بسم الله الرحمن الرحيم
Adab Terhadap Tamu
Segala
puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang adab terhadap tamu, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Perintah
memuliakan tamu
Ahli
Ilmu menyebutkan beberapa adab ketika menjamu dan menerima tamu yang perlu
dipelajari dan dipraktekkan, karena amalan ini didasari dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah, demikian pula sebagai kebiasaan positif dan mulia bangsa Arab
yang diwarisi dari generasi ke generasi sebagai bentuk memuliakan tamu.
Dalam
Al Qur’an disebutkan kisah bagaimana Nabi Ibrahim alaihis salam memuliakan
tamu,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ
إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ (24) إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ
سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ (25) فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ
(26) فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ (27) فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً
قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ (28) فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ
فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ (29) قَالُوا كَذَلِكِ
قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ (30)
“Sudahkah
sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (Yaitu
malaikat-malaikat) yang dimuliakan?--(ingatlah) ketika mereka masuk ke
tempatnya lalu mengucapkan, "Salaamun." Ibrahim menjawab,
"Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal."--Maka dia
pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi
gemuk.--Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, "Silahkan
anda makan."--(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa
takut terhadap mereka. mereka berkata, "Janganlah kamu takut," dan
mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang
alim (Ishak).--Kemudian istrinya datang memekik lalu menepuk mukanya sendiri
seraya berkata, "(Aku adalah) seorang perempuan tua yang
mandul."--Mereka berkata, "Demikianlah Tuhanmu berfirman"
Sesungguhnya Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.” (Qs. Adz Dzaariyat:
24-30)
Sedangkan
dalam hadits disebutkan sebagai berikut,
Dari
Abu Syuraih Al Ka’biy, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ، وَالضِّيَافَةُ
ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ، فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ، وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ
يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ
“Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka muliakanlah tamunya dan
menjamunya sehari-semalam. Menjamu itu tiga hari, selebihnya adalah sedekah.
Tidak halal bagi tamu tinggal bermalam hingga membuat tuan rumah keberatan.”
Ibnul
Atsir dalam An Nihayah berkata, “Maksudnya dijamu tiga hari, dimana pada
hari pertama ia bersusah-payah menjamunya dengan memberikan kebaikan dan
kesenangan yang mudah baginya, lalu pada hari kedua dan ketiga disiapkan
hidangan yang ada padanya, dan tidak lebih di luar kebiasaannya, kemudian
memberikan kepadanya perbekalan makan yang bisa dikonsumsinya untuk perjalanan
sehari-semalam yang biasa disebut ‘jizah’ yakni seukuran untuk perjalanan
musafir dari satu rumah singgah ke rumah singgah yang lain.”
Al
Khaththabi rahimahullah berkata, “Maksud hadits tersebut adalah apabila tamu
singgah di rumahnya, hendaknya ia menjamunya dan melebihkan makanan untuknya
yang ada padanya sehari-semalam, sedangkan pada dua hari setelahnya disiapkan
untuknya apa yang padanya (seadanya). Jika telah berlalu tiga hari, maka
berarti ia telah memenuhi haknya, selebihnya merupakan sedekah.” (Fathul
Bari 10/549)
Adab
Terhadap Tamu
Berikut
beberapa adab terhadap tamu:
1.
Menyambut tamu
Imam
Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma,
bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika kedatangan delegasi Abdulqais berkata,
مَرْحَبًا
بِالْوَفْدِ الَّذِيْنَ جَاءُوْا غَيْرَ خَزَايَا وَلَا نَدَامَى
“Selamat
datang delegasi yang hadir tanpa membuat kami rendah apalagi menyesal.”
2.
Tamu memiliki adab yang baik
Abul
Laits As Samarqandi berkata, “Tamu berkewajiban empat hal: pertama,
duduk di tempat yang disiapkan. Kedua, ridha ketika tuan rumah
menyiapkan seadanya. Ketiga, tidak bangun (pergi) kecuali dengan izin
tuan rumah. Keempat, mendoakan tuan rumah ketika pergi.” (Al Fatawa
Al Hindiyyah, 5/344).
Ibnul
Jauzi rahimahullah berkata, “Termasuk adab tamu adalah tidak menentukan
makanan dari pihaknya. Jika diberi pilihan antara dua makanan, maka dia pilih
yang paling ringan, kecuali jika dia mengetahui bahwa hal itu mudah bagi
penjamu (tuan rumah).” (Al Adabusy Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 3/208).
3. Jika
ada tamu yang tidak diundang, maka perlu minta izin kepada penjamu.
Imam
Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu Mas’ud radhiyallahu
anhu ia berkata,
كَانَ مِنَ الأَنْصَارِ رَجُلٌ
يُقَالُ لَهُ أَبُو شُعَيْبٍ، وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لَحَّامٌ، فَقَالَ: اصْنَعْ لِي
طَعَامًا، أَدْعُو رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ،
فَدَعَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ، فَتَبِعَهُمْ
رَجُلٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّكَ دَعَوْتَنَا
خَامِسَ خَمْسَةٍ، وَهَذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا، فَإِنْ شِئْتَ أَذِنْتَ لَهُ، وَإِنْ
شِئْتَ تَرَكْتَهُ» قَالَ: بَلْ أَذِنْتُ لَهُ
“Ada
seorang Anshar yang bernama Abu Syu’aib, ia punya budak penjual daging, ia
pernah berkata kepada budaknya, “Buatkanlah aku makanan, agar aku dapat
mengundang lima orang termasuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Maka
ia mengundang lima orang termasuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
kemudian ada orang yang ikut dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
maka Beliau bersabda (kepada Abu Syu’aib), “Engkau telah mengundang lima orang
termasuk aku, namun orang ini mengikuti kami. Jika engkau mau, engkau boleh izinkan,
dan jika engkau mau, engkau boleh biarkan.” Abu Syu’aib berkata, “Bahkan aku
mengizinkannya.”
4.
Tidak takalluf (menyusahkan diri) dalam menjamu tamu
Dalam
menjamu tamu pelaksanaannya dikembalikan kepada uruf (kebiasaan yang berlaku).
Imam
Ahmad meriwayatkan dari hadits Qais, bahwa Salman pernah kedatangan seseorang,
lalu ia mengundangnya untuk makan makanan yang ada padanya, Salman berkata,
“Kalau bukan karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kami
bersikap takalluf (membebani diri) untuk saudaranya, tentu kami akan bersikap
takalluf untukmu.” (Pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah menyatakan,
bahwa hadits ini berkemungkinan untuk dihasankan karena sejumlah jalurnya).
4.
Meminta izin ketika akan masuk, dan segera pulang setelah selesai makan agar
tidak memberatkan tuan rumah, kecuali jika tua rumah senang jika dirinya tetap
bersamanya.
Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ
إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا
فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali jika
kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan apabila kamu selesai
makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.” (Qs. Al Ahzab: 53)
5.
Mendoakan tuan rumah yang telah memberinya jamuan makanan
Imam
Abu Dawud meriwayatkan dari hadits Anas radhiyallahu anhu, bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam datang menemui Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu anhu,
lalu Sa’ad menyiapkan roti dan minyak, lalu Beliau makan, kemudian Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَفْطَرَ
عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ
عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ
“Orang-orang
yang berpuasa berbuka di sisimu, orang-orang baik memakan makananmu, dan para
malaikat mendoakanmu.” (Dishahihkan oleh Al Albani)
Imam
Abu Dawud juga meriwayatkan dari hadits Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu, ia
berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang dan singgah di rumah
ayahku, lalu ayahku menghidangkan makanan kepada Beliau dan menyebutkan tentang
makanan hais (terbuat dari kurma dan keju atau tepung) yang dihidangkan pula
kepada Beliau, lalu ayahku menyiapkan minuman, maka Beliau minum dan memberikan
minum kepada orang yang berada di sebelah kanan Beliau, serta memakan kurma dan
membuang bijinya dengan punggung dua jarinya, yaitu telunjuk dan jari tengah (ke tempat yang lain). Saat
Beliau bangun, maka ayahku ikut bangun dan memegang tali kekang untanya sambil
berkata, “Berdoalah kepada Allah untukku.” Kemudian Beliau berdoa,
«اللَّهُمَّ
بَارِكْ لَهُمْ فِيمَا رَزَقْتَهُمْ، وَاغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ»
“Ya
Allah, berilah berkah tehadap rezeki yang Engkau karuniakan kepada mereka,
ampuni mereka, dan sayangi mereka.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Muslim
dan Tirmidzi)
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam juga pernah berdoa,
اَللَّهُمَّ، أَطْعِمْ مَنْ
أَطْعَمَنِي، وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِي
“Ya
Allah, berilah makan orang yang memberiku makan, dan berilah minum orang yang
memberiku minum.” (Hr. Muslim)
6.
Mendahulukan tamu daripada keluarganya
Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya
yang sampai kepada Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seorang yang
datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (mengeluhkan dirinya yang
sedang kesusahan), lalu Beliau meminta jamuan kepada istri-istrinya, namun
istri-istrinya menjawab, “Kita tidak memiliki apa-apa selain air.” Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah yang mau membawa
orang ini (ke rumahnya) dan menjamunya?” Lalu salah seorang Anshar berkata, “Saya.”
Maka ia pergi dengannya menemui istrinya, ia berkata, “Muliakanlah tamu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Istrinya menjawab, “Kita tidak
memiliki apa-apa selain makanan untuk anak-anak kita.” Ia (suaminya) menjawab,
“Siapkanlah makananmu, nyalakan lampu dan tidurkanlah anak-anakmu ketika mereka
hendak makan malam.” Maka istrinya menyiapkan makanannya, menyalakan lampunya
dan menidurkan anak-anaknya, lalu ia berdiri seakan-akan sedang memperbaiki
lampunya, kemudian ia memadamkannya. Keduanya (Suami dan istri) seakan-akan
memperlihatkan kepada tamunya bahwa keduanya makan, sehingga keduanya tidur
malam dalam keadaan lapar. Ketika tiba pagi harinya, maka ia mendatangi
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau bersabda, “Tadi malam Allah
tertawa atau takjub melihat perbuatan kamu berdua.” Maka Allah Subhaanahu wa
Ta'aala menurunkan ayat, “Dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya
sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari
kekikiran, maka mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Terj. QS. Al
Hasyr: 9).
7.
Melayani tamunya dan menampakkan rasa gembira kepadanya karena kedatangannya,
berbicara dengan pembicaraan yang disukai tamunya, dan mendekatkan hidangan
kepada mereka.
Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman mengisahkan tentang Nabi-Nya Ibrahim alaihis
salam, “Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata,
"Silahkan anda makan." (Qs. Adz Dzariyat: 27)
8.
Mendahulukan yang lebih tua usianya, kemudian yang berada di sebelah kanan
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam ketika kedatangan minuman bersabda,
اِبْدَءُوا
بِالْكَبِيرِ
“Mulailah
dengan yang lebih tua.” (Hr. Abu Ya’la dalam Musnadnya 4/315 no. 2425,
Al Hafizh berkata, “Sanadnya kuat.” (Lihat Fathul Bari 10/89)).
Akan
tetapi jika keadaan mereka sama, maka didahulukan yang berada di sebelah kanan.
Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas radhiyallahu anhu ia berkata,
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah datang ke rumah kami ini, lalu
meminta air, maka kami perahkan susu kambing untuk Beliau dan aku campurkan
dengan air sumur ini, kemudian aku berikan kepada Beliau. Ketika itu, Abu Bakar
di sebelah kiri, Umar di depannya, sedangkan orang Arab badui di sebelah
kanannya. Setelah Beliau selesai minum, maka Umar berkata, “Ini Abu Bakar
(dulu),” namun Beliau mendahulukan sisa minumannya kepada orang Arab badui,
lalu Beliau bersabda, “Yang berada di sebelah kanan (didahulukan). Yang berada
di sebelah kanan (didahulukan). Ingatlah dahulukan sebelah kanan!” Anas
berkata, “Itu adalah sunnah.” Dia mengucapkan sebanyak tiga kali.
Namun
sebagian Ahli Ilmu berpendapat didahulukan orang yang berada di sebelah kanan
secara mutlak, lihat lebih rincinya dalam Silsilah Ash Shahihah (4/76)
karya Syaikh Al Albani.
9.
Dianjurkan mengantar tamu hingga di depan pintu
Abu
Ubaid Al Qasim bin Sallam pernah mengunjungi Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahumallah. Abu Ubaid berkata, “Saat aku hendak berdiri, maka ia (Imam
Ahmad) ikut berdiri bersamaku,” lalu aku berkata, “Jangan engkau lakukan wahai
Abu Abdillah,” Imam Ahmad berkata, “Asy Sya’bi berkata, “Termasuk sempurnanya
kunjungan seseorang adalah engkau berjalan bersamanya sampai pintu rumah dan
engkau pegang hewan kendaraannya.”
Al
Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dari kisah Abu Thalhah dapat dipetik
pelajaran –yakni kisah Anas tentang Abu Thalhah-, “Aku mendengar suara lemah
dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan laparnya, maka Abu
Thalhah pergi hingga berjumpa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,.
Kemudian Beliau bersama beberapa sahabat masuk ke rumahnya…dst.” Dalam hadits
tersebut terdapat dalil bahwa adab orang yang menjamu adalah keluar bersama
tamu ke pintu rumahnya sebagai penghormatan untuknya.” (Fathul Bari
9/528)
10.
Mengundang makan orang-orang yang saleh
Imam
Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلا تَقِيٌّ
“Jangan
berteman kecuali dengan orang mukmin, dan jangan makan makananmu kecuali orang
yang bertakwa.” (Dishahihkan oleh Al Albani)
11.
Melakukan obrolan malam dengan tamu dan keluarga
Imam
Bukhari membuat bab tentang hal ini dan membawakan hadits Abu Bakar yang di
sana disebutkan, “Bahwa ia pernah pergi mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, lalu Beliau kembali mendatangi tamu-tamunya dan makan malam dengan
mereka.”
12.
Tidak mengganggu tamu dalam bentuk apa pun, baik berupa ucapan maupun
perbuatan, dan hendaknya tamu pulang dalam keadaannya jiwanya puas serta
memaafkan tuan rumah dalam hal kekurangan yang terjadi padanya (Lihat Muntaqal Adab
Asy Syar’iyyah karya Syaikh Majid Al Ausyan hal. 108-109).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: At
Tarbiyah ala Manhaj Ahlissunnah wal Jama’ah (Dr. Ahmad Farid), Maktabah
Syamilah versi 3.45, http://www.alukah.net/social/0/107678/#ixzz5GyC3ktjM, dll.