بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (42)
(Mengingkari Sebagian Nama dan Sifat
Allah)
Segala
puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak kami
rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr.
Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Barang siapa Yang Mengingkari Sebagian Nama
dan Sifat Allah Ta’ala
Firman Allah Ta’ala,
وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ قُلْ هُوَ رَبِّي
لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ مَتَابِ
“Padahal mereka kafir kepada Ar Rahman. Katakanlah,
"Dia-lah Tuhanku tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia; hanya
kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat." (Qs.
Ar Ra’d: 30)
**********
Penjelasan:
Oleh
karena tauhid terbagi tiga, yaitu tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma wa
Shifat, dan beriman kepada Allah tidak akan terwujud sampai mengimani tiga hal
ini, maka penulis (Syaikh Muhammad At Tamimi) menyebutkan masalah ini untuk
menerangkan hukum orang yang mengingkari sebagian nama atau sifat-Nya.
Firman-Nya,
“Padahal mereka kafir kepada Ar Rahman,” yakni orang-orang kafir Quraisy
mengingkari nama Ar Rahman padahal Ar Rahman adalah salah satu nama Allah, dan
rahmat adalah salah satu sifat-Nya. Selanjutnya Allah memerintahkan Rasul-Nya
shallallahu alaihi wa sallam untuk membantah pengingkaran mereka ini dan
memerintahkan untuk menyatakan keimanan kepada Allah berikut nama dan
sifat-Nya, dan bahwa Dia saja yang berhak disembah, kepada-Nya kita bertawakkal
dan kepada-Nya kita kembali.
Ayat
di atas menunjukkan bahwa mengingkari sebagian nama dan sifat Allah merupakan
kekufuran.
Kesimpulan:
1.
Wajibnya beriman
kepada nama dan sifat Allah Ta’ala.
2.
Wajibnya bertawakkal
dan bertaubat kepada-Nya.
3.
Wajibnya mengikhlaskan
ibadah hanya kepada Allah Ta’ala.
**********
Dalam
Shahih Bukhari disebutkan, “Ali radhiyallahu anhu berkata,
حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ، أَتُرِيْدُوْنَ
أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ؟
“Berbicaralah
kepada manusia dengan apa yang difahami mereka, sukakah kalian jika Allah dan
Rasul-Nya didustakan?”
**********
Penjelasan:
Shahih Bukhari adalah kitab yang memuat hadits-hadits yang
shahih yang dikumpulkan oleh Imam Bukhari yang bernama Muhammad bin Ismail Al
Bukhari. Bukhari adalah nisbat kepada sebuah kota bernama Bukhara yang berada
di Uzbekistan.
Atsar di atas disebutkan dalam Shahih
Bukhari no. 127.
Dalam atsar (riwayat dari sahabat) di atas
diterangkan, bahwa sepatutnya kita berbicara kepada kalangan masyarakat awam
dengan kata-kata yang yang biasa dikenal mereka, memberikan manfaat bagi pada
pondasi maupun cabang agama mereka, seperti tauhid, halal dan haram, serta
meninggalkan hal yang memalingkan dari itu yang terkadang membuat kebenaran
ditolak, dan sulit difahami dan dijangkau akal mereka.
Dari atsar di atas dapat kita simpulkan,
bahwa jika penyampaian kita dikhawatirkan tidak mereka fahami, maka sebaiknya
tidak perlu disampaikan meskipun benar.
**********
Abdurrazzaq
meriwayatkan dari Ma’mar dari Ibnu Thawus, dari ayahnya dari Ibnu Abbas, bahwa
ia melihat seseorang terkejut ketika mendengar hadits dari Nabi shallallahu
alaihi wa sallam tentang sifat Allah karena merasa keberatan dengan hal
tersebut, maka Ibnu Abbas berkata, “Apa yang dikhawatirkan mereka? Mereka mau
mendengar dan menerima ayat-ayat yang muhkamat (jelas pengertiannya), namun keberatan
ketika dibacakan ayat-ayat mutasyabihat (tidak dimengerti maksudnya).”
**********
Penjelasan:
Abdurrazzaq
bin Hammam Ash Shan’ani adalah seorang imam, hafizh, penyusun berbagai karya,
yang wafat pada tahun 211 H.
Ma’mar
adalah Abu Urwah Ma’mar bin Rasyid Al Azdiy Al Bashri, seorang yang tsiqah lagi
kokoh, wafat pada tahun 154 H.
Ibnu
Thawus adalah Abdullah bin Thawus Al Yamani, seorang yang tsiqah, utama, dan
ahli ibadah, wafat pada tahun 132 H.
Thawus
adalah Thawus bin Kaisan Al Janadiy, seorang imam.
Atsar
di atas disebutkan pula oleh Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah (485) dan dishahihkan
isnadnya oleh Syaikh Al Albani.
Dalam
atsar di atas, Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma mengingkari sebagian manusia yang
hadir di majlisnya, dimana mereka merasa keberatan mendengarkan hadits-hadits
tentang sifat Allah Ta’ala, sehingga tidak terwujud dari mereka keimanan yang
wajib terhadap apa yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
mereka mengetahui maknanya dari Al Qur’an, dimana hal itu adalah kebenaran yang
tidak mungkin seorang mukmin ragu di dalamnya, namun sebagian mereka malah
mentakwilnya dengan makna yang tidak diinginkan Allah Ta’ala.
Disebutkan
atsar ini setelah atsar dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu yang
menerangkan sepatutnya tidak berbicara dengan manusia dengan sesuatu yang tidak
mereka fahami, lalu disebutkan atsar di atas untuk menunjukkan bahwa nash-nash
yang menyebutkan sifat-sifat Allah Ta’ala tidak termasuk hal yang dilarang
membicarakannya, bahkan patut disampaikan, dan keberatan sebagian manusia
menyimaknya bukanlah menjadi faktor penghalang untuk menyebutkannya, karena
para ulama sejak dahulu membacakan ayat dan hadits tentang sifat Allah Ta’ala
di hadapan manusia baik kalangan awam maupun kalangan penuntut ilmu.
Kesimpulan:
1.
Tidak mengapa
menyampaikan ayat dan hadits tentang sifat Allah Ta’ala di hadapan masyarakat
awam.
2.
Menolak salah satu
sifat Allah Ta’ala atau mengingkarinya padahal sahih merupakan kebinasaan.
3.
Kritik terhadap mereka
yang berkeberatan menyimak ayat dan hadits tentang sifat Allah Ta’ala.
**********
Orang-orang
Quraisy ketika mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebut nama Ar
Rahman, maka mereka mengingkarinya, lalu Allah menurunkan firman-Nya,
وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ
“Padahal
mereka kafir kepada Ar Rahman." (Qs. Ar Ra’d: 30)
**********
Penjelasan:
Saat
kaum musyrik hendak mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin dalam perjanjian
Hudaibiyah, dan ketika di perjanjian itu ditulis ‘Bismillahirrahmanirrahim,’
maka mereka (kaum musyrik) berkata, “Adapun
Ar Rahman, maka kami tidak mengenal-Nya.” Kami tidak menulis kecuali dengan
kalimat Bismikallahumma, lalu turunlah ayat di atas karena pengingkaran
mereka terhadap nama Allah Ar Rahman. Ada pula yang berpendapat, bahwa ayat di
atas turun ketika mereka mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa
dalam sujudnya ‘Yaa Rahmaan yaa Rahiim,’ maka mereka berkata, “Orang ini (Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam) mengatakan bahwa dirinya berdoa kepada satu
Tuhan, namun yang dia sebut Ar Rahman dan Ar Rahim, maka turunlah ayat di atas
atau turun ayat di surat Al Israa’: 110, wallahu a’lam.
Kesimpulan:
1.
Menetapkan nama dan
sifat bagi Allah Ta’ala mengikuti Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa
sallam.
2.
Banyak nama tidak
menunjukkan banyak dzat.
3.
Disyariatkan berdoa
kepada Allah dengan nama dan sifat-Nya.
**********
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa
alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan
Alusy Syaikh), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar