بسم الله الرحمن الرحيم
Ringkasan Manhaj Kaum Salaf Dalam
Akidah dan Keistimewaan Manhaj Mereka
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut ringkasan
tentang manhaj Salaf dalam berakidah, yang poin-poinnya banyak
kami rujuk dari kitab Kun Salafiyyan Alal Jaddah karya Abdussalam As
Suhaimiy, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamin.
Ringkasan Manhaj Kaum
Salaf (Generasi Pertama Islam) Dalam Akidah
1. Sumber rujukan mereka
dalam akidah adalah kitabullah, sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
serta memahami nash-nash dengan pemahaman kaum salafush shalih.
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ،
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ،
فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Sesungguhnya,
barang siapa yang hidup di antara kalian (sepeninggalku), maka ia akan
menyaksikan banyak perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang
teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapatkan
petunjuk, gigitlah dengan geraham (genggamlah dengan kuat). Hendaklah kalian
menghindari perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena semua perkara
bid’ah adalah sesat.“ (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dia
(Tirmidzi) berkata, “Hasan shahih”)
Imam Syathibiy rahimahullah
berkata, “Oleh karena itu, wajib bagi orang yang memperhatikan dalil syar’i
untuk melihat apa yang difahami generasi terdahulu, dan apa yang mereka
kerjakan, karena hal itu lebih membuatnya dekat dengan kebenaran.” (Al
Muwafaqat 3/77)
Contoh firman Allah
Ta’ala,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman bersemayam di
atas Arsy.” (Qs. Thaha: 5)
Tidak ada kaum salaf
yang menafsirkan ‘istawa’ dengan istawla (menguasai).
Mujahid (w. 102 H) saat
menafsirkan firman Allah Ta’ala, “Ar Rahman bersemayam di atas Arsy.”
(Qs. Thaha: 5) mengatakan, “Tinggi di atas Arsyi.”
Bisyr bin Umar Az
Zahrani (w. 207 H) berkata, “Aku mendengar lebih dari seorang mufassir saat
menafsirkan firman Allah Ta’ala, “Ar Rahman bersemayam di atas Arsy.”
(Qs. Thaha: 5) mengatakan, “Irtafa’a” (berada di atas).
Imam Malik (w. 179 H)
berkata, “Istiwa (bersemayam) itu jelas, bagaimana hakikatnya ghairu ma’qul
(tidak dimengerti), menanyakannya bid’ah, dan mengimaninya wajib.”
Demikian pula dalam memahami
hadits,
لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah seseorang
berzina ketika dia sebagai seorang mukmin.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Tidak ada para sahabat
yang memahami, bahwa hadits ini menunjukkan pelaku dosa besar adalah kafir sebagaimana
pemahaman kaum Khawarij.
Catatan:
Qaul Sahabiy (pendapat seorang
sahabat)
Tentang qaul Sahabiy ada
beberapa keadaan sebagai berikut:
a. Qaul sahabiy adalah
hujjah terhadap perkara yang tidak ada ruang bagi ra’yu (pendapat) di sana
(seperti terkait masalah gaib), sehingga dihukumi marfu’ (dari Nabi shallallahu
alaihi wa sallam) sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu hadits. Oleh karena
itu, qaul tersebut didahulukan daripada qiyas, dan bisa ditakhshish dengannya
keumuman suatu dalil jika sahabat tersebut tidak sebagai sahabat yang terkenal
mengambil riwayat Israiliyyat (dari Bani Isaril) (Lihat Mudzakkkirah Ushulil
Fiqh karya Asy Syinqithi hal. 256).
b. Jika pendapat sahabat
menyelisihi nash (dalil) syar’i, maka didahulukan nash, dan tidak dipakai
pendapat sahabat.
c. Jika seorang sahabat
berpendapat, dan tidak ada yang menyelisihinya, sedangkan pendapat itu masyhur di
tengah-tengah mereka, maka menurut mayoritas fuqaha (Ahli Fiqih), bahwa hal itu
menjadi ijma’ (sukuti) dan sebagai hujjah.
d. Jika kita tidak
mengetahui apakah pendapat itu masyhur atau tidak, maka menurut mayoritas Ahli
Ilmu adalah diterima pendapatnya dan dijadikan pegangan.
e. Namun jika di antara
sahabat terjadi perbedaan pendapat, maka dipilih pendapat yang rajih, dan tidak
keluar dari pendapat itu.
