بسم الله الرحمن الرحيم
Ringkasan
Fikih Haji dan Umroh
Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada sahabatnya
dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ringkasan fikih haji dan umroh,
semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat.
Rukun Umroh
1. Ihram
Yaitu berniat untuk masuk ke dalam ibadah umroh.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
"Sesungguhnya amal itu
tergantung niat." (Hr. Bukhari dan Muslim)
2. Thawaf
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling
rumah yang tua itu (Baitullah)." (Qs. Al Hajj:
29)
3. Sa’i
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللّهِ فَمَنْ حَجَّ
الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَن
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Artinya: Sesungguhnya Shafaa dan Marwah
adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke
Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barang
siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya
Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha
Mengetahui." (Qs. Al Baqarah: 158).
4. Mencukur habis rambut atau
memendekkan (Tahallul)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَهْدَى، فَلْيَطُفْ بِالْبَيْتِ
وَبِالصَّفَا وَالمَرْوَةِ، وَلْيُقَصِّرْ وَلْيَحْلِلْ
“Barang siapa yang tidak menyiapkan hadyu,
maka hendaknya ia berthawaf di Baitullah, dan bersa’i antara Shafa dan Marwah,
setelah itu ia pendekkan rambutnya dan bertahallul.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Yang wajib dalam umroh
Bagi orang yang hendak umroh wajib berihram
dari miqat jika ia tinggal di luar miqat. Jika tinggal setelah miqat, maka ia
ihram dari rumahnya. Adapun orang yang mukim di Mekkah, maka ia wajib keluar ke
tanah halal untuk berihram darinya, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan Aisyah radhiyallahu anha untuk berihram dari Tan’im.
Waktu Umroh
Waktunya adalah kapan saja, hanyasaja pada
bulan Ramadhan lebih utama. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«عُمْرَةٌ في رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً - أَوْ حَجَّةً مَعِي»
“Berumroh di bulan Ramadhan seperti haji
atau haji bersamaku.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Syarat-Syarat Haji
Disyaratkan untuk wajibnya
haji harus terpenuhi lima syarat:
1. Islam
Oleh karena itu, haji tidak
wajib bagi orang kafir dan tidak sah, karena beragama Islam adalah syarat
sahnya ibadah.
2. Berakal
Oleh karena itu, haji tidak
wajib bagi orang yang gila, dan tidak sah ketika ia dalam keadaan gila, karena
berakal adalah syarat adanya beban, sedangkan orang gila tidak termasuk orang
yang terkena beban dan pena untuk mencatat amalnya pun diangkat darinya sampai
ia sadar. Hal ini sebagaimana dalam hadits Ali radhiyallahu 'anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ،
وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
"Diangkat pena dari
tiga orang; orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga dewasa, dan
orang gila hingga sadar." (Hr. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan dishahihkan
oleh Al Albani)
3. Baligh,
Hal ini berdasarkan hadits
sebelumnya, yaitu, "Diangkat pena untuk tiga orang:….dst."
Akan tetapi, jika ia naik haji, maka hajinya sah, dan jika ia belum mumayyiz
(mampu membedakan), maka walinya yang meniatkan untuknya. Tetapi tidak
mencukupinya untuk haji Islamnya tanpa ada khilaf di kalangan Ahli Ilmu.
Hal ini berdasarkan hadits
riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa ada seorang wanita yang
mengangkat anaknya dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah anak ini boleh
melakukan haji?” Beliau menjawab, “Ya, namun kamu yang memperoleh pahalanya.” (Hr. Muslim)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا صَبِيٍّ حَجَّ ثُمَّ بَلَغَ، فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى، وَأَيُمَا
عَبْدٍ حَجَّ ثُمَّ عُتِقَ، فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ
أُخْرَى
“Siapa saja anak kecil yang berhaji, lalu ia baligh, maka ia
berkewajiban haji lagi. Siapa saja budak yang naik haji, lalu
dimerdekakan, maka ia berkewajiban haji
lagi.”(Hr. Syafi’i dalam musnadnya, dan Baihaqi, dishahihkan oleh Al Albani)
4. Merdeka
Oleh karena itu, haji tidak
wajib bagi budak, karena ia dimiliki dan tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi,
jika ia naik haji, maka hajinya sah jika mendapat izin tuannya. Para Ahli Ilmu
sepakat, bahwa seorang budak jika naik haji saat keadaannya sebagai budak, lalu
ia dimerdekakan, maka ia wajib melakukan haji Islamnya jika mampu mengadakan
perjalanan ke sana, dan tidak cukup baginya haji saat ia sebagai budak. Hal ini
berdasarkan hadits yang telah disebutkan sebelumnya.
5. Mampu
Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta'ala,
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah." (Terj.
QS. Ali Imran: 97)
Oleh karena itu, orang yang
tidak mempunyai kelebihan harta, yakni tidak memiliki bekal yang mencukupi
dirinya dan orang yang ditanggungnya, atau ia tidak memiliki kendaraan untuk
menyampaikannya ke Makkah dan mengantarkannya pulang. Atau ia tidak mempunyai
kemampuan fisik, misalnya sudah sangat tua atau sakit dan tidak mampu naik
kendaraan atau memikul beban-beban safar, atau jalan menuju ke tempat haji
tidak aman seperti terdapat pembajak, ada wabah penyakit, atau lainnya yang
dikhawatirkan oleh seorang yang naik haji terhadap diri dan hartanya, maka
tidak wajib baginya naik haji sampai ia mampu. Allah Ta'ala berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani
seseorang kecuali sesuai kemampuannya." (Qs. Al
Baqarah: 286)
Termasuk mampu juga bagi
wanita yang naik haji adalah adanya mahram yang menemaninya ketika bersafar
haji, karena tidak boleh baginya bersafar untuk naik haji maupun lainnya tanpa
mahram. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
«لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، أَنْ
تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا، إِلَّا وَمَعَهَا أَبُوهَا،
أَوِ ابْنُهَا، أَوْ زَوْجُهَا، أَوْ أَخُوهَا، أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا»
"Tidak halal bagi
wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk bersafar yang memakan
waktu tiga hari atau lebih kecuali bersama ayahnya, anaknya, suaminya,
saudaranya, atau mahramnya yang lain." (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa'i,
Ibnu Majah, dan Ahmad)
Beliau juga bersabda kepada seseorang yang berkata, “Istriku hendak
keluar untuk naik haji, namun aku telah terdaftar dalam perang ini dan itu,”
maka Beliau bersabda,
«انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ»
“Pergilah untuk berhaji bersama istrimu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Jika ternyata ia naik haji
tanpa mahram, maka hajinya sah namun ia berdosa.
Rukun Haji
1. Ihram
Yaitu berniat untuk haji dan
bermaksud untuknya. Hal itu, karena haji adalah ibadah khusus yang tidak sah
tanpa adanya niat berdasarkan kesepakatan kaum muslim.
Dasar tentang hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
"Sesungguhnya amal itu
tergantung niat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Niat tempatnya di hati, akan
tetapi yang utama dalam ibadah haji adalah diucapkan -tetapi tidak pada ibadah
yang lain-, sambil menentukan manasik yang ia niatkan (haji qiran, tamattu, atau ifrad), karena adanya praktek dari
perbuatan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Wuquf di Arafah,
Wuquf di Arafah adalah rukun
(haji) berdasarkan ijma'. Dalilnya adalah sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam,
الْحَجُّ عَرَفَةُ
"Haji itu Arafah."
(Hr. Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa'i, Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani).
Waktu wuquf dimulai dari
setelah tergelincir matahari hari Arafah sampai terbit fajar hari Nahar (10
Dzulhijjah).
3. Thawaf
ziarah,
Disebut juga thawaf ifadhah,
karena dilakukan setelah bertolak dari Arafah. Thawaf ini disebut pula thawaf
fardhu, karena ia adalah rukun haji berdasarkan ijma'. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta'ala,
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا
بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
"Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran
yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar
mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah)." (Qs. Al Hajj: 29)
4. Bersa'i antara Shafa dan Marwah
Ini adalah rukun, berdasarkan hadits Aisyah
radhiyallahu 'anha ia berkata, "Allah tidak akan menyempurnakan haji
seseorang maupun umrahnya jika tidak bersa'i antara Shafa dan Marwah."
(Diriwayatkan oleh Muslim)
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
اِسْعَوْا فَإِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ
“Bersa’ilah! Karena Allah mewajibkan kalian besa’i.” (Hr. Ahmad, Ibnu
Khuzaimah, Baihaqi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Inilah rukun yang empat,
dimana ibadah haji tidak akan sempurna kecuali dengannya. Barang siapa yang
meninggalkan salah satu rukun, maka tidak sempurna hajinya sampai ia
melakukannya.
Yang Wajib Dalam Haji
Yang wajib dalam haji
adalah:
1. Ihram dari
miqat yang diperhatikan oleh syara'.
2. Wuquf di Arafah
sampai malam bagi orang yang mendatanginya siang hari, karena Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam berwuquf sampai matahari tenggelam, sebagaimana akan
diterangkan nanti dalam sifat haji Beliau shallallalhu 'alaihi wa sallam.
Beliau juga bersabda,
«لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ، فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ
بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ»
"Hendaklah kamu
melakukan manasik hajimu, karena aku tidak tahu boleh jadi aku tidak bisa
berhaji lagi setelah ini." (Hr. Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i)
3. Mabit di Muzdalifah pada
malam nahar (10 Dzulhijjah) sampai tengah malam jika ia mendatanginya
sebelumnya, karena praktek Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam seperti itu.
4. Mabit di Mina pada malam-malam hari tasyriq.
5. Melempar jumrah (shughra,
wustha, dan kubra) secara tertib.
6. Mencukur habis rambut
atau memendekkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
"Dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala
dan mengguntingnya."
(Terj. QS. Al Fath: 27)
Demikian
juga berdasarkan praktek Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan perintahnya untuk melakukan hal itu.
7. Thawaf wada' bagi yang
tidak haidh dan nifas. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma, "Manusia diperintahkan untuk menjadikan akhir kegiatan mereka
adalah thawaf di Baitullah, hanyasaja diberi keringanan untuk wanita yang haid
(dari melakukan hal itu)." (Hr. Bukhari dan Muslim)
Barang siapa yang
meninggalkan salah satu dari kewajiban ini dengan sengaja atau lupa, maka
ditutupi dengan dam dan hajinya sah. Hal ini berdasarkan riwayat yang sah dari
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Barang siapa yang lupa
mengerjakan manasik (yang wajibnya) atau meninggalkannya, maka hendaknya ia
menumpahkan darah (menyembelih hewan)." (Diriwayatkan oleh Daruqutni,
Baihaqi, dan lain-lain)
Adapun amalan selain yang
disebutkan, maka hukumnya sunah. Namun di antara amalan sunah itu yang
terpentingnya adalah:
a. Mandi untuk ihram,
memakai wewangian, lalu memakai dua kain yang berwarna putih.
b. Memotong kuku, mencukur
bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kumis, dan mencabut rambut yang
perlu dicabut sebelum ihram
c. Thawaf qudum (ketika
pertama datang) bagi orang yang berhaji ifrad dan qiran.
d. Melakukan raml
(jalan cepat dengan langkah pendek) di tiga putaran pertama dari thawaf qudum.
e. Idhthiba' dalam thawaf
qudum, yaitu dengan menjadikan bagian tengah kainnya di bawah pundaknya yang
kanan, sedangkan dua ujungnya di pundak yang kiri.
f. Mabit di Mina pada malam
Arafah.
g. Bertalbiyah (mengucapkan "Labbaikallahumma
labbaik…dst.) ketika ihram sampai melempar jamrah aqabah.
h. Menjama' antara shalat
Maghrib dan shalat Isya di Muzdalifah dengan jama taqdim
i. Berwuquf di Muzdalifah di
Masy'aril Haram dari terbit fajar sampai terbit matahari jika mudah. Jika
tidak, maka Muzdalifah semuanya tempat wuquf.
Pembatal haji
Haji menjadi batal karena
salah satu di antara dua sebab ini:
1. Jima; apabila sebelkum
melempar jamrah Aqabah. Adapun jika setelah melempar jamrah Aqabah dan sebelum
thawaf wada, maka tidak batal hajinya namun berdosa.
2. Meninggalkan salah satu
rukun haji
Jika haji seseorang batal
karena salah satu di antara dua sebab ini, maka ia wajib berhaji tahun depan
jika mampu.
Larangan dalam ihram
Larangan dalam ihram maksudnya
adalah larangan untuk dilakukan bagi orang yang ihram secara syara, yaitu:
1. Memakai pakaian yang dijahit,
yakni yang potongannya disesuaikan dengan badan atau anggota badan, seperti
celana, baju, dan sebagainya. Larangan ini hanya khusus bagi laki-laki. Adapun
bagi wanita, maka ia boleh memakai pakaian apa saja yang ia mau selain cadar
dan sarung tangan.
2. Memakai wewangian pada badan
atau kainnya.
3. Menghilangkan rambut dan kuku,
baik ia laki-laki maupun perempuan. Tetapi boleh baginya membasuh kepalanya
dengan pelan, dan jika patah kukunya, maka boleh dibuang.
4. Menutupi kepala dengan sesuatu
yang melekat, namun ia boleh berteduh dengan kemah dan lainnya seperti pohon.
Diperbolehkan bagi orang yang
ihram untuk berteduh dengan menggunakan payung jika perlu. Dan bagi wanita
dilarang menutup mukanya dengan penutup yang sesuai mukanya, seperti niqab
(cadar tipis) dan burqu' (cadar tebal), dan hendaknya ia menutup mukanya dengan
kerudung ketika ada laki-laki asing. Demikian pula mereka dilarang memakai
sarung tangan, dan ia boleh memakai pakaian yang ia mau
yang sesuai dengannya.
Barang siapa yang memakai
wewangian, atau menutup kepalanya, atau memakai pakaian yang berjahit karena
tidak tahu, lupa, atau dipaksa, maka ia tidak terkena kewajiban apa-apa
berdasarkan sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, "Dimaafkan untuk
umatku kesalahan (tanpa disengaja), lupa, dan semua yang dipaksakan
kepadanya."
Oleh karena itu, apabila orang
yang jahil sudah mengetahui, orang yang lupa menjadi ingat, dan hilang paksaan,
maka ia harus menghentikan diri dari melakukan larangan ini.
5. Melakukan akad nikah, baik
untuk dirinya maupun untuk orang lain.
6. Berjima'. Hal ini dapat
membatalkan haji jika sebelum tahallul awwal dan meskipun terjadi setelah wuquf
di Arafah.
7. Berpelukan meskipun tidak
sampai jima', namun hajinya tidak batal. Demikian juga mencium, bersentuhan,
dan memandang dengan syahwat.
8. Membunuh binatang buruan darat
dan memburunya. Tetapi, boleh baginya membunuh binatang fasik yang
diperintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membunuhnya baik di
tanah halal maupun di tanah haram, dan diperbolehkan baik bagi orang yang ihram maupun
selainnya, yaitu: burung gagak, tikus, kalajengking, rajawali, ular, dan anjing
galak.
Tidak boleh bag orang yang ihram
membantu proses pembunuhan binatang buruan darat, baik dengan isyarat maupun
lainnya, dan tidak boleh pula memakan binatang yang diburu karenanya.
9. Tidak boleh bagi orang yang
ihram maupun lainnya untuk memotong pohon yang ada di tanah haram atau
tumbuhannya yang basah (hijau) yang tidak mengganggu. Tetapi boleh memotong dahan
atau ranting yang mengganggu di jalan. Tetapi dikecualikan dari pohon-pohon di
tanah haram adalah pohon idzkhir dan apa yang ditanam manusia berdasarkan
ijma'.
