بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Hibah (1)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini
pembahasan tentang hibah, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikannya
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Ta'rif
(definisi) hibah
Hibah
secara bahasa artinya memberikan harta atau lainnya secara sukarela kepada
orang lain. Sedangkan secara syara' adalah akad yang isinya seseorang
menyerahkan kepemilikan hartanya kepada orang lain di masa hidupnya tanpa ganti.
Jika
seseorang membolehkan hartanya bagi orang lain untuk dimanfaatkan namun tidak
sampai menyerahkan kepemilikan kepadanya, maka disebut I'aarah (pinjaman).
Apabila
sesorang menghadiahkan sesuatu yang bukan berupa harta, seperti khamr (minuman
keras) atau bangkai, maka ketika ini ia tidaklah sebagai pemberi hadiah, dan
pemberian itu bukanlah hadiah.
Jika
kepemilikan bukan di masa hidupnya, tetapi dihubungkan setelah wafatnya, maka
yang demikian disebut wasiat.
Jika
dengan adanya ganti, maka menjadi jual beli dan berlaku padanya hukum jual
beli, yakni barang tersebut menjadi milik setelah sempurna akad dan tidak
diberlakukan tasharruf (tindakan) si pemberi kecuali dengan izin orang yang
diberi, di sana pun berlaku khiyar dan syuf'ah, dan disyaratkan gantinya harus
ditentukan.
Hibah
yang mutlak tidaklah menghendaki adanya ganti baik semisal, di bawahnya atau di
atasnya. Inilah hibah dengan makna yang lebih khusus, adapun hibah jika memakai
makna umum, maka mencakup hal berikut:
1.
Ibraa' (menghalalkan hutang), yakni menghibahkan hutang yang
sebelumnya ditanggung.
2.
Sedekah,
yaitu hibah yang tujuannya adalah pahala di akhirat.
3.
Hadiah,
yaitu pemberian yang menghendaki si penerima hadiah menggantinya.
Disyari'atkannya
hibah
Hibah
dan hadiah termasuk Sunah yang dianjurkan mengerjakannya, karena banyaknya
maslahat yang terkandung di dalamnya seperti melembukan hati, menimbulkan
kecintaan dan sebagainya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bersabda:
تَهَادَوْا
تَحَابَّوْا
“Salinglah
memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam Al
Adab dan Baihaqi. Al Haafizh berkata, "Isnadnya hasan.")
Aisyah
mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ
- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقْبَلُ اَلْهَدِيَّةَ , وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
“Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam suka menerima hadiah dan membalasnya.” (HR.
Bukhari)
Beliau
mengajak agar kita mau menerima hadiah dan mendorong orang melakukannya. Imam Ahmad
meriwayatkan dari hadits Khalid bin 'Addiy, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ جَاءَهُ مِنْ أَخِيهِ
مَعْرُوفٌ، مِنْ غَيْرِ إِشْرَافٍ وَلَا مَسْأَلَةٍ، فَلْيَقْبَلْهُ وَلَا يَرُدَّهُ،
فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ
"Barang
siapa yang kedatangan sesuatu yang baik dari saudaranya tanpa diharap dan
diminta, maka terimalah dan jangan ditolak, karena hal itu merupakan rezeki
yang diberikan Allah kepadanya." (Hadits ini dinyatakan shahih oleh
Pentahqiq Musnad Ahmad)
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam juga menganjurkan kita menerima hadiah meskipun
sesuatu yang rendah. Oleh karena itu, para ulama berpendapat makruhnya menolak
hadiah jika tidak ada penghalang syar'i. Anas radhiyallahu 'anhu berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ كُرَاعٌ
لَقَبِلْتُ، وَلَوْ دُعِيتُ عَلَيْهِ لَأَجَبْتُ
"Kalau
sekiranya aku diberi kaki hewan tentu aku terima dan kalau aku diundang untuknya,
tentu aku akan memenuhinya." (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dan ia
menshahihkannya)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي؟
قَالَ: «إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا»
Dari
Aisyah ia berkata: Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya punya
dua tetangga, kepada siapakah aku akan memberikan hadiah?" Beliau menjawab,
"Kepada yang paling dekat pintunya denganmu." (HR. Bukhari)
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam juga menerima hadiah dari orang-orang kafir.
Beliau menerima hadiah dari Kisra, Kaisar dan Muqauqis sebagaimana Beliau juga
memberian hadiah dan pemberian kepada orang-orang kafir. Adapun hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi bahwa Iyadh pernah memberi
hadiah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebuah hadiah, lalu Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya, "Apakah kamu sudah masuk
Islam?" ia menjawab, "Belum," lalu Beliau bersabda:
إِنِّي نُهِيتُ عَنْ زَبْدِ
المُشْرِكِينَ
"Sesungguhnya
saya dilarang menerima pemberian orang-orang musyrikin." (Dinyatakan hasan
shahih oleh Syaikh Al Albani)
Maka
menurut Al Khaththabiy, "Sepertinya hadits ini mansukh, karena Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam menerima hadiah lebih dari seorang
musyrikin."
Imam
Syaukani berkata, "Imam Bukhari telah menyebutkan dalam shahihnya sebuah
hadits, di mana dari hadits itu ia mengeluarkan hukum bolehnya menerima hadiah
dari penyembah berhala. Ia menyebutkan hadits itu dalam bab menerima hadiah
dari orang-orang musyrikin pada bagian kitab hibah dan hadiah."
Al
Haafizh dalam Al Fat-h berkata, "Di sana terdapat batalnya ta'wil bahwa
hadiah ditolak dari penyembah berhala tidak dari Ahli Kitab. Hal itu, karena orang
yang menghibahkan dalam hadits itu adalah seorang penyembah berhala."
Rukun-rukun
hibah
Hibah
menjadi sah dengan ijab-qabul dengan sighat (kalimat) apa pun yang isinya
menunjukkan pemberian kepemilikan pada harta kepada orang lain tanpa ganti,
misalnya si pemberi mengatakan, "Saya hibahkan kepada anda,"
"saya hadiahkan kepada anda," "saya berikan kepada anda"
dsb. Lalu pihak yang diberi berkata, "Saya terima."
Imam
Malik dan Syaafi'i menekankan adanya pernyataan qabul (menerima) dalam hibah.
Namun sebagian ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa ijab itu sudah cukup, dan
inilah yang shahih. Ulama madzhab Hanbali berpendapat, hibah sah dengan adanya
saling memberi yang menunjukkan demikian. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
memberi hadiah dan menerima hadiah, para sahabat juga demikian, dan tidak ada
nukilan dari mereka bahwa mereka mensyaratkan ijab-qabul dsb.
Syarat-syarat
hibah
Hibah
itu menghendaki adanya pemberi hibah, yang diberi hibah dan barang yang
dihibahkan. Masing-masing ada syaratnya. Berikut ini syarat terhadap
masing-masingnya:
Syarat
pemberi hibah
1. Ia memiliki
barang yang dihibahkan itu.
2. ia tidak dihajr
(dihalangi tindakannya) karena salah satu sebab hajr.
3. Ia sudah
baligh, karena anak-anak itu naaqishul ahliyyah (kurang dalam keberhakan
melakukan demikian).
4. Ikhtiyar atau
atas pilihannya sendiri, karena hibah merupakan 'akad yang disyaratkan untuk
keabsahannya adalah "keridhaan".
Syarat
orang yang dihibahkan
Orang
tersebut ada ketika dihibahkan, jika tidak ada sama sekali atau ada tetapi
masih kira-kira seperti janin misalnya, maka hibah tersebut tidak sah.
Jika
orang yang diberi hibah ada saat diberi hibah, sedangkan orang yang diberi itu
masih kecil atau gila, maka walinya atau orang yang diberi wasiat atau orang
yang mengurusnya meskipun ajnabiy (bukan keluarga) yang memegang hibah itu
untuknya.
Syarat
barang yang dihibahkan
1. Harus ada
wujudnya.
2. Harta bernilai[i]
3. Dimiliki dan bisa
beredar serta berpindah kepemilikan dari tangan seseorang ke tangan yang lain.
Oleh karena itu, tidak sah menghibahkan air yang ada di sungai, ikan yang ada
di laut, burung yang ada di udara, dan masjid.
4. Tidak menyatu
dengan milik si pemberi, yakni menyatu yang kokoh seperti tanaman, pohon,
bangunan tanpa tanahnya, bahkan harus dipisahkan dan diserahkan agar orang yang
diberi hibah memilikinya.
5. Harus mufraz,
yakni bukan milik bersama, karena menerima tidaklah sah kecuali jika mufraz.
Jika masih milik bersama seperti barang gadai, maka tidak sah. Namun Imam
Malik, Syafi'I, Ahmad dan Abu Tsaur tidak mensyaratkan syarat ini, mereka
berkata, "Sesungguhnya hibah yang masih milik bersama belum dibagikan
adalah sah." Menurut Imam Malik diolehkan menghibahkan sesuatu yang tidak
sah dijual-belikan seperti unta yang lari, buah yang belum tampak baiknya dan
barang rampasan.
5. Sesuatu yang dihibahkan termasuk yang sah dijual-belikan. Jika tidak sah
dijual-belikan, maka tidak sah dihibahkan seperti khamr (arak) dan babi.
Hibah
orang yang sakit yang bisa membawa kepada kematian[ii]
Jika
seorang sakit yang membawa kepada kematiannya, lalu ia menghibahkan sesuatu
kepada orang lain, maka hibah itu dihukumi sebagai wasiat. Jika ia menghibahkan kepada salah satu ahli
warisnya lalu ia meninggal, kemudian ahli waris lainnya mendakwakan bahwa si
sakit memberi hibah saat sakit yang membawa kepada kematiannya, sedangkan orang
yang diberi hadiah mendakwakan bahwa ia memperoleh hibah di saat ia masih
sehat, maka orang yang diberi hibah harus menguatkan ucapannya. Jika ia tidak
melakukan, maka hibah itu dianggap diberikan pada saat sakit yang membawa
kepada kematiannya sehingga hukum wasiat pun berjalan padanya, yakni tidak sah
kecuali jika diizinkan oleh para ahli waris. Tetapi jika ia menghibahkan di
saat sakit yang bisa membawa kepada kematiannya, lalu ternyata si penghibah itu
sehat kembali, maka hibahnya sah.
Memegang
hibah
Di
antara ulama ada yang berpendapat bahwa hibah berhak dimiliki oleh orang yang
diberi hibah dengan sekedar akad dan tidak disyaratkan sama sekali harus
menerimanya. Hal itu, karena hukum asal dalam semua akad adalah sah tanpa ada
syarat memegang/menerima seperti jual beli. Inilah madzhab yang dipegang oleh
Imam Ahmad, Malik, Abu Tsaur dan ulama madzhab Zhahiri. Atas dasar ini, maka
apabila si penghibah meninggal atau yang diberi hibah meninggal sebelum menerima,
maka hibah itu tidaklah batal, karena dengan sekedar akad, hibah itu sudah
menjadi milik orang yang diberi hibah.
Namun
Abu Hanifah, Syafi'i dan Ats Tsauriy berpendapat bahwa menerima merupakan
syarat di antara syarat sahnya hibah. Jika belum sempurna penerimaan, maka
tidak wajib diberi oleh penghibah. Oleh karenanya, jika orang yang dihibahkan
meninggal atau pemberi hibah meninggal sebelum serah-terima, maka hibah menjadi
batal.
Menurut
Shalih Al Fauzan dalam Al Mulakhkhash Al Fiqhi, "Hibah dianggap
mesti ketika orang yang diberi telah memegang (hibah)nya dengan izin pemberi.
Oleh karena itu, tidak boleh ditarik lagi. Adapun apabila belum dipegang, maka
si pemberi berhak menarik. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu
'anha, bahwa Abu Bakar memberinya hasil panen berjumlah dua puluh wasaq dari
hartanya yang ada di tempat yang tinggi. Ketika Abu Bakar sakit, ia berkata,
"Wahai puteriku! Sebelumnya aku tela memberimu hasil panen berjumlah dua
puluh wasaq. Jika sekiranya engkau memotongnya atau memegangnya, tentu harta
itu untukmu. Sekarang ia adalah harta untuk ahli waris. Maka bagikanlah ia
sesuai Kitabullah."
Wallahu
a'lam.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa
ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih
Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah beberapa versi, dll.
0 komentar:
Posting Komentar