بسم
الله الرحمن الرحيم
Fatwa-Fatwa Ulama Seputar Haji dan Umrah (1)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari
kiamat, amma ba'du:
Allah Subhaanhu wa Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (Qs. An Nahl: 43)
Berikut kami hadirkan fatwa para ulama seputar haji dan umrah, semoga Allah menjadikan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
1. Hukum mabit di Muzdalifah
Pertanyaan: Tahun 1416 H Allah memudahkan saya naik haji,
hanyasaja pada malam mabit di Muzdalifah kami terburu-buru hingga berangkat
dari Muzdalifah sekitar pukul 23.05 awal malam menuju tempat melempar jamrah (sebelum
bulan tenggelam), pertanyaan saya adalah, ”Apakah ada suatu kewajiban bagi saya
terkait hal itu, dan apakah waktu ini dianggap tengah malam karena perlu diketahui
bahwa kami bersama kaum wanita akan tetapi mereka adalah wanita yang masih semangat,
yakni tidak ada di antara kami yang lansia, semoga Allah balas Anda dengan
kebaikan, mohon disebutkan nama mufti yang menjawab (Syaikhnya)!
Jawab: Segala puji bagi Allah, shalawat dan
salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya dan para
sahabatnya, amma ba’du:
Mabit di Muzdalifah adalah suatu kewajiban
menurut pendapat yang rajih (kuat) di antara sekian pendapat ulama, sehingga
tidak boleh bagi jamaah haji bertolak dari Muzdalifah ke Mina sebelum tengah
malam. Yang utama adalah bertolak (dari Muzdalifah) setelah fajar, namun siapa
saja yang bertolak (meninggalkan Muzdalifah) sebelum tengah malam, maka ia wajib
menyembelih seekor kambing di Mekkah dan dibagikan kepada kaum fakir di tanah
haram[i], dan
Anda dapat mengetahui tengah malam dengan membagi waktu malam menjadi dua
bagian dari tenggelam matahari hingga terbit fajar (pertengahan antara keduanya
itulah tengah malam).
Oleh karena itu, bagi masing-masing kalian hendaknya
menyembelih seekor kambing di Mekkah dan dibagikan kepada kaum fakir di tanah
haram. Dan barang siapa yang melempar jamrah Aqabah sebelum tengah malam di
malam hari nahar (10 Dzulhijjah), maka dia terkena dam lagi karena meninggalkan
melempar jamrah, karena tidak sah sebelum tengah malam.
Adapun terkait nama mufti yang menjawab
silakan lihat fatwa no. 1122
Wallahu a’lam.
2. Hukum orang yang tidak bisa bermabit di
Mina dan Muzdalifah
Pertanyaan: Saya pergi untuk menunaikan ibadah haji, dan
saya langsung pergi pada tanggal 9 Dzulhujjah ke bukit Arafah namun tidak mabit
di Mina, lalu kami kembali dari bukit Arafah setelah Maghrib menuju Muzdalifah,
dimana kami sampai di Muzdalifah di pertengahan malam, kemudian kami shalat
Maghrib dan Isya, dan kami pun melanjutkan ke Mina dan sampai di sana sebelum
Subuh, sehingga kami tidak sempat mabit di Muzdalifah, maka apa pendapat engkau
tentang tidak mabit di Mina pada tanggal 8? Demikian pula apa pendapatmu tentang
tidak mabit di Muzdalifah setelah turun dari Arafah, semoga Allah balas Anda dengan
kebaikan. Mabit tersebut kami tinggalkan disebabkan adanya tugas perpindahan, jazakumullah khaira?
Jawab:
Apabila realitanya seperti yang disampaikan penanya, maka tidak
ada kewajiban apa-apa baginya, karena ketika dia telah melewati Muzdalifah
setelah tengah malam dan menjamak shalat di sana, maka hal itu dianggap cukup walhamdulillah.
Di samping keadaannya mendapatkan uzur karena adanya tugas perpindahan dan
tidak bisa tetap di tempat yang disebutkan, sehingga tidak mengapa.
Mabit di Muzdalifah menurut pendapat yang shahih hukumnya wajib,
bahkan sebagian ahli ilmu berpendapat sebagai rukun. Namun yang benar hanyalah
wajib. Sedangkan yang lain berpendapat hukumnya sunah. Yang benar adalah yang
pertengahan, yaitu bukan rukun, tetapi di atasnya sunnah, yaitu wajib. Hal itu
karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bermalam di sana dan bersabda, “Ambillah
dariku manasikmu.” Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Beliau.
Oleh karena itu, yang wajib bagi jamaah haji adalah bermabit di
Muzdalifah sampai pertengahan malam, namun barang siapa yang datang setelah tengah
malam, maka dianggap sah apabila dia keluar daripadanya di akhir malam. Dan
diperbolehkan bagi kaum dhuafa (lemah) baik kaum wanita maupun semisalnya
keluar dari Muzdalifah setelah tengah malam sampai Mina sebelum ramainya orang,
karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan keringanan bagi
mereka, dan siapa saja yang terhalang melakukan hal itu karena ada uzur syar’i misalnya
mobilnya mogok sehingga tidak sampai di Muzdalifah maka tidak mengapa insya
Allah karena ia mendapatkan uzur syar’i.
Demikian pula orang yang dilarang tinggal di sana karena ada tugas
perpindahan dimana dirinya dihalangi untuk tetap di Muzdalifah, maka kami harap
tidak mengapa insya Allah, namun jika ia mengeluarkan fidyah karena hati-hati
dengan menyembelih hewan di Mekkah untuk kaum fakirnya sebagai bentuk
kehati-hatian maka hal ini baik insya Allah.
Adapun bermalam tanggal 9 di Mina; yakni bermabit di Mina malam
ke-9 maka tidak wajib, akan tetapi sunah saja. Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bermabit di sana pada malam ke-9, dan jika seseorang bermabit di Mina
pada malam 9 Dzulhijjah, maka hal itu lebih utama. Jika tidak dilakukan juga
tidak mengapa karena tidak wajib, dalam arti ia tidak datang ke Mina kecuali
pada tanggal 9 lalu berangkat darinya menuju Arafah, maka tidak mengapa.”
(Fatawa
ibn Baz, Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/8905/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D9%85%D9%86-%D9%84%D9%85-%D9%8A%D8%AA%D9%85%D9%83%D9%86-%D9%85%D9%86-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%A8%D9%8A%D8%AA-%D8%A8%D9%85%D9%86%D9%89-%D9%88%D9%85%D8%B2%D8%AF%D9%84%D9%81%D8%A9
)
3. Hukum mabit di Mina pada malam-malam hari
tasyriq
Pertanyaan: Salah seorang ikhwah
bertanya tentang hukum mabit di Mina pada malam-malam hari tasyriq, dan apa pendapat
Anda tentang keberadaan jamaah haji di zaman sekarang di siang hari tasyriq di
luar Mina tanpa kembali ke Mina kecuali di malam saja?
Jawab: Mabit di Mina
menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat ulama adalah wajib
bagi yang mampu kecuali ada uzur sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa
sallam kepada Abbas saat meminta izin kepadanya untuk bermabit di Mina, dimana
Beliau mengizinkannya untuk bermabit di Mekkah karena tugas memberi minum
jamaah haji dan mengizinkan para penggembala karena tugas menggembala. Hal ini
menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki uzur harus tetap bermabit di Mina,
adapun orang yang memiliki uzur seperti penggembala yang menggembala unta
ketika mereka berhaji naik unta atau orang yang sakit yang dipindahkan ke dokter
dan tidak sanggup tinggal di Mina atau dokter yang bekerja di malam hari yang
butuh berpindah atau orang yang bertugas memberi minum jamaah haji, maka tidak
mengapa (tidak mabit di Mina).
Adapun orang yang tidak memiliki uzur, maka dia tetap bermabit di
Mina ketika mendapatkan tempat di sana. Yang wajib adalah sebagian besar
malamnya. Jika ia bermalam sampai akhir malam dan turun (meninggalkan) di akhir
malam, maka tidak mengapa, atau duduk-duduk di awal malam di luar Mina lalu datang
ke Mina, maka tidak mengapa. Yang penting ia bermabit di Mina baik pada semua
malam itu maupun pada sebagian besar malamnya.
Adapun untuk siang hari, maka terdapat keleluasaan. Jika ia pergi di
siang hari ke rumahnya atau ke tempat yang lain, maka tidak mengapa, akan
tetapi keberadaannya di Mina di siang hari lebih utama sebagaimana Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya berada di sana. Adapun untuk
malamnya, maka wajib bermalam di Mina, demikian pula Muzdalifah, hukumnya juga
wajib bermalam di Muzdalifah sampai pertengahan malam, dan jika ia datang di pertengahan malam terakhir, maka hal itu
cukup selama belum terbit fajar.”
(Fatawa ibn Baz, sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/21069/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%A8%D9%8A%D8%AA-%D9%81%D9%8A-%D9%85%D9%86%D9%89-%D9%84%D9%8A%D8%A7%D9%84%D9%8A-%D8%A7%D9%8A%D8%A7%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%AA%D8%B4%D8%B1%D9%8A%D9%82
)
4. Hukum menunda Thawaf Ifadhah
Pertanyaan: Saudara kami (berinisial
A.F.G) bertanya, “Apa hukum orang yang menunda thawaf ifadhah sampai tanggal 16
Dzulhijjah sedangkan dia masih berpegang dengan tahallul tsani?”
Jawab: Tidak mengapa menunda
thawaf ifadhah, karena memang tidak dibatasi waktunya, akan tetapi semua yang dilakukan
di awal pada hari Ied, maka tentu lebih utama daripada pada hari ke-11, dan
yang dilakukan pada hari ke-11 tentu lebih utama daripada hari ke-13, dan
seterusnya. Setiap amal yang dikerjakan di awal tentu lebih utama, dan memang
thawaf ifadhah tidak dibatasi waktunya, akan tetapi yang utama adalah segera
melakukannya jika mudah. Jika memang ramai, atau dirinya sakit, dan semisalnya
sehingga ia pun perlu mengakhirkan, maka tidak mengapa. (Fatawa Ibn Baz,
sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/15721/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%AA%D8%A7%D8%AC%D9%8A%D9%84-%D8%B7%D9%88%D8%A7%D9%81-%D8%A7%D9%84%D8%A7%D9%81%D8%A7%D8%B6%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D9%89-%D9%86%D8%B5%D9%81-%D8%B0%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%AC%D8%A9
)
Pertanyaan: Bolehkah saya mengakhirkan thawaf
ifadhah lalu melakukan thawaf sekali saja untuk ifadhah dan wada sekalian
kemudian saya bersafar meninggalkan Mekkah?
Jawab: Segala puji bagi Allah. Ya,
boleh menunda thawaf ifadhah lalu melakukannya sekali untuk ifadhah dan wada,
namun yang lebih utama adalah melakukan thawaf dua kali untuk ifadhah dan wada.
Yang lebih sempurna lagi adalah engkau melakukan thawaf ifadhah
pada hari raya setelah melempar jamrah Aqabah, menyembelih hadyu, dan mencukur
atau memendekan. Selanjutnya jika engkau hendak safar meninggalkan Mekkah, maka
engkau thawaf dengan thawaf wada. Demikianlah praktek Nabi shallallahu alaihi
wa sallam.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang masalah
ini, ia menjawab, “Tidak mengapa melakukan demikian. Sehingga jika seseorang menunda
thawaf ifadhah dan saat hendak safar ia pun thawaf setelah selesai melempar semua
jamrah dan selesai dari semua kewajiban, maka thawaf ifadhah cukup baginya sebagai
pengganti thawaf wada, namun jika ia melakukan keduanya –thawaf ifadhah dan
thawaf wada- maka yang demikian merupakan kebaikan di atas kebaikan. Akan tetapi
jika ia mencukupkan dengan salah satunya dan berniat melakukan thawaf haji
(ifadhah), maka sah.” (Fatawa Ibn Baz 17/332)
Pertanyaan: Saya tinggal di Mekkah,
sedangkan ibu saya memiliki visa ziarah dan akan berhaji insya Allah, sedangkan
di akhir Dzulhijjah atua awal Muharram kami akan pergi ke Mesir untuk liburan,
apakah kami harus thawaf wada? Apabila wajib, apakah boleh menunda thawaf dan
sa’I ifadhah untuk sekalian thawaf wada, sehingga satu thawaf dengan dua niat?
Jawab: Segala puji bagi Allah,
shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, dan para
sahabatnya. Ammaa ba’du:
Menunda thawaf ifadhah sampai waktu meninggalkan Mekkah adalah
boleh dan bisa mewakili thawaf wada.
Ibnu Utsaimin dalam Majmu Fatawanya berkata, “Kalau seorang
menunda thawaf wada dan saat hendak safari a pun melakukan thawaf seusai
melempar semua jamrah dan selesai semua manasik haji, maka thawaf ifadhah bisa mewakili
thawaf wada.”
Lihat juga fatwa no. 80482.
Akan tetapi dimakruhkan bagi kalian menunda thawaf ifadhah sampai
lewat hari tasyriq tanpa uzur, dan kemakruhannya semakin besar jika sampai
waktu yang tadi disebutkan, dan ia harus membayar dam jika lewat bulan
Dzulhijjah.
Disebutkan dalam kitab Mawahibul Jalil Fii Syarh Mukhtashar Khalil
Al Maliki, “Jika seseorang menunda thawaf ifadhah dan mencukur, dan
melakukannya setelah lewat hari tasyriq, maka ada yang berpendapat bahwa ia
terkena dam. Ada pula yang berpendapat tidak, karena waktunya masih ada sampai
akhir bulan. Tetapi jika lewat bulan (Dzulhijjah) maka ia terkena dam, ini
adalah pendapat yang sama (di kalangan ulama).”
Lihat fatwa no. 272827
Bersambung….
Wallahu
a’lam wa shallallau ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam wal hamdulillahi Rabbil alamin.
Penerjemah:
Marwan bin Musa
Maraji':
https://binbaz.org.sa/
, https://islamqa.info/ar/answers/ , https://www.islamweb.net/ar/fatwa/
,
Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
[i] Ibnu
Qudamah dalam Al Mughni berkata, “Kesimpulannya, bahwa bermabit di
Muzdalifah adalah kewajiban, dimana bagi yang meninggalkannya wajib membayar
dam baik meninggalkannya sengaja atau tidak, faham atau tidak, karena ia telah
menninggalkan salah satu manasik.”
0 komentar:
Posting Komentar