بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (49)
Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain
Allah Azza wa Jalla
Segala puji bagi Allah Rabbul
'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas
terhadap Kitab
Tauhid karya Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak merujuk
kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih
bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan penyusunan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
**********
Bab:
Nama Yang
Diperhambakan Kepada Selain Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Ta’ala,
فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحاً جَعَلاَ لَهُ شُرَكَاء
فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى الله عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Ketika Allah memberi kepada keduanya seorang
anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak
yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari
apa yang mereka persekutukan.” (Terj. Qs. Al
A’raaf: 190)
Ibnu Hazm berkata, “Para ulama sepakat akan
haramnya nama yang diperhambakan kepada selain Allah, seperti Abdu ‘Amr (hamba
Amar), Abdul Ka’bah (hamba Ka’bah) dan semisalnya selain Abdul Muththalib.”
Terkait dengan ayat di atas Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma berkata, “Setelah Adam menggauli istrinya Hawa, ia pun
hamil, lalu Iblis mendatangi keduanya dan berkata, “Aku adalah kawan kamu
berdua yang membuat kalian keluar dari surga, kamu harus menaatiku atau aku
akan jadikan fisik anakmu memiliki dua tanduk seperti rusa, sehingga ia lahir
dari perut istrimu dengan merobeknya. Aku pasti akan melakukannya. Aku pasti
akan melakukannya –dengan maksud menakuti keduanya-. Namailah anakmu dengan
nama Abdul Harits, namun keduanya menolak perintah Iblis dan ternyata lahir
dalam keadaan mati. Kemudian Hawa hamil kembali, lalu Iblis mendatangi keduanya
lagi dan berkata seperti sebelumnya, namun keduanya menolak juga perintah
keduanya dan janinnya pun mati lagi. Lalu Hawa hamil lagi kemudian Iblis
mendatangi keduanya dan mengatakan seperti sebelumnya, namun karena Adam dan
Hawa cenderung lebih mencintai keselamatan anaknya, maka keduanya menamai
anaknya dengan nama ‘Abdul Harits’. Itulah maksud firman Allah Ta’ala, “Maka
keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah
dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu.”(Qs. Al A’raaf: 190) (Hr.
Ibnu Abi Hatim)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan pula dengan sanad
yang shahih, bahwa Qatadah dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Maksudnya
menyekutukan Allah dengan menaati Iblis, bukan dengan beribadah kepadanya.”
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan pula dengan sanad
yang shahih dari Mujahid tentang firman Allah Ta’ala,
لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحاً
"Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami
anak yang saleh (fisiknya normal), (tentulah Kami termasuk orang-orang yang
bersyukur).” (Qs. Al A’raaf:
189)
Ia berkata, “Keduanya takut kalau anaknya
bukan menjadi manusia.”
Disebutkan pula seperti itu dari Al Hasan,
Sa’id, dan lainnya.
**********
Penjelasan:
Hadits
Ibnu Abbas di atas diriwayatkan pula oleh Tirmidzi no. 3077 namun didhaifkan
oleh Syaikh Al Albani. Juga diriwayatkan oleh Hakim 2/545.
Ibnu
Hazm atau Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm Al Qurthubi Azh Zhahihri
adalah ulama Andalusia (Spanyol) yang wafat tahun 456 H, semoga Allah
merhamatinya.
Dibahas
masalah di atas dalam kitab Tauhid adalah untuk menerangkan, bahwa menamakan
anak dengan nama yang diperhambakan kepada selain Allah Azza wa Jalla adalah
syirik dalam ketaatan dan kufur nikmat.
Pengecualian
nama Abdul Muththalib yang disebutkan Ibnu Hazm di atas adalah karena asal nama
ini berhubungan dengan perbudakan, atau sebagai pemberitaan dengan nama yang
dikenal; bukan sebagai pemberian nama.
Maksud
ayat di atas adalah orang-orang musyrik itu menjadikan sekutu bagi Allah
terhadap anak yang dianugerahkan-Nya itu. Mereka memandang anak mereka sebagai
hamba bagi berhala yang mereka sembah. Oleh karena itulah mereka menamakan
anak-anak mereka dengan Abdul Uzza, Abdu Manaah, Abdu Syam, ‘Abdul Harits dan
sebagainya. Padahal seharusnya mereka bersyukur kepada Allah yang telah
menganugerahkan kepada mereka anak yang sempurna fisiknya, namun ternyata
mereka malah berbuat syirk, baik syirk dalam beribadah maupun dengan menamai
anaknya dengan nama yang diperhambakan kepada selain Allah Subhaanahu wa
Ta'aala.
Adapun
pernyataan bahwa ayat di atas tertuju kepada Adam dan Hawa adalah tidak tepat
karena hadits yang menyebutkan demikian tidak shahih, wallahu a’lam.
Kesimpulan:
1.
Haramnya menamai anak
dengan nama yang diperhambakan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2.
Syirik bisa terjadi
dalam nama, meskipun tidak bermaksud demikian.
3.
Pemberian Allah Ta’ala
kepada seseorang berupa anak adalah nikmat yang patut untuk disyukuri,
4.
Termasuk syukur adalah
memberi nama dengan nama yang diperhambakan kepada Allah Azza wa Jalla.
**********
Bab:
Penetapan Asma’ul Husna Hanya Untuk Allah
Firman
Allah Ta’ala,
وَلِلّهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
وَذَرُواْ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Hanya
milik Allah Asmaa’ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa
yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Al A’raaf: 180)
Ibnu
Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya “orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.”
Yaitu
dengan berbuat syirik (dalam nama-Nya).
Dari
Ibnu Abbas pula, bahwa maksudnya, “Mereka menamai Lata dari nama Al Ilah, dan
Uzza dari nama Al Aziz.”
Menurut
Al A’masy, mereka memasukkan ke dalam Asma’ul Husna nama-nama yang tidak
termasuk bagian darinya.
**********
Penjelasan:
Dalam bab ini penyusun (Syaikh M. At Tamimi)
hendak membantah orang-orang yang bertawassul (mengadakan perantara) kepada
Allah dengan perantaraan orang-orang yang telah mati, dan ingin menerangkan
bahwa yang disyariatkan adalah bertawassul dengan menyebut Asma’ul Husna dan
Sifat-Nya yang Tinggi.
Al A’masy adalah Sulaiman bin Mihran Al Kufi;
seorang Ahli Fiqih yang tsiqah (terpercaya), hafizh dan wara, wafat pada tahun
147 H.
Asma’ul Husna artinya nama-nama Allah Yang sangat Indah,
dimana tidak ada nama yang lebih indah dan lebih sempurna dari nama-nama itu.
Maksud ”Maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu,” yakni
mintalah kepada Allah dengan menyebut Asma’ul Husna dan bertawassullah
dengannya. Misalnya dengan berkata, “Yaa Razzaq, urzuqnaa” (artinya: Wahai
Pemberi rezeki, berilah kami rezeki).
Dalam
ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan tentang Diri-Nya, bahwa Dia
memilki nama-nama yang sangat indah dan sempurna, dan memerintahkan
hamba-hamba-Nya meminta kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu, serta
meninggalkan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya dengan berbagai bentuk penyimpangan, dan bahwa mereka akan
mendapatkan hukuman atas sikapnya.
Catatan:
Ibnul Qayyim dalam Bada'iul Fawa'id (1/1533-154)
menyebutkan beberapa contoh ilhad (melakukan penyimpangan) dalam nama-nama
Allah sebagai berikut:
Pertama,
menamai patung-patung dengan
nama-nama-Nya, seperti penamaan yang dilakukan mereka (kaum musyrik kepada
sesembahan mereka) dengan nama Laata dari kata ilaahiyyah, nama Uzza
dari kata Aziz, menamai patung dengan nama ilaah. Ini pada
hakikatnya adalah ilhad, karena mereka mengarahkan nama-nama-Nya untuk nama
berhala-berhala dan sesembahan-sesembahan mereka yang batil.
Kedua, menamai Allah Ta'ala dengan nama yang tidak
sesuai dengan keagungan-Nya, seperti kaum Nasrani menamai-Nya dengan nama
"bapak."
Ketiga, menyifati Allah Ta'ala dengan sifat-sifat
kekurangan yang Dia Mahatinggi lagi Mahasuci daripada sifat-sifat itu, seperti
perkataan orang-orang Yahudi yang paling keji, "Sesungguhnya Allah
miskin."
Keempat, meniadakan kandungan dari nama-nama-Nya dan
menolak hakikatnya.
Kelima, menyerupakan sifat-sifat-Nya
dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Mahatinggi Allah dari apa yang dikatakan kaum
musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dengan
ketinggian yang besar.
Di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa termasuk
ilhad pula mengingkari salah satu di antara nama-nama itu, atau mengingkari
sifat dan hukum yang ditunjukkan olehnya sebagaimana yang dilakukan oleh kaum
Mu'aththilah dari kalangan Mu'tazilah, Jahmiyyah, Asy'ariyyah, dan lain-lain.
Menurut Al A’masy, termasuk menyimpang dalam Asma’ul
Husna adalah memasukkan nama-nama yang tidak termasuk bagian darinya.
Menurut Syaikh Abu Bakar Al Jazairiy rahimahullah, termasuk
ilhad pula adalah yang dilakukan oleh kaum Shufi dengan menetapkan namaa-nama
bagi Allah yang tidak disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Kesimpulan:
1.
Menetapkan Asma’ul
Husna dan sifat-sifat-Nya Yang mulia sesuai yang layak bagi-Nya, dan dalam hal
ini kita menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
shallallahu alaihi wa sallam.
2.
Nama-nama Allah
semuanya husna (Mahaindah).
3.
Perintah berdoa kepada
Allah dan bertawassul kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah.
4.
Haramnya melakukan
penyimpangan terhadap nama-nama-Nya, baik dengan meniadakannya, mentakwilnya,
maupun menamai makhluk dengannya.
5.
Perintah berpaling
dari orang-orang yang bodoh dan menyimpang, dan tidak memperhatikan mereka.
6.
Ancaman keras bagi
orang yang melakukan penyimpangan dalam Asma’ul Husna.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa
alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al Mulakhkhash fi Syarh
Kitab At Tauhid (Dr. Shalih Al
Fauzan), Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (penulis), dll.