بسم
الله الرحمن الرحيم
Pengantar Ilmu Balaghah (1)
Mengenal Tingginya Sastra Al Qur’an
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin,
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pengantar
ilmu Balaghah agar kita mengetahui tingginya sastra Al Qur’an, semoga Allah
menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
FASHAHAH
Fashahah (fasih) adalah suatu sifat
terhadap kata, kalam (kalimat), dan pembicara apabila terpenuhi syarat-syarat
fasih.
Syarat[1]
fasih pada kata adalah ketika kata itu selamat dari
tanafurul huruf (huruf-huruf yang sulit diucapkan), tidak menyalahi qiyas
(kaidah sharaf/pada umumnya), dan tidak sebagai kata yang gharib (asing).
Contoh tanafurul huruf adalah kata “ اَلظَّشُّ ” (tempat yang kasar) dan “ هُعْخُعٌ ”
(tumbuhan makanan unta) .
Contoh menyalahi qiyas adalah kata “ مَوْدَدَةٌ
” (kecintaan) pada kalimat berikut:
إِنَّ بَنَيَّ
لَلِّئَامُ زَهَدَهْ
مَالِيْ
فِي صُدُوْرِهِمْ مِنْ مَوْدَدَهْ
Sesungguhnya anak-anakku benar-benar tercela,
mereka tidak suka berbakti kepada orang tua, karena tidak ada kecintaan mereka
kepadaku.
kata “
مَوْدَدَةٌ ” seharusnya
“ مَوَدَّةٌ “.
Sedangkan contoh kata yang gharib adalah kata
“ اِفْرَنْقَعَ ” (artinya: kembali/pergi) dan “ تَكَأْكَأَ ” (artinya: berkumpul).
Syarat fasih pada kalam (kalimat) adalah ketika kalimat itu selamat dari tanafurul kalimat
(sulit dibaca di lisan kalimat itu), selamat dari susunan yang lemah (tidak
mengikuti kaidah Nahwu yang masyhur), dan selamat dari ta’qid (maksudnya tidak
jelas) meskipun kata-katanya fasih.
Contoh tanafurul kalimat:
وَلَيْسَ
قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْرُ
Artinya: Tidak ada di dekat kuburan Harb
sebuah kuburan.
Contoh susunan kalimat yang lemah adalah
menyebutkan dhamir (k. Ganti nama) di awal sebelum nama aslinya. Misalnya:
جَزَى
بَنُوْهُ أَبَا الْغِيْلاَنِ عَنْ كِبَرٍ
وَحُسْنِ
فِعْلٍ كَمَا يُجْزَى سِنِّمَارُ
Artinya: Masyarakatnya memberi Abul Ghilan
balasan karena ia telah tua di samping perbuatannya yang baik, namun balasannya
seperti Sinimmar dibalas (perbuatan baiknya dibalas dengan keburukan).
Sedangkan Ta’qid (tidak jelas
maksudnya) bisa pada lafaz, seperti:
جَفَخَتْ
وَهُمْ لاَ يَجْفَخُوْنَ ِبهَا
بِهِمْ
شِيَمٌ
عَلَى الْحَسَبِ الْأَغَرِّ دَلاَئِلُ
Artinya: kemegahan telah ada pada mereka yang
menunjukkan martabat mulia. Tetapi mereka tidak sombong dengan kemegahan itu.
Susunan seharusnya adalah:
جَفَخَتْ
بِهِمْ شِيَمٌ دَلاَئِلُ عَلَى الْحَسَبِ الْأَغَرِّ وَهُمْ لاَ
يَجْفَخُوْنَ ِبهَا
Ta’qid
Bisa juga pada makna karena penggunaan majaz dan kinayah (kata kiasan) yang
tidak difahami maksudnya. Contoh:
نَشَرَ
الْمَلِكُ أَلْسِنَتَهُ فِي الْمَدِيْنَةِ
Artinya: raja menyebarkan lidah-lidahnya di
kota.
Yang dimaksud “أَلْسِنَتَهُ ” adalah “ جَوَاسِيْسَهُ ” (mata-mata). Maka yang benar untuk
pemakaian kata “أَلْسِنَتَهُ ” adalah “ عُيُوْنٌ ” sehingga susunan yang tepat adalah:
نَشَرَ
الْمَلِكُ عُيُوْنَهُ...
Syarat fasih pada pembicara adalah ketika pembicara memiliki bakat yang memungkinkan
dirinya sanggup menyatakan maksud dengan perkataan yang fasih untuk tujuan apa
pun pembicaraannya.
