Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini
pembahasan lanjutan tentang waqaf, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Keabsahan waqaf
Waqaf menjadi sah dengan salah satu
dari dua hal berikut;
1.
Perbuatan yang
menunjukkan demikian[i].
Misalnya seorang membangun masjid dan mengumandangkan azan di situ, atau
seseorang menjadikan tanahnya sebagai pekuburan dan membolehkan orang-orang
dikubur di situ. Dalam hal ini tidak butuh ketetapan hakim.
2.
Ucapan.
Ia terbagi dua; sharih (tegas) dan kinayah (tidak tegas). Sharih misalnya seseorang
yang mewaqafkan berkata, "Saya waqafkan," "Saya
sabilillahkan" atau "Saya kekalkan." Sedangkan kinayah, misalnya
seseorang berkata, "Saya sedekahkan" dengan niat waqaf. Hal ini
sebagai kinayah, karena bisa maksudnya waqaf atau lainnya.
Demikian juga sah jika seseorang
melafazkan kata-kata kinayah dengan ditambah niat dari orang yang mewaqafkan
atau digandengkan dengan salah satu lafaz yang tegas. Misalnya mengatakan, “Saya
sedekahkan barang ini sedekah yang menjadi waqaf atau tertahan asalnya atau
disabilillahkan atau dicegah diambil asalnya atau selamanya.”
Demikian juga jika menggunakan kata-kata
kinayah yang dihukumi waqaf. Misalnya mengatakan, “Saya sedekahkan dengan
sedekah yang tidak boleh dijual dan dihibahkan.” Ini adalah sah.
Adapun waqaf yang dikaitkan dengan
kematiannya, misalnya seorang berkata, "Rumahku atau kudaku merupakan waqaf
setelah aku wafat," maka hal itu dibolehkan menurut zhahir madzhab Imam
Ahmad sebagaimana disebutkan oleh Al Kharqiy dan lainnya, karena semua itu
termasuk wasiat. Saat itu waqaf yang dikaitkan dengan kematian adalah boleh
karena memang merupakan wasiat.
Luzum (berlanjutnya) waqaf
Apabila pewaqaf sudah melakukan
perbuatan yang menunjukkan waqaf atau mengucapkan shighat (kata-kata) waqaf,
maka waqaf berlanjut dengan syarat pewaqaf
tersebut adalah seorang yang jaa’izut tasharruf (orang yang boleh bertindak),
yaitu berakal, baligh, merdeka dan atas pilihannya sendiri (tidak dipaksa)[ii].
Tidak dibutuhkan untuk keabsahannya harus diterima oleh orang yang menerima waqaf.
Jika waqaf sudah berlanjut, maka tidak boleh dibatalkan, dijual, dihibahkan dan
tidak boleh melakukan sesuatu yang dapat menghilangkan kewaqafannya. Apabila pewaqaf
meninggal, maka harta waqaf itu tidak bisa diwarisi, karena inilah konsekwensi waqaf.
Demikian juga berdasarkan hadits sebelumnya:
لاَيُبَاعُ وَلاَ يُوْهَبُ
وَلاَ يُوْرَثُ
"Tidak boleh dijual, dihibahkan dan
tidak boleh diwarisi."
Berbeda dengan Abu Hanifah, menurutnya
boleh menjual waqaf. Namun Abu Yusuf berkata, "Kalau sekiranya hadits ini
sampai kepada Abu Hanifah tentu ia akan
berpegang dengannya." Yang rajih menurut ulama madzhab Syafi'i, bahwa kepemilikan pada benda yang diwaqafkan itu
berpindah kepada Allah Azza wa Jalla sehingga bukan milik si pewaqaf maupun
yang diwaqafkan kepadanya. Sedangkan Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa
kepemilikan berpindah kepada orang yang diwaqafkan[iii].
Menurut Syaikh Shalih Al Fauzan dalam Al
Mulakhkhash Al Fiqhi, bahwa untuk keabsahan waqaf disyaratkan beberapa
syarat:
1)
Pewaqaf jaa’izut
tasharruf (berhak bertindak)[iv].
2)
Yang diwaqafkan
bisa dimanfaatkan terus menerus dengan tetapnya barang. Sehingga jika dimanfaatkan
barangnya habis seperti makanan, maka tidak bisa diwaqafkan.
3)
Yang diwaqafkan
itu ditentukan. Sehingga tidak sah waqaf hanya mengatakan, “Saya waqafkan
salah satu budakku atau salah satu rumahku,” tanpa disebutkan yang mana.
4)
Waqaf harus di
atas kebaikan. Hal itu, karena tujuan waqaf adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah 'Azza wa Jalla. Seperti membangun masjid, jembatan, rumah,
pengairan, buku-buku Islami, dan sebagainya. Oleh karena itu tidak sah waqaf
untuk selain kebaikan. Misalnya waqaf untuk membangun tempat peribadatan orang
kafir, buku-buku zindiq, membeli sesuatu yang haram, berwaqaf untuk kuburan
agar diterangi dan diberi wewangian, mewaqafkan tempat untuk bermain judi dsb. Hal
ini dilarang karena membantu maksiat dan kekufuran.
