بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (43)
(Ingkar Terhadap Nikmat Allah)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut
lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At
Tamimi rahimahullah, yang banyak kami rujuk
kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih
bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab
: Ingkar Terhadap Nikmat Allah
Firman Allah Ta’ala,
يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا
“Mereka
mengetahui nikmat Allah, tetapi kemudian mereka mengingkarinya…dst." (Qs. An Nahl: 83)
Dalam menafsirkan ayat
di atas Mujahid berpendapat, maksudnya adalah pernyataan seseorang, “Ini adalah
harta kekayaan yang aku warisi dari nenek moyangku.”
Aun bin Abdullah
berkata, “Itu adalah pernyataan mereka, “Kalau bukan karena fulan tentu tidak
menjadi begini.”
Ibnu Qutaibah berkata,
“Yaitu perkataan mereka, “Ini sebab syafaat sesembahan-sesembahan kami.”
**********
Penjelasan:
Dalam bab ini, penyusun
(Syaikh M. At Tamimi) ingin menerangkan tentang wajibnya beradab kepada Allah
Azza wa Jalla dengan menjauhi lafaz-lafaz syirik khafi (tersembunyi) seperti
menyandarkan nikmat kepada selain Allah, karena yang demikian dapat menafikan
kesempurnaan tauhid.
Menurut Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah, bahwa menyandarkan nikmat Allah kepada selain-Nya sama
saja menyekutukan Allah dalam hal Rububiyyah, karena sama saja menyandarkan
kepada sebab bahwa seakan-akan sebab itulah yang menjadikan demikian. Di
samping itu, sikap tersebut juga menunjukkan bahwa orang tersebut tidak
bersyukur kepada Allah dimana syukur merupakan bentuk ibadah, dan meninggalkan
syukur dapat menafikan (kesempurnaan) tauhid, sehingga dalam menyandarkan
nikmat kepada selain Allah terdapat sikap meremehkan tauhid Rububiyyah dan
Uluhiyyah.
Mujahid bin Jabr Al
Makkiy yang disebutkan di atas adalah murid Ibnu Abbad radhiyallahu anhuma yang
wafat tahun 104 H menurut pendapat yang kuat.
Al Fadhl bin Maimun
berkata, “Aku pernah mendengar Mujahid berkata, “Aku menyodorkan mushaf di
hadapan Ibnu Abbas berkali-kali, aku bertanya kepada beliau pada setiap
ayatnya, yakni bertanya tentang apa turun, bagaimana turunnya, dan apa
maknanya?”
Beliau adalah Imam Ahli
Tafsir dari kalangan tabi’in. Sufyan Ats Tsauriy berkata, “Jika datang tafsir
kepadamu dari Mujahid, maka itu cukup bagimu.”
Aun bin Abdullah bin
Utbah bin Mas’ud Al Hudzalliy adalah seorang yang tsiqah (terpercaya) dan ahli
ibadah, wafat kira-kira tahun 120 H.
Ibnu Qutaibah namanya
adalah Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad Dainuriy Al Hafizh, seorang Ahli
Tafsir dan pemilik banyak karya. Ia wafat pada tahun 276 H.
Maksud ayat di atas
adalah bahwa kaum musyrik mengetahui bahwa yang mereka terima berasal dari Allah
Ta’ala, tetapi mereka malah mengingkarinya, yaitu dengan menyandarkan nikmat
itu kepada selain-Nya seperti kepada sesembahan mereka atau nenek moyang
mereka, sehingga pernyataan mereka bertentangan dengan apa yang mereka ketahui.
Mengingkari nikmat Allah
Ta’ala disebut kufur nikmat. Kebalikannya adalah syukur. Inilah yang
diperintahkan, dan rukun syukur ada tiga:
Pertama, menyebutnya dengan
lisan, lihat Qs. Adh Dhuha: 11.
Kedua, mengakui bahwa nikmat
itu berasal dari Allah Ta’ala, dalilnya adalah ayat di atas (Qs. An Nahl: 83)
Ketiga, menggunakan nikmat itu
untuk ketaatan kepada Allah; bukan untuk kemaksiatan.
Kesimpulan:
1. Kaum
musyrik mengakui tauhid Rububiyyah; namun tidak mengakui tauhid Uluhiyyah.
2. Wajibnya
menyandarkan nikmat kepada Allah Ta’ala.
3. Peringatan
agar tidak menyandarkan nikmat kepada selain Allah Ta’ala, karena hal itu
merupakan syirik dalam Rububiyyah.
4. Wajibnya
beradab dalam mengucapkan kalimat, dan haramnya bersandar kepada sebab.
**********
Abul Abbas (Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah) setelah mengupas hadits Zaid bin Khalid yang telah lewat
yang isnya menyebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Pada pagi hari ini, di
antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kufur…dan
seterusnya,” berkata, “Hal ini banyak terdapat dalam Al Qur’an dan As
Sunnah, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang yang menyekutukan-Nya dengan
menyandarkan nikmat-Nya kepada selain-Nya. Sebagian kaum salaf berkata, “Hal
ini sama seperti pernyataan mereka, “Hal ini karena anginnya bagus dan
nahkodanya pandai,” dan ucapan semisalnya yang biasa diucapkan banyak manusia.”
**********
Penjelasan:
Hadits Zaid bin Khalid telah disebutkan pada pembahasan hukum menisbatkan
turunnya hujan kepada bintang.
Maksud atsar di atas adalah bahwa kapal ketika berlayar dengan
baik dengan izin Allah, lalu mereka menisbatkan hal itu kepada angin yang bagus
dan kepandaian nahkoda; mereka melupakan Allah Tuhan mereka yang telah
mempermudah segala sesuatunya karena rahmat-Nya, sehingga hal ini sama seperti
menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang.
Orang yang mengucapkan kata-kata yang mengandung penyandaran
nikmat kepada selain Allah ada beberapa keadaan:
1. Jika menyandarkan kepada sebab yang tersembunyi; yang tidak
memiliki pengaruh sama sekali, seperti mengatakan “kalau bukan karena wali
fulan, tentu akan terjadi begini atau begitu,” maka hal ini adalah syirik
akbar (besar), karena pada pernyataan itu menunjukkan keyakinannya bahwa wali
fulan ikut serta mengatur alam semesta.
2. Jika penyandarannya kepada sebab yang benar dan dipandang syara
atau akal, maka boleh namun dengan syarat ia tidak beranggapan bahwa sebab
itulah yang menjadikan demikian dan tidak melupakan Allah yang menganugerahkan
nikmat itu. Contoh sebab yang dipandang syara adalah sabda Nabi shallallahu
alaihi wa sallam, “Kalau bukan karena aku, tentu ia (Abu Thalib) akan berada
di lapisan bawah neraka.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
3. Jika penyandarannya kepada sebab yang tampak, akan tetapi tidak
dianggap oleh syara, indra, maupun akal, maka ini adalah syirik asghar (kecil),
seperti menyatakan, bahwa kejadian itu disebabkan karena cincin ini atau itu,
dan bisa menjadi syirik akbar jika menyatakan, bahwa hal itu terjadi karena
cincin ini atau itu dengan sendirinya.
Kesimpulan Umum:
1. Dalam bab di atas diterangkan tentang contoh mengetahui nikmat
Allah namun malah mengingkarinya.
2. Mengetahui, bahwa pernyataan demikian sering terlontar di lisan
orang banyak.
3. Menyandarkan nikmat kepada selain Allah merupakan bentuk
mengingkari atau kufur terhadap nikmat. Sebaliknya menyandarkan nikmat kepada
Allah Azza wa Jalla merupakan bentuk syukur.
4. Menyandarkan nikmat kepada selain Allah Ta’ala bisa sebagai
kekufuran, baik kufur akbar (besar) maupun kufur asghar (kecil) tergantung
keyakinan yang ada dalam hati seseorang.
5. Terkadang dua hal bertentangan ada dalam hati.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr.
Shalih bin Fauzan Al Fauzan), A;
Qaulul Mufid alak Kitabit Tauhid (Syaikh
M. bin Shalih Al Utsaimin), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan Alusy
Syaikh), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.