya
Ibnu Taimiyah berkata, "Yang lebih dari waqaf, dan waqaf itu sudah tidak membutuhkan kelebihan itu, maka kelebihan itu diarahkan untuk arah yang sama. Misalnya masjid, apabila ada kelebihan dari hasil waqafnya setelah terpenuhi maslahatnya, maka dialihkan ke masjid lain. Hal itu, karena pewaqaf tujuannya sejenis, dan jenisnya sama. Kalau sekiranya masjid pertama roboh, dan seseorang tidak bisa memanfaatkannya, maka sisanya dialihkan ke masjid lagi yang lain. Demikian juga jika ada kelebihan dari maslahatnya, maka yang lebih ini tidak ada jalan untuk mengalihkan kepadanya dan tidak pula dihilangkan begitu saja, maka diarahkan kepada yang sejenis yang dimaksud tentu lebih utama, bahkan ia merupakan cara terdekat kepada maksud pewaqaf."
Mengganti sesuatu yang dinadzarkan atau diwaqafkan dengan yang lebih baik lagi
Boleh mengganti barang waqaf dengan yang lebih baik darinya baik karena dibutuhkan untuk menggantinya maupun karena adanya maslahat yang lebih besar. Karena dibutuhkan, misalnya barang waqaf sudah tidak diambil lagi manfaatnya seperti kuda, karena sudah tidak bisa dipakai lagi maka kuda itu dijual, hasil penjualannya untuk membeli kuda yang baru agar bisa dimanfaatkan. Contoh lainnya masjid yang berada di tempat yang tidak berpenghuni agar bisa makmur lagi maka dipindahkan dengan menjual tanahnya lalu hasil penjualannya digunakan untuk membangun masjid di tempat yang ramai. Sedangkan karena adanya maslahat yang lebih besar, misalnya masjid yang berada di satu kampung, lalu dibangun lagi masjid yang baru yang ternyata lebih cocok untuk kampung tersebut maka masjid pertama dirubah agar lebih bisa dimanfaatkan ke bentuk lain. Ini tidak apa-apa.
Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun mengganti sesuatu yang dinadzarkan dan diwaqafkan dengan yang lebih baik daripadanya sebagaimana dalam penggantian binatang hady (dalam ibadah haji), maka dalam hal ini ada dua macam:
Pertama, penggantian itu karena kebutuhan. Misalnya barang waqaf sudah tidak bisa dipakai, lalu dijual dan dibelikan dari hasil penjualannya barang yang menggantikan posisinya. Seperti kuda yang ditahan untuk peperangan, jika tidak mungkin lagi dimanfaatkan dalam peperangan, maka dijual dan dibelikan dari hasil penjualannya sesuatu yang menggantikan posisinya. Sebuah masjid jika roboh sekelilingnya, maka dipindahkan ke tempat lain atau dijual lalu dibelikan dari hasilnya sesuatu yang menggantikan posisinya. Jika tidak mungkin memanfaatkan barang waqaf; di mana hal itu merupakan tujuan pewaqaf, maka dijual dan dibelikan dengan hasil penjualannya sesuatu yang menggantikan posisinya. Demikian juga jika roboh dan tidak bisa dimakmurkan lagi, maka dijual lahannya itu lalu dibelikan dengan hasilnya sesuatu untuk menggantikan posisinya. Ini semua dibolehkan, hal itu karena yang menjadi asal jika tidak tercapai maksud, maka penggantinya dapat menggantikan posisinya.
Kedua, penggantian karena ada maslahat yang lebih kuat. Misalnya menggantikan binatang hadyu dengan yang lebih baik daripadanya atau masjid ketika dibangun lagi penggantinya berupa masjid lain yang lebih baik bagi penduduk negeri tersebut, maka masjid pertama dijual. Hal ini dan yang semisalnya adalah boleh menurut Imam Ahmad dan ulama lainnya. Imam Ahmad berhujjah berdasarkan (perbuatan) Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu yang memindahkan masjid Kufah yang lama ke tempat yang lain, lalu tempat pertama menjadi pasar penjual kurma[i]. Hal ini merupakan penggantian terhadap area masjid, adapun menggantikan bangunannya dengan bangunan lainnya, maka sessunguhnya Umar dan Utsman radhiyallahu 'anhu membangun masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak seperti bangunan pertamanya, keduanya juga menambahkan lebarnya. Demikian juga Al Masjidil Haram, di mana telah sah dalam Shahihain bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah:
لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدِهِمْ بِجَاهِلِيَّةٍ لَنَقَضْتُ الكَعْبَةَ ، وَلَالَصَقْتُهَا بِالْاَرْضِ وَلَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُون
"Kalau saja bukan karena kaummu baru lepas dari masa jahiliyyah, tentu aku akan membongkar Ka'bah dan saya akan tempelkan ke tanah dan menjadikannya memiliki dua pintu; pintu masuk ke dalamnya dan pintu keluar daripadanya."
