بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Wasiat (bag. 1)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini
pembahasan tentang wasiat, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan
bermanfaat, Allahumma aamiin.
Pengantar
Seseorang
apabila sehat, maka ia berhak bertindak terhadap hartanya secara bebas akan
tetapi harus tetap di bawah aturan syariat.
Adapun apabila
seseorang sakit, maka keadaan sakitnya ada yang tidak mengkhawatirkan dan ada
yang mengkhawatirkan.
Yang tidak
mengkhawatirkan adalah yang tidak dikhawatirkan mengakibatkan meninggal dunia,
seperti sakit gigi, sakit pada jari, kepala pusing, sakit pada anggota badan
yang tidak begitu berbahaya dan kemungkinan besar untuk sembuh. Maka dalam hal
ini, tindakannya sama seperti tindakan orang yang sehat, sehingga dianggap sah
pemberian dan hibahnya dari hartanya. Dan jika penyakitnya membawa kepada
penyakit yang mengkhawatirkan dimana ia dapat meninggal dunia karenanya, maka
yang dijadikan pegangan adalah keadaannya ketika ia memberikan hibah, dimana
ketika itu ia dalam keadaan sehat.
Adapun apabila
penyakitnya mengkhawatirkan, yakni dikhawatirkan ia meninggal dunia karenanya,
seperti penyakit berat dan sulit diobati, maka tindakan tabarru' (sedekahnya)
dalam keadaan seperti ini diberlakukan dari sepertiganya, tidak dari semua
hartanya. Jika dalam batas sepertiga ke bawah, maka diberlakukan, tetapi jika
lebih dari itu, maka tidak diberlakukan kecuali dengan izin para ahli warisnya
setelah mati. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam,
إِنَّ اللَّهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ، عِنْدَ وَفَاتِكُمْ،
بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ، زِيَادَةً لَكُمْ فِي أَعْمَالِكُمْ
"Sesungguhnya Allah bersedekah
kepada kamu ketika kamu akan wafat dengan sepertiga hartamu sebagai tambahan
untuk amalmu." (HR. Ibnu Majah, Daruquthni, dan Baihaqi. Hadits ini adalah
hasan, lihat Al Irwaa' 6/77)
Hadits ini
menunjukkan bahwa boleh bagi orang yang sakit yang membawa kepada kematiannya
untuk bertindak terhadap hartanya sebatas sepertiga, tidak semua hartanya agar
tidak membahayakan Ahli waris. Oleh karena itu, pemberian yang dilakukan orang
yang sakit pada saat ini dibatasi sampai sepertiga sebagaimana wasiat.
Adapun apabila
sakit yang dialami seseorang lama sembuhnya, namun tidak dikhawatirkan
meninggal dunia karenanya dan tidak membuatnya terus berbaring, seperti
penyakit gula dan sebagainya, maka dalam keadaan ini tindakan
tabarru'(sedekah)nya seperti tindakan orang yang sehat. Tetapi apabila
membuatnya terus berbaring, maka tidak sah tabarru' dan wasiatnya kecuali dalam
batas sepertiga dan untuk selain Ahli waris, karena ia mengalami sakit yang
membuatnya terus berbaring yang dikhawatirkan meninggal dunia karenanya,
sehingga tindakannya dan tabarru'nya tidak dianggap dalam kondisi ini seperti
orang yang sakit yang membawa kepada kematiannya.
Ta'rif (pengertian) wasiat
Wasiat secara bahasa artinya menghubungkan.
Dinamakan demikian, karena wasiat itu menghubungkan antara keadaannya semasa
hidupnya dengan setelah matinya.
Wasiat secara syara' artinya hibah dari
seseorang kepada orang lain berupa harta, hutang atau manfaat, di mana orang
yang diberi wasiat itu nantinya akan memilikinya setelah pemberi wasiat
meninggal.
Wasiat juga memiliki arti yang lebih umum
dari itu, yaitu perintah melakukan sesuatu setelah meninggalnya (pesan). Misalnya,
pesan agar yang menjadi imam shalat jenazahnya adalah seseorang, dsb.
Ulama yang lain memberikan ta'rif
(definisi), bahwa wasiat adalah pemberian milik yang dihubungkan setelah
meninggal dengan jalan tabarru' (bersedekah).
Dari ta'rif (pengertian) di atas, kita
dapat membedakan antara hibah dengan wasiat. Pemberian milik dengan jalan hibah
telah sah pada saat itu juga, sedangkan wasiat setelah meninggalnya, ini dari
satu sisi, dari sisi lainnya adalah bahwa hibah itu tidak bisa kecuali dengan
harta, sedangkan wasiat bisa berupa harta, hutang maupun manfaat.
Disyari'atkannya wasiat
Wasiat disyari’atkan oleh Al Qur'an, As
Sunnah dan ijma'. Dalam Al Qur'an disebutkan:
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمْ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[i],
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa." (Terj. QS. Al
Baqarah: 180)
مِن بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
"(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya." (Terj. QS. An
Nisaa': 11)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ شَهَادَةُ
بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا
عَدْلٍ مِّنكُمْ
"Wahai orang-orang yang
beriman! Apabila salah seorang di antara kamu menghadapi kematian, sedang dia
akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil
di antara kamu." (Terj. QS. Al Maa'idah: 106)
Sedangkan dalam As Sunnah disebutkan:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ،
لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ، يَبِيتُ ثَلَاثَ لَيَالٍ، إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ عِنْدَهُ
مَكْتُوبَةٌ» ، قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: «مَا مَرَّتْ عَلَيَّ لَيْلَةٌ مُنْذُ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ذَلِكَ إِلَّا وَعِنْدِي
وَصِيَّتِي» ،
Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma ia
berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada hak
seorang muslim yang hendak diwasiatkannya, lalu bermalam sampai tiga malam
kecuali wasiat itu sudah tertulis di dekatnya." Ibnu Umar berkata,
"Tidaklah berlalu satu malam pun kepadaku sejak aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda seperti itu kecuali wasiatku ada di dekatku."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maksud hadits di atas adalah agar seseorang
sudah memiliki persiapan, karena bisa saja maut datang tiba-tiba. Imam Syafi'i
berkata, "Seorang muslim belum siap-siap dan hati-hati kecuali jika
wasiatnya sudah tertulis di dekatnya, yakni jika ia memiliki sesuatu yang
hendak diwasiatkan, karena ia tidak mengetahui kapan maut datang sehingga dapat
menghalangi antara dirinya dengan keinginannya."
Umat Islam juga sepakat tentang
disyari'atkannya wasiat.
Wasiat para sahabat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
telah berpulang ke rahmatullah dalam keadaan tidak berwasiat, karena Beliau
tidak meninggalkan harta untuk diwasiatkan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu
Abi Aufa bahwa Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berwasiat.
Ulama menjelaskan sebab mengapa Beliau
tidak berwasiat, yaitu karena Beliau tidak meninggalkan harta, adapun tanah
telah Beliau jadikannya fii sabilillah (di jalan Allah), sedangkan senjata dan
bighal, Beliau telah memberitahukan bahwa hal itu tidak boleh diwariskan,
sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi.
Adapun para sahabat, maka mereka melakukan
wasiat terhadap sebagian harta mereka sebagai sarana mendekatkan diri kepada
Allah Ta'ala, wasiat mereka tertulis untuk generasi setelah mereka. Abdurrazzaq
meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Anas radhiyallahu 'anhu berkata,
"Mereka (para sahabat) mencatat di awal-awal wasiat mereka sebagai:
Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ini
adalah wasiat fulan bin fulan yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak
disembah selain Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, dan bahwa hari kiamat adalah benar
tidak ada keraguan di dalamnya, dan bahwa Allah akan membangkitkan manusia di
alam kubur. Dia berwasiat kepada keluarga yang ditinggalkannya untuk bertakwa
kepada Allah dan memperbaiki hubungan di antara mereka serta taat kepada Allah
dan rasul-Nya jika mereka benar-benar orang-orang yang beriman serta
mewasiatkan mereka seperti wasiat Ibrahim dan Ya'qub kepada anak-anaknya,
"Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".(Terj. QS. Al Baqarah: 132)."
Hikmah wasiat
Di dalam hadits disebutkan:
إِنَّ اللَّهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ، عِنْدَ وَفَاتِكُمْ،
بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ، زِيَادَةً لَكُمْ فِي أَعْمَالِكُمْ
"Sesungguhnya Allah bersedekah
kepada kamu ketika kamu akan wafat dengan sepertiga hartamu sebagai tambahan
untuk amalmu." (HR. Ibnu Majah, Daruquthni, dan Baihaqi. Hadits ini adalah
hasan, lihat Al Irwaa' 6/77)
Hadits ini menerangkan tentang hikmah
wasiat, yakni sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala di akhir hayat
agar kebaikan seseorang bertambah atau bisa tetap diperoleh setelah sebelumnya
luput, di samping itu di dalamnya terdapat berbuat baik kepada orang lain dan
berbagi dengan mereka.
Bersambung…
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa
ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih
Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah, dll.
0 komentar:
Posting Komentar