بسم الله الرحمن الرحيم
Kaum
Salaf dalam Beramar Ma’ruf dan Bernahi Munkar
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini contoh keteladanan kaum
Salaf dalam beramar ma’ruf dan bernahi munkar yang kami ambil dari kitab Aina
Nahnu Min Akhlaqis Salaf karya Abdul Aziz Al Julail dan Bahauddin Aqil,
semoga Allah menjadikan penerjemahan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat,
Allahumma amin.
Keteladanan kaum
salaf dalam beramar ma’ruf dan bernahi munkar
Ubadah bin Al
Walid berkata, “Ubadah bin Ash Shamit pernah bersama Mu’awiyah. Pada suatu
saat, azan Jum’at dikumandangkan, lalu khatib bangkit dan memuji Mu’awiyah serta
menyanjungnya, lalu Ubadah berdiri dengan menggenggam tanah di tangannya dan
melemparkannya ke mulut khatib. Melihat hal itu, Mu’awiyah pun marah, Ubadah
berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau tidak bersama kami ketika kami membaiat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Aqabah, yaitu berbaiat untuk
mendengar dan taat baik ketika kami semangat maupun malas, agar kami mengalah,
tidak menentang orang yang memegang kendali suatu urusan, dan selalu menegakkan
kebenaran di mana saja kami berada tanpa takut celaan orang yang mencela demi
membela agama Allah. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ
الْمَدَّاحِيْنَ فَاحْثُوْا فِي أَفْوَاهِهِمُ التُّرَابَ
“Jika kalian melihat orang-orang yang suka memuji-muji, maka
lemparkanlah tanah ke mulutnya.”
(Siyar A’lamin Nubala 2/7.
Hadits Ubadah tentang bai’at disebutkan dalam Shahih Bukhari pada kitab Al
Ahkam, bab kaifa yubayi’ul imam annas hadits no. 7199, 2000.
Sedangkan hadits perintah melemparkan tanah disebutkan dengan lafaz yang mirip
dengannya dalam Shahih Muslim dari hadits Miqdad pada pembahasan Az
Zuhd war Raqa’iq bab An Nahyu ‘anil mad-h).
*****
Abdullah bin
Ma’qil berkata, “Ibnu Ummi Maktum pernah singgah di rumah seorang wanita Yahudi
di kota Madinah yang biasa menemaninya. Tetapi ia mencaci Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di depannya, maka Ibnu Ummi Maktum menarik wanita itu, lalu
memukul dan membunuhnya. Ia menyampaikan masalah itu kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Demi Allah, wanita itu meskipun biasa
menemaniku, tetapi ia mencaci-maki Allah dan Rasul-Nya.” Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah menjauhkan wanita itu (dari
rahmat-Nya). Sungguh aku telah menyatakan darahnya sia-sia.”
(Siyar A’lamin Nubala 1/363.
Para perawi hadits ini tsiqah (terpercaya). Hadits ini disebutkan pula oleh
Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat (4/158). Hadits ini memiliki syahid dalam riwayat
Abu Dawud dari Ali radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan, bahwa ada seorang
wanita Yahudi yang mencaci-maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
memfitnah Beliau, kemudian ada seorang laki-laki yang mencekiknya hingga mati,
maka Rasulullah menyatakan sia-sia darahnya. Hadits ini ada di no. 4362 dalam
Al Hudud, juga pada hadits no. 4361 dari Ibnu Abbas. Syaikh Al Albani
menshahihkan hadits kedua dalam Shahih Abi Dawud no. 3665. Namun Beliau
memiliki dua pendapat yang berbeda pada hadits yang pertama. Dalam Irwa’ul
Ghalil no. 1251 beliau menshahihkan isnadnya, namun dalam Dha’if Abi
Dawud no. 937, beliau mendhaifkannya, wallahu a’lam).
*****
Al Auza’iy
berkata, “Telah menceritakan kepadaku Abu Katsir dari ayahnya, ia berkata, “Aku
pernah mendatangi Abu Dzar saat ia sedang duduk di Jamratul Wustha. Orang-orang
berkumpul di sekeliling Beliau untuk meminta fatwa, lalu ada seseorang yang
mendatanginya dan berdiri di hadapannya sambil berkata, “Bukankah Amirul
Mukminin telah melarang Anda untuk berfatwa!” Maka Abu Dzar mengangkat
kepalanya dan berkata, “Apakah engkau hendak menjadi pengawas bagiku?” Kalau
sekiranya engkau letakkan pedang di sini –Beliau berisyarat ke tengkuknya-,
lalu aku yakin dapat menyampaikan sabda yang kudengar dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum engkau menebas leherku, maka aku akan
menyampaikan sabda Beliau itu.” (Siyar A’lamin Nubala 2/64)
*****
Imam Adz Dzahabi
menyebutkan biografi Imam Muhammad bin Al Hubula Hakim kota Barqah, ia pernah
didatangi gubernur Barqah dan berkata, “Besok kita berhari raya.” Ibnul Hubula
menjawab, “Sampai kita melihat hilal. Aku tidak mau menyuruh mereka berbuka dan
menanggung dosa-dosa mereka.” Gubernur berkata, “Tapi itulah titah Khalifah Al
Manshur –ketetapan ini berdasarkan pendapat Bani Ubaidiyyah yang berbuka
menggunakan hisab; tidak dengan hilal-.” Ibnul Hubula berkata, “Aku tidak akan
keluar dan tidak akan ikut shalat.” Maka gubernur memerintahkan seseorang untuk
(mengimami) dan berkhutbah, ia juga melaporkan hal yang terjadi kepada Khalifah
Al Manshur. Kemudian Khalifah meminta agar Hakim kota Barqah dibawa ke
hadapannya, lalu Khalifah berkata kepadanya, “Lepaskanlah diri dari urusan ini,
dan aku akan memaafkanmu.” Namun Beliau menolak, maka Khalifah memerintahkannya
dijemur di terik matahari sampai mati,” saat ia meminta minum, maka tidak
diberi, kemudian mereka menyalibnya di atas sebuah kayu. Semoga laknat Allah
menimpa orang-orang yang zalim.” (Siyar A’lamin Nubala 15/374).
*****
Dari Al Hasan,
bahwa Ziyad pernah mengirim Al Hakam bin Amr untuk menaklukkan Khurasan.
akhirnya Allah menaklukkan Khurasan untuk mereka dan mereka memperoleh harta
yang banyak, lalu Ziyad menuliskan surat kepadanya, “Amma ba’du, sesungguhnya
Amirul Mukminin menuliskan surat kepadaku agar aku menyisihkan yang kuning
(emas) dengan yang putih (perak), dan agar engkau tidak membagikan kepada
manusia emas dan perak.” Maka ia pun menjawab surat itu, “Salamun ‘alaik.
Ammma ba’du, sesungguhnya engkau menulis dan menyebut-nyebut surat dari Amirul
Mukminin. Dan sesungguhnya aku mendapatkan kitab Allah mendahului surat Amirul
Mukminin. Demi Allah, seandainya langit dan bumi runtuh menimpa seorang hamba,
lalu ia bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, tentu Allah akan memberikan solusi
dan jalan keluar dari musibah itu, wassalamu alaik.” (Shifatush
Shofwah 1/672).
*****
Dari Abul Mundzir
Ismail bin Umar ia berkata, “Aku mendengar Abu Abdurrahman Al Umari berkata,
“Sesungguhnya termasuk kelalaianmu adalah berpalingnya dirimu dari Allah, yaitu
ketika engkau melihat sesuatu yang membuat-Nya murka, lalu engkau biarkan.
Engkau tidak menyuruh yang ma’ruf dan tidak mencegah yang munkar karena takut
kepada manusia yang tidak berkuasa menimpakan bahaya maupun memberikan
manfaat.”
Abu Abdurrahman Al
Umariy juga berkata, “Barang siapa yang meninggalkan amar ma’ruf dan nahi
munkar karena takut kepada makhluk, maka Allah Ta’ala akan mencabut darinya
sifat kewibawaan. Kalau ia menyuruh sebagian anaknya atau sebagian budaknya,
maka perintahnya akan diremehkan.” (Shifatush Shofwah 2/181) .
*****
Abdurrahman Rustah
berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Mahdiy tentang seseorang yang
berbulan madu dengan istrinya; bolehkah ia meninggalkan shalat berjamaah
beberapa hari?” Beliau menjawab, “Tidak boleh, meskipun hanya satu shalat.”
Abdurrahman Rustah
berkata, “Pada pagi hari aku pernah mendatangi Ibnu Mahdi saat puterinya
berbulan madu, ia keluar dan mengumandangkan azan, lalu berjalan mendatangi
pintu kamar pasangan suami-istri baru itu. Ibnu Mahdiy berkata kepada
pelayannya, “Katakan kepada keduanya, “Hendaknya mereka berdua keluar untuk
shalat,” lalu kaum wanita dan para budak wanita keluar sambil berkata,
“Subhaanallah. Ada apa ini?” Ibnu Mahdi berkata, “Aku tetap akan berada di sini
sampai keduanya keluar untuk shalat.” Maka keduanya pun keluar setelah Beliau
shalat, lalu Beliau memerintahkan keduanya digiring ke masjid di luar kampung tersebut. (Siyar A’lamin
Nubala 9/204).
*****
Imam Al Auza’iy
berkata, “Abdullah bin Ali (seorang raja yang kejam) pernah mengutus seseorang
kepadaku. Hal itu sangat menyusahkanku. Maka aku pun datang dan menemuinya.
Waktu itu, manusia terbagi menjadi dua kelompok.
Abdullah bin Ali
berkata, “Apa pendapatmu tentang jalan keluar dan persoalan yang kami hadapi?”
Al Auza’i
menjawab, “Semoga Allah memperbaiki keadaan baginda. Antaraku dan antara Dawud
bin Ali pernah terjalin hubungan kasih sayang.”
Abdullah berkata,
“Kamu harus beritahukan kepadaku.”
Aku (Al Auza’i)
berpikir sejenak, lalu aku berkata, “Aku harus bersikap jujur kepadanya. Ketika
aku mengingat-ingat akan mati, aku pun meriwayatkan hadits dari Yahya bin Sa’id
tentang masalah niat. Ketika itu di tangan Abdullah ada sebatang kayu yang ia
ketuk-ketukkan ke tanah. Kemudian Beliau bertanya lagi, “Wahai Abdurrahman! Apa
pendapatmu tentang membunuh penghuni rumah ini?” Aku menjawab, “Telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin Marwan dari Mutharrif bin Asy Syikhkhir,
dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihiwa sallam, Beliau
bersabda,
“Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena
tiga;...dst.” (yakni karena sudah menikah lalu
berzina, karena membunuh sesama muslim, dan meninggalkan agamanya/murtad).
Abdullah berkata,
“Beritahukanlah kepadaku tentang kekhalifahan, apakah hal itu adalah pesan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami?”
Al Auza’i
menjawab, “Jika memang ada pesan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tentu Beliau tidak akan memberikan kepada yang lain mendahului Ali radhiyallahu
‘anhu.”
Abdullah bertanya
lagi, “Apa pendapatmu tentang harta Bani Umayyah?”
Al Auza’i
menjawab, “Jika harta itu halal bagi mereka, maka harta itu haram bagimu. Jika
bagi mereka haram, maka bagimu lebih haram lagi.”
Maka Abdullah
memerintahkan untuk mengusirku. (Siyar A’lamin Nubala 7/124-125).
*****
Dari Sa’id bin
Sulaiman ia berkata, “Di Mekkah, aku dahulu tinggal di lorong Syathwa. Di
samping rumahku, tinggallah Abdullah bin Abdul Aziz Al Umariy. Suatu hari Harun
Ar Rasyid pergi haji, lalu ada seorang yang berkata kepada Abdullah Al Umariy,
“Wahai Abu Abdurrahman! Lihat itu Amirul Mukminin, ketika ia hendak bersa’i,
tempat sa’inya telah disiapkan.”
Abdullah Al Umariy
pun berkata kepada orang itu, “Semoga Allah tidak memberikan pahala kepadamu
atas apa yang engkau ucapkan kepadaku. Engkau telah memberikan kepadaku
persoalan yang tidak aku butuhkan. Lalu Beliau melepaskan sandalnya dan
berdiri. Aku segera mengikutinya. Kemudian Harun hendak beranjak dari Marwah
menuju Shafa, maka Abdullah Al Umariy segera berteriak, “Wahai Harun!” Saat
Harun melihatnya, maka Harun berkata, “Labbaik, wahai pamanku.” Beliau berkata,
“Naiklah ke Shafa.” Saat Harun menaikinya, Beliau berkata, “Arahkanlah
pandanganmu ke Baitullah.” Harun berkata, “Sudah aku lakukan.” Beliau
berkata, “Berapa jumlah mereka?” Khalifah Harun balik bertanya, “Siapa yang
bisa menghitung jumlah mereka?” Beliau kembali bertanya, “Berapa banyak lagi
orang yang seperti mereka?” Khalifah menjawab, “Sejumlah orang yang hanya bisa
dihitung oleh Allah.” Maka Abdullah Al Umariy berkata, “Ketahuilah wahai
laki-laki! Masing-masing mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya sendiri, sementara engkau sendiri akan dimintai pertanggungjawaban
atas mereka semuanya. Coba perhatikan, bagaimana jadinya dirimu nanti?” Maka
Khalifah Harun pun menangis dan duduk, lalu mereka memberikan kepadanya sapu
tangan untuk menyeka air matanya.
Abdullah Al Umariy
berkata, “Aku bisa menuturkan lagi yang lain.” Harun berkata, “Katakanlah wahai
pamanku!” Abdullah Al Umari berkata, “Demi Allah, sesungguhnya seorang
laki-laki benar-benar menghambur-hamburkan hartanya, maka pantas jika hartanya
dibekukan. Lantas, bagaimana hukum orang yang menghambur-hamburkan harta kaum
muslimin?” Abdullah Al Umariy pun pergi, sedangkan Khalifah Harun menangis.” (Shifatush
Shafwah 2/182)
*****
Muqatil bin Shalih
Al Khurasaniy berkata, “Aku pernah masuk menemui Hammad bin Salamah. Ternyata
di rumahnya hanya ada tikar yang biasa didudukinya, mushaf Al Qur’an yang biasa
dibacanya, kantong yang terdapat ilmu, dan wadah untuk ia berwudhu. Ketika aku
duduk di sampingnya, tiba-tiba ada seorang yang mengetuk pintu, lalu Beliau berkata,
“Wahai puteriku! Keluarlah dan lihat siapa yang datang.” Puterinya berkata,
“Utusan Muhammad bin Sulaiman.” Hammad berkata, “Katakan kepadanya, “Masuklah
sendiri saja.” Maka ia pun masuk dan menyerahkan surat yang isinya,
“Bismillahirrahmanirrahim,
dari Muhammad bin Sulaiman kepada Hammad bin Salamah. Amma ba’du, semoga pada
pagi harimu ini Allah memberikan keadaan seperti keadaan para wali-Nya dan
orang-orang yang taat kepada-Nya. Sesungguhnya kami punya masalah, maka
datanglah kepada kami. Kami ingin bertanya kepadamu, wassalam.”
Hammad berkata, “Wahai
puteriku! Ambilkan tinta.” Lalu ia berkata, “Baliklah surat itu dan tulislah di
sana, “Amma ba’du, engkau juga semoga pada pagi harimu ini Allah memberikan
keadaan seperti keadaan para wali-Nya dan orang-orang yang taat kepada-Nya.
Sesungguhnya kami mendapati para ulama tidak mendatangi seorang pun. Jika ada
masalah, maka datanglah kepada kami dan silahkan tanya kepada kami tentang
masalah yang engkau hadapi. Jika engkau mendatangi kami, maka janganlah kamu
datang kepadaku selain sendiri saja, dan jangan kamu datang dengan membawa
pasukan berkuda dan pejalan kaki sehingga aku tidak jadi memberimu nasihat dan
tidak tidak juga memberi nasihat kepada diriku sendiri, wassalam.”
Muqatil berkata,
“Saat aku bersama Beliau, tiba-tiba ada yang mengetuk pintunya, lalu Hammad
berkata, “Wahai puteriku! Keluarlah, lihat siapa orang ini?” Puterinya
menjawab, “Dia adalah Muhammad bin Sulaiman.” Hammad berkata, “Katakan
kepadanya agar masuk sendiri saja.” Ia pun masuk dan mengucapkan salam, lalu
duduk di hadapannya. Kemudian Muhammad berkata, “Mengapa setiap kali aku
memandangmu, hatiku dipenuhi rasa takut?” Hammad berkata, “Aku mendengar Tsabit
Al Bannani berkata, “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَالِمَ إِذَا أَرَادَ بِعِلْمِهِ
وَجْهَ اللهِ عَزَّ وَجَلَ هَابَهُ كُلُّ شَيْءٍ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَكْتَنِزَ
بِهِ الْكُنُوْزَ هَابَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
“Sesungguhnya
seorang ulama, jika dalam ilmunya mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla, maka segala
sesuatu akan segan kepadanya. Tetapi jika maksudnya dalam ilmunya itu adalah
menyimpan harta benda dunia, maka ia akan takut kepada segala sesuatu.”
(Kanzul Ummal 16/630 hadits
no. 46131, ia menisbatkannya kepada Ibnu Asakir dan Ibnun Najjar. Az Zubaidiy
berkata, “Al Mundziri berkata, “Dalam hal ini ada riwayat dari Ali dan lainnya,
dimana satu sama lain saling menguatkan.” Lihat Takhrij Ihya Ulumiddin
2/1087)
Kemudian Muhammad
bin Sulaiman berkata, “Ini uang 40.000 dirham, silahkan Anda ambil untuk memenuhi
kebutuhan Anda.” Hammad berkata, “Kembalikanlah kepada orang yang pernah engkau
zalimi.” Muhammad berkata, “Demi Allah, aku tidaklah memberikannya kepadamu
melainkan dari hasil warisanku.” Hammad berkata, “Aku tidak membutuhkannya.
Singkirkanlah uang itu dariku. Semoga Allah menyingkirkan dosa-dosamu.”
Muhammad berkata, “Kalau begitu bagi-bagikanlah.” Hammad berkata, “Boleh jadi
jika aku membagikannya secara adil, lalu ada sebagian orang yang tidak
memperoleh jatah berkata, “Sesungguhnya dia (Hammad) tidak adil,” singkirkanlah
harta itu dariku, semoga Allah menyingkirkan dosa-dosamu.” (Shifatush
Shofwah 3/361).
Wallahu a’lam
shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahabihi wa sallam.
Disarikan dari kitab Aina Nahnu min Akhlaqis salaf oleh Marwan bin Musa