Fiqh Waqaf (2)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Waqaf (2)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini pembahasan lanjutan tentang waqaf, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.

Keabsahan waqaf

Waqaf menjadi sah dengan salah satu dari dua hal berikut;

1.     Perbuatan yang menunjukkan demikian[i]. Misalnya seorang membangun masjid dan mengumandangkan azan di situ, atau seseorang menjadikan tanahnya sebagai pekuburan dan membolehkan orang-orang dikubur di situ. Dalam hal ini tidak butuh ketetapan hakim.

2.     Ucapan. Ia terbagi dua; sharih (tegas) dan kinayah (tidak tegas). Sharih misalnya seseorang yang mewaqafkan berkata, "Saya waqafkan," "Saya sabilillahkan" atau "Saya kekalkan." Sedangkan kinayah, misalnya seseorang berkata, "Saya sedekahkan" dengan niat waqaf. Hal ini sebagai kinayah, karena bisa maksudnya waqaf atau lainnya.

      Demikian juga sah jika seseorang melafazkan kata-kata kinayah dengan ditambah niat dari orang yang mewaqafkan atau digandengkan dengan salah satu lafaz yang tegas. Misalnya mengatakan, “Saya sedekahkan barang ini sedekah yang menjadi waqaf atau tertahan asalnya atau disabilillahkan atau dicegah diambil asalnya atau selamanya.”

      Demikian juga jika menggunakan kata-kata kinayah yang dihukumi waqaf. Misalnya mengatakan, “Saya sedekahkan dengan sedekah yang tidak boleh dijual dan dihibahkan.” Ini adalah sah.

Adapun waqaf yang dikaitkan dengan kematiannya, misalnya seorang berkata, "Rumahku atau kudaku merupakan waqaf setelah aku wafat," maka hal itu dibolehkan menurut zhahir madzhab Imam Ahmad sebagaimana disebutkan oleh Al Kharqiy dan lainnya, karena semua itu termasuk wasiat. Saat itu waqaf yang dikaitkan dengan kematian adalah boleh karena memang merupakan wasiat.

Luzum (berlanjutnya) waqaf

Apabila pewaqaf sudah melakukan perbuatan yang menunjukkan waqaf atau mengucapkan shighat (kata-kata) waqaf, maka waqaf berlanjut  dengan syarat pewaqaf tersebut adalah seorang yang jaa’izut tasharruf (orang yang boleh bertindak), yaitu berakal, baligh, merdeka dan atas pilihannya sendiri (tidak dipaksa)[ii]. Tidak dibutuhkan untuk keabsahannya harus diterima oleh orang yang menerima waqaf. Jika waqaf sudah berlanjut, maka tidak boleh dibatalkan, dijual, dihibahkan dan tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat menghilangkan kewaqafannya. Apabila pewaqaf meninggal, maka harta waqaf itu tidak bisa diwarisi, karena inilah konsekwensi waqaf. Demikian juga berdasarkan hadits sebelumnya:

لاَيُبَاعُ وَلاَ يُوْهَبُ وَلاَ يُوْرَثُ

"Tidak boleh dijual, dihibahkan dan tidak boleh diwarisi."

Berbeda dengan Abu Hanifah, menurutnya boleh menjual waqaf. Namun Abu Yusuf berkata, "Kalau sekiranya hadits ini sampai kepada Abu Hanifah  tentu ia akan berpegang dengannya." Yang rajih menurut ulama madzhab Syafi'i,  bahwa kepemilikan pada benda yang diwaqafkan itu berpindah kepada Allah Azza wa Jalla sehingga bukan milik si pewaqaf maupun yang diwaqafkan kepadanya. Sedangkan Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa kepemilikan berpindah kepada orang yang diwaqafkan[iii].

Menurut Syaikh Shalih Al Fauzan dalam Al Mulakhkhash Al Fiqhi, bahwa untuk keabsahan waqaf disyaratkan beberapa syarat:

1)       Pewaqaf jaa’izut tasharruf (berhak bertindak)[iv].

2)       Yang diwaqafkan bisa dimanfaatkan terus menerus dengan tetapnya barang. Sehingga jika dimanfaatkan barangnya habis seperti makanan, maka tidak bisa diwaqafkan.

3)       Yang diwaqafkan itu ditentukan. Sehingga tidak sah waqaf hanya mengatakan, “Saya waqafkan salah satu budakku atau salah satu rumahku,” tanpa disebutkan yang mana.

4)       Waqaf harus di atas kebaikan. Hal itu, karena tujuan waqaf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla. Seperti membangun masjid, jembatan, rumah, pengairan, buku-buku Islami, dan sebagainya. Oleh karena itu tidak sah waqaf untuk selain kebaikan. Misalnya waqaf untuk membangun tempat peribadatan orang kafir, buku-buku zindiq, membeli sesuatu yang haram, berwaqaf untuk kuburan agar diterangi dan diberi wewangian, mewaqafkan tempat untuk bermain judi dsb. Hal ini dilarang karena membantu maksiat dan kekufuran.

5)       Barang waqaf adalah dimiliki dengan sempurna dan tetap.

6)       Waqafnya langsung direalisasikan. Oleh karena itu tidak bisa mewaqafkan yang mu’aqqat (ada batas waktu) dan mu’allaq (terkait dengan syarat). Kecuali jika dikaitkan dengan kematian si pewaqaf. Misalnya mengatakan, “Jika aku wafat, maka rumahku menjadi rumah kaum fakir.” Tentunya waqaf yang dikaitkan dengan kematiannya tidak boleh lebih dari 1/3, karena ini dihukumi sebagai wasiat.

Waqaf adalah akad yang harus berlanjut dengan mengatakannya. Oleh karena itu tidak boleh dibatalkan, karena sudah dikekalkan kecuali jika manfaatnya hilang sama sekali secara keseluruhan seperti rumah yang diwaqafkan sudah roboh atau tanah yang diwaqafkan sudah mati dan tidak bisa lagi disuburkan. Maka dijuallah waqaf ini, hasilnya dialihkan untuk hal yang sama, karena ini lebih dekat kepada tujuan waqaf.

Jika waqafnya berupa masjid, dan ternyata tidak bisa dimanfaatkan, maka dijual, lalu hasilnya dibangun masjid lagi, jika masih ada lebih dialihkan ke masjid lain. Dan boleh sisa lebihnya disedekahkan untuk orang-orang miskin.

Jika mewaqafkan sebuah masjid, ternyata roboh dan kesulitan diperbaikan melalui waqaf, maka dialihkan ke masjid sepertinya.

Syarat dalam waqaf

Di antara hukum yang berkaitan dengan waqaf adalah wajib dilakukan syarat orang yang mewaqafkan, jika syaratnya tidak menyalahi syara’. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ , إِلاَّ شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً

“Kaum muslimin itu sesuai syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.”

Oleh karena itu, jika pewaqaf mensyaratkan agar bagian tertentu atau mensyaratkan agar didahulukan orang-orang tertentu, atau memilih orang yang mengurus (mengatur) waqaf, maka diberlakukan syarat tersebut selama tidak menyalahi Al Qur’an dan As Sunnah. Jika si pewaqaf tidak mensyaratkan, maka semuanya sama-sama berhak; orang kaya, miskin, laki-laki maupun wanita dsb.

Jika pewaqaf tidak menentukan nazhir (penanggung jawab) waqaf atau tidak menentukan siapa orangnya dan ternyata ia wafat, maka yang mengurus adalah orang yang menerima waqaf kepadanya jika disebutkan namanya. Namun jika waqafnya untuk masjid atau orang-orang miskin yang tidak mungkin dibatasi. Maka pengaturnya adalah hakim, ia mengurus langsung atau mewakilkan kepada yang lain.

Bagi naazhir (pengatur/penanggung jawab) waqaf wajib bertakwa kepada Allah dan mengatur waqaf dengan baik, karena ini adalah amanah.

Waqaf yang sah dan yang tidak sah

Barang yang sah diwaqafkan adalah 'aqaar (barang yang tidak bisa dipindah) dan yang manqul (bisa dipindah) seperti perabot, mus-haf, buku-buku, senjata dan hewan[v]. Demikian juga sah mewaqafkan semua yang boleh dijual-belikan dan boleh dimanfaatkan dengan tetap barangnya.

Waqaf tidaklah sah jika setelah dimanfaatkan langsung binasa seperti uang, lilin, makanan, minuman, dan barang-barang lainnya yang segera binasa seperti wewangian, bunga dsb. Waqaf juga tidak sah jika barangnya tidak boleh dijual-belikan seperti barang gadaian, anjing, babi, dan seluruh binatang buas yang tidak bisa digunakan untuk berburu serta burung pencakar yang tidak bisa digunakan berburu.

Tidak sahnya waqaf kecuali harus ditentukan atau ke arah jalur kebaikan

Tidak sah waqaf kecuali harus ditentukan, misalnya kepada orang yang dikenal seperti anaknya, kerabatnya atau orang tertentu atau ke arah jalur kebaikan seperti: Membangun masjid, jembatan, buku-buku fiqh, buku-buku berisikan ilmu dan Al Qur'an. Jika mewaqafkan kepada pihak yang tidak ditentukan seperti laki-laki atau perempuan atau untuk maksiat seperti mewaqafkan untuk gereja atau untuk dijual, maka tidak sah.

Mewaqafkan kepada anak-anaknya, termasuk pula cucu-cucunya

Jika mewaqafkan kepada anak-anaknya, maka laki-laki dan wanita sama dalam keberhakannya. Setelah anak-anaknya, waqaf berpindah kepada cucu-cunya dari anak laki-laki, bukan kepada cucu dari anak perempuan. Karena cucu dari anak perempuan tidak masuk dalam ayat “Yuushiikumullahu fii awlaadikum…” (QS. An Nisaa': 11), namun di antara ulama ada yang berpendapat bahwa cucu dari anak perempuan juga masuk ke dalam lafaz anak, wallahu a’lam.

Yang rajih adalah bahwa cucu dari anak perempuan juga ikut masuk ke dalamnya berdasarkan hadits Abu Musa Al Asy'ariy ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اِبْنُ أُخْتِ الْقَوْمِ مِنْهُمْ

"Putera saudari wanita suatu kaum juga bagian mereka." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dan Tirmidzi)

Kalau seseorang berkata, “Diwaqafkan untuk anak-anakku,” atau mengatakan, “Atas Bani Fulan”, maka waqaf itu untuk anak-anaknya yang laki-laki, karena lafaz baniin itu untuk anak laki-laki secara hakikat. Kecuali jika yang diberi waqaf adalah sebuah qabilah (suku) seperti Bani Hasyim, Bani Tamim maka termasuk ke dalamnya wanita, karena kabilah itu bisa laki-laki dan wanita.

Tetapi, jika waqafnya untuk banyak orang yang bisa dibatasi, maka wajib disama ratakan. Jika tidak mungkin dibatasi dan disemuakan seperti Bani Haasyim dan Bani Tamim, maka tidak wajib disama-ratakan karena tidak mungkin. Dan boleh membatasi hanya kepada sebagian mereka serta melebihkan sebagiannya di atas sebagian yang lain.

Waqaf kepada kafir dzimmiy

Sah juga waqaf untuk kafir dzimmiy seperti orang-orang nasrani sebagaimana boleh juga mereka diberi sedekah. Dan Shafiyyah binti Huyay isteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mewaqafkan kepada saudaranya yang beragama Yahudi.

Waqaf musyaa' (gabungan)

Diperbolehkan waqaf musyaa', karena Umar radhiyallahu 'anhu mewaqafkan seratus bagian di Khaibar dan belum dibagi-bagikan. Telah dinukilkan yang demikian dalam Al Bahr dari Al Haadiy, Al Qaasim, An Naashir, Imam Syafi'i, Abu Yusuf dan Imam Malik. Namun sebagian ulama ada yang memandang tidak sahnya waqaf sesuatu yang belum dibagikan karena termasuk syarat waqaf adalah sudah ditentukan, inilah yang dipegang oleh Muhammad bin Al Hasan.

Waqaf untuk diri

Di antara ulama ada yang berpendapat sahnya waqaf untuk diri berdalih dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seseorang yang berkata, "Saya punya satu dinar," maka Beliau bersabda kepadanya, "

تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ

"Bersedekahlah untuk dirimu." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)

Di samping itu, maksud waqaf adalah mendekatkan diri kepada Allah, dan mengarahkan waqaf kepada diri terdapat bentuk pendekatan diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ibnu Abi Laila, Abu Yusuf dan Ahmad dalam riwayat yang paling rajih darinya, Ibnu Sya'ban dari kalangan ulama madzhab Maliki, Ibnu Suraij dari kalangan ulama madzhab Syafi'I, Ibnu Syubrumah, Ibnush Shabbagh dan kalangan Al Itrah. Bahkan sebagian ulama ada yang membolehkan waqaf dari orang yang dihajr karena dungunya jika ia mewaqafkan untuk diri kemudian anak-anaknya, karena hajr tujuannya adalah untuk menjaga harta-hartanya. Waqafnya dengan cara ini dapat mewujudkan maksud tersebut. Namun di antara ulama ada yang melarang hal itu, karena menurut mereka waqaf terhadap diri merupakan pemberian kepemilikan, dan tidak sah kepemilikan dari diri untuk diri seperti jual beli dan hibah. Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

سَبِّلِ الثَّمْرَةَ

"Jadikanlah sabilillah (untuk di jalan Allah) hasilnya."

Sedangkan untuk menjadikan sabilillah berarti memberikan dirinya kepada orang lain. Inilah pendapat Imam Syafi'I, jumhur ulama madzhab Maliki dan Hanbali, Muhammad, dan An Naashir.

Bersambung…

Marwan bin Musa

Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah, dll.



[i] Imam Syafi'i berpendapat bahwa perbuatan tidaklah cukup, bahkan untuk menjadikan waqaf harus dengan ucapan.

[ii] Oleh karena itu, tidak sah waqaf dari anak kecil, orang dungu dan budak.

[iii]  Karena kepemilikan berpindah, ia harus mengurusnya dan berhak (didahulukan) dalam persengketaan.

[iv] yakni ia seorang yang berakal, baligh, merdeka, dan cerdas.

[v] Ini adalah madzhab jumhur. Namun Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bahwa tidak sah waqaf hewan, namun hadits yang menerangkan adanya waqaf hewan menjadi hujjah yang membantah mereka.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger