بسم الله الرحمن الرحيم
Syarat dan Adab Poligami
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang
yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan tentang syarat dan adab poligami atau Ta’ddud, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Allah Azza wa
Jalla yang menciptakan manusia, tentu Dialah yang paling tahu tentang hal yang
bermaslahat bagi mereka. Dia berfirman,
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak
mengetahui; padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Qs. Al Mulk: 14)
Oleh karenanya,
Dia mensyariatkan kepada mereka syariat yang bermaslahat (membawa mereka kepada
kebaikan), baik maslahat murni atau maslahatnya lebih kuat daripada
madharat(bahaya)nya.
Termasuk dalam
hal ini adalah perkara poligami. Ketika Dia menghalalkannya bagi
hamba-hamba-Nya, maka karena di sana terdapat maslahat bagi mereka. Allah
Ta’ala berfirman,
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى
أَلَّا تَعُولُوا
“Maka nikahilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.” (Qs. An Nisaa:
3)
Berlaku adil di
sini adalah perlakuan yang adil dalam bergaul dengan istri seperti pakaian,
tempat, giliran, dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
Hukum Poligami
Kami belum
mendapatkan seorang ulama yang berpendapat wajibnya berpoligami, yang masyhur
di kalangan Ahli Ilmu adalah mubah atau sunah.
Syarat dan Adab
Poligami
Ketika seorang
muslim hendak melakukan poligami, hendaknya ia memperhatikan syarat dan adab-adabnya
seperti yang diterangkan di bawah ini:
1. Jangan sampai
poligami membuat seseorang lalai dari menjalankan ketaatan kepada Allah Azza wa
Jalla dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
Hal itu, karena
tujuan hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا
لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Wahai
orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu
ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan
jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. At Taghabun: 14)
Maksudnya ayat
ini adalah bahwa terkadang istri atau anak dapat menjerumuskan suami atau
ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang agama atau
meninggalkan kewajiban agama. Oleh karena itu, di ayat lain Allah Ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ
عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Wahai
orang-orang beriman! Janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang merugi.” (Qs. Al Munafiqun: 9)
2. Seorang
laki-laki dari umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam tidak boleh
beristri lebih dari empat dalam satu waktu.
Jika seseorang
masuk ke dalam agama Islam, sedangkan ia memiliki istri lebih dari empat, maka
dia disuruh memilih empat saja dari istri-istrinya, sedangkan yang lain
diceraikan.
Seorang sahabat
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bernama Qais bin Harits radhiyallahu anhu
berkata, “Saya masuk Islam sedangkan saya memiliki delapan istri, lalu aku
sampaikan hal itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا»
“Pilihlah empat
daripadanya.” (Hr. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dinyatakan hasan shahih
oleh Al Albani)
Faedah:
Jika seseorang
menikahi wanita kelima, padahal dia masih memiliki empat istri, maka menurut
Imam Malik dan Syafi’i, bahwa jika dia mengetahui hukumnya, dia dikenakan had.
Ini pula yang dinyatakan Abu Tsaur. Az Zuhri menyatakan, bahwa jika dia
mengetahui hukumnya, maka dia dirajam (sampai mati). Namun jika dia tidak tahu,
maka dikenakan had yang rendah, yaitu dera. Adapun wanita itu, maka ia
mendapatkan mahar, dan dipisahkan antara keduanya.
3. Seorang laki-laki
tidak boleh memperistri dua wanita bersaudara dalam satu waktu.
Allah Azza wa
Jalla berfirman,
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan
(diharamkan) bagimu menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi di masa yang lalu. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An Nisaa: 23)
4. Seorang istri
tidak boleh memperistri seorang wanita dan bibinya dalam satu waktu.
Jabir radhiyallahu
anhu berkata,
«نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ تُنْكَحَ المَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا»
“Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam melarang seorang wanita dinikahi bersama dengan
‘ammah (saudari bapak) atau seorang wanita bersama dengan khalah (saudari
ibu).” (Hr. Bukhari dan Muslim)
5. Boleh berbeda
mahar dan walimah bagi masing-masing istri.
Maksudnya nilai
mahar dan besarnya walimah di antara para istri tidak harus sama.