Dam fidyah
Diat (denda) Larangan-Larangan
Dalam Ihram
1. Jika mencukur rambut,
memotong kuku, memakai kain yang berjahit, memakai wewangian, menutup kepala, keluar
mani karena memandang dan bercumbu tanpa mengeluarkan mani, maka fidyahnya di
antara tiga pilihan ini:
a. Berpuasa tiga hari
b. Memberi makan enam orang
miskin
c. Menyembelih seekor
kambing
Hal ini berdasarkan sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ka'ab bin Ujrah ketika ada kutu yang
mengganggu kepalanya, "Cukurlah rambut kepalamu, atau berpuasalah tiga
hari, atau berilah makan enam orang miskin, atau sembelihlah seekor
kambing." (Hr. Bukhari dan Muslim)
Diqiaskan dengan hal
tersebut perbuatan lainnya yang disebutkan di atas, karena ia haram berdasarkan
ijma', namun tidak batal hajinya.
2. Jika membunuh binatang
buruan, maka pembunuhnya diberikan pilihan antara menyembelih binatang ternak
yang seimbang, atau menilai berapa harga binatang ternak yang seimbang di
tempat dia membunuhnya, lalu ia membeli dengan uang itu makanan yang sah jika
dipakai membayar zakat fitri, kemudian ia berikan untuk seorang miskin satu mud
(kira-kira
6 ½ ons) gandum atau setengah sha' (2 mud) jika dari
selain gandum, seperti kurma dan sya'ir. Atau ia berpuasa untuk ganti
memberikan makan, dimana satu orang miskin dihitung satu hari. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta'ala,
وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ
النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ
طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا
"Barang siapa di
antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya adalah mengganti dengan
binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua
orang yang adil di antara kamu sebagai had-yu yang dibawa sampai ke Ka'bah,
atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau
berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu." (Terj. QS. Al
Maa'idah: 95)
3. Jika yang ia lakukan
adalah berjima' sebelum tahallul awwal, maka batal haji, meskipun yang berjima'
lupa, tidak tahu, atau dipaksa. Dan dalam hal ini, wajib menyembelih unta,
mengqaadha' hajinya dan bertobat. Tetapi jika dilakukan setelah tahallul awwal,
maka tidak merusak hajinya, dan wajib menyembelih seekor kambing.
4. Adapun jika melakukan
akad nikah, maka tidak wajib melakukan fidyah, tetapi akad itu batal saja.
5. Jika memotong pohon di tanah haram dan tumbuhan yang bukan ditanam oleh
manusia, maka pohon yang kecil diganti secara uruf dengan seekor kambing,
sedangkan pohon yang besar dengan seekor sapi, dan untuk tumbuhan dan dedaunan
diganti dengan nilai (harganya) karena dapat dihargai.
Hal ini jika orang yang
melakukan larangan ini sengaja. Adapun jika tidak tahu dan lupa, maka tidak terkena
kewajiban apa-apa.
Hadyu
Hadyu adalah hewan yang
digiring ke baitulllah, yang berupa
hewan ternak, yaitu unta, sapi, dan kambing, untuk mendekatkan diri kepada Allah
Ta'ala.
Macam-macam
Hadyu
1. Hadyu
Tamattu' dan Qiran.
Hal ini wajib bagi orang
yang tidak tinggal di sekitar Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk
kota Mekah). Ini adalah dam nusuk (ibadah haji), bukan jabran (untuk menutupi
kewajiban). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ
الْهَدْيِ
"Maka bagi siapa yang
ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) korban yang mudah didapat." (Terj. Qs. Al Baqarah: 196)
Jika tidak ada hadyu atau
harga senilainya, maka ia berpuasa tiga hari ketika naik haji, dan boleh
berpuasa di hari-hari tasyriq, dan ditambah tujuh hari ketika pulang ke
keluarganya. Hal ini berdasarkan firman Allah ta'ala,
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ
إِذَا رَجَعْتُمْ
"Tetapi jika ia
tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali."
(Terj. QS. Al Baqarah: 196)
Dianjurkan bagi jamaah haji
untuk memakan dari hadyu tamattu dan qirannya ini. Hal ini berdasarkan firman
Alah Ta'ala,
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
"Maka
makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada
padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. " (Terj. QS. Al Hajj: 36)
2. Hadyu Jabran
(penambal), yaitu fidyah yang wajib karena meninggalkan
kewajiban atau mengerjakan salah satu di antara larangan ihram atau karena
terkepung ketika ada sebabnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
"Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau
karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat," (Terj. QS. Al Baqarah: 196).
Demikian juga berdasarkan
perkataan Ibnu Abbas, "Barang siapa yang lupa sesuatu dari manasik(kegiatan ibadah)nya atau
meninggalkannya, maka hendaknya ia menumpahkan darah (menyembelih hadyu)."
(Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Untuk hadyu yang kedua ini,
seorang yang menyembelih tidak boleh memakan daripadanya, bahkan ia sedekahkan
kepada kaum fakir di tanah haram.
3. Hadyu yang
sunah.
Hal ini dianjurkan bagi
orang yang naik haji atau melakukan umrah karena mengikuti Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, dimana Beliau menghadyukan seratus ekor unta pada saat haji
wada'. Dan dianjurkan baginya memakan daripadanya, karena Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam menyuruh disisakan beberapa potong daging untuk setiap hewan
yang disembelih, lalu dimasakkan dan Beliau makan darinya serta meminum
kuahnya. (HR. Muslim)
Dibolekan juga bagi selain
yang ihram untuk mengirimkan hewan hadyu ke Mekkah untuk disembelih di sana
untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, namun tidak haram baginya sesuatu
yang haram bagi orang yang ihram.
4. Hadyu nadzar, yaitu yang dinadzarkan oleh orang yang naik haji untuk mendekatkan
diri kepada Allah di dekat Baitullah. Nadzar ini wajib dipenuhi. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta'ala,
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
"Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran
yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar
mereka." (Terj. QS. Al
Hajj: 29)
Dan tidak boleh memakan dari
hadyu ini.
Waktu
menyembelih hadyu
Hadyu tamattu dan qiran
dimulai waktunya dari setelah shalat Ied hari nahar (10 Dzulhijjah) sampai
akhir hari tasyriq. Adapun menyembelih fidyah karena adanya gangguan atau
memakai sesuatu, maka dilakukan ketika ia mengerjakannya. Demikian pula fidyah
yang wajib karena meninggalkan kewajiban.
Sedangkan dam karena
terkepung, maka ketika ada sebab terkepung, yaitu dengan menyembelih seekor
kambing, atau seekor sapi, atau seekor unta. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta'ala,
فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
"Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau
karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat," (Terj. QS. Al Baqarah: 196)
Tempat Penyembelihan
Hadyu
tamattu' dan qiran, sunnahnya disembelih di Mina. Namun jika ia menyembelih di
salah satu tempat di tanah haram, maka boleh.
Demikian
pula fidyah karena meninggalkan
kewajiban dan mengerjakan larangan, maka tidak disembelih hewan itu kecuali di
tanah haram, selain hadyu karena ihshar (terhalang), maka ia boleh menyembelih
di tempatnya. Adapun untuk puasa, maka sah dilakukan di mana saja.
Yang
dianjurkan adalah seseorang berpuasa tiga hari ketika haji dan tujuh hari
ketika pulang ke keluarganya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
"Apabila
kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum
haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah
didapat. Tetapi, jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu),
maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna." (Terj. QS. Al Baqarah: 196).
Dan
dianjurkan bagi orang yang naik haji untuk menyembelih sendiri. Jika ia
mengangkat orang lain sebagai gantinya, maka tidak mengapa. Dianjurkan
seseorang berkata ketika menyembelih,
بِسْمِ اللهِ، اَللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ
وَلَكَ.
"Dengan nama Allah. Ya
Allah, ini dari-Mu dan ditujukan kepada-Mu."
Adapun syarat-syarat hadyu
lainnya yaitu:
1. Hewan ternak, yaitu unta,
sapi, dan kambing.
2. Bersih dari cacat yang menghalangi keabsahan, seperti sakit, buta
sebelah, pincang, dan kurus kering.
3. Usianya sesuai kriteria
syariat, yaitu: unta yang usianya lima
tahun, sapi yang usianya dua tahun, dan kambing yang usianya setahun, sedangkan
domba yang usianya minimal enam bulan.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Muhammad
wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa