بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqih Shalat Sunah Rawatib Ashar, Maghrib, dan Isya
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
pembahasan fiqh shalat sunah rawatib Ashar, Maghrib, dan Isya. Semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Keutamaan
shalat sunah empat rakaat sebelum Ashar
Dari
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu aliahi wa sallam
bersabda,
«رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ العَصْرِ أَرْبَعًا»
“Semoga
Allah merahmati seorang yang shalat sebelum Ashar empat rakaat.” (HR. Ahmad,
Tirmidzi, dan Abu Dawud, dan dihasankan oleh Al Albani)
Sebagian
ulama berpendapat, bahwa shalat sunah empat rakaat sebelum shalat Ashar
termasuk shalat sunah Rawatib yang mu’akkadah (ditekankan). Demikianlah
pendapat Abul Khaththab Al Kalwadzani sebagaimana disebutkan dalam Al Mughni
(2/125) dan pendapat Asy Syirazi salah seorang ulama madzhab Syafi’i
sebagaimana dalam Al Muhadzdzab, sehingga melakukannya termasuk perkara yang
sangat dianjurkan. Namun yang lain berpendapat, bahwa shalat sunah empat rakaat
sebelum Ashar termasuk shalat sunah rawatib ghairul mu’akkadah (tidak
ditekankan).
Pelaksanaan
shalat sunah empat rakaat sebelum shalat Ashar
Adapun
pelaksanaannya menurut Dr. Muhammad bin Umar Bazmul adalah empat rakaat
sekaligus dengan dua kali tasyahhud dan mengucapkan salam di akhirnya.
Dari
Ashim bin Dhamurah As Saluliy ia berkata, “Kami pernah bertanya kepada Ali
tentang shalat sunah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
siang hari?” Lalu ia menjawab, “Kalian tidak akan sanggup melakukannya,” kami
berkata, “Beritahukanlah kepada kami! Kami akan lakukan yang bisa kami
lakukan.” Ali berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila
selesai shalat Fajar, maka Beliau menahan diri sampai ketika matahari terbit
dari sini –yakni dari arah timur- seperti di waktu Ashar ketika matahari belum
tenggelam di barat, maka Beliau bangun dan shalat dua rakaat. Selanjutnya
Beliau menangguhkan sampai ketika matahari dari sini (timur) masuk ke waktu
Zhuhur, maka Beliau bangun dan shalat empat rakaat. Beliau melakukan empat
rakaat sebelum shalat Zhuhur dan dua rakaat setelahnya, demikian pula empat
rakaat sebelum shalat Ashar. Ketika itu, Beliau memisahkan antara setiap dua
rakaat dengan mengucapkan salam kepada para malaikat muqarrabin (yang dekat
dengan Allah), para nabi, dan orang-orang yang mengikutinya dari kalangan kaum
muslimin dan mukminin.” Ali berkata, “Yang demikian enam belas rakaat shalat
sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di siang hari, namun sedikit
sekali orang yang melakukannya secara rutin.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah,
dihasankan oleh Al Albani. Dalam riwayat Nasa’i disebutkan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat ketika matahari
tergelincir, dan melakukan shalat empat rakaat sebelum pertengahan siang;
Beliau menjadikan salam di akhirnya.”)
Imam At
Tirmidzi berkata, “Hadits Ali adalah hadits hasan. Ishaq bin Ibrahim
berpendapat agar shalat sunah sebelum shalat Ashar tidak dipisah (dengan
salam), ia beralasan dengan hadits ini. Ishaq berkata, “Maksud memisahkan
antara kedua rakaat dengan salam adalah dengan bertasyahhud.” Namun Imam
Syafi’i dan Ahmad berpendapat, bahwa shalat yang dilakukan di malam dan siang
hari adalah dua rakaat-dua rakaat; mereka berdua berpendapat agar pelaksanaan
empat rakaat sebelum Ashar dipisah (dengan salam).”
Dr.
Muhammad bin Umar Bazmul berkata, “Yang tampak kuat adalah pendapat Ishaq bin
Ibrahim. Hal ini diperkuat oleh riwayat Nasa’i, “Beliau melakukan salam di
akhirnya.”
Ia juga
mengatakan, “(Pelaksanaan) shalat sunah rawatib ini mentakhshis keumuman hadits
yang menyebutkan, “Shalat malam dan siang itu dua rakaat-dua rakaat.”
Shalat
sunah Rawatib ghairul mu’akkadah
Shalat sunah
sebelum Ashar juga boleh dilakukan dua rakaat. Hal ini termasuk shalat sunah
rawatib namun ghairul mu’akkadah (tidak ditekankan), sebagaimana shalat sunah
dua rakaat sebelum Maghrib dan sebelum Isya.
Dalilnya
adalah hadits Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ
صَلاَةٌ
“Antara dua azan (azan dan iqamat) ada
shalat.”
Beliau
mengucapkannya sebanyak tiga kali, kemudian bersabda, “Bagi siapa yang
menghendaki.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari
Abdullah bin Az Zubair, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَا
مِنْ صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَ بَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ
“Tidak ada
satu shalat fardhu pun melainkan sebelumnya ada shalat sunah dua rakaat.” (HR.
Ibnu Hibban dan Thabrani, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’
no. 5730).
Dalam
riwayat Ibnu Hibban disebutkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
shalat dua rakaat sebelum Maghrib.
Ibnu
Abbas berkata, “Kami shalat dua rakaat menjelang matahari tenggelam. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kami; namun Beliau tidak memerintahkan
dan tidak melarang kami.” (HR. Muslim)
Al
Hafizh berkata, “Semua dalil menunjukkan dianjurkannya meringankan shalat sunah
dua rakaat tersebut sebagaimana shalat sunah sebelum Fajar.”
Shalat
sunah rawatib setelah Maghrib
Shalat
sunah rawatib setelah Maghrib berjumlah dua rakaat, dalilnya adalah hadits Ummu
Habibah radhiyallahu ‘anha yang menerangkan keutamaan shalat sunah rawatib dan
hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Demikian pula hadits Abdullah bin Syaqiq
saat ia bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang shalat sunah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menjawab, “Beliau
melakukan shalat di rumahku sebelum Zhuhur empat rakaat, kemudian keluar dan
shalat mengimami manusia, lalu masuk ke rumah dan shalat dua rakaat. Beliau
juga mengimami manusia shalat Maghrib, kemudian masuk ke rumah dan shalat dua
rakaat. Beliau juga shalat Isya mengimami manusia, lalu masuk ke rumahku dan
shalat dua rakaat…dst.” (HR. Muslim)
Dari
hadits di atas kita mengetahui, bahwa Beliau biasa melakukan shalat sunah di
rumahnya kecuali jika ada urusan mendadak, bahkan ada anjuran dari Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan shalat sunah setelah Maghrib di
rumah.
Dari
Mahmud bin Lubaid ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendatangi Bani Abdul Asyhal dan shalat Maghrib mengimami mereka. Setelah salam
Beliau bersabda,
ارْكَعُوا هَاتَيْنِ
الرَّكْعَتَيْنِ فِي بُيُوتِكُمْ
“Kerjakanlah
dua rakaat ini di rumah kalian.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah)
Dari
Ka’ab bin Ujrah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
shalat Maghrib di Masjid Bani Abdil Asyhal. Setelah Beliau shalat, maka
orang-orang bangkit melakukan shalat sunah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِهَذِهِ
الصَّلَاةِ فِي الْبُيُوتِ
“Kerjakanlah shalat ini di rumah.” (HR. Abu
Dawud dan Nasa’i, dishahihkan oleh Al Albani)
Kedua
hadits di atas menunjukkan dianjurkannya pelaksanaan shalat sunah Ba’diyah
Maghrib di rumah.
Bacaan
pada shalat sunah ba’diyah (setelah) Maghrib
Dari
Abdullah bin Mas’ud ia berkata, “Aku tidak dapat menghitung berapa kali aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Qul yaa ayyuhal
kafirun (surat Al Kafirun) dan Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlas) pada
dua rakaat setelah shalat Maghrib dan dua rakaat sebelum Subuh. (HR. Ibnu Majah
dan Tirmidzi, ia menghasankannya).
Shalat
sunah rawatib setelah Isya
Shalat
sunah rawatib setelah Maghrib berjumlah dua rakaat, dalilnya adalah hadits Ummu
Habibah radhiyallahu ‘anha yang menerangkan keutamaan shalat sunah rawatib,
hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, hadits Abdullah bin Syaqiq yang telah disebutkan
di atas. Demikian juga berdasarkan hadits Mughirah bin Sulaiman ia berkata,
“Aku mendengar Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak meninggalkan dua rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua
rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum Subuh.”
(HR. Ahmad, dan dinyatakan shahih oleh Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar
Risalah).
Anjuran
memisahkan (mengadakan jeda) antara shalat fardhu dengan shalat sunah
Dari
salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Ashar, lalu ada seorang yang
berdiri shalat, dan diperhatikan oleh Umar, kemudian ia berkata, “Duduklah!
Sesungguhnya binasanya Ahli Kitab adalah karena tidak adanya pemisah terhadap
shalat mereka.” Mendengar hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ibnul Khaththab telah berbuat baik.” (HR. Ahmad dan dinyatakan
isnadnya shahih oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Imam
Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Umar bin Atha bin Abul
Khuwar, bahwa Nafi bin Jubair pernah mengutusnya menemui As Sa’ib –putera
saudari (keponakan) Namir- untuk bertanya perihal shalat yang hendak
dilakukannya kemudian dilihat oleh Mu’awiyah, maka ia berkata, “Ya. Aku pernah
shalat Jum’at bersamanya di Al Maqshurah. Saat Imam selesai shalat, aku
berdiri di tempatku dan shalat lagi. Ketika ia masuk, maka ia mengirim
seseorang kepadaku untuk menyampaikan ucapannya, “Jangan kamu ulangi lagi! Jika
kamu selesai shalat Jum’at, maka jangan sambung dengan shalat apa pun sehingga engkau
berbicara atau keluar, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami demikian, yaitu agar shalat yang satu tidak disambung dengan
shalat yang lain sampai kami berbicara atau keluar.” (HR. Muslim)
Baihaqi
dalam As Sunanul Kubra (2/191) berkata, “Riwayat ini berlaku untuk
shalat Jum’at dan shalat lainnya, karena isi kalimatnya, “agar shalat yang
satu tidak disambung dengan shalat yang lain,” demikian pula berlaku bagi
imam maupun makmum.”
Habib berkata,
“Ibnu Umar tidak suka jika ada seseorang yang shalat sunah di tempat ia
melakukan shalat fardhu sampai ia maju ke depan atau mundur, atau berbicara.”
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Bughyatul
Mutathawwi’ fii Shalatit Tathawwu’ (Dr. M. Bin Umar Bazmul), Al
Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz (Abdul Azhim bin Badawi), Al
Fiqhul Muyassar fii Dhau’il Kitab was Sunnah (Tim Ahli Fiqh
Saudi Arabia), Maktabah Syamilah versi 3.45,
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=204175
dll.