2. Berhujjah dengan
hadits yang shahih dalam masalah akidah, baik hadits tersebut ahad maupun
mutawatir.
Dalilnya adalah firman
Allah Ta’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang
beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti.” (QS. Al Hujurat: 6)
Ayat ini menunjukkan
diterimanya berita dari seorang yang tsiqah (terpercaya), dan bahwa terhadap
orang ini tidak perlu diteliti, karena tidak sebagai orang yang fasik.
Lihat pembahasan secara
lebih luas di sini: http://wawasankeislaman.blogspot.co.id/2016/06/kehujjahan-hadits-ahad-dalam-menetapkan.html
Imam Abul Hasan Al
Asy’ari rahimahullah berkata, “Kesimpulan yang dipegang Ahli Hadits dan
Ahlussunnah adalah beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
para rasul-Nya, dan kepada apa yang datang dari sisi Allah, serta yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah (terpercaya) dari Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Mereka tidak menolak sedikit pun itu semua.” (http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=45633)
3. Menerima apa yang
disebutkan dalam wahyu dan tidak menolaknya dengan akal, serta tidak
membicarakan masalah ghaib yang tidak dijangkau oleh akal.
Ini adalah salah satu
prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni mengedepankan wahyu di atas akal, tidak
seperti kaum Mu’tazilah yang mengedepankan akal di atas wahyu. dan jika ada
kesan pertentangan antara dalil dengan akal, maka yang didahulukan adalah dalil
atau wahyu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Hujurat: 1)
Perlu diketahui, bahwa
tidak mungkin wahyu bertentangan dengan akal, karena wahyu memerintahkan
manusia untuk menggunakan akalnya, memuji mereka yang menggunakan akalnya, dan
mencela mereka yang tidak mau menggunakan akalnya (Lihat Qs. Az Zumar: 17-18
dan Al Mulk: 10). Kalau pun terkesan bertentangan karena keterbatasan
pengetahuan kita, maka wahyu didahulukan, karena wahyu adalah ilmu Allah Ta’ala
Yang Maha Mengetahui, sedangkan akal adalah ilmu makhluk yang terbatas.
Adapun dalil tidak
membicarakan masalah ghaib yang tidak dijangkau oleh akal adalah firman Allah
Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا
لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah,
"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun
yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, dan (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu serta (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui." (Qs. Al A’raaf: 33)
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabannya.” (Qs. Al Israa: 36)
4. Tidak mendalami ilmu
kalam dan filsafat.
Karena di dalam ilmu
tersebut manusia berbicara tentang Allah bersandar kepada akal, padahal
jangkaun akal sangat terbatas, dan dapat membuat seseorang berbicara tentang
Allah tanpa ilmu.
Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Umar Ar Raziy -dimana sebelumnya ia adalah seorang tokoh Ahli
Kalam- berkata,
نِهَايَةُ
إِقْدَامِ الْعُقُولِ عِقَالُ - وَغَايَةُ سَعْيِ الْعَالَمِينَ ضَلَالُ
وَأَرْوَاحُنَا
فِي وَحْشَةٍ مِنْ جُسُومِنَا - وَحَاصِلُ دُنْيَانَا أَذَى وَوَبَالُ
وَلَمْ
نَسْتَفِدْ مِنْ بَحْثِنَا طُولَ عُمْرِنَا - سِوَى أَنْ جَمَعْنَا فِيهِ: قِيلَ
وَقَالُوا
Akhir dari mendahulukan
akal adalah iqal (berputar-putar seperti ikat kepala)
Akhir dari usahanya
adalah kesesatan
Ruh yang ada di jasad
kami merasakan kerisauan
Hasil yang diperoleh
dari dunia kami hanyalah penderitaan dan kesusahan
Kami tidak memperoleh
dari penelitian kami sepanjang usia
Selain hanya
mengumpulkan qiila wa qaalu (dikatakan dan katanya).
5. Menolak takwil yang
batil.
Contoh takwil yang batil
adalah mengartikan istawa (bersemayam) dengan istawla (menguasa), mengartikan
‘tangan’ dengan kekuasaan, dan mengartikan ‘tinggi’ dengan sebatas kedudukan.
6. Menetapkan nama dan
sifat Allah mengikuti Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, tanpa
takwil/tahrif, takyif (menanyakan hakikatnya bagaimana), ta’thil (meniadakan),
dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan sifat makhluk).
Tahrif
atau takwil artinya mengartikan sebuah lafaz dari makna yang rajih (kuat)
kepada makna yang tidak rajih. Misalnya mengartikan makna istawa (bersemayam) dengan
makna istawlaa (menguasai) dalam ayat,
الرَّحْمَنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Tuhan Yang Maha Pemurah. bersemayam di atas 'Arsy.” (QS. Thaha:
5)
Padahal
makna istawa/bersemayam adalah tinggi dan berada di atas (irtafa’a wa alaa).
7. Menggabung nash-nash
yang ada terhadap suatu masalah.
Di antara cara agar
mendapatkan pemahaman yang benar terhadap dalil adalah dengan mengumpulkan
nash-nash yang ada dalam masalah yang sama. Imam Ahmad rahimahullah pernah
berkata, “Hadits itu jika engkau tidak kumpulkan jalur-jalurnya, maka engkau
tidak akan faham, karena hadits itu yang satu dengan yang lain saling
menafsirkan.” (Al Jami Li Akhlaqir Rawi (1651))
Inilah manhaj
Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka tidak seperti kaum Khawarij yang mengambil
nash-nash wa’id (ancaman) dan meninggalkan nash-nash wa’d (janji kebaikan),
juga tidak seperti kaum Murji’ah yang mengambil nash-nash wa’d (janji kebaikan)
dan meninggalkan nash-nash wa’id (ancaman), serta tidak seperti kaum
Mu’aththilah yang mengambil nash-nash tanzih (menyucikan Allah), namun
meninggalkan nash-nash itsbat (yang menetapkan sifat bagi Allah), dan tidak
seperti kaum Mumatstsilah yang mengambil nash-nash itsbat (yang menetapkan
sifat Allah), namun meninggalkan nash-nash tanzih (menyucikan Allah). Adapun
Ahlussunnah mengambil semua nash.
Betapa banyak hadits
yang lafaznya masih sulit difahami diterangkan oleh hadits yang lain, atau
lafaznya umum ditakhshis oleh hadits yang lain, atau masih mutlak lalu ditaqyid
(dibatasi) oleh hadits yang lain, dst.
Bagaimana memadukan
antara dua hadits yang terkesan bertetangan?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “Barang siapa yang mengira ada yang saling bertentangan dalam
kitabullah atau sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau antara
kitabullah dan As Sunnah, maka hal itu karena ilmunya yang dangkal,
pemahamannya yang kurang, atau karena kurang mentadabburi, maka hendaknya ia
kaji ilmu itu, dan jika belum jelas juga, maka serahkanlah kepada yang
mengetahuinya dan ucapkanlah, “Kami beriman kepadanya, semuanya datang dari
sisi Rabb kami.” (Al Ushul min Ilmil Ushul hal. 16)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Sebagian manusia mengira bahwa hadits-hadits yang ada ini
bertentangan dengan hadits-hadits yang lain yang membatalkan dan
menggugurkannya, namun kami mengatakan, segala puji bagi Allah, bahwa tidak ada
pertentangan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang sahih.
Jika sepertinya terjadi pertentangan, maka boleh jadi salah satu hadits itu
bukan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau sebagian rawi (periwayat)
keliru meskipun ia seorang yang tsiqah (terpercaya) dan kokoh, karena orang
yang tsiqah bisa saja keliru, atau salah satu hadits menasakh (menghapus) hadits
yang lain jika bisa dinasakh, atau pertentangan itu hanya pada pemahaman
pendengar; bukan pada sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Zaadul
Ma’ad 3/113 Cet. Al Mathba’ah Al Mishriyyah).
Perlu diketahui, bahwa
banyak hukum hukum-hukum syariat yang disyariatkan secara bertahap karena
memperhatikan kondisi manusia saat turunnya wahyu, sehingga terkadang di masa
awal hukumnya sunah, lalu menjadi wajib, atau sebelumnya mubah menjadi haram,
atau sebaliknya. Yang dijadikan patokan adalah keadaan yang terakhir. Ibnu
Syihab Az Zuhri rahimahullah berkata, “Yang diambil adalah bagian akhir
dan seterusnya dari perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan
oleh Bukhari)
Jika ada dua hadits yang
terkesan bertetangan, maka sikap yang perlu dilakukan adalah:
Pertama, menjama’
(mengkompromikan) dua hadits itu jika memungkinkan dikompromikan.
Al Hafizh berkata,
“Menjama’ lebih didahulukan daripada tarjih berdasarkan kesepakatan Ahli
Ushul.” (Fathul Bari 9/474)
Contoh hadits Abdullah
bin Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Shalat
berjamaah melebihi shalat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat." (HR.
Bukhari dan Muslim, dan dalam riwayat Bukhari dan Muslim juga dari Abu Hurairah
dengan lafaz "Dua puluh lima (derajat).").
Sebagian ulama
berpendapat, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebelumnya
menyebutkan bilangan yang kurang (25 derajat), lalu menyebutkan bilangan yang
lebih (27 derajat) sebagai tambahan yang dikaruniakan Allah Subhaanahu wa
Ta'ala untuk shalat berjamaah. Yang lain berpendapat, bahwa 27 derajat bagi
orang yang shalat berjamaah di masjid, sedangkan 25 derajat bagi orang yang
shalat berjamaah di selain masjid. Ada pula yang berpendapat, bahwa 27 derajat
bagi orang yang tinggal jauh dari masjid, sedangkan 25 derajat bagi orang yang
tinggal dekat dengan masjid. Dan ada pula yang berpendapat, bahwa derajat 27
itu untuk shalat berjamaah yang dijahar(keras)kan suaranya, sedangkan derajat
25 itu untuk shalat berjamaah yang disir(pelan)kan bacaannya, dan pendapat ini
yang dirajihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. Ada pula yang berpendapat, bahwa
perbedaan keutamaan itu dilihat kepada keadaan orang yang shalat, bagi yang
menunggu tibanya shalat jelas lebih besar daripada yang tidak menunggu, dan ada
pula yang berpendapat, bahwa perbedaan keutamaan itu tergantung banyaknya
jamaah dan sedikitnya, wallahu a'lam.
Kedua, jika tidak
memungkinkan dijama’, maka dilihat mana dalil yang terakhir keluar, sehingga
yang terakhir itu memansukh (menghapus) yang pertama.
Ketiga, melakukan tarjih; yakni
mana di antara dalil-dalil itu yang lebih kuat dengan memperhatikan berbagai
sisi penguatnya.
Imam Syathibiy rahimahullah
berkata, “Barang siapa yang memperhatikan pokok-pokok syariat, maka
dalil-dalilnya hampir tidak ditemukan bertentangan, karena dalam syariat tidak
ada pertentangan sama sekali. Dan tidak mungkin ada dua dalil dimana kaum
muslimin sepakat terhadap kontradiksi antara keduanya yang membuat mereka
tawaqquf (diam), namun karena seorang
mujtahid tidak ma’shum (lepas dari dosa) boleh jadi yang terjadi pertentangan
bukan dalam nashnya tetapi dalam pemahamannya.” (Al Muwafaqat 4/294).
Keistimewaan Manhaj
Salaf
1. Mengikuti manhaj
salaf lebih menguatkannya di atas kebenaran dan tidak mudah berubah sebagaimana
kebiasaan Ahlul Ahwa (Ahli Bid’ah).
Hudzaifah radhiyallahu
anhu pernah berkata kepada Abu Mas’ud, “Sesungguhnya kesesatan adalah
menganggap baik apa yang engkau ingkari, dan mengingkari apa yang engkau tahu
sebagai hal yang baik. Hati-hatilah dari berganti warna dalam agama, karena
agama Allah hanya satu.”
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya apa yang ada dalam diri
kaum muslimin dan para ulamanya dari kalangan Ahlussunnah berupa pengetahuan,
keyakinan, ketentraman, pengetahuan secara yakin terhadap kebenaran, pernyataan
yang teguh dan jelas termasuk hal yang tidak diperselisihkan keadaan itu (dalam
diri mereka) selain mereka yang dicabut akal dan agamanya oleh Allah Ta’ala.” (Majmu
Fatawa 4/19).
2. Sepakat pemiliknya di atas akidah dan tidak
berselisih meskipun berbeda waktu dan tempat.
3. Pemilik manhaj salaf
lebih tahu terhadap keadaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, perbuatan dan
ucapannya, serta dapat memisahkan mana yang shahih dan mana yang dhaif. Oleh
karena itu, mereka lebih cinta kepada Sunnah, lebih semangat mengikuti, dan
lebih berwala kepada orang-orang yang mengikutinya.
4. Meyakini, bahwa jalan
kaum Salafush Shalih adalah jalan yang lebih selamat, lebih dalam ilmunya, dan
lebih bijaksana; tidak seperti yang dikatakan oleh kaum Mutakallimin (Ahli kalam)
bahwa jalan kaum salaf lebih selamat, namun jalan kaum khalaf (generasi
belakang) lebih dalam ilmunya dan lebih bijaksana.
5. Semangatnya mereka menyebarkan
akidah yang sahih dan agama yang lurus, mengajarkan manusia dan memberi mereka
nasihat, serta membantah orang-orang yang menyimpang dan Ahli Bid’ah.
6. Pertengahannya mereka
di antara firqah-firqah yang ada.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, “Mereka (Ahlussunnah) pertengahan dalam
menyikapi asma (nama) Allah antara kaum Mu’aththilah Jahmiyyah (meniadakan
sifat Allah) dan kaum Mumatstsilah Musyabbihan (menyerupakan sifat Allah).
Mereka juga pertengahan dalam masalah perbuatan Allah antara kaum Qadariyyah (yang
mengingkari takdir) dan Jabriyyah, dan dalam menyikapi ancaman antara kaum
Murji’ah dan Wa’idiyyah (yang hanya mengambil nash-nash wa’id/ancaman
meninggalkan wa’d/janji kebaikan) dari kalangan kaum Qadariyyah dan lainnya. Demikian
pula pertengahan dalam hal iman dan agama antara kaum Haruriyyah dan
Mu’tazilah, antara kaum Murji’ah dan Jahmiyyah, dan pertengahan pula tentang
para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam antara kaum Rafidhah (Syi’ah)
dan Khawarij.” (Majmu Fatawa 3/141)
Wallahu
a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Kun Salafiyyan Alal Jaaddah (Syaikh
Abdussalam As Suhaimi), http://www.baynoona.net/ar/article/383
, https://islamqa.info/ar/229770,
http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=45633,
https://www.al-forqan.net/articles/3199.html,
Maktabah Syamilah
versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar