بسم
الله الرحمن الرحيم
Mengenal Asma’ul Husna (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan ringkas tentang Asma’ul Husna atau
nama-nama Allah Yang Indah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (Definisi)
Asma’ul Husna
Asma’ul Husna artinya
nama-nama Allah yang indah. Disebut ‘husna’ karena seluruh nama Allah sangat indah, dimana nama-nama-Nya indah terdengar di telinga, indah di hati, dan indah maknanya. Di samping itu, nama-nama-Nya juga menunjukkan keesaan-Nya, kasih
sayang-Nya dan karunia-Nya, demikian juga mengandung sifat kesempurnaan-Nya
yang tidak memiliki kekurangan sama sekali dari berbagai sisi[i].
Dalil Asma’ul Husna
Asma’ul Husna disebutkan
dalilnya baik dalam Al Qur’an maupun dalam As Sunnah.
Dalam Al Qur’an, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ
يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah
Asmaa’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaa’ul Husna itu
dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (Qs. Al A’raaf: 180)
Sedangkan dalam As
Sunnah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ
أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ » .
"Sesungguhnya Allah memiliki
sembilan puluh sembilan nama; seratus dikurang satu. Barang siapa yang
mengihsha'nya, maka ia akan masuk surga." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan
nama-nama Allah Ta'ala yang berjumlah 99, namun hal itu merupakan idraj
(selipan) perawi, bukan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syarah Hadits Asma’ul
Husna
Maksud
hadits di atas adalah bahwa di antara nama-nama Allah ada sembilan puluh sembilan
nama, bagi yang mengihsha'nya (nanti akan diterangkan tentang makna ihshaa'
–insya Allah-), maka ia akan masuk surga.
Hadits
di atas bukanlah maksudnya membatasi nama Allah hanya sembilan puluh sembilan.
Karena ada hadits lain yang menerangkan bahwa nama Allah itu tidak dibatasi
dalam jumlah tersebut,
yaitu dalam doa ketika sedih yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam berikut,
اللَّهُمَّ
إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ
فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ
سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ
أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ
عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ
حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي
“Ya Allah, sesungguhnya aku hamba-Mu, anak hamba-Mu yang laki-laki, anak hamba-Mu yang
perempuan, ubun-ubunku berada di Tangan-Mu, berlaku kepadaku hukum-Mu, adil
sekali keputusan-Mu. Aku meminta kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu yang
Engkau namai Diri-Mu dengan nama-nama itu, atau Engkau ajarkan kepada salah
seorang di antara makhluk-Mu, atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu,
atau hanya Engkau sendiri saja yang mengetahuinya dalam ilmu gaib yang ada pada
sisi-Mu, jadikanlah Al Qur’an penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penghilang
sedihku dan keresahanku.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani dalam Ash Shahiihah no. 199)
Contoh
yang sama dalam hal ini adalah jika seorang berkata, "Saya memiliki
seratus dirham yang saya siapkan untuk sedekah,"
maka tidaklah menutup kemungkinan, bahwa ia memiliki beberapa dirham lagi yang
disiapkan untuk selain sedekah.
Makna Ihsha’
Menurut Imam
Bukhari dan lainnya, bahwa ihsha’ maksudnya menghafalnya, dan itulah yang tampak, karena salah satu riwayat
menafsirkan demikian dengan lafaz “Man hafizhaha” (barang siapa yang
menghapalnya). Maksud menghafal di sini
menurut Imam Ash Shan’aniy adalah menghafal semua nama yang disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang sahih,
meskipun kenyataannya lebih dari 99 nama. Dengan demikian, hadits tersebut
mendorong untuk menggalinya dari Al Quran dan As Sunnah serta menghafalnya.
Menurut yang lain, bahwa maksud ihsha’ adalah sanggup memenuhi hak nama-nama tersebut dan
mengamalkan konsekwensinya, ia menghayati maknanya dan menekan dirinya untuk
mengamalkan konsekwensinya, sehingga ketika ia mengucapkan, “Ar Razzaq” (Maha
Pemberi rezeki), maka ia pun yakin dengan rezeki dari-Nya, demikian juga ia
lakukan demikian pada nama-nama-Nya yang lain.
Ada pula yang
mengatakan, bahwa maksud ihsha’ adalah mengetahui makna-maknanya.
Ada pula yang
berpendapat, bahwa maksud ihsha’ adalah mengamalkannya, sehingga ketika ia
mengucapkan “Al Hakim” (Mahabijaksana), ia pun pasrah dengan semua urusan yang
terjadi padanya, karena hal itu sejalan dengan hikmah atau kebijaksanaan-Nya.
Demikian pula ketika ia mengucapkan “Al Quddus,” maka ia menghayati bahwa Allah
bersih dari semua kekurangan dan aib.
Menurut Ibnu Baththal, cara mengamalkan nama-nama itu adalah jika bisa
diikuti, seperti nama-Nya Ar Rahiim (Maha Penyayang) dan Al Karim (Mahamulia),
maka ia berusaha melatih dirinya untuk memiliki sifat itu. Adapun yang khusus
bagi Diri-Nya, seperti Al Jabbar (Mahaperkasa) dan Al ‘Azhiim (Maha Agung), maka
ia mengakuinya, tunduk kepadanya dan tidak menyifati dirinya dengannya.
Menurut Ibnul Qayyim,
ihsha itu ada tiga tingkatan: (1) Menjumlahkannya, (2) memahami makna dan
kandungannya, (3) berdoa dengannya, baik doa berupa ibadah maupun doa
permohonan (Lihat Bada’iul Fawaid 1/164).
Kaedah Seputar Asma’ul
Husna
1. Nama-nama
Allah terdiri dari nama dan sifat.
2.
Nama-nama Allah Azza wa Jalla jika menunjukkan sifat yang mengena kepada yang
lain, maka mengandung tiga hal: (a) Tetapnya nama tersebut bagi Allah Azza wa
Jalla, (b) Tetapnya sifat yang dikandungnya untuk Allah Azza wa Jalla, (c),
Tetapnya hukum dan konsekwensinya. Contoh: Nama-Nya As Samii' (Maha
Mendengar), maka ditetapkan darinya nama As Sami', sifat sama' (mendengar), dan
hukumnya, yaitu bahwa Dia mendengar semua yang terdengar.
Tetapi jika menunjukkan sifat yang
tidak mengena kepada yang lain, maka nama tersebut mengandung dua hal: (a)
Tetapnya nama tersebut bagi Allah Azza wa Jalla, (b) Tetapnya sifat yang
dikandungnya bagi Allah Azza wa Jalla. Contoh: Al Hayy (Yang Mahahidup), maka
dari sana ditetapkan nama Al Hayy bagi Allah, serta ditetapkan sifat hayat
(hidup) bagi-Nya.
3. Kandungan nama-nama Allah Azza wa
Jalla yang menunjukkan nama dan sifat-Nya berlaku muthabaqah, yakni kandungan lafaznya mengena
kepada semua maknanya. Maksudnya, menunjukkan dzat dan sifat. Contohnya, nama
Ar Rahman, maka secara muthabaqahnya adalah menunjukkan dzat Allah dan
menunjukkan sifat rahmat (kasih-sayang).
Adapun secara tadhammun (sudah masuk
di dalamnya),
yakni kandungan lafaz menunjukkan salah satu makna, dalam arti, kandungan
tersebut menunjukkan dzat secara tersendiri dan sifat secara tersendiri dengan
meyakini bahwa nama tersebut tidak lepas dari sifat. Hal ini termasuk bagian
yang tidak dapat dilepaskan; yang menunjukkan kedua-duanya secara bersamaan.
Contoh Nama-Nya Al Khaaliq menunjukkan kepada masing-masingnya;
dzat dan sifat mencipta, yakni nama Al Khaaliq ini sudah mengandung dzat dan
mengandung sifat.
Sedangkan secara iltizam (menghendaki
memasukkan bagian lain ke dalamnya),
yakni kandungan lafaz mengena kepada perkara di luar itu. Contoh nama-Nya
Al Khaaliq menunjukkan adanya sifat ilmu (mengetahui) dan sifat qudrah (memiliki
kemampuan), inilah yang disebut iltizam.
4. Nama-nama Allah Ta'ala adalah
tauqifiyyah (diam menunggu dalil), tidak berlaku pendapat akal di sana, yakni
tidak bisa ditetapkan salah satu dari nama-nama Allah Azza wa Jalla kecuali
dengan dalil dari Kitabullah dan sunnah Nabi kita yang sahih shallallahu
'alaihi wa sallam.
5. Tidak boleh melakukan ilhad dalam
nama-nama Allah Ta'ala.
Hal ini ada beberapa macamnya:
a.
Mengingkari salah satunya, atau
mengingkari sifat dan hukum yang ditunjukkan olehnya sebagaimana yang dilakukan
oleh kaum Mu'aththilah dari kalangan Mu'tazilah, Jahmiyyah, Asy'ariyyah, dan
lain-lain.
b.
Menjadikan nama tersebut menunjukkan
sifat yang serupa dengan sifat makhluk sebagaimana yang dilakukan kaum
Mumatstsilah.
c.
Menamai Allah Azza wa Jalla dengan
nama yang tidak diberikan Allah untuk Diri-Nya.
d.
Memuncukan dari nama-nama Allah Azza
wa Jalla nama yang diperuntukkan bagi berhala sebagaimana yang dilakukan kaum
musyrik ketika memunculkan nama al 'uzza dari nama Al 'Aziz dan Laata
dari nama Al Ilaah.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Untaian Mutiara Hadits (Penulis), Maktabah Syamilah
versi 3.45, Ta’liq Mukhtashar ala Lum’atil I’tiqad, (Syaikh M. bin Shalih Al
Utsaimin), Al Qawa’idul Mutsla (Syaikh M. bin Shalih Al Utsaimin), http://www.alukah.net/sharia/0/82205/
, dll.
[i] Dari sini kita ketahui,
bahwa Ad Dahr, tidaklah termasuk nama-nama-Nya, karena di dalamnya tidak
mengandung makna yang sangat indah. Adapun hadits yang menyebutkan, "Laa tasubbud dahr, fa 'innallaha huwad dahr" (janganlah
kalian memaki masa, karena Allah adalah masa), maksudnya adalah bahwa Allah
yang menguasai masa dan mengaturnya, hal ini berdasarkan riwayat selanjutnya,
bahwa Allah Ta'ala berfirman,
بِيَدِي الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ
"Di tangan-Kulah semua urusan, Aku membolak-balikkan malam
dan siang." (HR. Muslim)
0 komentar:
Posting Komentar