Raja Najasyi radhiyallahu
anhu menikahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan Ummu Habibah
radhiyallahu anha, dan Najasyi memberikan mahar sebanyak 4.000 dirham. (Hr. Abu
Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Beliau
shallallahu alaihi wa sallam juga menikahi Shafiyyah dengan mahar memerdekakan
Shafiyyah dari perbudakan (Hr. Bukhari dan Muslim)
Beliau
shallallahu alaihi wa sallam saat menikahi Zainab binti jahsy radhiyallahu anha
dengan walimah seekor kambing (Hr. Bukhari dan Muslim)
6. Seorang suami
yang menikah dengan gadis, maka dia tinggal bersamanya selama tujuh hari, lalu
dilakukan giliran yang sama setelah itu. Jika yang dinikahi janda, maka dia
tinggal selama tiga hari, kemudian baru melakukan giliran.
Dari Anas
radhiyallahu anhu ia berkata, “Termasuk sunnah, jika seorang laki-laki menikahi
gadis, ia tinggal bersamanya selama tujuh hari lalu menggilir (secara sama).
Dan jika dia menikahi janda, maka dia tinggal bersamanya selama tiga hari, lalu
menggilir.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Faedah/Catatan:
Sebagian ulama
berpendapat bolehnya mengkhususkan sebagian istri dengan hadiah atau pakaian
tertentu ketika istri yang lain tampak sudah cukup.
Imam Ahmad
pernah berkata tentang seorang yang memiliki dua istri, “Dia boleh melebihkan
salah satunya di atas yang lain dalam hal nafkah, syahwat, dan pakaian jika
istrinya yang lain sudah cukup, dan boleh juga membelikan untuk istri yang satu
pakaian yang lebih tinggi nilainya daripada yang lain, sedangkan istrinya yang
satu lagi sudah cukup.” (Al Mughni 8/144)
7. Seorang
wanita yang dilamar oleh laki-laki yang telah beristri tidak boleh mensyaratkan
kepada laki-laki itu untuk menceraikan istrinya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تَسْأَلُ طَلاَقَ أُخْتِهَا، لِتَسْتَفْرِغَ
صَحْفَتَهَا، فَإِنَّمَا لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا»
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam Beliau
bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita meminta saudarinya ditalak sehingga
dia membalikkan piringnya, karena sesungguhnya dia mendapatkan apa yang telah
ditakdirkan baginya.” (Hr. Bukhari)
Maksud
membalikkan piringnya adalah membalikkan isi piring saudarinya berpindah
kepadanya, yakni ia mendapatkan nafkah laki-laki itu, kebaikannya, dan
pergaulannya yang sebelumnya untuk saudarinya.
Demikian juga
seorang istri tidak boleh meminta suaminya menceraikan madunya.
8. Suami wajib
berlaku adil dalam membagi giliran pada istri-istrinya.
Misalnya setiap
istri mendapatkan gilirannya sehari-semalam. Atau jika seorang istri
mendapatkan giliran sepekan, maka yang lain juga mendapatkan bagian yang sama. Dan
yang dijadikan patokan utama dalam waktu giliran adalah malamnya. Imam Syafi’i rahimahullah
berkata, “Penggiliran adalah di malam hari, dimana seseorang bermalam di
masing-masingnya malamnya, dan kami suka kalau ia juga berdiam di sisi istrinya
pada siang hari.” (Al Umm 5/158)
Di samping itu,
karena siang hari biasa dipakai oleh seorang suami untuk bekerja dan mencari
rezeki.
Kecuali jika
seseorang bekerjanya di malam hari, seperti seorang penjaga, maka dia membagi
gilirannya di siang hari.
Dari Ummu
Salamah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat menikahi Ummu
Salamah, berdiam di rumahnya selama tiga hari, Beliau bersabda,
«إِنَّهُ لَيْسَ بِكِ عَلَى أَهْلِكِ هَوَانٌ، إِنْ شِئْتِ
سَبَّعْتُ لَكِ، وَإِنْ سَبَّعْتُ لَكِ، سَبَّعْتُ لِنِسَائِي»
“Sesungguhnya ini bukan penghinaan terhadap
keluargamu. Jika aku tinggal tujuh hari bersamamu, maka aku juga tinggal tujuh
hari bersama istri-istriku yang lain.” (Hr. Muslim)
Demikian pula
terhadap istri yang sedang haidh atau sakit, ia tetap berhak mendapatkan
giliran. Dan jika suami akan bersafar, kemudian hendak mengajak salah satu
istrinya, maka dia dapat melakukan undian.
Aisyah radhiyallahu
anha berkata,
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ، فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا
خَرَجَ بِهَا مَعَهُ، وَكَانَ يَقْسِمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا،
غَيْرَ أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا لِعَائِشَةَ
زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، تَبْتَغِي بِذَلِكَ رِضَا رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam apabila ingin safar, maka Beliau melakukan undian
terhadap istri-istrinya. Siapa saja di antara mereka yang keluar bagiannya,
maka Beliau keluar bersamanya. Beliau membagi untuk setiap istrinya
sehari-semalam. Akan tetapi Saudah binti Zam’ah radhiyallahu anha memberikan
jatah hari dan malamnya kepada Aisyah istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam
karena ingin mencari keridhaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Hr.
Bukhari)
Faedah:
Tidak berlaku
giliran terhadap wanita yang ditalak raj’i (masih stastusnya sebagai istri) dan
wanita yang durhaka (nusyuz).
9. Suami
hendaknya tidak berjima dengan istri yang bukan pemilik hak giliran kecuali
dengan izin dan ridha pemilik hak.
Aisyah
radhiyallahu anha berkata kepada Urwah bin Az Zubair,
«يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ، مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا،
وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا، فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ
امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ، حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ
عِنْدَهَا» وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ: حِينَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ
أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ،
يَوْمِي لِعَائِشَةَ، فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْهَا، قَالَتْ: نَقُولُ فِي ذَلِكَ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَفِي أَشْبَاهِهَا
أُرَاهُ قَالَ: {وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا} [النساء: 128]
“Wahai putera
saudariku, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mengutamakan sebagian
kami di atas yang lain dalam pembagian,
yaitu menetapnya Beliau pada kami. Dan hampir setiap hari Beliau mengelilingi
kami semua, yakni Beliau mendatangi semua istri namun tanpa berjima sampai
kepada istri yang menjadi gilirannya, lalu beliau bermalam di situ. Pada waktu
Saudah binti Zam’ah telah tua dan takut dicerai oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam maka ia berkata, “Wahai Rasulullah, jatah hariku untuk
Aisyah,” maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerimanya.”
Aisyah juga
berkata, “Kami berkata, “Berkenaan dengan hal itu dan semisalnya Allah Ta’ala
menurunkan firman-Nya,
{وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا}
“Dan jika
seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya...dst.” (Qs. An Nisaa: 128)
Penulis kitab Aunul
Ma’bud berkata, “Dalam hadits tersebut tedapat dalil bahwa diperbolehkan
bagi seseorang menemui istrinya yang bukan pemilik gilirannya, menyenangkan
hatinya, menyentuh, dan menciumnya. Demikian juga menunjukkan mulianya akhlak
Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan bahwa Beliau adalah orang yang paling
baik kepada istrinya. Dalam hadits tersebut juga terdapat dalil bolehnya
seorang wanita menghibahkan jatahnya ke madunya dengan syarat mendapatkan
keridhaan suami, karena ia memiliki hak terhadap istrinya, sehingga seorang
istri tidak memiliki hak untuk menggugurkan haknya kecuali dengan ridha
suaminya.” (Aunul Ma’bud 6/122)
Bahkan boleh
jika para istri mengizinkan suami menggilir mereka semua dalam satu malam. Anas
bin Malik radhiyallahu anhu berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah
menggilir semua istrinya dalam satu malam. Ketika itu Beliau memiliki sembilan
istri.” (Hr. Bukhari)
10. Tidak
dibenarkan bagi seorang suami menemui salah satu istrinya di malam hari yang
bukan gilirannya kecuali karena darurat, demikian pula di siang hari kecuali
jika ada kebutuhan.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa