بسم
الله الرحمن الرحيم
Aqidah Islam (15)
Ketaatan Mutlak
Kepada Allah dan Rasul-Nya
Termasuk
prinsip Ahlussunnah wal jama'ah adalah tunduk kepada hukum Allah.
30- التسليم والرضا والطاعة المطلقة لله ولرسوله صلى الله
عليه وسلم, والإيمان بالله تعالى حكما من الإيمان به ربا والها, فلا شريك له في
حكمه وأمره. وتشريع مالم يأذن به الله والتحاكم الى الطاغوت, واتباع غير شريعة
محمد صلى الله عليه وسلم, وتبديل شيئ منها كفر ومن زعم أن أحدا يسعه الخروج عنها
فقد كفر.
31- الحكم بغير ما أنزل الله كفر أكبر, وقد يكون كفرا دون
كفر. فالأول التزام غير شرع الله أو تجويز الحكم به . والثاني العدول عن شرع الله
في واقعة معينة لهوى مع الإلتزام بشرع الله.
30. Patuh, tunduk dan
taat secara mutlak kepada Allah dan rasul-Nya, Muhammad shalallahu 'alaihi
wasallam. Iman kepada Allah sebagai Hakim termasuk iman kepada-Nya sebagai Rabb
dan Tuhan yang disembah. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hukum dan perintah-Nya.
Pembuatan hukum yang tidak diizinkan Allah, berhukum kepada thaghut[i], mengikuti selain syariat Nabi
Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan merubah sesuatu darinya adalah kufur. Barang
siapa yang mengatakan, seseorang boleh keluar dari syariatnya maka dia kafir.
31. Menggunakan hukum yang bukan dari Allah adalah
kufur akbar, yang bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam; dan bisa juga
termasuk kufur duna kufrin (yakni kufur yang tidak menyebabkan keluar
dari Islam).
Kufur akbar terjadi ketika berpegang teguh kepada
selain hukum Allah, atau membolehkan penggunaan hukum tersebut. Sedangkan kufur
duna kufrin, terjadi jika tidak menggunakan hukum Allah dalam suatu
kejadian tertentu karena menuruti hawa nafsu, tetapi secara umum ia masih berpegang
teguh kepada hukum Allah. (Mujmal Ushul Ahlissunah karya Dr. Nashir Al ‘Aql).
Penjelasan:
No. 30: Dalam Al
Qur'an, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (Terj. An Nisaa': 65)
Syaikh As Sa'diy rahimahullah berkata, "Kemudian Allah
Ta'ala bersumpah dengan nama-Nya yang mulia, bahwa mereka tidak beriman sampai
mereka mau menjadikan rasul-Nya sebagai hakim dalam masalah yang terjadi
perselisihan di sana, bukan dalam masalah ijma' (yang disepakati), di mana ia
tidaklah bersandar kecuali kepada Al Qur'an dan As Sunnah. Kemudian berhukum
kepada Beliau tidaklah cukup sampai hilangnya rasa berat hati dan sempit di
hati mereka, atau berhukum dengan memicingkan mata. Berhukum ini pun tidak
cukup sampai mereka menerima sepenuh hati hukum Beliau dengan dada yang lapang,
jiwa yang tenang dan tunduk lahir maupun batin...dst."
Ahlussunnah sangat mendambakan sekali terlaksananya hukum/syari'at Islam
sebagaimana yang dilaksanakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
Khulafa'ur raasyidin.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam hal berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah:
1. Berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah adalah fardhu 'ain atas setiap muslim, baik secara perorangan
maupun kelompok, baik ia sebagai penguasa (lih. An Nisaa': 58) maupun rakyat (lih. An
Nisaa': 59)[ii].
Hal itu, karena setiap mereka adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung
jawab terhadap apa yang mereka pimpin. Adapun pelaksanaan hak-hak syar'i (yang
berkaitan dengan had, qishas, dera dsb.) yang berhak melaksanakannya adalah imam (pemerintah) kaum muslimin atau orang
yang ditunjuk oleh imam untuk mewakilinya. Imam Thahawi meriwayatkan dari
Muslim bin Yasar bahwa ia berkata: Salah seorang sahabat berkata, “Zakat,
hudud, fai’, shalat Jum’at itu diserahkan pelaksanaannya kepada pemerintah.”,
Imam Thahawi berkata: “Kami tidak mengetahui adanya khilaf dari sahabat yang
lain."
2. Berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah meliputi segala hal., termasuk di dalamnya masalah umat secara
keseluruhan, seperti 'Aqidah, ibadah, mu'amalah, akhlak, adab, dsb. Oleh karena
itu, beraqidah Islam, beribadah sesuai sunnah,
bermu’amalah dengan cara Islam, dan berakhlak Islam adalah termasuk menjalankan
syari’at Islam.
3. Meninggalkan pelaksanaan hukum
Allah adalah fitnah yang besar, penyebab datangnya cobaan, perpecahan, kehinaan
dan kerendahan yang menimpa seluruh umat ini secara bersama-sama maupun
perorangan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (Terj. An Nuur: 63)
Sebaliknya, berhukum
dengan hukum Allah dan Rasul-Nya merupakan kebahagiaan bagi manusia
dunia-akhirat. Hukum Allah dan Rasul-Nya inilah yang dapat memperbaiki keadaan
yang rusak serta cocok di setiap zaman dan setiap tempat. Sebab rusaknya dunia
secara umum dan dunia Islam secara khusus adalah karena tidak merujuk kepada
kitab Allah dan sunah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Cara menegakkan
syari'at Islam
Cara yang benar dalam
menegakkan syari'at Islam adalah mendalami ajaran Islam dengan benar,
mengamalkannya, mendakwahkannya (dengan memulainya dari diri kita, lingkungan
keluarga, masyarakat dst. dengan tasfiyah dan tarbiyah[iii]),
dan berdakwah dengan hikmah (bijaksana)[iv]
dan bersabar dalam berdakwah meskipun membutuhkan waktu yang lama serta dengan
akhlak yang mulia.
No 31: Ibnu Abil
'Iz Al Hanafi berkata, "Di sini terdapat perkara yang harus dipahami,
yaitu bahwa berhukum dengan selain hukum Allah bisa merupakan kekufuran yang
mengeluarkan dari Islam, dan bisa menjadi maksiat besar atau kecil. Menjadi
kufur di sana, bisa sebagai kiasan dan bisa menjadi kufur kecil menurut dua
pendapat yang sudah disebutkan. Hal itu tergantung kepada kondisi orang yang
berhukum. Jika ia meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah adalah tidak wajib, dan bahwa ia diberi
pilihan di sana (untuk tidak melakukannya), meremehkannya meskipun ia yakin
bahwa itu adalah hukum Allah, maka hal ini kufur besar. Namun jika ia meyakini
wajibnya berhukum dengan hukum Allah dan dalam konteks yang terjadi ia juga
menyadari hal itu, tetapi ia menyimpang darinya, sedang ia tahu bahwa ia berhak
disiksa, maka orang ini pelaku maksiat, dan disebut kafir, namun dalam bentuk
kiasan saja atau kufur kecil. Tetapi jika ia tidak mengetahui hukum Allah,
sementara ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui hukum Allah, maka ia
mendapatkan pahala karena ijtihadnya dan kesalahannya terampuni."
Faedah:
Hukum terbagi tiga:
- Hukum Munazzal (hukum yang diturunkan Allah Ta’ala), yaitu
syari’at Allah dalam kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya, ini semua adalah kebenaran
yang nyata.
- Hukum Mu’awwal, yaitu hukum yang berasal dari ijtihad para
ulama mujtahidin. Hukum ini bisa benar dan bisa salah; benar mendapatkan dua
pahala dan salah mendapatkan satu pahala.
- Hukum Mubaddal, yaitu berhukum dengan menggunakan hukum
selain yang Allah turunkan; yakni tidak menggunakan hukum munazzal. Orang ini
bisa kafir, bisa zalim dan bisa fasik.
Orang yang tidak berhukum dengan menggunakan hukum yang Allah
turunkan (hukum munazzal) bisa menjadi kafir apabila ia menghina hukum Allah,
menganggap boleh berhukum dengan menggunakan hukum selain Allah, atau
menganggap bahwa hukum selain Allah lebih baik atau lebih cocok dipakai seperti
menyingkirkan hukum munazzal lalu membuatkan undang-undang yang menyalahinya
karena mengira hukum munazzal sudah tidak cocok atau kurang baik.
Orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah (yakni hukum
munazzal) bisa juga menjadi zalim (tidak kafir), apabila ia melakukan hal itu,
namun masih meyakini bahwa hukum Allah-lah yang benar, yang baik, yang cocok
dan bahwa hukum yang dipakainya adalah salah, ia juga tidak meremehkannya.
Dan bisa menjadi fasik (tidak kafir), apabila ia melakukan hal itu
(yakni tidak menggunakan hukum Allah (yakni hukum munazzal)) karena ada rasa
sayang kepada orang yang terkena hukuman itu atau karena diberi sogokan
(risywah) –ini adalah misal-, namun ia
tetap meyakini bahwa hukum Allah-lah yang benar dan hukumnya salah, seperti
karena si pencuri itu adalah kerabatnya dsb.
Perincian seperti di
atas inilah jalan yang ditempuh kaum salaf; jalan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Siapa saja melampaui batas (ghuluw); mengkafirkan tanpa merincikan, maka ia
mirip dengan orang-orang khawarij, dan siapa saja yang mengurangi dengan
menyatakan bahwa tidak ada satu pun yang bisa menjadikan kafir, maka ia mirip
dengan orang-orang murji’ah.
Marwan bin Musa
[i] Thaghut adalah
segala yang diperlakukan secara melampaui batas dari yang telah ditentukan
Allah, misalnya dengan disembah, ditaati dan dipatuhi.
[ii] Oleh karena itu
rakyat juga tidak boleh memutuskan masalah yang mereka hadapi dengan tradisi atau
adat yang berlaku atau hukum tidak tertulis meninggalkan kitab Allah dan Sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Termasuk ke dalamnya adalah
memutuskan berdasarkan suara terbanyak (tanpa melihat apakah keputusan itu
sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah atau tidak?), mengikuti tradisi-tradisi
yang menyalahi kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya seperti dalam acara pernikahan
ada acara tukar cincin, mandi kembang, menginjak telur dsb.
[iii] Tasfiyah
artinya membersihkan segala yang bukan dari Islam. Sedangkan tarbiyah adalah
membina kaum muslimin dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Dalil tentang tashfiyah
dan tarbiyah adalah surat
Al Jumu’ah: 2,
“Dia-lah yang mengutus kepada
kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan
Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata, (terjemah Al Jumu’ah: 2)
[iv] Hikmah artinya
tepat sasaran; yakni dengan memposisikan sesuatu pada tempatnya. Termasuk ke
dalam hikmah adalah berdakwah dengan ilmu, berdakwah dengan mendahulukan yang
terpenting (seperti memulai dari 'Aqidah, ibadah dst.), berdakwah memperhatikan
keadaan mad’u (orang yang didakwahi), berbicara sesuai tingkat pemahaman dan
kemampuan mereka, berdakwah dengan kata-kata yang mudah dipahami mereka,
berdakwah dengan membuat permisalan, dsb.
0 komentar:
Posting Komentar