Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Sudah menjadi kebiasaan
di masyarakat kita melantunkan syair-syair atau bacaan-bacaan tertentu dengan
pengeras suara antara azan dan iqamat. Namun apakah perbuatan tersebut sesuai
dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau tidak? Nah, maka
pada kesempatan kali ini insya Allah penulis akan menerangkan amalan yang
sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam antara azan dan
iqamat, semoga Allah menjadikan tulisan ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamin.
Jika kita
melihat Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kita akan
temukan, bahwa sunnah Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yang dilakukan
antara azan dan iqamat adalah melakukan
shalat sunnah dan memanfaatkan waktu tersebut dengan berdoa.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«بَيْنَ
كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، ثَلاَثًا لِمَنْ شَاءَ»
"Antara dua azan (azan dan iqamat)
ada shalat." Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali dan menambahkan,
"Bagi siapa yang mau." (HR. Bukhari dan Muslim)
Di samping itu,
antara azan dan iqamat merupakan waktu pelaksanaan shalat sunah rawatib, baik
yang mu'akkadah (ditekankan), seperti dua rakaat sebelum Subuh dan dua rakaat
atau empat rakaat sebelum Zhuhur, maupun yang ghairu mu'akkadah (tidak begitu
ditekankan), seperti dua rakaat atau empat rakaat sebelum Ashar, dua rakaat
sebelum Maghrib, dan dua rakaat sebelum Isya.
Adapun dalil
bahwa antara azan dan iqamat disyariatkan berdoa adalah sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam,
«لَا يُرَدُّ
الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ»
"Doa antara azan dan iqamat tidak
ditolak." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Hibban, dan
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 3408)
Tentang hadits
ini penyusun kitab Subulussalam berkata, "Hadits tersebut
menunjukkan dikabulkannya doa di waktu-waktu ini, karena tidak ditolak berarti
dikabulkan dan diijabahkan. Dan hadits tersebut umum untuk semua doa, namun
tetap harus dibatasi berdasarkan hadits-hadits yang lain, yaitu selama doanya
tidak mengandung dosa atau memutuskan tali silaturrahim."
Dan perlu
diketahui, bahwa urutan yang dilakukan setelah menjawab panggilan azan adalah
bershalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ،
فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ
صَلَاةً صَلَّى الله عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوا اللهَ لِيَ الْوَسِيلَةَ،
فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ، لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ
اللهِ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ
لَهُ الشَّفَاعَةُ
"Apabila kalian mendengar muazin,
maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muazin, kemudian bershalawatlah
kepadaku. Sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku satu shalawat
saja, maka Allah akan membalasnya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah kepada
Allah untukku wasilah, karena ia adalah sebuah kedudukan di surga yang tidak
patut diberikan kecuali untuk salah seorang di antara hamba Allah. Aku berharap
orang itu adalah aku. Barang siapa yang memintakan wasilah untukku, maka ia
akan mendapatkan syafaatku." (HR. Muslim)
Menurut
Ibnul Qayyim dalam Al Hadyu, bahwa ucapan shalawat yang paling lengkap
adalah ucapan shalawat yang diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
umatnya, karena tidak ada ucapan shalawat yang lebih sempurna daripadanya.
Ucapan
shalawat yang diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ada beberapa
macamnya, di antaranya seperti dalam hadits Ka'ab bin Ujrah radhiyallahu 'anhu berikut,
ia berkata,
قَدْ عَرَفْنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ
عَلَيْكَ فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ؟ قَالَ: «قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ،
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ،
اللهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ
إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ»
"Kami telah
mengetahui bagaimana mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana kami
bershalawat kepadamu?" Beliau menjawab: "Katakanlah, "Allahumma
shalli 'alaa Muhammad…dst." (artinya: “Ya
Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad,
sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada keluarga Ibrahim,
sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berilah keberkahan
kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah
memberikan keberkahan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau maha Terpuji
lagi Maha Mulia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika kita memperhatikan
hadits di atas, kita dapat mengetahui bahwa para sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam tidak berani membuat bacaan shalawat tertentu, bahkan mereka
bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang cara bershalawat
kepada Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mengapa sebagian orang berani
membuat shalawat kemudian menganjurkan manusia untuk membacanya, seperti
shalawat Badar, shalawat Nariyah, dan sebagainya?
Adapun permintaan wasilah
yang diperintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam agar kita memintakannya,
telah diajarkan juga oleh Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu
mengucapkan:
اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ
التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ
وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ
“Ya Allah,
Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, pemilik shalat yang akan ditegakkan.
Berikanlah kepada Muhammad wasiilah (derajat tinggi) dan keutamaan,
bangkitkanlah ia ke tempat yang terpuji (maqam mahmud) yang telah Engkau
janjikan[i].”
(HR. Empat orang penyusun kitab Sunan)
Dan
tidak ada tambahan "sayyidina" dalam doa tersebut, demikianlah yang
disebutkan dalam hadits.
Selanjutnya,
kita melakukan shalat sunnah, dan setelah shalat sunnah kita berdoa dengan doa
apa saja yang kita inginkan selama tidak mengandung dosa dan memutuskan tali
silaturrahim. Namun sebaik-baik doa
yang kita panjatkan adalah meminta 'afw (dihapuskan dosa) dan 'afiyat
(keselamatan dalam agama dari fitnah dan keselamatan pada diri dari penyakit
dan ujian yang berat). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اسْأَلُوا اللَّهَ العَفْوَ
وَالعَافِيَةَ، فَإِنَّ أَحَدًا لَمْ يُعْطَ بَعْدَ اليَقِيْنِ خَيْرًا مِنَ العَافِيَةِ
"Mintalah kepada
Allah 'afw dan 'afiyat. Sesungguhnya seseorang tidaklah diberikan pemberian
yang lebih baik setelah keyakinan daripada 'afiyat." (HR. Ahmad dan
Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 3632)
Oleh
karena waktu antara azan dan iqamat disyariatkan melakukan shalat sunnah atau
berdoa, maka hendaknya jarak antara azan dan iqamat tidak terlalu cepat di
samping tidak terlalu lama sekali. Ibnu Baththal berkata, "Tidak ada
batasan jaraknya selain memberikan kesempatan masuk pada waktunya dan
berkumpulnya orang-orang yang shalat." Yang demikian untuk memberikan
kesempatan orang-orang yang berada di rumah pergi ke masjid dan dapat berkumpul
bersama, demikian pula agar orang-orang bisa melakukan shalat sunat, dan
sebagainya. Selanjutnya, ketika imam datang, maka iqamat dikumandangkan, dan hendaknya
makmum tidak berdiri sampai melihat imam datang. Al Hafizh berkata,
"Dipadukan antara kedua hadts itu (yang disebutkan oleh Al Hafizh), yaitu
bahwa Bilal memperhatikan waktu keluarnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam (dari rumah). Ketika ia telah melihat Beliau, maka ia segera iqamat
sebelum orang-orang melihat Beliau. Kemudian setelah orang-orang melihat
Beliau, mereka pun berdiri."
Demikianlah
Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tetapi
apabila imam sudah berada di masjid, maka menurut sebagian besar ulama, bahwa
makmum tidak berdiri sampai iqamat selesai dikumandangkan. Menurut Imam malik,
bahwa berdirinya orang-orang (makmum) ketika diiqamatkan tidak ada batasannya,
bahkan menurutnya sesuai kemampuan manusia, karena di antara mereka ada yang
berat (berdiri) dan ada yang ringan. Adapun Anas, maka ia berdiri ketika orang
yang iqamat telah mengucapkan "Qadqaamatish shalah,"
(sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dan lainnya). Menurut Ibnul
Musayyib, "Apabila yang iqamat mengucapkan "Allahu akbar,"
maka makmum harus berdiri. Apabila yang iqamat telah mengucapkan, "Hayya
'alash shalah," maka shaf-shaf diratakan, dan apabila yang iqamat
mengucapkan, "Laailaahaillallah," maka imam bertakbir."
Namun pendapat ini sebagaimana diterangkan Imam Ash Shan'aniy dalam Subulussalam
adalah sekedar pendapat beliau saja, dan tidak disebutkan Sunnahnya (dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam). Di antara pendapat-pendapat tersebut, tampaknya
pendapat Imam Malik sangat tepat, wallahu a'lam.
Saudaraku,
inilah petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dilakukan antara azan
dan iqamat. Oleh karena itu, apa yang dilakukan sebagian saudara kita berupa
melantunkan pujian-pujian atau syair-syair dengan pengeras suara adalah perbuatan
yang tidak benar, menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
dan merupakan perkara yang baru (bid'ah) dalam agama ini, terlebih hal itu
dilakukan ketika ada yang sedang shalat sunat, maka lebih tidak dibenarkan lagi.
Jika mengeraskan bacaan Al Qur'an saja ketika ada yang shalat diperintahkan
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk dipelankan, apalagi ini pujian-pujian
dan syair-syair atau shalawat-shalawat buatan yang bahkan di antaranya ada yang
mengandung syirk seperti dalam shalawat nariyah. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا
قَامَ فِي الصَّلَاةِ، فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ، فَلْيَعْلَمْ أَحَدُكُمْ مَا يُنَاجِي
رَبَّهُ، وَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقِرَاءَةِ فِي الصَّلَاةِ
"Sesungguhnya salah
seorang di antara kamu ketika berdiri shalat sedang bermunajat dengan Tuhannya,
maka hendaknya salah seorang di antara kamu mengetahui apa munajatnya, dan
janganlah satu sama lain mengeraskan bacaan dalam shalat." (HR. Ahmad, dan
dinyatakan isnadnya shahih oleh Pentahqiq Musnad).
Demikianlah
pembahasan tentang amalan yang dilakukan antara azan dan iqamat, semoga Allah
menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa
aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji: Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, Al
Mausu'ah Al Haditsiyyah Al Mushaghgharah, Al Qaulul Mubin fii Akhthaa'il
Mushallin, dll.
Tambahan Risalah
Kesalahan
yang terjadi antara azan dan Iqamat
Alhamdulilah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ala
alihihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du:
Sebagian orang awam ketika berada antara azan dan iqamat ada yang
melantunkan atau menyanyikan puji-pujian dan sholawat yang tidak syar’i dengan
pengeras suara padahal di sana ada ada orang yang sedang melakukan shalat. Hal
ini adalah keliru, karena beberapa alasan di bawah ini:
1.
Antara azan dan iqamat disyariatkan melakukan shalat
sunah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Baina kulli
adzanain shalah” (antara azan dan iqamat ada shalat) HR. Bukhari dan
Muslim. Dan Ketika ada yang sedang shalat kita dilarang mengeraskan suara agar
saudara kita dapat khusyu dalam shalatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ
الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يُنَاجِيْهِ وَ لاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ
عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ
“Sesungguhnya orang yang sedang shalat sedang bermunajat kepada
Rabbnya, maka hendaknya ia perhatikan
munajatnya itu, dan janganlah sebagian kalian mengeraskan bacaan Al Qur’an
kepada sebagian yang lain (yang sedang shalat).” (HR. Thabrani, Shahihul
Jami no. 1951)
Sangat disayangkan, anak-anak dilarang berisik di dalam masjid
karena ada yang sedang shalat sunah, tetapi orang yang menyanyikan puji-pujian
dengan pengeras suara dibiarkan, padahal suaranya lebih keras daripada
anak-anak.
2. Antara azan dan
iqamat di samping ada shalat sunah, juga merupakan saat yang mustajab untuk
berdoa (berdasarkan hadits Anas yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan
lain-lain, lihat Shahihul Jami no. 3408). Oleh karena itu, menggunakan
waktu ini untuk melantunkan atau menyanyikan puji-pujian adalah menyelisihi
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Jika seseorang
berkata, “Kami menyanyikan doa ini adalah sebagai bentuk memanfaatkan waktu
antara azan dan iqamat dengan berdoa,” Kita jawab, “Allah menyuruh kita berdoa
dengan sikap tadharru (merendah diri) dan suara yang lembut, tidak dengan cara
bersenandung. Dia berfirman, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri
dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” (Terj. QS. Al A’raf: 55)
4. Jika seseorang
berkata, “Tetapi ini ‘kan baik?” Kita jawab, “Kalau hal itu baik, tentu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkannya, dan para
sahabat telah melakukannya. Di samping itu, pada saat tersebut adalah saat
dimana seseorang dianjurkan melakukan shalat sunah dan berdoa oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalau anda memanfaatkannya dengan bersenandung
berarti anda keliru dan menyelisihi perintah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Padahal bukti cinta keada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
dengan mengikuti sunnah Beliau, tidak cukup hanya di lisan.
5. Terkadang
sebagian orang awam melantunkan puji-pujian dan sholawatan yang tidak diajarkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti melantunkan shalawat nariyah,
yaitu “Allahumma shalli shalatan wa sallam salaman tamma ‘ala sayidina
Muhammadiniladzi tanhallu bihil uqad…dst.” Shalawat ini di samping tidak
diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga di
dalamnya terdapat kemusyrikan, yaitu pada kata “tanhallu bihil uqadu wa
tanfariju bihil kurab,” dimana di sana dinyatakan, bahwa karena Nabi semua
ikatan lepas dan karena Nabi semua penderitaan hilang. Padahal yang
menghilangkan penderitaan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan demikian, melantunkan puji-pujian antara azan dan iqamat
dengan pengeras suara padahal ada yang sedang shalat adalah perbuatan yang
keliru, menyelisih petunjuk Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam, bahkan melanggar
perintah Beliau untuk tidak mengganggu orang yang sedang shalat. Maka hendaknya
mereka berhenti dari sikapnya ini setelah mengetahui.
Wallahu a’lam.
Wa shalllahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan Hadidi, M.PdI
[i] Dalam As Sunan Al
Kubra oleh Baihaqi ditambahkan, "Innaka laa tukhliful mii'aad, "
namun menurut Syaikh Masyhur dalam Al Qaulul Mubin, bahwa tambahan
tersebut adalah syadz, karena tidak disebutkan dalam semua jalur hadits itu dari
Ali bin Iyasy, kecuali dalam riwayat Al Kasymihiniy terhadap Shahih Bukhari
namun menyelisihi yang lain, sehingga menjadi syadz karena menyelisihi riwayat
yang lain terhadap Shahih Bukhari.