بسم
الله الرحمن الرحيم
Mengenal Ilmu Takhrij Hadits (12)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan tentang mengenal Ilmu Takhrij Hadits
merujuk kepada kitab Ushulut Takhrij wa Dirasah Al Asanid Al Muyassarah
karya Dr. Imad Ali Jum’ah, semoga
Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Kajian
Terhadap Sanad dan Menghukumi Suatu Hadits
Maksud
‘kajian terhadap sanad’ adalah meliputi:
1. Mempelajari rawi-rawi (orang yang meriwayatkan) yang ada pada sanad
dengan melihat biografinya masing-masing dan berusaha mengetahui yang kuat di
antara mereka dan yang lemah (dha’if) secara umum.
2. Mengetahui sebab kuat
dan lemahnya seorang rawi secara rinci.
3. Memeriksa bersambung
atau tidak suatu sanad, yaitu dengan melihat kepada:
a. Tanggal lahir dan
wafatnya seorang rawi.
b. Mempelajari rawi yang
mudallis, terutama ketika mereka melakukan ‘an’anah.
c. Melihat komentar para
imam jarh wa ta’dil, yakni apakah si fulan mendengar dari si fulan atau tidak.
d. Menggali lebih dalam
isnadnya agar diketahui ilat-ilat (cacat) tersembunyi yang biasanya tidak diketahui jika diperhatikan
sebentar.
e.
Mengetahui mana sahabat dan tabiin untuk memilah yang mursal (terputus di akhir
sanad) dengan yang maushul (bersambung), dan antara yang mauquf (sampai pada
sahabat) dengan yang maqthu (sampai pada tabiin).
f.
Dan kajian lainnya yang mendalam yang dibangun di atas ilmu ushul (pokok dan
dasar) dalam jarh wa ta’dil serta mengenali rawi, termasuk ke dalamnya
ilmu-ilmu ini, yaitu: Muttafaq dan Mukhtalaf (sama nama dan nama ayahnya, namun berbeda
orangnya). Mutasyabih (yang namanya mirip), Kuna (panggilan) dan
Laqab (gelar), dsb.
Adapun
maksud ‘menghukumi suatu hadits’ adalah menghukumi sanad dan
matannya, seperti:
a.
Menghukumi sanad hadits, yaitu menetapkan kesimpulan setelah mengkaji sanadnya
dengan mengatakan ‘isnad ini shahih’ atau ‘isnad ini dha’if’ atau
‘maudhu’ (palsu).
b.
Menghukumi matan hadits, yaitu menetapkan suatu hadits dengan mengatakan ‘hadits
ini shahih’ atau ‘dha’if’ atau ‘maudhu’.
Hal
ini sangat berat daripada menghukumi sanad, seseorang harus memperhatikan
hal-hal lain di samping yang disebutkan di atas, yaitu: memperhatian apakah
matannya syadz atau ada illat, apakah hadits ini diriwayatkan dengan sanad yang
lain atau beberapa sanad, dimana karena hal itu hukum bisa berubah.
Perangkat
dalam suatu hadits
Hadits
terdiri dari sanad dan matan. Sanad maksudnya silsilah atau rangkaian rawi yang
menyampaikan matan, sedangkan matan adalah isi atau redaksi yang disampaikan.
Contoh
sanad:
Imam
Bukhari berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, ia
berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abuz Zanad, dari Al A’raj,
dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ
يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِي وَضُوئِهِ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي أَيْنَ
بَاتَتْ يَدُهُ
“Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka
basuhlah tangannya sebelum memasukkan ke air wudhunya, karena salah seorang di
antara kamu tidak tahu di mana tangannya bermalam.”
Sebelum
disebutkan hadits di atas disebutkan orang-orang yang meriwayatkan, inilah yang
disebut sanad, diawali dari Imam Bukhari, dan diakhiri oleh Abu Hurairah.
Sedangkan redaksi hadits yang disebutkan di atas itulah yang disebut matan.
Dengan
adanya sanad, maka dapat diketahui sahih tidaknya suatu hadits sehingga
terjagalah sumber hukum Islam yang kedua, yaitu Al Hadits.
Perangkat
yang dibutuhkan dalam mengkaji sanad
Dalam
mengkaji sanad dibutuhkan beberapa perangkat ini, yaitu: (1) Ilmu Jarh wa
Ta’dil, (2) Tarikh (tanggal lahir dan wafat) seorang rawi dan biografinya.
Dalam
Ilmu Jarh wa Ta’dil dipelajari kaidah-kaidah jarh (mencacatkan) dan ta’dil
(menyatakan terpercaya) di kalangan para ulama di bidang ini, demikian pula
diketahui makna lafaz jarh wa ta’dil dalam istilah yang berlaku di kalangan
para ulama, dimana lafaz-lafaz itu ada tingkatannya masing-masing; ada
tingkatan ta’dil paling tinggi sampai tingkatan jarh paling rendah. Demikian
pula dalam ilmu Jarh wa Ta’dil diketahui syarat rawi-rawi yang diterima,
bagaimana menetapkan adil dan kuat ingatan atau terjaganya, serta hal-hal lain
yang terkait masalah ini sehingga kita bisa memulai mengkaji sanad dan kemudian
menghukumi suatu hadits.
Secara
umum, syarat diterimanya rawi berdasarkan ijma ada dua: (1) Adil dan, (2) Dhabith.
Adil
itu harus muslim, akil (berakal), baligh, selamat dari
sebab-sebab kefasikan, dan selamat dari
perkara yang menodai kehormatannya.
Adil
bisa ditetapkan dengan pernyataan orang yang menta’dilkan, yaitu ketika ada
ulama yang menyatakan adil dalam kitab Jarh wa Ta’dil. Bisa juga dengan
keadaannya yang masyhur, yaitu terkenal dengan kejujuran dan istiqamahnya serta
kuatnya ingatan seperti Imam Malik bin Anas.
Akan
tetapi menurut Ibnu Abdil Bar, bahwa setiap pembawa ilmu yang memiliki
perhatian terhadapnya, maka keadaannya dianggap adil sampai jelas jarh(cacat)nya
dan tidak perlu dipertanyakan, namun pendapat ini kurang kuat menurut para
ulama.
Sedangkan
maksud ‘Dhabith’ adalah tidak buruk hafalannya, tidak fatal
kekeliruannya, tidak menyelisihi orang yang tsiqah, tidak banyak wahm (salah
perkiraan), dan tidak lalai.
Dhabit dapat diketahui
dengan sejalannya dengan rawi-rawi tsiqah yang mutqin (hati-hati) dalam
meriwayatkan, jika banyak menyelisihi mereka, maka cacatlah kedhabitannya dan
tidak bisa dipakai hujjah, namun tidak masalah jika jarang menyelisihinya.
Catatan:
1. Pertanyaan: Apakah diterima
jarh wa ta’dil tanpa menerangkan sebabnya?
Jawab: Adapun ta’dil
(pernyataan terpercaya), maka diterima menurut pendapat yang shahih karena
sulitnya menyebutkan sebabnya. Sedangkan jarh (pencacatan), maka tidak diterima
kecuali diterangkan sebabnya karena tidak sulit menyebutkan sebabnya, di
samping itu manusia juga berbeda pendapat dalam hal sebab jarh, dimana di
antara mereka ada yang menjarh orang lain dengan sesuatu yang tidak dianggap
jarh.
2. Pertanyaan: Cukupkah jarh
wa ta’dil dengan pendapat seseorang?
Jawab: Pendapat yang sahih
(benar) adalah cukup meskipun disampaikan oleh seorang budak atau wanita. Ada pula
yang mengatakan, bahwa harus dua orang sebagaimana persaksian, namun pendapat
ini lemah.
3. Pertanyaan: Bagaimana
jika berkumpul jarh wa ta’dil dalam diri seseorang?
Jawab: Yang dijadikan
pegangan adalah mendahulukan jarh apabila jarhnya diterangkan, tetapi jika
tidak diterangkan, maka ta’dil didahulukan.
Mengenal kehati-hatian
Imam Jarh wa Ta’dil; Ibnu Abi Hatim
Al Khatib Al Baghdadi
meriwayatkan dengan sanadnya dari Ali bin Hasan bin Junaid, ia berkata,
"Aku mendengar Yahya bin Main berkata,
"Kita benar-benar telah mencela orang-orang yang boleh jadi mereka akan
lebih dulu menempati rumahnya di surga sejak 200 tahun sebelumnya.”
Ibnu Mahrawaih berkata, "Aku pun menemui Abdurrahman bin Abi Hatim yang ketika itu sedang
membacakan kitab Al Jarhu wat Ta'dil (tentang kritik dan pembelaan
terhadap rawi), lalu aku sampaikan kepadanya kisah itu, maka ia pun menangis
dan kedua tangannya bergemetar sehingga kitabnya itu jatuh dari tangannya
seraya dirinya menangis, lalu ia memintaku menceritakan kembali kisah itu, dan
di majlis itu ia jadi tidak membaca apa-apa," atau sebagaimana yang
dikatakannya.”
(Al Jami Li Akhlaqir
rawi wa Adabus sami, karya Al
Khathib Al Baghdadi juz 2/201)
Tingkatan Lafaz Ta’dil dan Hukumnya
Tingkatan Ta’dil (menyatakan terpercaya) mengalami perkembangan dan akhirnya ditetapkan enam tingkatan ini:
Pertama, kalimat yang menunjukkan sangat tsiqah atau
dengan wazan (pola) ‘af’alu’ seperti:
فُلاَنٌ أَثْبَتُ النَّاسِ
Fulan
adalah orang yang paling kokoh
أَوْثَقُ الْخَلْقِ
Fulan
adalah orang yang paling tsiqah
أَوْثَقُ مَنْ أَدْرَكْتُ مِنَ
الْبَشَرِ
Fulan
adalah orang yang paling tsiqah yang pernah kutemui
Kedua, kalimat yang menunjukkan tsiqah dengan diperkuat
satu atau dua sifat tsiqah. Contoh:
ثِقَةٌ ثِقَةٌ
Tsiqah-tsiqah.
ثِقَةٌ ثَبْتٌ
Tsiqah
dan kokoh
ثِقَةٌ حُجَّةٌ
Tsiqah
dan menjadi hujjah
ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ
Tsiqah
dan terpercaya.
Ketiga, kalimat yang menunjukkan tsiqah tanpa ada
penguatan, seperti:
ثِقَةٌ
Tsiqah
(seorang yang terpercaya).
حُجَّةٌ
Menjadi
Hujjah
ثَبْتٌ
Kokoh
كَأَنَّهُ مُصْحَفٌ
Dia
seperti mushaf.
عَدْلٌ ضَابِطٌ
Adil
dan kuat ingatan.
Keempat, kalimat yang menunjukkan adil tanpa menyebutkan
dhabith, seperti:
صَدُوْقٌ
Sangat
jujur.
مَحِلُّهُ الصِّدْقُ
Tempatnya
jujur
لاَبَأْسَ بِهِ
Tidak
bermasalah
Kelima, kalimat yang tidak menunjukkan tsiqah dan
cacat, contoh:
فُلاَنٌ شَيْخٌ
Fulan
seorang syaikh.
رَوَى عَنْهُ النَّاسُ
Orang-orang
meriwayatkan darinya
إِلَى الصِّدْقِ مَا هُوَ
Kepada
kejujuran sepertinya
وَسَطٌ
Pertengahan
شَيْخٌ وَسَطٌ
Syaikh
yang pertengahan
Keenam, kalimat yang menunjukkan dekat untuk
dicacatkan, contoh:
فُلاَنٌ صَالِحُ الْحَدِيْثِ
Fulan
seorang yang baik haditsnya.
يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ
Haditsnya
dicatat
يُعْتَبَرُ بِهِ
Dipandang
مُقَارِبُ
الْحَدِيْثِ
Haditsnya
mendekati
صَالِحٌ
Saleh
Hukum enam tingkatan di atas:
1. Untuk
tiga tingkatan pertama (1-3), maka perawinya dipakai hujjah meskipun sebagian
mereka lebih kuat daripada yang lain.
2.
Untuk dua tingkatan setelahnya (4-5), maka tidak dipakai hujjah, akan tetapi
dicatat haditsnya dan diuji coba (dikaji lagi) meskpun tingkatan ke-4 lebih
tinggi daripada tingkatan ke-5.
3.
Untuk tingkatan ke-6 tidak dipakai hujjah, akan tetapi dicatat haditsnya untuk jadi
bahan pertimbangan, karena tampaknya tidak dhabith, wallahu a’lam.
Bersambung….
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi
3.45, Ushulut Takhrij wa Dirasah As Sanad Al Muyassarah (Dr.
Imad Ali Jum’ah), dll.