بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqih Jual-Beli (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan
salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan
tentang fiqih jual-beli, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Syarat-Syarat Dalam Jual-Beli
1. Sesuatu (barang) yang diakadkan diketahui, baik dengan dilihat
atau disifatkan, yakni diketahui oleh penjual dan pembeli.
Dalil syarat ini adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual-beli gharar (tidak
jelas) (Hr. Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Dawud, dan lain-lain). Dan setiap
jual beli yang tidak jelas adalah gharar. Misalnya seseorang berkata, “Saya
jual kepadamu kambing yang ada dalam perut ini,” maka jual-beli ini tidak boleh
karena tidak diketahui.
Agar menjadi jelas, maka bisa dengan dilihat, yakni dengan melihat
yang bisa dilihat, atau dengan disifati, misalnya seseorang berkata, “Saya jual
kepadamu mobil saya yang sifatnya begini dan begitu,” dimana engkau butuh
terhadap sifat itu baik mereknya, speed(kecepatan)nya, dan sifat-sifat lainnya
yang membedakan mobil tersebut. Ini sekedar contoh, karena untuk mengetahui
barang bisa juga dengan dicium seperti wewangian, atau dengan dirasakan seperti
makanan yang beraneka macam rasanya, dan dengan mendengarkan seperti pada radio
yang hendak dibeli.
Di samping itu, jual beli yang tidak jelas dapat mengakibatkan
penyesalan bagi pembeli, kebencian terhadap penjual, dan permusuhan.
2. Barangnya dapat diserahkan saat tiba waktu wajib menyerahkan.
Hal itu karena jika barangnya tidak mampu diserahkan pada waktu
penyerahan maka tergolong jual-beli gharar. Contoh: Seorang memiliki unta yang
hilang, lalu ada seorang yang datang kepadanya hendak membeli unta yang hilang
itu, maka jual beli ini tidak diperbolehkan. Meskipun si pembeli membayarnya
dengan harga murah, dan boleh jadi ia memperolehnya sehingga ia beruntung,
sedangkan si penjual rugi, atau mungkin si pembeli telah mengeluarkan uang yang
banyak, tetapi ternyata tidak menemukan unta itu, sehingga si pembeli rugi,
sedangkan si penjual untung.
Catatan:
Hukum menjual harta yang dirampas dari pemiliknya
Contoh: Seseorang dicuri jamnya oleh pencuri, dimana si pencuri
lebih kuat daripadanya. Pemiliknya melihat jam itu tetapi tidak mampu
mengambilnya, lalu ada seseorang yang mendatangi pemilik jam dan berkata, “Saya
akan beli jam darimu dan saya mampu mengambilnya dari pencuri.” Terhadap
jual-beli ini terdapat rincian, yaitu jika si pembeli mampu mengambil barang
itu, maka berarti syarat jual-beli no. 2 ini terpenuhi dan boleh jual beli itu
apabila terpenuhi syarat lainnya, tetapi jika si pembeli tidak sanggup
mengambil barang itu, maka jual-beli ini tidak diperbolehkan.
3. Barang yang dijual-belikan mengandung maksud (tujuan) yang
mubah
Jika tidak terdapat tujuan yang mubah, seperti seseorang membeli
sesuatu yang tidak ada faedahnya baik pada agama maupun dunia, maka akad ini
haram dan jual beli tidak sah. Contoh: membeli bebatuan yang tidak berguna
untuk pembangunan atau tidak untuk suatu pekerjaan. Hal itu, karena yang
demikian termasuk menyia-nyiakan harta, sedangkan Nabi shallallahu alaihi wa
sallam melarang menyia-nyiakan harta (sebagaimana dalam hadits Mughirah bin
Syu’bah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Maksud ‘mubah’ di sini adalah bukan yang haram. Jika yang haram,
maka akad itu batal. Contoh: membeli khamr (arak), bangkai, babi, dan patung.
Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam
pernah berkhutbah pada saat penaklukan Mekkah,
«إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ،
وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ»
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual-beli khamr,
bangkai, babi, dan patung.”
Lalu ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan lemak
bangkai, karena digunakan untuk meminyaki kapal dan meminyaki kulit, serta
dipakai lampu oleh manusia?” Beliau bersabda, “Tidak boleh. Itu haram. (Hr.
Bukhari dan Muslim)
Tetapi jika bangkainya halal, seperti bangkai ikan dan belalang,
maka boleh dijual-belikan karena maksudnya adalah sesuatu yang mubah.
Demikian pula kulit bangkai sah dijual-belikan ketika telah
disamak menurut pendapat yang sahih, karena di dalamnya terdapat manfaat mubah.
Namun jika belum disamak, maka ada yang berpendapat boleh karena bisa
dibersihkan seperti halnya membeli pakaian yang bernajis, sehingga membeli
kulit yang belum disamak seperti membeli pakaian yang bernajis yang bisa
dibersihkan. Oleh karenanya, boleh dijual-belikan. Akan tetapi mereka yang
berpendapat tidak boleh menjual kulit sebelum disamak beralasan karena pada
saat itu masih sebagai bangkai, sedangkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam
mengharamkan jual beli bangkai. Oleh karena itu, sikap yang lebih hati-hati
adalah tidak dijualnya kulit kecuali setelah disamak.
4. Jika jual-belinya mubah, tetapi tujuan/arahnya kepada yang
haram
Contoh no. 4 ini adalah membeli senjata tetapi untuk memerangi
kaum muslimin, maka jual-beli ini tidak sah, karena untuk tujuan yang haram.
Demikian pula membeli radio untuk mendengarkan musik, maka
jual-belinya haram, karena tujuannya untuk yang haram.
Dalil terhadap syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى
الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan jangan tolong-menolong atas dasar dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 2)
Sedangkan menjual sesuatu untuk yang haram sama saja
tolong-menolong atas dasar dosa dan pelanggaran.
Adapun dalil dalam As Sunnah adalah sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual-beli
khamr (arak), bangkai, babi, dan patung.”
Diqiaskan dengan khamr adalah semua yang merusak akal lainnya
seperti narkoba, dan diqiaskan dengan bangkai adalah semua yang dapat
membahayakan badan, karena bangkai diharamkan disebabkan tertahannya darah yang
rusak di sana. Darah ini membahayakan badan, sehingga semua yang membahayakan
badan diharamkan untuk dijual-belikan seperti halnya rokok. Adapun patung
diharamkan karena membahayakan agama, dan diqiaskan dengannya semua yang
membahayakan agama lainnya seperti buku-buku sesat dan menyesatkan.
Menggabung dua akad dalam satu akad
Menggabung dua akad dalam satu akad ada dua keadaan:
Pertama, tanpa syarat. Hal ini hukumnya boleh. Hal itu, karena hukum asal
muamalah adalah halal kecuali ada larangan dalam syariat. Oleh karena itu,
ketika digabungkan dua akad dalam satu akad tanpa syarat dalam satu ucapan,
maka hukumnya boleh. Contoh seseorang berkata, “Saya sewakan kepadamu rumah ini
setahun dan saya jual kepadamu mobil dengan harga 10.000 riyal.”
Kedua, menggabung dua akad dengan adanya syarat. Contoh: Engkau
mengatakan, “Saya jual kepadamu rumahku ini dengan harga 100.000 riyal namun
dengan syarat engkau menjual kepadaku rumahmu 50.000 riyal, atau mengatakan,
“Aku jual kepadamu rumahku 100.000 riyal dengan syarat engkau menyewakan
kepadaku rumahmu dengan bayaran 10.000 riyal.”
Dalam masalah kedua ini para ulama berbeda pendapat.
Sebagian ulama membolehkannya dengan alasan karena hukum asalnya
adalah halal. Di samping itu, mereka berdalih dengan dalil-dalil umum seperti
sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ،
إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Kaum muslim sesuai syarat yang mereka adakan kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (Hr. Tirmidzi dan Abu
Dawud, dishahihkan oleh Al Albani)
Sedangkan ulama yang lain berpendapat, bahwa menggabung dua akad
dengan adanya syarat adalah tidak sah dan kedua akad itu menjadi batal. Mereka
berdalih dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
«مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ، فَلَهُ
أَوْكَسُهُمَا أَوِ الرِّبَا»
“Barang siapa yang menjual dua penjualan dalam satu penjualan[i],
maka silahkan ia ambil bagian yang kurang atau jatuh ke dalam riba.” (Hr. Abu
Dawud, dihasankan oleh Al Albani)
Mereka tafsirkan dua penjualan dalam satu penjualan dengan tafsir
di atas.
Demikian juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam,
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ،
وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ
عِنْدَكَ
“Tidak halal menjual dengan syarat meminta pinjaman, dua syarat
dalam jual beli[ii],
mengambil keuntungan terhadap sesuatu yang tidak ditanggungnya[iii],
dan menjual sesuatu yang tidak ada pada dirimu.” (Hr. Abu Dawud, Tirmidzi, dan
Nasa’i, dinyatakan ‘hasan shahih’ oleh Al Albani)
Hadits-hadits di atas menunjukkan dilarangnya menggabung dua akad
dengan adanya syarat. Dan inilah yang didahulukan.
Menggabung antara akad yang sah dan akad yang tidak sah
Terkadang transaksinya satu, tetapi yang diakadkan ada beberapa
akad, dimana salah satunya sah dan yang lain tidak sah, maka bagaimanakah hukum
masalah ini?
Sebagian ulama berpendapat, bahwa akad itu seluruhnya batal,
karena satu transaksi tidak dapat terbagi-bagi; jika salah satu bagiannya
batal, maka selebihnya juga batal.
Namun yang lain berpendapat, bahwa akad sah pada bagian yang sah
dan batal pada bagian yang tidak sah. Contoh: Seseorang menjual dua guci, yang
satu berisi khamr (arak), sedangkan yang kedua berisi susu. Dalam kondisi ini
berkumpul dua akad; dimana yang satu sah, dan yang satu lagi haram dan tidak
sah.
Menurut pendapat yang sahih, bahwa transaksi itu terbagi-bagi,
karena hukum berjalan mengikuti illat (sebab), sehingga akad jual-beli pada air
susu adalah sah, dan akad jual-beli pada khamr adalah haram.
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Mudzakkiratul Fiqh (M. bin Shalih Al Utsaimin), ‘Aunul Ma’bud
(M. Asyraf Al Azhim Abadi), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Maktabah
Syamilah versi 3.45, dll.
[i] Sebagian ulama
menafsirkan hadits ini bahwa maksudnya seseorang mengatakan, “Saya jual
kepadamu buku ini dengan harga 50 riyal
dalam
tempo waktu setahun, lalu ia kembali membelinya secara tunai dengan harga 40
riyal,” yakni sebagaimana jual-beli ‘Ienah. Yang lain berpendapat, bahwa
maksudnya mengatakan, “Saya jual kepadamu pakaian ini dengan cara tunai dengan
harga 10 dirham, dan jika dicicil dengan harga 20 dirham,” lalu penjual dan
pembeli berpisah tanpa menentukan salah satunya, tetapi jika ditentukan salah
satunya, maka jual-beli sah. Sedangkan yang lain berpendapat, bahwa maksudnya
mengatakan, “Saya jual kepadamu rumahku ini dengan harga sekian, dengan syarat
engkau jual kepadaku budakmu dengan harga sekian,” Yakni seperti di atas;
menggabung dua akad dengan adanya syarat.
[ii] Contoh dua syarat dalam jual beli adalah
seseorang berkata, “Saya jual kepadamu pakaian ini dengan syarat saya yang memendekkan
dan menjahitnya.” Hal ini tidak sah karena ada dua syarat, namun jika hanya satu
syarat, seperti seseorang berkata, “Saya jual kepadamu pakaian ini dengan
syarat saya yang menjahitnya,” maka sah. Contoh lainnya, seorang pembeli kayu
bakar mensyaratkan agar kayu bakarnya dipatah-patahkan dan dibawakan kepadanya.
[iii] Seperti membeli
barang dan menjualnya kepada yang lain sebelum barang itu diterima dari
penjual. Jual-beli ini adalah batil dan keuntungannya tidak diperbolehkan,
karena barang itu masih dalam jaminan penjual pertama, bukan pada pembeli
karena belum diterimanya (Lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud pada
syarah hadits di atas).