Fiqh Hibah (3)


بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Hibah (3)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan pembahasan tentang hibah, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Menarik hibah
Jumhur ulama berpendapat haramnya menarik kembali hibah meskipun antara saudara atau suami-isteri, kecuali hibah bapak kepada anaknya[i], maka dalam hal ini si bapak boleh menarik hibahnya berdasarkan hadits riwayat para pemilik kitab sunan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلَّا الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَهُ، وَمَثَلُ الَّذِي يُعْطِي الْعَطِيَّةَ، ثُمَّ يَرْجِعُ فِيهَا كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَأْكُلُ فَإِذَا شَبِعَ قَاءَ، ثُمَّ عَادَ فِي قَيْئِهِ
"Tidak halal bagi seseorang memberikan suatu pemberian atau hibah, lalu ia menarik lagi kecuali bagi bapak[ii] kepada anaknya[iii], dan perumpamaan orang yang memberikan kemudian menarik kembali seperti anjing yang makan, ketika kenyang ia muntahkan lalu ia memakan muntahnya." (HR. Abu Dawud, Nasa'I, Ibnu Majah, Tirmidzi, ia berkata, "Hasan shahih", dan dishahihkan oleh Al Albani)
Hal ini lebih dalam sekali tentang keharamannya.
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas disebutkan:
" لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السُّوءِ العَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِه "
"Kami tidak memiliki perumpamaan yang buruk. Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menarik kembali muntahnya." (HR. Tirmidzi dan Nasa'i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Dibolehkan juga menarik kembali hibah jika si penghibah bermaksud dengan memberinya itu agar diberi ganti atau balasan namun ternyata orang yang diberi hibah tidak melakukannya. Inilah yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dalam I'laamul Muwaqqi'iin, ia berkata, "Pemberi hibah yang tidak berhak menarik lagi adalah orang yang menghibahkan secara suka rela semata, tidak ada tujuan dibalas. Penghibah yang berhak menarik adalah orang yang menghibahkan agar diganti dan dibalas namun ternyata yang diberi hibah tidak melakukannya, sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam semuanya dipakai dan tidak boleh mempertentangkan satu sama lain."
Sebagaimana bapak boleh menarik hibahnya, ia juga boleh mengambil dan memiliki harta anaknya selama tidak memadharratkannya dan anak tidak membutuhkannya. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ، وَإِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ كَسْبِكُم
“Sesungguhnya makanan yang terbaik buat kalian adalah yang berasal dari usaha kalian, dan anak termasuk usaha kalian.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Tirmidzi)
Hadits ini pun memiliki syahid yang jika dikumpulkan menunjukkan bahwa bapak berhak mengambil, memiliki dan memakan  harta anaknya selama tidak memadharratkan anak dan tidak berkaitan dengan kebutuhannya. Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan bahwa ketika seorang anak membawa bapaknya ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menagih hutangnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيْكَ
“Kamu dan hartamu untuk bapakmu.” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Hadits ini menunjukkan bolehnya harta anaknya seperti halnya harta dirinya. Oleh karena itu, anak harus melayani bapaknya serta mencukupi kebutuhannya. Dan dalam mengambil harta anaknya seorang bapak jangan sampai memadharratkan anaknya atau terkait dengan keperluannya, berdasarkan hadits “Laa dharar wa laa dhirra.” (artinya: Tidak ada bahaya dan saling menimpakan bahaya).
Oleh karena itu, seorang anak tidak berhak menagih hutang kepada bapaknya dan sebagainya berdasarkan hadits di atas, yaitu “Anta wa maaluka li abiika.”
Di samping itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga memerintahkan berbuat baik kepada orang tua. Dan termasuk berbuat baik kepada kedua orang tua adalah tidak menagih hutangnya kepadanya.
Berbeda jika yang ditagih nafkah yang menjadi kewajiban bapak, maka anak berhak menagihnya karena perlunya menjaga jiwa jika ternyata anak tidak mampu bekerja. Dan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Hind istri Abu Sufyan,
خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ
"Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu secara ma'ruf."
Hadiah yang tidak boleh ditolak
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " ثَلَاثٌ لَا تُرَدُّ: الوَسَائِدُ، وَالدُّهْنُ، وَاللَّبَنُ "
Dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ada tiga yang tidak boleh ditolak; bantal, minyak wangi dan susu." (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ عُرِضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلَا يَرُدُّهُ، فَإِنَّهُ خَفِيفُ الْمَحْمِلِ طَيِّبُ الرِّيحِ»
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang ditawarkan wewangian, maka janganlah menolaknya, karena ia ringan dibawa dan wangi." (HR. Muslim)
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَيَرُدُّ الطِّيْبَ
Dari Anas, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa tidak menolak minyak wangi.
Pujian untuk pemberi hadiah dan doa untuknya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ»
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak berterima kasih kepada Allah." (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dinyatakan shahih lighairih oleh Syaikh Al Abani)
عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ أُعْطِيَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ، فَإِنَّ مَنْ أَثْنَى فَقَدْ شَكَرَ، وَمَنْ كَتَمَ فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَهُ كَانَ كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ»
Dari Jabir dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda, "Barang siapa yang diberi suatu pemberian, lalu ia mampu maka balaslah. Jika ia tidak memperoleh sesuatu, maka pujilah, karena memuji termasuk berterima kasih. Siapa saja yang menyembunyikan, maka ia telah kufur nikmat, dan barang siapa yang berhias dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya, maka ia seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani)
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ: جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ "
Dari Usamah bin Zaid ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa yang diberikan kebaikan oleh seorang, lalu ia berkata kepada orang yang memberinya, "Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan." Maka ia telah melakukan pujian yang dalam." (HR. Tirmidzi, dan dinyatakan shahih oleh Al Albani)
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ أَتَاهُ المُهَاجِرُونَ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا رَأَيْنَا قَوْمًا أَبْذَلَ مِنْ كَثِيرٍ وَلَا أَحْسَنَ مُوَاسَاةً مِنْ قَلِيلٍ مِنْ قَوْمٍ نَزَلْنَا بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ لَقَدْ كَفَوْنَا المُؤْنَةَ وَأَشْرَكُونَا فِي المَهْنَإِ حَتَّى لَقَدْ خِفْنَا أَنْ يَذْهَبُوا بِالأَجْرِ كُلِّهِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا مَا دَعَوْتُمُ اللَّهَ لَهُمْ وَأَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِمْ»
Dari Anas ia berkata: Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, kaum muhajrin mendatangi Beliau dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak pernah melihat kaum yang paling banyak memberi harta, paling baik memberikan bantuan meskipun kurang mampu daripada kaum yang kami singgahi. Mereka telah mencukupi kami dengan pemberian dan menyertakan kami dalam kecukupan sampai-sampai kami khawatir mereka membawa semua pahala?" Beliau bersabda, "Tidak, selama kamu mendoakan mereka dan memuji mereka." (HR. Tirmidzi, dan dinyatakan shahih oleh Al Albani)
Hibah yang tidak sah
Dan tidak sah hibah yang dikaitkan dengan syarat yang akan datang. misalnya mengatakan, “Jika tercapai hal ini, aku akan hibahkan untukmu barang itu.” [iv]
Hibah juga tidak sah jika mu’aqqat (ada jangka waktu). Misalnya mengatakan, “Saya hibahkan barang ini kepadamu selama sebulan atau setahun,” karena hibah itu penyerahan kepemilikan barang, dan tidak menerima jangka waktu. Akan tetapi jika dengan syarat wafatnya pemberi hibah, maka tidak mengapa. Misalnya mengatakan, “Jika aku mati, aku berikan kepadamu barang ini atau itu” dan hal ini menjadi wasiat yang hukumnya sama seperti itu.
Kesimpulan dan Faedah
1.     Memberikan sesuatu kepada kerabat kita lebih utama dan lebih besar pahalanya.
1.     Seorang yang menghibahkan hartanya boleh berapa saja ia suka, tetapi sebaiknya jangan melebihi 1/3 dari hartanya, hal itu karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang sesesorang berwasiat dari hartanya melebihi 1/3, sedangkan hibah tidak ada bedanya dengan wasiat dalam hal bisa merugikan ahli waris. Bedanya hanyalah bahwa hibah itu diberikan selagi masih hidup, sedangkan wasiat diberikan setelah meninggal.
2.     Jika seorang ayah melebihkan sebagian anaknya dalam pemberian di saat sakit yang membawa kepada kematiannya, maka tidak sah kecuali diizinkan oleh ahli waris yang lain.
3.     kita dilarang menarik kembali pemberian kita (kecuali jika kita memberikan sesuatu kepada anak kita).
4.     Jika orang yang diberikan hadiah mengembalikan kepada yang memberi hadiah, maka tidak mengapa orang yang memberi hadiah menerimanya.
5.     Jika seorang memiliki kedudukan (dihormati) di tengah-tengah masyarakat, lalu datang orang meminta bantuan melalui kedudukannya itu maka tidak halal baginya menerima hadiah dari orang yang dibantu itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَفَعَ لِأَحَدٍ شَفَاعَةً، فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا، فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنَ الرِّبَا
"Barang siapa yang memberikan bantuan kepada seseorang (dengan kedudukannya), lalu ada yang memberinya hadiah, kemudian ia menerimanya, maka ia telah mendatangi salah satu pintu besar riba." (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pernah seseorang datang kepada Al Hasan bin Sahl untuk meminta syafaat(bantuan)nya dalam suatu keperluannya, lalu Al Hasan memenuhinya, kemudian orang itu datang kepadanya ingin berterima kasih, lalu Al Hasan        bin Sahl berkata, "Atas dasar apa engkau berterima kasih kepada kami, padahal kami memandang bahwa kedudukan itu punya zakat sebagaimana harta juga punya hak untuk dizakatkan?" (Al Aadabusy Syar'iyyah oleh Ibnu Muflih 2/176).
6.     Jika kita hendak memberikan sesuatu kepada anak kita, maka kita harus berikan juga kepada anak kita yang lain. Haram hukumnya jika kita memberikan sesuatu kepada sebagian anak kita, sedangkan anak kita yang lain tidak diberikan, kecuali jika bertujuan membantu anaknya yang lain yang kurang mampu (misalnya anaknya yang lain sakit atau punya hutang) maka tidak mengapa diberikan kepadanya, dengan syarat jika anaknya yang lain sama seperti itu, maka akan diberikan juga. Termasuk ke dalam hal ini adalah imbalan kepada anaknya yang bisa menghapal Al Qur’an.
7.     Sah hukumnya menghibahkan hutang untuk orang yang menanggungnya, sehingga hibah ini dianggap sebagai pembebasan hutangnya.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah beberapa versi, dll.


[i] Imam Malik berkata, "Ia (bapak) berhak menarik kembali dalam hibah yang diberikan kecuali jika telah berubah hibah itu dari keadaan awalnya. Jika sudah berubah maka ia  tidak boleh menariknya." Abu Hanifah berkata, "Bapak tidak berhak menarik kembali dalam hibah yang diberikan kepada anaknya dan kepada salah seorang dzawil arhaam, namun ia boleh menarik kembali dalam  hibah kepada ajaanib (bukan kerabat)." Namun pendapat ini tidak kuat karena menyelisihi hadits-hadits.
[ii] Menurut kebanyakan ulama bahwa ibu sama seperti bapak.
[iii] Baik anak itu dewasa atau masih kecil.
[iv] Penyusun kitab Al Fiqhul Muyassar berpendapat, bahwa sah hukumnya hibah yang mu'allaq (digantungkan), misalnya mengatakan, "Jika musafir datang atau hujan turun, maka saya akan hibahkan sesuatu ini kepadamu." Wallahu a'lam.

0 komentar:

 

ENSIKLOPEDI ISLAM Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger