بسم
الله الرحمن الرحيم
8
Kaedah Memahami Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan kaidah
memahami Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang kami rujuk kepada risalah
Dhawabith Muhimmah Lihusni Fahmis Sunnah karya
Dr. Abu Anas Anis bin Ahmad bin Thahir Al Indunisiy dosen jurusan hadits
Universitas Islam Madinah. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
8 Kaedah Memahami Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam
dengan baik
1. Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa
sallam merupakan penafsir Al Qur’an
Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam merupakan
sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Ia merupakan penafsir,
pensyarah dan penjelas lebih rinci isi Al Qur’an.
Keduanya (baik Al Qur’an maupun As Sunnah) selamanya
tidak akan bertentangan, dan tidak akan mungkin antara penafsir dengan yang
ditafsirkan terjadi pertentangan.
Jika ditemukan sebuah riwayat yang zhahirnya seakan
bertentangan, maka bisa karena hadits itu tidak shahih atau karena kita tidak
meemahaminya.
Termasuk contoh hadits yang tidak shahih adalah hadits
mudhtharib (yang guncang atau saling bertabrakan serta tidak bisa
ditarjih/dikuatkan salah satunya). Misalnya tentang kisah Gharaniq terhadap
surah An Najm ayat 19-22 yang isi kisah itu memuji sesembahan kaum musyrik
–Mahasuci Allah dari hal itu-. Oleh karena itu, para muhadditsin (Ahli Hadits)
menyatakan hadits tersebut batil, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Khuzaimmah,
Syaikh M. Nashiruddin Al Albani dalam kitabnya Nashbul Majaniq, Syaikh
M. Ash Shadiq Al ‘Urjun dalam kitabnya Muhammad Rasulullah, Syaikh Ali
Hasan Abdul Hamid dalam kitabnya Dalaa’ilut Tahqiq Li Ibthali Qishshatil
Gharaaniq riwayah wa dirayah.
2. Mengumpulkan hadits-hadits yang
sama temanya dalam satu tempat atau dalam satu bab
Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata, “Jika
kami tidak menulis hadits dari tiga puluh jalur, kami tidak akan faham.” (Al
Jami Li Akhlaqir Rawi 1/270)
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Hadits jika tidak dikumpulkan
jalur-jalurnya, maka engkau tidak akan faham. Hadits itu yang satu dengan yang
lain saling menafsirkan.” (Al Jami Li Akhlaqir Rawi 1/270)
Dengan demikian, hendaknya engkau kumpulkan
hadits-hadits yang shahih dalam satu pembahasan, sehingga yang mutasyabih
(samar) dibawa kepada yang muhkam(jelas)nya, yang mutlak dibawa kepada yang
muqayyad(dibatasi)nya, dan yang umum dibawa kepada yang khususnya, sehingga
makna dan maksud pun menjadi jelas.
Contoh: Hadits Abu Umamah radhiyallahu anhu saat ia
melihat ada alat pembajak sawah, maka ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لاَ يَدْخُلُ هَذَا بَيْتَ قَوْمٍ إِلَّا
أَدْخَلَهُ اللَّهُ الذُّلَّ»
“Tidaklah benda ini masuk ke dalam rumah suatu kaum melainkan
Allah akan memasukkann ke dalamnya kehinaan.” (Hr. Bukhari)
Zhahir hadits ini menunjukkan kebencian Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam terhadap pertanian dan bercocok tanam, akan tetapi jika kita gabungkan
dengan hadits-hadits yang lain terkait pertanian dan bercocok tanam, kita akan
temukan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan bercocok tanam
dan menerangkan akan kebolehannya, di antaranya sabda Nabi shallallahu alaihi
wa sallam,
«مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، أَوْ
يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ،
إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ»
“Tidaklah seorang muslim menanam sebuah pohon atau tanaman, lalu
buahnya dimakan burung, manusia, atau hewan melainkan akan menjadi sedekah
baginya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
«إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ
فَسِيْلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ تَقُوْمَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا»
“Jika tiba Kiamat sedangkan di tangan kamu ada
sebatang pohon kurma yang hendak ditanam, maka jika ia mampu menanamnya sebelum
tibanya kiamat maka tanamlah.” (Hr. Ahmad, Bukhari dalam Al Adab, dan
‘Abd bin Humaid dari Anas, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami
no. 1424)
Hadits di atas menunjukkan dianjurkan menanam pohon
dan tanaman.
Lalu bagaimana para ulama mmengkompromikan
hadits-hadits di atas yang zhahirnya bertentangan? Selanjutnya apa pemahaman
yang benar terhadap masalah ini?
Imam Bukhari membuat bab terhadap larangan menanam
dalam hadits di atas dengan berkata,
بَابُ مَا يُحَذَّرُ مِنْ عَوَاقِبِ
الِاشْتِغَالِ بِآلَةِ الزَّرْعِ، أَوْ مُجَاوَزَةِ الحَدِّ الَّذِي أُمِرَ بِهِ
Bab: Perkara yang dikhawatirkan
karena akan berakibat sibuk dengan alat pertanian atau melewati batas yang
diperintahkan
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Imam
Bukhari mengisyaratkan dalam bab yang dibuatnya terkait kompromi antara hadits
Abu Umamah dengan hadits sebelumnya tentang keutamaan menanam pohon dan
tanaman, yaitu dengan salah satu dari dua tafsir ini; bisa dibawa maksudnya celaan
terhadap hal itu kepada akhir atau akibatnya, dan bisa juga dibawa maksudnya
jika tidak menyia-nyiakannya namun sampai membuatnya melampaui batas…dst.” (Fathul
Bari 5/5)
Hal yang menguatkan juga bahwa maksudnya adalah jika
sampai sibuk dengan tanaman itu membuatnya lalai dari kewajiban seperti jihad
fii Sabilillah, terutama bagi yang berada dekat dengan musuh Allah, yaitu
hadits berikut:
«إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ
الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ
عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ»
“Apabila
kalian berjual-beli dengan cara ienah (salah satu cara riba), kalian pegang
buntut sapi, kalian ridha dengan tanaman kalian, dan kalian tinggalkan jihad,
maka Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak dicabut-Nya sampai
kalian kembali kepada agama kalian.” (Hr. Ahmad
dan Abu Dawud, lihat Ash Shahihah 1/15/11)
3. Melakukan jamak (kompromi) dan
tarjih (penguatan pada salah satunya) jika seakan-akan terjadi pertentangan
Pada dasarnya nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah yang
shahih tidak akan terjadi pertentangan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ
لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Kalau sekiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah
mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Qs. An Nisa: 82)
Jika ternyata ditemukan seakan-akan terjadi
bertentangan maka sebenarnya tidak demikian. Oleh karenanya, perlu dilakukan
jamak dan tarjih.
Contoh antara hadits yang melarang buang air menghadap
kiblat dengan hadits yang membolehkan, maka para ulama melakukan jamak dengan
menerangkan bahwa larangan buang air menghadap ke kiblat adalah jika di tanah
lapang di tempat terbuka, dan jika di dalam bangunan, maka tidak mengapa.
Di antara buku yang bisa dirujuk dalam hal ini adalah Mukhtaliful
Hadits, Musykilul Aatsar karya Thahawi, dan Ta’wil Mukhtalifil Hadits
karya Ibnu Qutaibah.
4. Memahami Nasikh dan Mansukh
Yakni memahami mana hadits yang menasakh (menghapus)
dan mana hadits yang mansukh (sudah dihapus). Hal itu, karena nasikh-mansukh
dalam hal hadits terjadi.
Dalam hal ini kita tidak boleh terburu-buru menyatakan
sudah Mansukh, bahkan setelah kita mengetahui dalil dan qarinah (isyarat) yang
menunjukkan sudah mansukh[i].
Di antara kitab bermanfaat terkait nasikh-mansukh
adalah kitab Ithaf Dzawir Rusukh karya Al Ja’bari, An Nasikkh
wal Mansukh karya Ibnul Jauzi, dan Al I’tibar fin Nasikh wal Mansukh
minal Akhbar.
5. Mengetahul Sabab Wurudil Hadits
(sebab lahirnya hadits)
Mengetahui sebab lahirnya hadits dapat membantu
memahami Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan baik.
Contohnya hadits:
«أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ»
“Kalian lebih faham terhadap urusan dunia kalian.” (Hr. Muslim)
Sebagian manusia berdalih dengan hadits ini untuk
meninggalkan syariat dalam masalah ekonomi, hubungan sosial, politik, dan
urusan dunia lainnya, dan menyatakan bahwa kita lebih faham terhadap urusan dunia karena Nabi
shallallahu alaihi wa sallam menyerahkannya kepada kita.
Ini adalah pemahaman yang keliru, bukankah ayat yang
paling panjang dalam kitabullah terkait masalah muamalah? Kita pun tahu bahwa Al
Qur’an maupun As Sunnah mengatur masalah muamalah seperti jual-beli,
persekutuan, gadai, ijarah, pinjam-meminjam, masalah pidana, dll.
Oleh karena itu, hadits di atas maksudnya bukan
demikian, kita akan faham setelah melihat sebab lahirnya hadits, yaitu tentang kisah
penyerbukan kurma yang menurut pendapat pribadi Beliau kalau pun tidak
dilakukan penyerbukan, kurma tetap akan bagus hasilnya, namun ternyata tidak
demikian.
Demikian pula dalam mehami hadits,
«مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ،
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ»
“Barang siapa yang mencontohkan dalam Islam Sunnah yang baik,
maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkan
setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Barang siapa yang
mencontohkan Sunnah yang buruk dalam Islam, maka dia akan mendapatkan dosa dan
dosa orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit
pun.” (Hr. Muslim)
Sebagian orang salah dalam memahami hadits ini dengan
berpendapat, bahwa boleh berbuat bid’ah dalam Islam. Padahal sebab lahirnya
hadits ini adalah berkenaan dengan sebagian orang dari suku Mudhar yang
kekurangan yang kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan
para sahabat untuk bersedekah, dan sedekah itu bukan perkara bid’ah di samping
lafaz hadits itu menyebutkan ‘Sunnah’; bukan mengadakan bid’ah.
Sebab lahirnya hadits di atas menunjukkan batilnya
berdalih dengan hadits di atas untuk menunjukkan kebolehan bid’ah.
Di antara buku berkenaan dengan sebab lahirnya hadits
adalah Al Bayan wat Ta’rif Fii Asbaabi Wurudil Hadits Asy Syarif yang
dicetak dalam tiga jilid.
6. Mempelajari Gharibul Hadits
(Lafaz Hadits Yang Asing)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang
yang paling fasih (jelas) dalam berbicara, sehingga para sahabat dapat dengan
mudah memahami sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, akan tetapi setelah
berlalunya waktu yang panjang, manusia bercampur-baur yang satu dengan yang
lain; yang berasal dari Arab dan non Arab, maka terjadilah pergeseran bahasa
dan mereka semakin jauh dari kalimat Arab yang fasih, maka mulailah terjadi
kesulitan dalam memahami hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Karena sebab inilah sebagian ulama menulis karya berkenaan dengan Gharibul
Hadits (lafaz hadits yang asing). Di antara kitab tersebut adalah Gharibul
Hadits karya Al Harawiy, Gharibul Hadits karya Abu Ishaq Al Harbiy, Gharibush
Shahihain karya Al Humaidiy, An Nihayah Fii Gharibil Hadits karya
Ibnul Atsir.
7. Memahami Sunnah sebagaimana yang
difahami para sahabat radhiyallahu anhum
Cara terbaik memahami hadits Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam adalah dengan melihat hadits-hadits lainnya kemudian melihat
kepada atsar (riwayat) para sahabat radhiyallahu anhum. Hal itu karena para
sahabat menyaksikan wahyu turun, dimana jika terjadi salah faham, maka malaikat
Jibril turun kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meluruskan
pemahaman itu. Oleh karena itu, para ahli hadits menganggap pernyataan para
sahabat, “Kami memandang demikian di
zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam” bahwa pernyataan ini memiliki hukum marfu (berasal dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam).
Jika manusia berselisih dalam memahami hadits Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, maka pemahaman yang ddidahulukan adalah pemahaman
para sahabat radhiyallahu anhum.
Contoh hadits terkait larangan buang air menghadap
kiblat atau membelakanginya dengan hadits yang menunjukkan kebolehannya, maka
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata, “Hal itu dilarang jika di tempat
terbuka, jika antara engkau dengan kiblat ada sesuatu yang menutupimu, maka
tidak mengapa.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud)
Untuk melihat pemahaman para sahabat radhiyallahu
anhum dalam memahami hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, silakan
lihat kitab-kitab yang memuat atsar (riwayat) dari para sahabat dan tabiin di
tengah-tengah menyebutkan hadits yang marfu, seperti kitab Mushannaf
Abdirrazzaq, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Sunan Sa’id bin Manshur,
Sunan Ad Darimiy, As Sunanul Kubra dan As Sunanush Shugra
karya Baihaqi.
8. Merujuk kepada kitab-kitab syarah
hadiits
Termasuk hal penting untuk memahami hadits-hadits Nabi
shallallahu alaihi wa sallam adalah dengan melihat kitab-kitab syarah hadits,
dimana di sana diterangkan lafaz yang gharib atau samar, nasikh-mansukh, fiqih
hadits, dan riwayat-riwayat yang beragam sehingga sangat penting sekali bagi
seorang muslim.
Para ulama telah menuliskan kepada kita buku-buku
syarah terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Biasanya
semakin terdahulu pensyarahannya, maka syarahnya lebih dekat kepada kebenaran
dan lebih diterima.
Di antara kitab syarah yang perlu didahulukan setelah
melihat waktu penulisannya adalah dengan melihat isinya yang menyebutkan dalil
dengan menyebutkan sumbernya yang beraneka ragam, menerangkan derajat hadits
shahih atau dhaif. Demikian pula memperhatikan penulisnya yang jauh dari
ta’ashhub (fanatik) madzhab yang dapat membuatnya jauh dari mengikuti makna
yang dikehendaki Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tanpa dalil yang
menguatkannya.
Di antara kitab syarah hadits terdahulu yang perlu
diperhatikan adalah Syarhus Sunnah karya Al Baghawi, Fathul Bari
karya Ibnu Rajab, dan Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalani[ii].
Kesimpulan
Dengan demikian, cara memahami Sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dengan baik setelah memeriksa derajat haditsnya
(shahih, hasan, atau dhaif) adalah dengan melakukan hal berikut:
1.
Memahami hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam
dengan memperhatikan kitabullah.
2.
Mengumpulkan hadits-hadits yang sama temanya.
3.
Mengkompromikan hadits-hadits yang seakan-akan
bertentangan, atau melakukan tarjih.
4.
Mengetahui nasikh-mansukh.
5.
Mengetahui Asbab wurudil hadits (sebab lahirnya
hadits)
6.
Memahami Gharibul Hadits
7.
Memahami Sunnah Nabi shallallahu alahi wa sallam
dengan pemahaman para sahabat radhiyallahu anhum.
8.
Merujuk kepada kitab-kitab syarah hadits.
Wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa
aalihi wa shahbihi wa sallam.
[i] Contoh yang sudah
mansukh adalah larangan ziarah kubur di awal Islam, lalu Nabi shallallahu
alaihi wa sallam membolehkannya (setelah akidah umat sudah terjaga).
Contoh lainnya adalah hadits Thalq bin Ali
yang menyatakan tidak batal wudhu ketika menyentuh kemaluan dengan hadits
Busrah yang menyatakan batal, sebagian ulama menjamak dengan mengatakan bahwa
hadits Thalq bin Ali sudah mansukh oleh hadits Busrah. Ada pula yang melakukan
tarjih, dengan menguatkan hadits Busrah karena lebih banyak yang
menshahihkannya dan karena banyak syawahid(penguat dari jalur lain)nya, (lihat Subulus
Salam 1/95).
[ii] Termasuk juga Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibnil Hajjaj karya Imam Nawawi, Aunul Ma’bud
Syarh Sunan Abi Dawud karya Muhammad Asyraf Al Azhim Abadi, Tuhfatul
Ahwadzi Bisyarh Jami At Tirmidzi karya Abul Alaa Muhammad Abdurrahman Al
Mubarafuri, Syarh Sunan Ibn Majah karya Mughalthay dan As Suyuthi, Hasyiyah
As Suyuthi ‘ala Sunan An Nasa’i karya As Suyuthi, Tanwirul Hawalik Syarh
Muwaththa Malik karya As Suyuthi, Faidhul Qadir syarh Al Jami Ash
Shaghir karya Abdurra’uf Al Manawiy,
Subulussalam Syarh Bulughul Maram karya Ash Shan’ani, Nailul Awthar
Syarh Muntaqal Akhbar karya Asy Syaukani, dll.