بسم الله الرحمن الرحيم
Mengqadha Shalat
Segala puji bagi Allah Rabbul
'alamin, shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang
yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
pembahasan tentang mengqadha shalat, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah
ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Mengqadha
Shalat
Mengqadha
shalat maksudnya melaksanakan shalat setelah lewat waktunya.
Para
ulama sepakat, bahwa mengqadha shalat hukumnya wajib bagi orang yang lupa dan
tidur berdasarkan sabda Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam,
«إِنَّهُ
لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي اليَقَظَةِ، فَإِذَا نَسِيَ
أَحَدُكُمْ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا»
“Sesungguhnya tidur itu bukan meremehkan.
Meremehkan hanyalah ketika jaga (tidak tidur). Jika salah seorang di antara
kamu lupa shalat atau tertidur, maka hendaklah ia shalat ketika ingat.” (Hr.
Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Orang
yang pingsan tidak perlu mengqadha, kecuali jika ia sadar di saat masih ada
waktu untuk melakukan wudhu dan masuk ke dalam shalat.
Abdurrazzaq
meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Nafi, bahwa Ibnu Umar suatu
kali merasakan sakit yang membuat dirinya tidak sadar hingga ia meninggalkan
shalat. Ketika ia sadar, maka ia tidak melakukan shalat yang ditinggalkannya.
Dari
Ibnu Juraij, dari Ibnu Thawus, dari ayahnya, bahwa apabila orang yang sakit
pingsan, lalu sadar, maka ia tidak perlu mengulangi (mengqadha) shalatnya.
Ma’mar
berkata, “Aku pernah bertanya kepada Az Zuhri tentang orang yang pingsan, ia
menjawab, “Tidak perlu mengqadha.”
Dari
Hammad bin Salamah, dari Yunus bin Ubaid, dari Al Hasan Al Bashri dan Muhammad
bin Sirin, bahwa keduanya menyatakan tentang orang yang pingsan, “Dia tidak
perlu mengulang (mengqadha) shalat yang ketinggalan olehnya selama pingsannya
itu.”
Adapun
orang yang sengaja meninggalkan shalat, maka menurut jumhur ulama, bahwa ia
berdosa, dan ia harus mengqadha.
Ibnu
Taimiyah berkata, “Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tidak
disyariatkan mengqadha, dan tidak sah, bahkan hendaknya ia memperbanyak shalat
sunah.”
Ibnu
Hazm membahas secara mendalam tentang masalah ini, dan berikut ringkasannya:
Orang
yang sengaja meninggalkan shalat hingga lewat waktunya tidak bisa diqadha
selamanya. Akan tetapi, hendaknya ia memperbanyak amalan kebaikan dan shalat
sunah agar timbangan kebaikannya berat pada hari Kiamat, dan hendaknya ia
bertaubat serta beristighfar kepada Allah Azza wa Jalla.
Akan
tetapi, menurut Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i, bahwa orang itu harus
mengqadhanya meskipun telah lewat waktunya. Bahkan Malik dan Abu Hanifah
berpendapat, barang siapa yang sengaja meninggalkan shalat atau beberapa
shalat, maka ia harus melakukannya sebelum tiba waktu shalat berikutnya jika
yang sengaja ia tinggalkan adalah lima kali atau kurang dari itu baik waktu
yang hadir itu sudah lewat atau belum. Apabila yang ia tinggalkan lebih dari
lima kali shalat, maka ia memulai shalat yang hadir waktunya. (Demikian
pendapat para imam).
Bukti
benarnya pendapat kami (Ibnu Hazm tentang tidak perlu mengqadha), adalah firman
Allah Ta’ala,
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
(4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,--(yaitu) orang-orang yang lalai
dari shalatnya,”
(Qs. Al Maa’un: 4-5)
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ
خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, mereka kelak akan menemui kesesatan,” (Qs. Maryam: 59)
Jika
sekiranya orang yang sengaja meninggalkan shalat masih dapat melakukan shalat
setelah lewat waktunya tentu ia tidak akan diancam dengan ‘wail’ (kecelakaan)
dan tidak akan diancam dengan ‘menemui kesesatan’ sebagaimana ‘wail’ dan
‘kesesatan’ tidak tertuju kepada orang yang menundanya hingga akhir waktunya
dimana ia dapat mengejarnya.
Di
samping itu, Allah Ta’ala telah menjadikan untuk setiap shalat fardhu waktu
yang telah ditetapkan awal dan akhirnya; masuk kapan waktunya dan akan batal di
waktu tertentu, sehingga tidak ada perbedaan antara orang yang shalat sebelum
tiba waktunya dan setelah lewat waktunya, karena keduanya shalat di luar waktu,
dan ini bukanlah maksudnya mengqiaskan yang satu dengan yang lain, bahkan
keduanya sama dalam hal melampaui batasan Allah Azza wa Jalla, Dia berfirman,
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ
اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
“Barang
siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri.” (Qs.
Ath Thalaq: 1)
Selain
itu qadha juga penetapan kewajiban yang syar’i, sedangkan syara tidak boleh
ditetapkan selain oleh Allah Azza wa Jalla melalui lisan Rasul-Nya shallallahu
alaihi wa sallam. Oleh karena itu, kami bertanya kepada orang yang mewajibkan
qadha bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, ‘Beritahukanlah kepada
kami shalat yang engkau perintahkan untuk dikerjakan; apakah termasuk yang
diperintahkan Allah atau tidak?’ Jika mereka mengatakan bahwa yang
memerintahkan adalah syara, maka kami katakan, “Kalau demikian, orang yang
sengaja meninggalkannya bukanlah orang yang berbuat maksiat, karena dia telah
mengerjakan perintah Allah Azza wa Jalla, dan tidak berdosa –jika melihat
pendapat kalian- serta tidak ada celaan bagi orang yang sengaja meninggalkan
shalat hingga lewat waktunya. Tentunya hal ini tidak akan diucapkan oleh
seorang muslim.
Jika
mereka mengatakan, “Itu bukan termasuk yang diperintahkan Allah Ta’ala.” Maka kita katakan, “Kalian benar.”
Dengan
demikian, jawaban ini sudah cukup kalau mereka mau mengakui, bahwa yang mereka
perintahkan bukanlah perintah Allah Azza wa Jalla.
Selanjutnya
kami bertanya kepada mereka tentang orang yang sengaja meninggalkan shalat
setelah lewat waktunya, “Apakah hal itu merupakan ketaatan atau kemaksiatan?”
Jika mereka mengatakan sebuah ketaatan, maka berarti mereka telah menyelisihi
ijma kaum muslimin semuanya yang telah pasti serta menyelisihi Al Qur’an dan As
Sunnah yang shahih, dan jika mereka mengatakan, bahwa itu adalah maksiat, maka
mereka benar, dan termasuk hal yang batil jika kemaksiatan menggantikan
ketaatan.
Selain
itu, Allah Ta’ala juga telah menetapkan waktu-waktu shalat melalui lisan
Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan menjadikan shalat pada waktunya masing-masing;
bukan sebelum dan bukan setelahnya. Hal ini termasuk hal yang tidak
diperselisihkan oleh seorang pun dari umat ini. Kalau sekiranya boleh
mengerjakan shalat setelah lewat waktunya tentu tidak ada faedahnya Rasulullah
shalallallahu alaihi wa sallam menentukan akhir waktunya, dan hanya ucapan
sia-sia, Mahasuci Allah dari hal tersebut.
Di
samping itu, semua amal dikaitkan dengan waktu tertentu yang tidak sah di luar
waktunya. Jika sah di luar waktunya, maka berarti waktu-waktu itu bukanlah
waktunya, dan ini cukup jelas, wa billahit taufiq.
Selanjutnya
Ibnu Hazm –setelah berbicara secara panjang lebar- berkata, “Kalau sekiranya
mengqadha shalat itu wajib bagi orang yang meninggalkan shalat setelah lewat
waktunya, tentu Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam tidak
akan membiarkannya dan pasti akan menerangkannya, padahal Dia tidak pernah lupa,
dan syariat yang tidak ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah batil.
Telah
shahih dari Nabi shalllallahu alaihi wa sallam, bahwa barang siapa yang
tertinggal dari shalat Ashar, maka seakan-akan ia kehilangan keluarga dan
hartanya, sehingga benarlah bahwa orang yang telah tertinggal itu tidak bisa
mengejarnya. Jika ia bisa melakukan yang telah luput itu, sebagaimana orang
yang lupa, maka berarti bukan luput. Hal ini tidak perlu dipermasalahkan lagi,
umat juga sepakat bahwa shalat itu apabila telah lewat waktunya berarti ia
telah luput berdasarkan ijma yang telah yakin, dan jika masih bisa diqadha dan
dilakukan, berarti pernyataan shalat itu telah luput adalah dusta dan batil.
Maka dapat dipastikan, bahwa tidak mungkin mengqadha shalat selamanya.
Di
antara ulama yang sependapat dengan kami adalah Umar bin Khaththab dan
puteranya Abdullah, Sa’ad bin Abi waqqash, Salman Al Farisi, Ibnu Mas’ud. Al
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Badil Al Uqailiy, Muhammad bin Sirin, Mutfharrif bin Abdullah,
Umar bin Abdul Aziz, dan lain-lain.
Ibnu
Hazm juga menyatakan, bahwa Allah Ta’ala sama sekali tidak memberikan udzur
menunda shalat hingga lewat waktunya bagi mereka yang diperintahkan shalat
dalam keadaan bagaimana pun, baik dalam pertempuran atau peperangan, kondisi
mengkhawatirkan, sakit, atau safar. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ
لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ
“Dan
apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka
berdiri (shalat) besertamu…dst. (Qs. An Nisaa: 102)
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا
أَوْ رُكْبَانًا
“Jika
kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan.“
(Qs. Al Baqarah: 239)
Allah
tidak memberikan kesempatan menunda shalat hingga lewat waktunya bagi orang
yang sakit betapa pun berat sakitnya, bahkan Dia memerintahkan bahwa jika orang
sakit tidak sanggup berdiri, boleh shalat sambil duduk, jika tidak sanggup
duduk, boleh shalat sambil berbaring, dan boleh dengan tayammum jika tidak ada
air, dan boleh pula tanpa tayammum jika tidak mampu menggunakan debu. Di
manakah keterangan yang membolehkan meninggalkan shalat sampai lewat waktunya,
lalu ia menyuruhnya mengqadha shalat setelah lewat waktu, dan menyatakan bahwa
hal itu cukup? Hal ini tidak dijumpai baik dalam Al Qur’an, As Sunnah yang
shahih maupun yang dhaif, pendapat sahabat, maupun qiyas.
Ibnu
Hazm melanjutkan pernyataannya, adapun pendapat kami bahwa orang yang sengaja
meninggalkan shalat hingga lewat waktunya harus bertaubat, memohon ampunan
kepada Allah Azza wa Jalla, serta memperbanyak amalan sunat, maka berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ
خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
(59) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ
وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا (60)
“Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, mereka kelak akan menemui kesesatan,--Kecuali
orang yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk
surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun,” (Qs. Maryam: 59-60)
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا
فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
“Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
mereka.”
(Qs. Ali Imran: 135)
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)
“Barang
siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya.--Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun,
niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Qs. Az Zalzalah: 7-8)
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ
لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا
“Kami
akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidaklah dirugikan
seseorang barang sedikitpun.” (Qs. Al Anbiya: 47)
Para
ulama juga telah sepakat, dan itu pula yang ditunjukkan oleh nash-nash
seluruhnya, yaitu bahwa amalan sunah memiliki kebaikan yang hanya Allah
mengetahui kadar jumlahnya, demikian pula amalan fardhu juga memiliki kebaikan
yang hanya Allah yang mengetahui kadar jumlahnya.
Oleh
karena itu, tentu saja bagian dari yang sunah ini jika banyak dapat mengimbangi
bagian dari yang fardhu dan menambahkannya. Di samping itu, Allah Ta’ala juga
telah memberitahukan, bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang
beramal dan bahwa kebaikan dapat menghapuskan kesalahan (Lihat Fiqhus Sunnah
tentang Qadha’ush Shalah).
Wallahu a’lam wa
shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Maktabah Syamilah versi
3.45, dll.