بسم
الله الرحمن الرحيم
Mengenal Manhaj Salaf
Segala
puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut pembahasan tentang manhaj salaf, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan
penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Manhaj As Salaf Shalih seperti kapal Nabi Nuh
alaihis salam; siapa yang menaikinya akan selamat, sebaliknya yang
meninggalkannya akan membawanya kepada kebinasaan. Yang demikian adalah karena
Manhaj As Salaf Ash Shalih itulah Islam yang shahih.
Manhaj As Salaf Ash Shalih tidak
seperti kaum Khawarij yang mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan
darahnya. Tidak juga seperti kaum Murji’ah yang menyingkirkan amal dari bagian
iman.
Demikian pula manhaj As Salaf Ash Shalih
tidak seperti kaum Mu’tazilah yang mendahulukan akal di atas wahyu. Tidak juga
seperti Kaum Sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara dan dengan
kehidupan sehiari-hari.
Kita mengetahui bahwa manhaj salaf itulah
Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, karena salaf adalah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat, dan para tabiin.
Para sahabat radhiyallahu anhum adalah orang
yang lebih memahami Islam. Mereka menerima agama ini; Al Qur’an dan As Sunnah
langsung dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam; mereka mengimaninya,
menerimanya, memahaminya, dan mengamalkannya. Kemudian cara beragama yang benar
ini diikuti oleh para tabiin, lalu diikuti oleh Ahlussunnah wal Jamaah
setelahnya sepanjang zaman. Inilah yang dimaksud manhaj.
Sejak dahulu telah bermunculan
kelompok-kelompok yang menyelisihi manhaj Salaf atau Ahlussunnah wal Jama’ah,
seperti Khawarij, Qadariyyah, Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan seterusnya.
Definisi Manhaj As Salaf Ash Shalih
Manhaj secara bahasa artinya
jalan yang terang dan lurus, baik kongkret (nyata) maupun abstrak (maknawi).
Sedangkan secara istilah adalah kumpulan
kaidah umum atau khusus (terkait masalah tertentu), serta ushul (prinsip-prinsip)
yang diambil dari Al Qur’an dan as Sunnah.
Kata manhaj disebutkan dalam Al Qur’an dan As
Sunnah. Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk setiap umat di antara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang.” (Qs. Al Maidah: 48)
Dalam As Sunnah, Nabi shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ،
ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ
النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ
اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا
“Kenabian akan ada di tengah-tengah kalian
sesuai yang Allah kehendaki, lalu Allah mengangkatnya ketika Dia
menghendakinya. Selanjutnya diteruskan oleh khilafah di atas jalan
kenabian, dan hal itu terus berlangsung sesuai yang Allah kehendaki,
kemudian Allah mengangkatnya ketika Dia menghendaki untuk mengangkatnya.” (Hr.
Ahmad, dan dinyatakan isnadnya hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar
Risalah)
Maksudnya adalah khilafah itu berjalan di
atas jalan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, yaitu para Khulafa
Rasyidin radhiyallahu anhum.
Adapun ‘As Salaf’ secara bahasa
artinya orang-orang terdahulu. Kata salaf juga disebutkan dalam Al Qur’an
maupun As Sunnah.
Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِلْآخِرِينَ
“Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran
dan contoh bagi orang-orang yang datang kemudian.”
(Qs. Az Zukhruf 56)
Dalam ayat ini salaf diartikan dengan
‘pelajaran’.
Dalam hadits, Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda,
وَلاَ أَرَى الأَجَلَ إِلَّا قَدِ اقْتَرَبَ، فَاتَّقِي اللَّهَ
وَاصْبِرِي، فَإِنِّي نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Sepertinya ajal telah dekat, maka
bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, karena sebaik-baik salaf bagimu
adalah aku.” (Hr. Muslim)
Adapun secara istilah, salaf
artinya generasi pertama umat ini yang terdiri dari para sahabat dan para imam
yang berada di atas petunjuk pada tiga generasi pertama Islam, dimana
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan bahwa mereka sebagai
sebaik-baik umat ini, Beliau bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalalah pada
generasiku, kemudian setelahnya dan setelahnya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, manhaj salaf adalah jalan
atau cara beragama generasi pertama Islam baik dalam berakidah, beribadah,
berakhlak, maupun bermuamalah.
Dalam akidah, misalnya dalam masalah Tauhid, dalam
hal iman kepada hal-hal gaib, qadha dan qadar, yakni akidah mereka terkait
qadha dan qadar, dsb.
Dalam beribadah, misalnya pengamalan mereka
terhadap sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidak berbuat
bid’ah di dalamnya.
Termasuk pula tentang sumber rujukan mereka
dalam beragama, dst.
Nama Lain Salaf
Nama lain salaf adalah Ahlussunnah wal
Jama’ah, At Thaifah Al Manshurah, Ahlul Hadits wal Atsar, Ahlul Ittiba, dan
Al Firqah An Najiyah.
Ahlussunnah wal Jama’ah
Mereka disebut Ahlussunnah wal Jama’ah
karena berpegang dengan As Sunnah dan berhimpun di atasnya serta tidak berpecah
belah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “As Sunnah yang wajib diikuti, dipuji pelakunya, dan dicela orang yang
menyelisihinya adalah sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam baik dalam
masalah akidah, ibadah, dan masalah agama lainnya. Hal itu dapat diketahui dengan
melihat hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” Lalu bagaimana
diketahui Sunnah itu? Yaitu dengan melihat hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam terkait dengan sabda maupun perbuatannya, serta
ucapan atau perbuatan yang ditinggalkan Beliau. Selanjutnya memperhatikan apa yang
dipegang generasi pertama Islam dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik.”
(Majmu Fatawa 3/378)
Ahlussunnah berpegang dengan As Sunnah dan
tidak berbuat bid’ah. Dan mereka tidak berkelompok-kelompok; dimana
masing-masing kelompok ada amir(pemimpin)nya, bai’atnya, thariqah (jalan) dan
manhaj tertentu dalam beragama. Salaf atau Ahlussunnah tidaklah demikian, bahkan
salaf adalah satu kesatuan umat.
Memang di tengah-tengah Ahlussunnah ada imam
(pemerintah), ada ulama yang mengajarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya
shallallahu alaihi wa sallam, ada komandan pasukan yang berjihad di jalan Allah
dan berbaiat untuk berperang di jalan Allah, namun ini adalah baiat khusus;
bukan baiat umum, seperti dalam peperangan. Demikian pula di tengah-tengah
mereka ada ahli ibadah dan orang-orang yang zuhud.
Hal itu, karena salaf adalah satu umat; tidak
berkelompok-kelompok meskipun di antara mereka ada yang ahli di bidang tertentu,
bahkan di kalangan sahabat ada yang ahli pada bidang-bidang tertentu seperti
Zaid di bidang Faraidh, Ali di bidang peradilan, Mu’adz dalam hal fiqih halal
dan haram, Ubay bin Ka’ab di bidang qiraat, Khalid dalam hal jihad, dan Umar
dalam berpolitik yang syar’i.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Berkumpulnya
badan tidaklah berpengaruh apa-apa dan tidak mengandung arti apa-apa kecuali
jika bersama dalam hal halal dan haram serta ketaatan. Dan orang yang
berpendapat seperti pendapat jamaah kaum muslimin, maka berarti ia telah berpegang
dengan jamaah mereka, dan orang yang menyelisihi apa yang dipegang jamaah kaum
muslimin, maka berarti ia telah menyelisihi jamaah yang mereka diperintahkan
untuk bersama dengannya.”
Imam Abu Syamah Al Maqdisi rahimahullah
berkata, “Ketika ada perintah berpegang dengan Al Jamaah, maka maksudnya berpegang
dengan kebenaran dan mengikutinya, meskipun yang berpegang hanya sedikit
sedangkan yang menyelisihi banyak, seperti yang terjadi di akhir-akhir ini atau
di sebagian negeri dan tempat. Generasi pertama yang tiga yang banyak jumlahnya,
maka merekalah yang berada di atas jalan yang lurus dan agama yang benar.”
Ia juga berkata, “Hal itu karena kebenaran ada
pada generasi pertama Islam di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para
sahabatnya. Tidak melihat kepada banyaknya orang yang berada di atas kebatilan
setelah mereka.” (Ighatsatul Lahfan karya Ibnul Qayyim 1/69)
Ath Thaifah Al Manshurah
Adapun Thaifah Manshurah artinya
kelompok yang mendapatkan pertolongan. Sebutan ini diambil dari hadits Nabi
shallallahu alaihi wa sallam,
«لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ،
لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ»
“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku
yang tampil di atas kebenaran. Tidak membuat mereka risau orang-orang yang
menelantarkan mereka sampai datang ketetapan Allah sedangkan mereka di atas
itu.” (Hr. Muslim)
Ahlul Hadits wal Atsar
Mereka juga disebut Ahlul Hadits wal Atsar
karena begitu semangatnya berpegang dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, memilah mana yang shahih dan mana yang dhaif, memahami maksudnya, dan
mengamalkannya.
Ahlul Ittiba
Disebut demikian karena mereka berittiba
(mengikuti) Al Qur’an dan As Sunnah.
Al Firqatun Najiyah
Disebut Al Firqatun Najiyah yang artinya
golongan yang selamat, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ
وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً
“Dan umatku akan berpecah belah menjadi 73
golongan. Semuanya terancam di neraka kecuali satu golongan.”
Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka wahai
Rasulullah?”
Beliau bersabda,
«مَا
أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي»
“Yang berada di atas jalanku dan jalan para
sahabatku.” (Hr. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al Albani)
Nama lain salaf atau Ahlussunnah wal Jama’ah
yang disebutkan di atas dapat menghimpun semua kaum muslimin dan mencakup agama
Islam, di samping ada dalilnya.
Selain itu, wala dan bara dalam manhaj ini tidak
kepada kelompok tertentu, tetapi kepada siapa saja yang menempuh manhaj ini kapan
pun dan di mana pun.
Mereka juga tidak ta’ashshub (fanatik) kepada
seseorang selain Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karenanya
mereka mengkritik orang-orang yang ta’ashshub kepada Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
Imam Syaf’i, dan Imam Ahmad, meskipun para imam tersebut sebagai para ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah.
Perintah Mengikuti Manhaj Salaf
Dalil dalam Al Quran
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ
بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang
kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.” (Qs.
Al Baqarah: 137)
Menurut Ibnu Abbas, bahwa ayat tersebut
tertuju kepada para sahabat radhiyallahu anhum.
Ayat tersebut menjadikan keimanan (akidah)
para sahabat sebagai timbangan untuk memisahkan antara petunjuk dengan
kesesatan, antara yang hak dengan yang batil.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ
مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (Qs. An Nisaa: 115)
Dalam ayat tersebut Allah mengancam
orang-orang yang menentang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidak mengikuti
jalan orang-orang mukmin dengan azab yang pedih.
Orang-orang mukmin di ayat tersebut
terdepannya adalah para sahabat radhiyallahu anhum, dimana Allah Azza wa Jalla
bersaksi terhadap keimanan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, bahkan Allah meridhai mereka. Dia berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun
ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar.” (Qs. At Taubah: 100)
Oleh karena itu, Umar bin Abdul Aziz rahimahullah
berkata,
سن رسول الله ﷺ وولاة الأمر بعده –يعني أبو بكر وعمر.. الخلفاء الراشدين- الخلفاء
الراشدون سنوا بعده سنناً الأخذ بها اتباع لكتاب الله، واستكمال لطاعة الله، وقوة
على دين الله، ليس لأحد من الخلق تغييرها ولا تبديلها، ولا النظر في شيء خالفها،
من اهتدى بها فهو مهتدٍ، ومن استنصر بها فهو منصور، ومن تركها اتبع غير سبيل
المؤمنين، وولاه الله ما تولى، وأصلاه جهنم وساءت مصيرا
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
telah menetapkan Sunnah, demikian pula para pemimpin setelah Beliau (para
khulafa Rasyidin). Para Khulafa Rasyidin (Abu bakar, Umar, Utsman, dan Ali) juga
telah menetapkan sunnah. Berpegang dengannya adalah mengikuti Kitabullah dan
menyempurnakan ketaatan kepada Allah, serta sebagai kekuatan dalam menjalankan
agama Allah. Tidak ada seorang pun yang berhak merubah dan menggantinya, dan
tidak perlu melihat kepada sesuatu yang menyelisihi sunnah itu. Barang siapa
yang berpegang dengan sunnah itu, maka ia mendapatkan petunjuk, yang meminta
bantuan kepadanya akan mendapatkan bantuan, dan barang siapa yang
meninggalkannya maka sama saja mengikuti selain jalan orang-orang beriman, dan
Allah akan membiarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu,
serta memasukkannya ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.” (Hilyatul Awliya 6/324, dan Syarf As-habil Hadits: 5)
Dalil dalam Hadits
عَنْ
أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ : وَعَظَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ،
وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا
مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا، قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah
radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami
bergetar dan air mata kami bercucuran. Kami berkata, “Wahai Rasulullah,
seakan-akan ini merupakan nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Saya wasiatkan kalian untuk
bertakwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun
yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena barang siapa yang hidup di
antara kalian (sepeninggalku), maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan.
Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur
rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat)
dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena
semua perkara bid’ah adalah sesat.“ (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dia
(Tirmidzi) berkata, “Hasan shahih”)
Sabda Beliau, “Karena barang
siapa yang hidup di antara kalian (sepeninggalku), maka ia akan menyaksikan
banyak perselisihan. Oleh karena itu,
hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin
yang mendapatkan petunjuk” yakni siapa saja yang diberi umur panjang, maka ia akan
melihat banyak perselisihan baik dalam masalah akidah, ibadah, manhaj (cara beragama),
dsb. yang membuat seseorang kebingungan untuk memilih mana jalan yang harus ia
ikuti, terlebih karena masing-masing golongan yang ada seakan-akan di atas
kebenaran, bahkan berdalil meskipun sebenarnya salah dalam berdalil, maka
karena sayangnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada umat ini,
Beliau pun memberikan solusinya, yaitu Oleh karena
itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur
rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Mereka adalah
Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu anhum yang mewakili
keseluruhan para sahabat.
Imam Syathibiy rahimahullah berkata,
“Oleh karena itu, wajib bagi orang yang memperhatikan dalil syar’i untuk
melihat apa yang difahami generasi terdahulu, dan apa yang mereka kerjakan,
karena hal itu lebih membuatnya dekat dengan kebenaran.” (Al Muwafaqat
3/77)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga
bersabda,
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلَى
ثِنْتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً ، وَ إِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى
ثَلاَثٍ وَ سَبْعِيْنَ ، ثِنْتَانِ وَ سَبْعُوْنَ فِي النَّارِ ، وَ وَاحِدَةٌ فِي
الْجَنَّةِ ، وَ هِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang Ahli Kitab
sebelummu telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan
sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan;
tujuh puluh dua di neraka, dan satu di surga, yaitu Al Jamaa’ah.”
(HR. Abu Dawud
(2/503-504), Darimiy (2/241), Ahmad (4/201), Hakim (1/128), Al Ajuriy dalam Asy
Syarii’ah (18), Ibnu Baththah dalam Al Ibanah (2/108/2, 119/1), Al
Laalikaa’i dalam Syarhus Sunnah (1/23/1) dari jalan Shafwan ia berkata,
“Telah menceritakan kepadaku Azhar bin Abdullah Al Hauzaniy dari Abu ‘Amir
Abdullah bin Luhay dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Hakim berkata, “Sanad-sanad
ini menjadikan hujjah tegak untuk menshahihkan hadits ini.” Adz Dzahabi
menyetujuinya. Al Haafizh dalam Takhrij Al Kasysyaf (hal. 63) berkata,
“Dan isnadnya hasan.”)
Al Jamaa’ah di sini
adalah yang sejalan dengan kebenaran meskipun ia hanya sendiri –sebagaimana
yang dikatakan Ibnu mas’ud radhiyallahu anhu-. Al Jamaah
adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’
saaful ummah.
Berdasarkan hadits di
atas, maka mereka yang menyelisihi Al Jamaa’ah mendapatkan ancaman dengan masuk
ke dalam neraka. Meskipun begitu, kita tidak memvonis secara ta’yin
(orang-perorang) bahwa si fulan di neraka, karena boleh jadi ia beristighfar
dan bertobat, lalu Allah mengampuni dan menerima tobatnya, atau dia memiliki
amal saleh yang menghapuskan keburukannya, atau didoakan dan dimintakan ampunan
oleh kaum mukmin ketika ia masih hidup atau sudah meninggal, atau mendapatkan
syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau mendapat cobaan dari
Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan cobaan-cobaan di dunia yang menghapuskan
kesalahannya, atau mendapat ujian ketika di kubur, atau ia mendapatkan ujian
pada hari Kiamat dengan rintangannya yang menghapuskan kesalahannya, atau
mendapatkan rahmat dari Allah Yang Maha Penyayang.
Demikian juga perlu
diketahui, bahwa kalau pun tujuh puluh dua golongan ini masuk ke neraka, maka mereka
tidak kekal di neraka, bahkan dibersihkan di neraka sesuai kadar penyimpangan
dan kesesatannya.
Adapun golongan Syi'ah Rafidhah dan Ahmadiyyah, maka yang rajih, kedua golongan
ini tidak termasuk ke dalam tujuh puluh
tiga ini karena akidah mereka sangat bertentangan sekali dengan akidah Islam,
dimana golongan yang satu (Syi'ah) mengatakan bahwa Al Qur'an yang dipegang
kaum muslim telah dirobah, dikurangi dan diberi tambahan, sedangkan golongan
yang satu lagi (Ahmadiyyah) mengatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang
nabi, padahal tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Dalil dalam Ijma
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Telah tetap tentang
wajibnya mengikuti kaum salaf rahmatullah alaihim berdasarkan Al Qur’an,
As Sunnah, dan Ijma’, dan ibrah (hasil pandangan) pun menunjukan demikian.” (Dzammut
Ta’wil karya Al Maqdisi 1/35 no. 73)
Dalil dalam Atsar dan perkataan Ulama
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, “Ikuti
dan jangan berbuat bid’ah, karena kalian telah dicukupi. Semua bid’ah adalah
sesat.”
Suatu ketika Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullah
berbicara tentang para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka ia
berkata,
إنهم كانوا أبر هذه الأمة قلوبًا، وأعمقها علمًا،
وأقلها تكلفا، قومًا اختارهم الله لصحبة نبيه صلى الله عليه وسلم، فتشبهوا
بأخلاقهم وطرائقهم، فإنهم ورب الكعبة على الهدى المستقيم
“Mereka adalah orang yang paling baik hatinya
di tengah umat ini, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit bebannya. Allah memilih
mereka untuk menemani Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam, maka ikutilah
akhlak dan jalan mereka, karena demi Allah pemilik ka’bah, mereka berada di atas
petunjuk yang lurus.”
Imam Al Auza’i rahimahullah berkata, “Bersabarlah
di atas sunnah dan berhentilah di tempat mereka (para sahabat) berhenti.”
Maksudnya dalam masalah yang mereka tidak
selami, maka jangan menyelami. Ikuti perkataan mereka dan berhenti sebagaimana
mereka berhenti, serta tempuhlah jalan Salafush Shalih terdahulu, karena hal
itu sudah cukup bagimu sebagaimana cukup bagi mereka.” (Asy Syari’ah karya
Al Ajurriy 1/355)
Ibnu Abi Zaid Al Qairawani berkata, “Mengikuti
jalan orang-orang mukmin dan generasi terbaik umat ini (para sahabat) yang
dikeluarkan ke tengah-tengah manusia merupakan keselamatan, kembali kepadanya
merupakan penjagaan (dari kesesatan).”
Ia juga berkata, “Mengikuti Salafush Shalih merupakan
keselamatan. Mereka adalah panutan dalam penafsiran dan penggalian hukum. Ketika
terjadi perselisihan dalam masalah furu atau masalah yang terjadi, maka jangan
keluar dari lingkaran jamaah mereka.” (Ats Tsamarud Dani 2/223)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Termasuk jalan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mengikuti atsar
(hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lahir maupun batin serta
mengikuti jalan as Sabiqunal Awwalun dari kalangan kaum Muhajirin dan Anshar.” (Al
Aqidah Al Wasithiyyah: 30)
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani berkata, “Orang
yang bahagia adalah orang yang mengikuti keadaan kaum salaf dan menjauhi yang
diada-adakan oleh generasi belakang.”
Hukum menisbatkan diri kepada salaf
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan diri
kepadanya. Bahkan hal itu wajib diterima secara disepakati, karena tidak ada keadaan
madzhab salaf selain di atas kebenaran.” (Majmu Fatawa 4/149)
Khatimah
Di atas sebagai pengantar tentang manhaj
salaf, dan bagi yang ingin mendalami lebih lanjut manhaj salaf, silahkan
download buku ini: https://drive.google.com/file/d/1Wa7x9YJ2PoOsK2RXzm9AIzttEzj3iAqc/view?usp=sharing
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa Nabiyyina Muhammad wa
'ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa