بسم
الله الرحمن الرحيم
Fawaid Riyadhush Shalihin (27)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut Fawaid (Kandungan Hadits)
Riyadhush Shalihin yang banyak kami rujuk dari kitab Bahjatun
Nazhirin karya Syaikh Salim bin Ied Al Hilaliy, Syarh Riyadhush Shalihin karya
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz An Najdiy, dan lainnya. Hadits-hadits di dalamnya merujuk kepada
kitab Riyadhush Shalihin, akan tetapi kami mengambil matannya
dari kitab-kitab hadits induk. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ، أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ؟ قَالَ: «مَنْ طَالَ عُمُرُهُ، وَحَسُنَ
عَمَلُهُ»
(108) Dari Abdullah
bin Busr, bahwa seorang Arab badui pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah
manusia yang paling baik?” Beliau menjawab, “Seorang yang panjang umurnya dan
baik amalnya.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Fawaid:
1. Keutamaan
umur yang panjang ketika amalnya tetap baik.
2. Buruknya
seorang yang panjang umur tetapi amalnya tidak baik.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: غَابَ عَمِّي أَنَسُ بْنُ
النَّضْرِ عَنْ قِتَالِ بَدْرٍ، فَقَالَ: «يَا رَسُولَ اللَّهِ غِبْتُ عَنْ
أَوَّلِ قِتَالٍ قَاتَلْتَ المُشْرِكِينَ، لَئِنِ اللَّهُ أَشْهَدَنِي قِتَالَ
المُشْرِكِينَ لَيَرَيَنَّ اللَّهُ مَا أَصْنَعُ» ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ،
وَانْكَشَفَ المُسْلِمُونَ، قَالَ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعْتَذِرُ إِلَيْكَ مِمَّا
صَنَعَ هَؤُلاَءِ - يَعْنِي أَصْحَابَهُ - وَأَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ
هَؤُلاَءِ، - يَعْنِي المُشْرِكِينَ - ثُمَّ تَقَدَّمَ» ، فَاسْتَقْبَلَهُ سَعْدُ
بْنُ مُعَاذٍ، فَقَالَ: «يَا سَعْدُ بْنَ مُعَاذٍ، الجَنَّةَ وَرَبِّ النَّضْرِ
إِنِّي أَجِدُ رِيحَهَا مِنْ دُونِ أُحُدٍ» ، قَالَ سَعْدٌ: فَمَا اسْتَطَعْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَا صَنَعَ، قَالَ أَنَسٌ: فَوَجَدْنَا بِهِ بِضْعًا وَثَمَانِينَ
ضَرْبَةً بِالسَّيْفِ أَوْ طَعْنَةً بِرُمْحٍ، أَوْ رَمْيَةً بِسَهْمٍ
وَوَجَدْنَاهُ قَدْ قُتِلَ وَقَدْ مَثَّلَ بِهِ المُشْرِكُونَ، فَمَا عَرَفَهُ
أَحَدٌ إِلَّا أُخْتُهُ بِبَنَانِهِ قَالَ أَنَسٌ: " كُنَّا نُرَى أَوْ
نَظُنُّ أَنَّ هَذِهِ الآيَةَ نَزَلَتْ فِيهِ وَفِي أَشْبَاهِهِ: {مِنَ
المُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ} [الأحزاب: 23]
إِلَى آخِرِ الآيَةِ
(109) Dari Anas
radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Pamanku Anas bin Nadhr tidak hadir dalam perang
Badar, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah absen pada peperangan
pertama kali yang engkau lakukan terhadap kaum musyrik. Jika Allah
menghadirkanku dalam peperangan melawan kaum musyrik, maka Allah akan
memperlihatkan apa yang akan aku lakukan.” Maka pada perang Uhud, saat kaum
muslim terpukul mundur, Anas berkata, “Ya Allah, aku meminta uzur kepada-Mu
dari tindakan yang dilakukan mereka ini –maksudnya para sahabatnya karena
mundur-, dan aku berlepas diri dari tindakan yang dilakukan mereka itu –
maksudnya kaum musyrik-,” ia pun maju, lalu ia bertemu Sa’ad bin Mu’adz dan
berkata, “Wahai Sa’ad bin Mu’adz, demi Tuhan Nadhr, sesunguhnya aku mencium
surga di balik bukit Uhud.” Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak sanggup
melakukan seperti yang dilakukannya.” Anas berkata, “Lalu kami temukan ada
delapan puluh lebih sayatan pedang, tusukan tombak, atau lemparan panah. Kami
temukan dirinya telah terbunuh dan telah dicincang kaum musyrik, sehingga tidak
ada yang mengenalinya selain saudarinya melalui jari-jemarinya.” Anas berkata,
“Kami mengira, bahwa ayat ini turun berkenaan dirinya dan orang-orang yang
semisalnya, yaitu, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah…dst. (QS. Al Ahzab:
23).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid:
1. Keutamaan
mengorbankan jiwa dan raga dalam berjihad fi sabilillah.
2. Seorang
mukmin menepati janjinya meskipun berat.
3. Tingginya
keimanan Anas bin Nadhr
4. Seorang
mujahid sejati terkadang sempat mencim wangnya surga, sehingga hal itu
mendorongnya untuk melanjutnya jihadnya fi sabilillah. Hal ini merupakan bentuk
peneguhan Allah Azza wa Jalla kepadanya.
5. Bolehnya
menghukumi berdasarkan tanda-tandanya.
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " لَمَّا
نَزَلَتْ آيَةُ الصَّدَقَةِ، كُنَّا نُحَامِلُ، فَجَاءَ رَجُلٌ فَتَصَدَّقَ
بِشَيْءٍ كَثِيرٍ، فَقَالُوا: مُرَائِي، وَجَاءَ رَجُلٌ فَتَصَدَّقَ بِصَاعٍ،
فَقَالُوا: إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنْ صَاعِ هَذَا، فَنَزَلَتْ: {الَّذِينَ
يَلْمِزُونَ المُطَّوِّعِينَ مِنَ المُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لاَ
يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ} [التوبة: 79] " الآيَةَ
(110) Dari Abu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Ketika turun ayat untuk bersedekah, maka
kami menjadi pengangkut barang dengan menerima upah, lalu ada seorang yang
bersedekah dalam jumlah banyak, kemudian orang-orang (munafik) berkata, “Dia
riya,” dan ada pula seorang yang datang bersedekah membawa satu sha’, lalu
orang-orang (munafik) berkata, “Sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap satu
sha’ ini,” maka turunlah ayat (yang artinya), “(Orang-orang munafik) yaitu
orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan
sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan)
selain sekedar kesanggupannya, …dst.” (QS. At Taubah: 79)
Fawaid:
1. Ketakwaan
para sahabat, dan segeranya mereka mengerjakan kebaikan.
2. Mengerjakan ketaatan sesuai kemampuan.
3. Tidak perlu
memperhatikan celaan kaum munafik.
4. Di antara
sifat kaum munafik adalah mencela orang yang berbuat baik.
5. Dorongan
bersedekah meskipun sedikit.
6. Tidak
meremehkan perkara ma’ruf meskipun ringan.
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِيْهِ
عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ : يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ
الظُّلْمَ عَلىَ نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً، فَلاَ تَظَالَمُوا .
يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ
مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ . يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ
إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِي أَطْعِمْكُمْ . يَا عِبَادِي
كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِي أَكْسُكُمْ . يَا
عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ
الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي
إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي
فَتَنْفَعُوْنِي . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ
وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ
ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ
وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ
مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً . يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ
وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِي
فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ
مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمَخِيْطُ إِذَا
أُدْخِلَ الْبَحْرَ . يَا عِبَادِي
إِنَّمَا هِيَ أَعَمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوْفِيْكُمْ إِيَّاهَا
فَمَنْ وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمَدِ
اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ .
(111) Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu anhu dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam riwayatnya yang berasal dari
Tuhannya ‘Azza wa Jalla; bahwa Dia berfirman,
“Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan
menjadikan perbuatan itu haram dilakukan antara sesama kamu, maka janganlah
kamu saling berlaku zalim. Wahai hamba-Ku! Kamu
semua tersesat selain orang yang Aku berikan
hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan hidayah
kepadamu. Wahai hamba-Ku! Kamu semuanya kelaparan selain orang yang Aku berikan
kepadanya makanan, maka mintalah makan kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan
kamu makanan. Wahai hamba-Ku! Kamu semuanya tidak berpakaian selain orang yang
Aku berikan kepadanya pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan
berikan kamu pakaian. Wahai hamba-Ku! Kamu semuanya melakukan kesalahan di
malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun
kepada-Ku niscaya Aku akan ampuni. Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya tidak ada
bahaya yang dapat kamu lakukan kepada-Ku sebagaimana tidak adanya manfaat yang
dapat kamu berikan kepada-Ku. Wahai hamba-Ku! Seandainya orang yang pertama di
antara kamu sampai orang yang terakhir, dari kalangan manusia dan jinnya
semuanya berada dalam keadaan paling bertakwa di antara kamu, niscaya hal
tersebut tidak menambah kerajaan-Ku sedikitpun.
Wahai hamba-Ku, seandainya orang yang pertama di antara kamu sampai
orang yang terakhir, dari kalangan manusia dan jinnya, semuanya berhati jahat
seperti jahatnya salah seorang di antara kamu, niscaya hal itu tidak akan
mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun juga. Wahai hamba-Ku! Seandainya orang yang pertama di antara kamu sampai
orang yang terakhir semuanya berdiri di sebuah bukit lalu meminta kepada-Ku,
kemudian setiap orang yang meminta Aku penuhi, niscaya hal itu tidak mengurangi
apa yang ada pada-Ku selain bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan ke dalam
lautan. Wahai hamba-Ku! Sesungguhnya semua perbuatan kamu akan Aku jumlahkan
untuk kamu kemudian Aku berikan balasan. Barang siapa yang mendapatkan kebaikan
maka hendaklah dia memuji Allah dan barang siapa yang mendapatkan selainnya,
maka janganlah ada yang dicela selain dirinya.” Sa’id berkata, “Abu Idris apabila
menyampaikan hadits ini, maka ia bertekuk lutut.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi berkata, “Kami riwayatkan dari Imam Ahmad
bin Hanbal rahimahullah, ia berkata, “Penduduk Syam tidak memiliki
hadits yang lebih mulia daripada hadits ini.”
Fawaid:
1. Allah Mahaadil
dan tidak pernah berbuat zalim.
2. Haramnya
berbuat zalim dan
wajibnya berlaku adil dalam semua perkara.
3.
Disyariatkannya mencari hidayah sambil memohon kepada Allah Azza wa Jalla.
4. Rezeki di
Tangan Allah, maka harus dicari dengan cara-cara yang halal sambil memohon
kepada Allah kemudahannya.
5. Seorang hamba
butuh kepada Allah dalam segala urusannya, maka hendaknya terus meminta
kepada-Nya agar dipenuhi kebutuhannya baik besar maupun kecil.
6. Allah
Mahakaya tidak membutuhkan alam semesta. Ketaatan tidak bermanfaat apa-apa
bagi-Nya, dan kemaksiatan sama sekali tidak merugikan-Nya, akan tetapi Dia
mencintai keimanan dan ketaatan bagi hamba-hamba-Nya, dan membenci kekufuran
dan kemaksiatn bagi mereka.
7. Luasnya
rahmat Allah, kalau sekiranya setiap dosa langsung diberikan hukuman, tentu
tidak ada satu pun makhluk yang masih tersisa, akan tetapi Dia tunda sampai
waktu tertentu untuk dijumlahkan dan diberikan balasan.
8. Allah senang
diminta.
9.
Kemurahan Allah dan ihsan-Nya, dimana Dia tetap mengajak hamba-hamba-Nya -meskipun
mereka berbuat zalim dengan berbuat maksiat dan dosa- agar meminta maaf dan
memohon ampunan-Nya.
10. Manusia
diberikan pilihan dalam tindakannya, sehingga ia dihisab karenanya dan dicela
saat meremehkan hak Allah Ta’ala.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa
alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji': Tathriz Riyadh Ash Shalihin (Syaikh Faishal bin
Abdul Aziz An Najdiy), Syarh Riyadh Ash Shalihin (Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin), Bahjatun
Nazhirin (Salim bin ’Ied Al Hilaliy), Al Maktabatusy Syamilah
versi 3.45, dll.