بسم
الله الرحمن الرحيم
Adab Membaca Al Qur'an
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut
ini beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika hendak membaca Al Qur'an,
semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
1.
Memiliki
niat yang ikhlas karena mengharap keridhaan Allah dalam membaca dan
mempelajarinya, bukan untuk mendapatkan dunia, bukan karena harta, kedudukan,
juga bukan agar dimuliakan oleh kawan-kawan. Orang arif mengatakan, “Ikhlas itu
membersihkan amal dari perhatian makhluk.”
2.
Dianjurkan
menggosok giginya baik dengan siwak maupun sikat gigi lainnya. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا قَامَ يُصَلِّي أَتَاهُ الْمَلَكُ
فَقَامَ خَلْفَهُ يَسْتَمِعُ الْقُرْآنَ وَيَدْنُوْ، فَلاَ يَزَالُ يَسْتَمِعُ وَيَدْنُوْ
حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيْهِ فَلاَ يَقْرَأُ آيَةً إِلاَّ كَانَتْ فِي جَوْفِ
الْمَلَكِ
"Sesungguhnya seorang hamba
apabila berdiri shalat, maka malaikat mendatanginya dan berdiri di belakangnya
mendengarkan Al Qur'an dan mendekatinya. Ia terus mendengarkan dan mendekati
sampai meletakkan mulutnya di mulut orang itu. Oleh karena itu, tidaklah ia
membaca Al Qur'an melainkan ayat itu ada dalam diri malaikat." (HR.
Baihaqi dalam Al Kubra 1/38, Adh Dhiyaa' dalam Al Mukhtaarah
(1/201), lihat Ash Shahiihah no. 1213)
3.
Sebaiknya
ia membaca Al Qur’an dalam keadaan suci, baik suci dari hadats kecil maupun
dari hadats besar.
4.
Hendaknya
membaca Al Qur’an di tempat yang suci seperti di masjid dan di rumah. Oleh
karena itu, banyak para ulama yang menganjurkan membacanya di masjid karena di
masjid menggabung antara tempat yang bersih dan utama. Demikian juga hendaknya
ia tidak membacanya di tempat yang kotor atau di tempat yang biasanya bacaannya
tidak didengarkan dan diperhatikan.
5.
Sebaiknya
duduk menghadap kiblat dengan sikap tenang, khusyu dan sopan. Namun jika ia
membacanya dalam keadaan berdiri atau berbaring, maka diperbolehkan berdasarkan
perkataan Aisyah radhiyallahu 'anha, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
membaca Al Qur’an, sedangkan kepala Beliau di pangkuanku.” (HR. Bukhari)
6.
Hendaknya
memulai dengan membaca isti’adzah (A’uudzu billahi minasy syaithaanir rajiim)
sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala di surah An Nahl: 98[i]. Demikian pula hendaknya ia memulai dengan basmalah pada
setiap awal surah selain surah At Taubah atau Al Baraa’ah. Apabila kita membaca
di tengah surat, maka kita boleh membaca basmalah, boleh juga tidak.
7.
Hendaknya
membacanya dengan khusyu’ dan mentadabburinya, dan disukai mengulang sebagian
ayat untuk tujuan tadabbur sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
mengulangi ayat “In tu’adzdzib-hum fa innahum ‘ibaaduk” (Al Maa’idah:
118) sampai pagi hari (Lihat Shifatu Shalatin Nabi oleh Syaikh Al Albani
hal. 121 cet. Maktabah Al Ma'arif).
8.
Hendaknya
membacanya dengan tartil (tidak cepat dan jelas huruf-hurufnya), karena hal ini
membantunya untuk mentadabburi maknanya.
9.
Dianjurkan
memperbagus suara semampunya ketika membaca Al Qur’an. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
زَيِّنُوا
الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ
حُسْنًا
“Hiasilah Al
Qur’an dengan suaramu, karena suara yang bagus menambah bagus Al Qur’an.” (HR.
Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 3581)
10.
Hendaknya ia menghadirkan hati, mentadabburi (memikirkan)
kandungan Al Qur’an, memperhatikan setiap ‘ibrah (pelajaran) dan merasakan ke
dalam hati wa’d (janji) dan wa’id (ancaman) yang disebutkan dalam Al Qur’an.
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka
Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)
Ibrahim Al
Khawaash berkata, “Obat (hati) itu terletak pada lima perkara; membaca Al
Qur’an dengan mentadabburi maknanya, mengosongkan perut (berpuasa), qiyamul
lail, bertadharru’ (merendahkan diri kepada Allah dan berdoa) di waktu sahur
dan bergaul dengan orang-orang saleh.”
11.
Hendaknya
ketika sampai pada ayat rahmat, ia meminta kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala
karunia-Nya, dan ketika sampai pada ayat azab, ia meminta perlindungan kepada
Allah Subhaanahu wa Ta'aala darinya.
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ
صلى الله عليه وسلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ
عِنْدَ الْمِائَةِ . ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّى بِهَا فِى رَكْعَةٍ فَمَضَى
فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا . ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ
افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلاً إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ
فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ
بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُولُ « سُبْحَانَ رَبِّىَ
الْعَظِيمِ »
Dari Hudzaifah
ia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada
suatu malam, lalu Beliau memulai dengan surah Al Baqarah. Aku berkata (dalam
hati), “Mungkin Beliau akan ruku’ pada ayat ke-100,” ternyata Beliau
melanjutkannya, maka aku berkata (dalam hati), “Mungkin Beliau akan ruku’
setelah selesai satu surah,” ternyata Beliau melanjutkan dengan surah An Nisaa’
dan menyelesaikannya, kemudian melanjutkan dengan surah Ali Imran, Beliau
membacanya dengan perlahan. Ketika sampai pada ayat yang di sana terdapat
(perintah) bertasbih, maka Beliau bertasbih, dan ketika sampai sampai pada ayat
yang terdapat permintaan, maka Beliau meminta. Ketika sampai pada ayat yang di
sana butuh perlindungan, maka Beliau berlindung, kemudian Beliau ruku’ dan
membaca, “Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim.” (HR. Muslim)
12.
Hendaknya
ia menjauhi tertawa, ribut/gaduh dan obrolan, kecuali ucapan yang sangat
dibutuhkan. Hal ini berdasarkan riwayat, bahwa Ibnu Umar apabila membaca Al
Qur’an tidak melakukan pembicaraan sampai selesai membaca ayat yang hendak ia
baca.
13.
Ketika dibacakan Al Qur’an hendaknya diam, tidak melakukan
obrolan, lihat QS. Al A'raaf: 204.
14.
Menjahar(keras)kan
suaranya apabila tidak mengganggu orang lain adalah lebih utama, karena
manfaatnya mengena kepada orang lain, sedangkan manfaat yang dapat mengena
kepada orang lain lebih utama daripada yang manfaatnya untuk diri sendiri. Di
samping itu, hal tersebut dapat membangkitkan semangat orang yang membaca,
membuatnya tetap ingat dan jaga (tidak tidur) serta dapat mengalihkan
pendengarannya. Hal ini juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam:
« مَا أَذِنَ اللَّهُ
لِشَىْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِىٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ
بِهِ » .
“Allah
Subhaanahu wa Ta'aala tidaklah mendengarkan sesuatu seperti yang didengar-Nya
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang bagus suaranya, ia memperbagus
suara dalam membaca Al Qur’an dan mengeraskannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun jika ia
khawatir riya’, maka dalam keadaan seperti ini mensir(pelan)kan lebih utama.
15.
Hendaknya
ia tidak mengeraskan bacaan Al Qur'an ketika di dekatnya ada yang sedang shalat
agar tidak mengganggu shalatnya. Hal itu, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam suatu ketika pernah keluar mendatangi beberapa orang yang sedang shalat,
dimana yang satu dengan yang lain saling mengeraskan bacaannya, lalu Beliau
bersabda:
إِنَّ
الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيْهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقُرْآنِ
"Sesungguhnya
orang yang shalat sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka hendaknya ia
memperhatikan apa munajatnya, dan jangalah satu sama lain saling mengeraskan Al
Qur'annya." (HR. Malik, Ibnu Abdil Bar berkata, "Ia adalah hadits
shahih.")
16.
Hendaknya
tidak membaca dalam kondisi mengantuk.
17.
Ketika
sampai pada ayat sajdah, hendaknya ia sujud sebagaimana yang dilakukan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam.
18.
Hendaknya
tidak menulis Al Qur’an di dinding-dinding, karena Al Qur’an tidaklah
diturunkan untuk menghiasi dinding atau tembok.
19.
Membaca
Al Qur’an dengan melihat mushaf lebih utama daripada dengan hapalan, karena
yang demikian dapat lebih memperhatikan. Imam As Suyuthiy rahimahullah berkata,
“Membaca dari mushaf lebih utama daripada membaca dengan hapalan, karena
melihat (ayat-ayat)nya merupakan ibadah yang dituntut.” (Al Itqan
1/304).
20.
Hendaknya
ia memuliakan Al Qur’an. Oleh karena itu, hendaknya ia tidak meletakkannya di
lantai, tidak menyerahkan kepada orang lain dengan cara melemparnya, dan tidak
menyentuhnya dalam keadaan berhadats, terutama hadats besar.
21.
Hendaknya ia tidak mengkhatamkan Al Qur’an kurang dari tiga
hari. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَفْقَهُهُ مَنْ يَقْرَؤُهُ فِي أَقَلِّ مِنْ ثَلَاثٍ
“Tidak akan paham orang yang
mengkhatamkannya kurang dari tiga hari.” (HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1157)
Faedah:
Setelah
membaca Al Qur’an, kami belum mendapatkan dalil yang menganjurkan mengucapkan “Shadaqallahul
‘azhiim.” Oleh karena itu hendaknya seseorang bertawaqquf (diam) menunggu
dalil yakni dengan tidak mengerjakan demikian, karena beramal harus di atas
dalil. Yang kami dapatkan adalah, bahwa ucapan yang sesuai Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah selesai membaca Al Qur’an adalah,
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
“Mahasuci
Engkau (ya Allah) sambil memuji-Mu. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain
Engkau. Aku mohon ampunan dan bertobat kepada-Mu.”
Hal
ini sebagaimana disebutkan oleh Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: مَا جَلَسَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَجْلِسًا قَطُّ، وَلَا تَلَا قُرْآنًا، وَلَا صَلَّى صَلَاةً إِلَّا خَتَمَ ذَلِكَ بِكَلِمَاتٍ قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَاكَ مَا تَجْلِسُ مَجْلِسًا، وَلَا تَتْلُو قُرْآنًا، وَلَا تُصَلِّي صَلَاةً إِلَّا خَتَمْتَ بِهَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ؟ قَالَ: " نَعَمْ، مَنْ قَالَ خَيْرًا خُتِمَ لَهُ طَابَعٌ عَلَى ذَلِكَ الْخَيْرِ، وَمَنْ قَالَ شَرًّا كُنَّ لَهُ كَفَّارَةً: سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ "
Dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah duduk di suatu majlis, tidak pula membaca Al Qur’an, dan melakukan
suatu shalat kecuali menutup dengan kalimat ini, lalu aku berkata, “Wahai
Rasulullah, aku melihat dirimu tidak duduk di suatu majlis, membaca Al Qur’an,
atau melakukan shalat melainkan engkau tutup dengan kalimat itu?” Beliau
menjawab, “Ya. Barang siapa yang sebelumnya mengucapkan kebaikan, maka akan
dicap dengan kebaikan itu, dan barang siapa yang sebelumnya mengucapkan
keburukan, maka kalimat itu akan menjadi penebusnya, yakni, “Subhaanaka
wabihamdika Laailaahaillaa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik.” (As
Sunanul Kubra no. 10067 9/123)
Imam Nasa’i membuat bab terhadap
hadits ini dengan kata-kata “Maa tukhtamu bihi tilawatul Qur’an,”
(artinya: Kalimat penutup membaca Al Qur’an). Al Hafizh Ibnu Hajar dalam An
Nukat (2/733) berkata, “Isnadnya shahih.” Al Albani dalam Ash Shahihah (7/495)
berkata, “Isnad ini shahih pula sesuai syarat Muslim.”
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Maktabatusy Syamilah versi 3.45, Al Adzkar (Imam Nawawi), Al
Mausu'ah Al Haditisiyyah Al Mushaghgharah dll.
[i] Jumhur
(mayoritas) ulama berpendapat bahwa membaca isti’adzah itu hukumnya sunat,
namun Ar Raaziy menukilkan dari Atha’ bin Abi Ribaah bahwa hukumnya wajib baik
dalam shalat maupun di luar shalat.