BALAGHAH
Balaghah adalah suatu sifat pada kalam
(kalimat) dan pembicara.
Balaghah pada kalam adalah sesuainya perkataan dengan muqtadhal hal (situasi
dan kondisi), di samping fasih (dalam kata-kata dan susunannya). Bisa juga
diartikan dengan pengungkapan makna yang benar dan sesuai, dengan lafaz yang
menarik, tanpa melebihi maksud dan tidak kurang dalam penjelasan. Oleh karena
itu, ketika kalimat bertambah sesuai dengan makna, lafaznya menarik, maknanya
mengagumkan, jauh dari kata-kata yang rendah dan kotor, maka tingkat balaghah
(sastra) semakin tinggi.
Balaghah pada pembicara adalah bakat pembicara yang memungkinkannya menyatakan
maksud dengan perkataan yang tepat dalam tujuan apa pun.
Abu Isa Ar Rummani berkata, “Adapun balaghah
(sastra), maka ada tiga tingkatan. Ada yang paling tinggi, ada yang sedang, dan
ada yang di bawahnya. Yang paling tinggi itulah yang menjadi mukjizat, yaitu
balaghahnya Al Qur’an, sedangkan yang berada di bawahnya seperti balaghah para
sastrawan. Namun balaghah itu bukan hanya memahamkan makna, karena terkadang
dapat difahami juga perkataan dua orang yang berbicara, dimana yang satu fasih,
sedangkan yang satu tidak. Demikian juga balaghah bukan hanya mewujudkan lafaz
yang sesuai makna, karena terkadang lafaz sudah sesuai dengan maknanya namun
jelek dan tidak disukai, membuat jauh dan terlalu menyusahkan diri. Bahkan
balaghah adalah menyampaikan makna ke hati dengan tampilan lafaz yang paling
indah. Dengan demikian, tingkatan tertinggi balaghah adalah pada Al
Qur’an.”
Fasihnya Al Qur’an
Al Qur’an merupakan mukjizat yang kekal,
sebaik-baik perkataan, dan memiliki kefasihan pada tingkatan tertinggi, karena
memang turun dari sisi Allah yang mahabijaksana. Jika kita perhatikan ayat-ayat
Al Qur’an, maka seluruhnya bersih dari tanafurul huruf (huruf yang sulit
diucapkan) dan tanafurul kalimat (kata yang sulit diucapkan), tidak menyalahi
kaidah tata bahasa, dan tidak terdapat kata-kata yang asing.
Imam Baihaqi meriwayatkan dalam Dalailun
Nubuwwah dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Al Walid bin Mughirah
pernah datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu Beliau membacakan
Al Qur’an kepadanya hingga hatinya tersentuh. Berita ini pun sampai ke telinga
Abu Jahal sehingga membuatnya mendatangi Al Walid dan berkata, “Wahai paman!
Kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu.” Al Walid berkata, “Untuk apa?” Ia
menjawab, “Untuk memberikannya kepadamu. Karena engkau telah mendatangi
Muhammad untuk menentangnya.” Al Walid berkata, “Kaum Quraisy tahu, bahwa aku
adalah orang yang paling kaya hartanya.” Abu Jahal berkata, “Katakanlah tentang
Muhammad perkataan yang sampai kepada kaummu bahwa engkau mengingkarinya atau
membencinya.” Al Walid berkata, “Apa yang perlu aku ucapkan terhadapnya? Demi
Allah, tidak ada di antara kalian yang lebih tahu tentang syair daripada diriku, paling tahu tentang syair
rajaz dan qasidahnya dibanding aku, serta tidak ada yang lebih tahu tentang
syair jin daripada aku. Demi Allah, yang diucapkannya tidak mirip hal itu. Demi
Allah, yang diucapkannya itu manis, dihias keindahan, di atasnya berbuah,
bagian bawahnya subur, tinggi dan tidak terkalahkan, serta menghantam yang
berada di bawahnya.”
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Adapun Al
Qur’an, maka seluruhnya fasih dengan sastra yang paling tinggi bagi orang yang
mengetahui hal itu secara rinci maupun garis besar dari kalangan mereka yang
memahami ucapan orang-orang Arab dan bentuk-bentuk perubahan ungkapan. Jika
anda memperhatikan beritanya, maka anda akan menemukan sangat manis sekali,
baik yang panjangnya maupun yang singkatnya, yang diulang maupun yang tidak
diulang, dan setiap kali diulang, maka semakin manis dan tinggi, tidak usang
karena sering diulang dan para ulama tidak bosan-bosan terhadapnya. Jika menyebutkan tentang ancaman, maka ia menyebutkan dengan cara
yang dapat membuat gunung yang kuat dan kokoh bergetar, lalu bagaimana
menurutmu jika berhadapan dengan hati yang memahami? Jika Al Qur’an menjanjikan
sesuatu, maka ia datang membawa sesuatu yang membuka hati dan telinga serta
membuat rindu memasuki tempat yang penuh keselamatan dan tinggal berdampingan
dengan Arsy Ar Rahman sebagaimana firman-Nya memberikan dorongan (targhib),
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Tidak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti,
yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka
kerjakan.” (Terj. Qs. As Sajdah: 17).
Firman-Nya pula,
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا
خَالِدُونَ
“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa
yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya.” (Terj. Qs. Az Zukhruf: 71).
Dia juga berfirman untuk menakut-nakuti (tarhib),
أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ جَانِبَ الْبَرِّ
“Maka apakah kamu merasa aman (dari hukuman
Allah) yang menjungkir balikkan sebagian daratan bersama kamu,” (terj. Al Israa’: 68).
Firman-Nya juga,
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ
تَمُورُ (16) أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا
فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ (17) وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَكَيْفَ
كَانَ نَكِيرِ (18)
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa
Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi
itu bergoncang?-- Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit
bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui
bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?--Dan sesungguhnya orang-orang
yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka alangkah hebatnya
kemurkaan-Ku.” (Terj. Qs. Al Mulk: 16-18)
Dia juga berfirman untuk melarang,
فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan
dosanya…dst.” (Terj. Qs. Al ‘Ankabut: 40),
Dia juga berfirman,
أَفَرَأَيْتَ إِنْ مَتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ (205) ثُمَّ جَاءَهُمْ مَا كَانُوا يُوعَدُونَ
(206) مَا أَغْنَى عَنْهُمْ مَا كَانُوا يُمَتَّعُونَ (207)
“Maka bagaimana pendapatmu jika Kami
berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun,--Kemudian datang kepada
mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka,--Niscaya tidak berguna bagi
mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (Terj.
Asy Syu’ara: 205-207), dan lain sebagainya di antara contoh bentuk kefasihan,
ketinggian sastra, dan manisnya.
Jika ayat-ayatnya datang berkenaan dengan
hukum-hukum, perintah-perintah dan larangan, maka mengandung perintah kepada
setiap yang ma’ruf, yang bermanfaat, yang baik, dan yang dicintai, serta
larangan terhadap hal yang buruk, hina dan rendah sebagaimana dikatakan Ibnu
Mas’ud dan ulama salaf lainnya.
Jika Anda mendengar Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an, “Wahai
orang-orang yang beriman!” maka pasang telingamu, karena ia merupakan
kebaikan yang diperintahkan atau keburukan yang dilarang. Oleh karena itulah,
Allah Ta’ala berfirman,
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ
عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ
“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang
ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…dst.
(Terj. Qs. Al A’raaf: 157).
Jika ayat-ayatnya datang menerangkan sifat
akhirat dan huru-hara yang terjadi pada hari itu, menyebutkan sifat surga dan
neraka serta apa yang Allah siapkan di keduanya untuk para wali-Nya maupun
musuh-musuh-Nya berupa kenikmatan, neraka, perlindungan dan azab yang pedih,
maka anda akan terhibur olehnya, demikian pula akan menjadi takut. Al Qur’an mengajak mengerjakan kebaikan dan menjauhi kemungkaran,
membuat zuhud kepada dunia dan mencintai akhirat, mengokohkannya di atas jalan
yang lurus, menunjuki kepada jalan Allah yang lurus, syariat-Nya yang lurus,
dan menghilangkan godaan setan yang terkutuk dari hati.” (Lihat Al Mishbahul
Munir hal. 44)
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Maktabah Syamilah versi 3.45, Qawa’idul
Lughatil Arabiyyah (Hifni Bek Dayyab, dkk.), Hidayatul
Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), https://www.alukah.net/sharia/0/103195/
, https://mawdoo3.com/الأساليب_البلاغية_في_اللغة_العربية#. , http://www.3refe.com/vb/showthread.php?t=225470 , http://kertugas.blogspot.com/2018/01/majaz-aqli-dalam-ilmu-balagah-kata.html, l.
Dll.
[1] Syarat di sini, bukan syarat secara istilah sebagai kebalikan dari rukun.
Tetapi sebagai hal yang mesti ada pada kalimat jika ingin dipandang fasih.
0 komentar:
Posting Komentar