5)
Barang waqaf
adalah dimiliki dengan sempurna dan tetap.
6)
Waqafnya
langsung direalisasikan. Oleh karena itu tidak bisa mewaqafkan yang mu’aqqat
(ada batas waktu) dan mu’allaq (terkait dengan syarat). Kecuali jika dikaitkan
dengan kematian si pewaqaf. Misalnya mengatakan, “Jika aku wafat, maka rumahku
menjadi rumah kaum fakir.” Tentunya waqaf yang dikaitkan dengan kematiannya
tidak boleh lebih dari 1/3, karena ini dihukumi sebagai wasiat.
Waqaf adalah akad yang harus berlanjut
dengan mengatakannya. Oleh karena itu tidak boleh dibatalkan, karena sudah
dikekalkan kecuali jika manfaatnya hilang sama sekali secara keseluruhan
seperti rumah yang diwaqafkan sudah roboh atau tanah yang diwaqafkan sudah mati
dan tidak bisa lagi disuburkan. Maka dijuallah waqaf ini, hasilnya dialihkan
untuk hal yang sama, karena ini lebih dekat kepada tujuan waqaf.
Jika waqafnya
berupa masjid, dan ternyata tidak bisa dimanfaatkan, maka dijual, lalu hasilnya
dibangun masjid lagi, jika masih ada lebih dialihkan ke masjid lain. Dan boleh
sisa lebihnya disedekahkan untuk orang-orang miskin.
Jika mewaqafkan
sebuah masjid, ternyata roboh dan kesulitan diperbaikan melalui waqaf, maka
dialihkan ke masjid sepertinya.
Syarat
dalam waqaf
Di antara hukum yang berkaitan dengan
waqaf adalah wajib dilakukan syarat orang yang mewaqafkan, jika syaratnya tidak
menyalahi syara’. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam:
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ , إِلاَّ شَرْطًا أَحَلَّ
حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً
“Kaum muslimin itu sesuai syarat mereka,
kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.”
Oleh karena itu, jika pewaqaf
mensyaratkan agar bagian tertentu atau mensyaratkan agar didahulukan orang-orang
tertentu, atau memilih orang yang mengurus (mengatur) waqaf, maka diberlakukan
syarat tersebut selama tidak menyalahi Al Qur’an dan As Sunnah. Jika si pewaqaf
tidak mensyaratkan, maka semuanya sama-sama berhak; orang kaya, miskin,
laki-laki maupun wanita dsb.
Jika pewaqaf tidak menentukan nazhir
(penanggung jawab) waqaf atau tidak menentukan siapa orangnya dan ternyata ia
wafat, maka yang mengurus adalah orang yang menerima waqaf kepadanya jika
disebutkan namanya. Namun jika waqafnya untuk masjid atau orang-orang miskin
yang tidak mungkin dibatasi. Maka pengaturnya adalah hakim, ia mengurus
langsung atau mewakilkan kepada yang lain.
Bagi naazhir (pengatur/penanggung jawab)
waqaf wajib bertakwa kepada Allah dan mengatur waqaf dengan baik, karena ini
adalah amanah.
Waqaf yang sah dan yang tidak sah
Barang yang sah diwaqafkan adalah
'aqaar (barang yang tidak bisa dipindah) dan yang manqul (bisa dipindah)
seperti perabot, mus-haf, buku-buku, senjata dan hewan[v].
Demikian juga sah mewaqafkan semua yang boleh dijual-belikan dan boleh dimanfaatkan
dengan tetap barangnya.
Waqaf tidaklah sah jika setelah dimanfaatkan
langsung binasa seperti uang, lilin, makanan, minuman, dan barang-barang
lainnya yang segera binasa seperti wewangian, bunga dsb. Waqaf juga tidak sah
jika barangnya tidak boleh dijual-belikan seperti barang gadaian, anjing, babi,
dan seluruh binatang buas yang tidak bisa digunakan untuk berburu serta burung
pencakar yang tidak bisa digunakan berburu.
Tidak sahnya waqaf kecuali
harus ditentukan atau ke arah jalur kebaikan
Tidak sah waqaf kecuali
harus ditentukan, misalnya kepada orang yang dikenal seperti anaknya,
kerabatnya atau orang tertentu atau ke arah jalur kebaikan seperti: Membangun
masjid, jembatan, buku-buku fiqh, buku-buku berisikan ilmu dan Al Qur'an. Jika
mewaqafkan kepada pihak yang tidak ditentukan seperti laki-laki atau perempuan
atau untuk maksiat seperti mewaqafkan untuk gereja atau untuk dijual, maka
tidak sah.
Mewaqafkan kepada anak-anaknya, termasuk
pula cucu-cucunya
Jika mewaqafkan kepada anak-anaknya,
maka laki-laki dan wanita sama dalam keberhakannya. Setelah anak-anaknya, waqaf
berpindah kepada cucu-cunya dari anak laki-laki, bukan kepada cucu dari anak
perempuan. Karena cucu dari anak perempuan tidak masuk dalam ayat “Yuushiikumullahu
fii awlaadikum…” (QS. An Nisaa': 11), namun di antara ulama ada yang
berpendapat bahwa cucu dari anak perempuan juga masuk ke dalam lafaz anak, wallahu
a’lam.
Yang rajih adalah bahwa cucu dari anak
perempuan juga ikut masuk ke dalamnya berdasarkan hadits Abu Musa Al Asy'ariy
ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِبْنُ أُخْتِ الْقَوْمِ
مِنْهُمْ
"Putera saudari wanita suatu kaum juga
bagian mereka." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
Nasa'i dan Tirmidzi)
Kalau seseorang berkata, “Diwaqafkan
untuk anak-anakku,” atau mengatakan, “Atas Bani Fulan”, maka waqaf itu untuk
anak-anaknya yang laki-laki, karena lafaz baniin itu untuk anak laki-laki
secara hakikat. Kecuali jika yang diberi waqaf adalah sebuah qabilah (suku)
seperti Bani Hasyim, Bani Tamim maka termasuk ke dalamnya wanita, karena
kabilah itu bisa laki-laki dan wanita.
Tetapi, jika waqafnya untuk banyak
orang yang bisa dibatasi, maka wajib disama ratakan. Jika tidak mungkin
dibatasi dan disemuakan seperti Bani Haasyim dan Bani Tamim, maka tidak wajib
disama-ratakan karena tidak mungkin. Dan boleh membatasi hanya kepada sebagian
mereka serta melebihkan sebagiannya di atas sebagian yang lain.
Waqaf kepada kafir dzimmiy
Sah juga waqaf untuk kafir dzimmiy
seperti orang-orang nasrani sebagaimana boleh juga mereka diberi sedekah. Dan
Shafiyyah binti Huyay isteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mewaqafkan
kepada saudaranya yang beragama Yahudi.
Waqaf musyaa' (gabungan)
Diperbolehkan waqaf musyaa', karena
Umar radhiyallahu 'anhu mewaqafkan seratus bagian di Khaibar dan belum
dibagi-bagikan. Telah dinukilkan yang demikian dalam Al Bahr dari Al
Haadiy, Al Qaasim, An Naashir, Imam Syafi'i, Abu Yusuf dan Imam Malik. Namun
sebagian ulama ada yang memandang tidak sahnya waqaf sesuatu yang belum
dibagikan karena termasuk syarat waqaf adalah sudah ditentukan, inilah yang
dipegang oleh Muhammad bin Al Hasan.
Waqaf untuk diri
Di antara ulama ada yang berpendapat
sahnya waqaf untuk diri berdalih dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada seseorang yang berkata, "Saya punya satu dinar," maka
Beliau bersabda kepadanya, "
تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى
نَفْسِكَ
"Bersedekahlah untuk dirimu."
(HR. Abu Dawud dan Nasa'i, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Di samping itu, maksud waqaf adalah mendekatkan
diri kepada Allah, dan mengarahkan waqaf kepada diri terdapat bentuk pendekatan
diri kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ibnu
Abi Laila, Abu Yusuf dan Ahmad dalam riwayat yang paling rajih darinya, Ibnu
Sya'ban dari kalangan ulama madzhab Maliki, Ibnu Suraij dari kalangan ulama
madzhab Syafi'I, Ibnu Syubrumah, Ibnush Shabbagh dan kalangan Al Itrah. Bahkan
sebagian ulama ada yang membolehkan waqaf dari orang yang dihajr karena
dungunya jika ia mewaqafkan untuk diri kemudian anak-anaknya, karena hajr
tujuannya adalah untuk menjaga harta-hartanya. Waqafnya dengan cara ini dapat
mewujudkan maksud tersebut. Namun di antara ulama ada yang melarang hal itu,
karena menurut mereka waqaf terhadap diri merupakan pemberian kepemilikan, dan
tidak sah kepemilikan dari diri untuk diri seperti jual beli dan hibah. Juga
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
سَبِّلِ الثَّمْرَةَ
"Jadikanlah sabilillah (untuk di jalan
Allah) hasilnya."
Sedangkan untuk menjadikan sabilillah
berarti memberikan dirinya kepada orang lain. Inilah pendapat Imam Syafi'I,
jumhur ulama madzhab Maliki dan Hanbali, Muhammad, dan An Naashir.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah, dll.
[i] Imam Syafi'i
berpendapat bahwa perbuatan tidaklah cukup, bahkan untuk menjadikan waqaf harus
dengan ucapan.
[ii] Oleh karena itu, tidak sah waqaf dari anak
kecil, orang dungu dan budak.
[iii] Karena kepemilikan berpindah, ia harus
mengurusnya dan berhak (didahulukan) dalam persengketaan.
[iv]
yakni ia seorang yang berakal, baligh, merdeka, dan cerdas.
[v] Ini
adalah madzhab jumhur. Namun Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bahwa tidak
sah waqaf hewan, namun hadits yang menerangkan adanya waqaf hewan menjadi
hujjah yang membantah mereka.
0 komentar:
Posting Komentar