Kalau bukan karena penghalang yang kuat, tentu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam merubah bangunan Ka'bah. Oleh karena itu, dibolehkan merubah bangunan waqaf dari suatu bentuk ke bentuk lainnya karena ada maslahat yang kuat. Adapun menggantikan lahan dengan lahan yang baru, maka hal ini telah dinyatakan bolehnya oleh Imam Ahmad dan ulama lainnya mengikuti para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana hal itu pernah dilakukan Umar radhiyallahu 'anhu dan masalah itu telah masyhur namun tidak diingkari.
Adapun waqaf untuk diambil manfaatnya, jika diganti dengan yang lebih baik lagi, misalnya mewaqafkan rumah atau kedai atau kebun lalu diganti dengan yang lebih bermanfaat bagi waqaf, maka hal itu dibolehkan oleh Abu Tsaur dan ulama lainnya seperti Abu Ubaid bin Harbawaih seorang hakim Mesir, dan ia memutuskan seperti itu, ia merupakan qias perkataan Imam Ahmad tentang penggantian masjid dari satu lahan ke lahan lain karena maslahat, bahkan (dibolehkan) penggantian masjid menjadi bukan masjid karena ada maslahat, misalnya masjid tersebut menjadi pasar. Bolehnya penggantian waqaf yang diambil manfaatnya dengan yang diambil manfaat lainnya lebih baik dan layak, ini merupakan qiyas terhadap pendapatnya  tentang penggantian binatang hadyu dengan yang lebih baik daripadanya. Imam Ahmad juga menyatakan bahwa masjid yang menempel dengan tanah, apabila ditinggikan, lalu dibangunkan  aliran air di bawahnya, dan para tetangga memilih begitu, maka dilakukan. Akan tetapi, di antara kawan-kawannya ada yang melarang penggantian masjid, hadyu, tanah yang diwaqafkan. ini adalah pendapat Imam Syafi'i dan lainnya. Akan tetapi nash-nash dan atsar serta qiyas menghendaki bolehnya diganti karena ada maslahat, wallahu a'lam."
Haramnya membahayakan ahli waris
Diharamkan bagi seseorang mewaqafkan sesuatu yang dapat membahayakan ahli waris berdasarkan hadits "Laa dharara wa laa dhiraar " (artinya: tidak boleh ada madharat dan saling memadharatkan). Jika ternyata tetap diwaqafkan, maka batal waqafnya. Dalam Ar Raudhah An Nadiyyah disebutkan, "Wal haasil, bahwa waqaf yang maksudnya adalah memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambung dan menyalahi kewajiban Allah Azza wa Jalla adalah batal dari awalnya, tidak sah bagaimana pun juga. Hal itu sama saja seperti orang yang mewaqafkan kepada anaknya yang laki-laki; tidak yang wanita dan semisalnya. Maka hal itu, maksudnya bukanlah untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, bahkan maksudnya untuk menyalahi hukum-hukum Allah Azza wa Jalla dan menentang syari'at-Nya kepada hamba-hamba-Nya, dan menjadikan waqaf thagut ini sebagai wasilah kepada maksud setan, maka hendaknya anda selalu ingat, banyak sekali kejadian ini di zaman-zaman sekarang. Demikian juga waqaf dari orang yang tidak ada tujuan waqaf selain karena ingin menjaga hartanya buat keturunannya dan harta itu tidak lepas dari kepemilikan mereka, lalu ia waqafkan untuk keturunannya, maka hal ini sama saja maksudnya menyalahi hukum Allah Azza wa Jalla, yaitu berpindahnya kepemilikan dengan warisan dan menyerahkan kepada ahli waris dalam harta warisnya agar dia bertindak semaunya, padahal masalah kaya atau fakirnya ahli waris bukanlah kembali kepada pewaqaf tetapi kembalinya kepada Allah Azza wa Jalla. Terkadang bentuk taqarrub seperti waqaf untuk keturunan ini jarang terjadi tergantung perbedaan masing-masing orang, maka bagi naazhir (pengurus) waqaf hendaknya memperhatikan dengan jeli tentang sebab-sebab yang menjadikan seperti itu. Termasuk contoh ini juga seseorang mewaqafkan kepada orang yang berpegang dengan kesalehan dari kalangan keturunannya atau sibuk menuntut ilmu, maka waqaf ini terkadang maksudnya ikhlas, taqarrubnya tercapai dan amalan itu tergantung niat, akan tetapi menyerahkan masalah kepada ketetapan Allah yang ditetapkan kepada hamba-hamba-Nya dan diridhai-Nya bagi mereka adalah lebih utama dan lebih hak."
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah, dll.



[i] Yakni berdasarkan surat Umar kepada Sa'ad radhiyallahu 'anhu ketika sampai berita kepadanya bahwa ia memindahkan Baitul Maal yang berada di Kufah, isinya: "Pindahkanlah masjid yang berada di dekat para penjual kurma dan jadikanlah Baitul Maal berada di bagian kiblat masjid, karena senantiasa ada di masjid orang yang shalat."

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger