بسم
الله الرحمن الرحيم
Fiqh Wasiat (bag. 4)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini
pembahasan lanjutan tentang wasiat, semoga Allah menjadikannya ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
Berwasiat dengan sepertiga
harta
Wasiat dibolehkan dengan sepertiga harta,
tidak boleh lebih, namun lebih baik kurang daripadanya dan telah tetap ijma' terhadapnya.
Imam Bukhari, Muslim dan para pemilik kitab sunan meriwayatkan dari Sa'ad bin
Abi Waqqas radhiyallahu 'anhu ia berkata:
جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَعُودُنِي وَأَنَا بِمَكَّةَ، وَهُوَ يَكْرَهُ أَنْ يَمُوتَ بِالأَرْضِ الَّتِي هَاجَرَ
مِنْهَا، قَالَ: «يَرْحَمُ اللَّهُ ابْنَ عَفْرَاءَ» ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ؟ قَالَ: «لاَ» ، قُلْتُ: فَالشَّطْرُ، قَالَ: «لاَ» ، قُلْتُ:
الثُّلُثُ، قَالَ: «فَالثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ
أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ،
وَإِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ، فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ، حَتَّى اللُّقْمَةُ
الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ، وَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَكَ، فَيَنْتَفِعَ
بِكَ نَاسٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ» ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَئِذٍ إِلَّا ابْنَةٌ
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang
menjengukku ketika aku di Makkah, padahal ia (Sa'ad) tidak suka meninggal di
negeri tempat ia berhijrah daripadanya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Semoga Allah merahmati Ibnu Afraa,' aku berkata, "Wahai
Rasulullah, bolehkan aku berwasiat dengan semua hartaku?" Beliau menjawab,
"Tidak boleh." Aku bertanya lagi, "Bagaimana jika separuh
saja?" Beliau menjawab, "Tidak boleh." Aku berkata, "Kalau
begitu sepertiga?" Beliau menjawab, "(Ya) sepertiga, itu pun sudah
banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan kepada ahli warismu dalam keadaan cukup
lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta
kepada manusia, dan sesungguhnya berapa saja yang kamu keluarkan, ia adalah
sedekah sampai suapan yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu. Semoga Allah
mengangkatmu sehingga orang-orang mengambil manfaat darimu sedangkan yang lain
merasakan madharrat." Ketika itu ia (Sa'ad) hanya mempunyai seorang anak
perempuan[i]."
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu
berkata, "Sungguh, aku berwasiat seperlima lebih aku sukai daripada
berwasiat dengan seperempat."
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata,
"(Sungguh baik) jika sekiranya orang-orang mengurangi (wasiat) dari
sepertiga menjadi seperempat, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Sepertiga," dan sepertiga itu sudah banyak."
Faedah:
Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan dalam Al
Mulakhkhash Al Fiqhi, bahwa jika seseorang berwasiat dengan sepertiga
hartanya, lalu ada harta yang baru lagi setelah wasiat, maka harta yang baru
masuk ke dalam hitungan wasiat, karena sepertiga itu dipandang ketika meninggal;
pada harta yang ada ketika itu.
Namun dalam masalah ini masih ada khilaf, sebagaimana akan diterangkan setelah ini.
Namun dalam masalah ini masih ada khilaf, sebagaimana akan diterangkan setelah ini.
Sepertiga dihitung dari semua
harta
Jumhur ulama berpendapat, bahwa sepertiga
itu dihitung dari semua harta yang ditinggalkan pemberi wasiat.
Imam Malik berkata, "Dihitung
sepertiga dari harta yang diketahui pemberi wasiat tidak yang samar atau baru,
atau yang tidak diketahuinya."
Apakah yang dijadikan patokan
dalam hal sepertiga harta adalah ketika berwasiat atau ketika meninggal?
Imam Malik, An Nakha'i, dan Umar bin Abdul
'Aziz berpendapat, bahwa yang dijadikan patokan dalam sepertiga dari harta
peninggalan adalah ketika wasiat. Namun Abu Hanifah, Ahmad, dan pendapat yang
sahih dari pendapat ulama madzhab Syafi'i, bahwa yang dijadikan pegangan adalah
sepertiga ketika meninggalnya. Ini adalah pendapat Ali dan sebagian tabi'in.
Berwasiat melebihi sepertiga
Pemberi wasiat ada yang memiliki ahli waris
dan ada yang tidak. Jika ia memiliki ahli waris, maka tidak boleh berwasiat
melebihi sepertiga sebagaimana telah diterangkan. Jika ia berwasiat lebih dari
sepertiga, maka wasiatnya tidak dijalankan kecuali dengan izin para ahli waris.
Hal itu, karena lebih dari sepertiga adalah hak mereka. Dan untuk dijalankan
wasiat disyaratkan dua syarat:
1)
Harus dilakukan setelah
pemberi wasiat meninggal. Karena jika sebelum meninggal pemberi wasiat, orang
yang mengizinkan tidak memiliki hak yang menjadikan haknya diperhatikan. Jika
ahli waris mengizinkan di saat masih hidup, maka ia (pemberi wasiat) berhak menarik
kapan saja ia mau. Namun jika mengizinkannya setelah meninggal, maka wasiat
dijalankan. Namun Az Zuhriy dan Rabii'ah berpendapat bahwa ia tidak boleh
menarik kembali secara mutlak.
2)
Orang yang mengizinkan
itu saat hendak mengadakan pemberian izin memang kamilul ahliyyah (sempurna
kelayakan) tidak dihajr karena dungu atau pelupa. Kalau pun ia tidak memiliki
ahli waris, ia (pemberi wasiat)tetap tidak boleh memberi wasiat melebihi
sepertiga. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
Namun ulama madzhab
Hanafi, Ishaq, Syuraih dan Ahmad dalam sebuah riwayat, di mana hal ini juga
merupakan pendapat Ali dan Ibnu Mas'ud, membolehkan lebih dari 1/3, karena dalam
keadaan seperti ini (tidak mempunyai ahli waris) tidak meninggalkan orang yang
dikhawatirkan miskinnya. Di samping itu dalam ayat Al Qur'an wasiat disebutkan
secara mutlak, namun As Sunnah membatasinya jika ia memiliki ahli waris,
sehingga orang yang tidak memiliki ahli waris tetap berlaku kemutlakan wasiat
dalam ayat Al Qur'an.
Dalam Al Mulakhkhash
Al Fiqhi, Syaikh Al Fauzan berpendapat bolehnya berwasiat dengan semua
harta bagi orang yang tidak memiliki ahli waris.
Batalnya wasiat
Wasiat menjadi batal dengan hilangnya salah
satu syarat di antara syarat-syarat wasiat yang sudah disebutkan sebelumnya
sebagaimana menjadi batal dengan sebab-sebab berikut:
1.
Apabila pemberi wasiat
gila yang muthbiq[ii]
dan gila itu menimpanya sampai meninggal.
2.
Apabila orang yang
diberi wasiat meninggal sebelum si pemberi wasiat meninggal.
3.
Apabila barang yang
diwasiatkan ditentukan, namun ternyata sudah binasa barang itu sebelum orang
yang diberi wasiat menerima (qabul).
Sebagian hukum-hukum wasiat
1. Hutang dan kewajiban syar'i seperti zakat dan kaffarat harus
didahulukan sebelum wasiat. Ali radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkan agar hutang didahulukan sebelum
wasiat."
2. Tidak
dibenarkan berwasiat untuk mengerjakan hal yang haram, seperti seseorang yang
hendak meninggal berwasiat agar diratapi mayatnya.
3. Tidak
sah berwasiat untuk memberikan harta ke tempat-tempat maksiat seperti tempat
perjudian, tempat minuman keras, gereja, biara, tempat-tempat kemusyrikan,
untuk memakmurkan kuburan dan meneranginya dsb.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, "Jika seorang kafir dzimmiy mewaqafkan sebagian hartanya
untuk tempat peribadatan mereka (orang-orang kafir), maka tidak boleh bagi kaum
muslim menghukumi sahnya, karena tidak boleh bagi mereka memutuskan hukum
kecuali dengan apa yang Allah turunkan, dan di antara yang Allah turunkan
adalah tidak tolong-menolong di atas kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan,
maka bagaimana mereka ikut tolong-menolong terhadap waqaf ke tempat-tempat di
sana mereka berbuat kufur?"
4. Tidak
sah wasiat untuk mencetak kitab-kitab yang telah dimansukh, seperti Taurat dan
Injil atau mencetak buku-buku yang menyimpang, seperti buku orang-orang Zindiq
dan orang-orang atheis.
5. Wasiat
sah untuk setiap orang yang sah memilikinya, baik ia muslim maupun non muslim.
Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhu pernah memberikan pakaian kepada saudaranya yang musyrik.
Asma' menyambung
tali silaturrahim dengan ibunya yang benci kepada Islam.
Namun wasiatnya
harus mu'ayyan (ditentukan orangnya), tidak secara umum. Adapun jika umum
(ghairul mu'ayyan), maka tidak sah, seperti seseorang berwasiat untuk orang-orang
Yahudi atau Nasrani.
Namun tidak sah
wasiat untuk orang kafir yang mu'ayyan jika sesuatu yang diwasiatkan adalah
barang yang tidak boleh ia miliki atau kuasai, seperti mushaf Al Qur'an, budak
yang muslim, atau senjata.
6. Wasiat
sah kepada janin yang memang terwujud sebelum keluarnya wasiat. Wujudnya dapat
diketahui apabila si ibu melahirkan kurang dari enam bulan dari sejak keluarnya
wasiat. Tetapi jika melahirkan dalam keadaan janinnya
mati, maka batallah wasiat itu.
7. Tidak
sah berwasiat kepada janin yang belum terwujud.
8. Wasiat
tidak sah kepada sesuatu yang tidak sah memilikinya, seperti kepada jin, hewan,
dan mayit.
9. Jika
tidak ditentukan batas sesuatu yang hendak diwasiatkan, misalnya ia berwasiat
dengan saham yang ada di hartanya, maka dapat ditafsirkan bahwa saham itu
adalah 1/6. Karena kata saham dalam bahasa orang Arab adalah 1/6, dan
inilah yang dipegang oleh Ibnu Mas'ud dan Ali. Di samping itu, 1/6 adalah saham
(bagian) terkecil, sehingga wasiat diarahkan kepada jumlah itu. Dan jika ia
berwasiat dengan sesuatu dari hartanya, namun tidak menjelaskan ukurannya, maka
ahli warisnya memberikan kepada orang yang mendapat wasiat sesuai kehendaknya
dari harta yang bernilai, karena sesuatu yang tidak ada batasannya dalam bahasa
maupun syara', bisa dikembalikan kepada sesuatu yang paling kecil dan bernilai.
10. Sah
hukumnya wasiat orang kafir kepada orang muslim jika harta peninggalannya dari
yang mubah. Jika dari yang haram, seperti khamr dan daging babi, maka tidak
sah, karena seorang muslim tidak boleh mengurus hal itu.
11. Jika
pemberi wasiat berpesan kepada mushaa ilaih (orang yang mendapat pesan),
"Taruhlah sepertiga hartaku ke tempat yang engkau mau," atau,
"Sedekahkanlah kepada yang engkau mau," maka tidak boleh bagi mushaa
ilaih mengambil sedikit pun darinya, demikian juga tidak boleh ia ambil untuk
keluarganya.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa
Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Fiqhul Muyassar Fii Dhau'il Kitab was Sunnah (beberapa
ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih
Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah, dll.
[i] Hal ini sebelum Sa'ad punya anak laki-laki, dan
setelahnya ia punya anak laki-laki empat orang sebagaimana disebutkan oleh Al
Waaqidiy. Bahkan ada yang mengatakan lebih dari sepuluh, sedangkan yang
perempuan ada 12 orang.
[ii] Gila yang muthbiq adalah gila yang berlangsung terus
dalam setahun menurut Muhammad, namun menurut Abu Yusuf bahwa gila yang
berlangsung selama sebulan dan itulah yang difatwakan.
0 komentar:
Posting Komentar