بسم الله الرحمن الرحيم
Mengenal Kelompok-Kelompok Sesat
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang
yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan singkat
kelompok-kelompok sesat yang banyak merujuk kepada risalah Syaikh Zaid bin
Muhammad Al Madkhali dan kami berikan tambahan, semoga Allah menghindarkan kita
dari kelompok-kelompok tersebut, aamin.
Kelompok atau Ajaran Sesat
1. Watsaniyyah (Paganisme)
Kelompok ini adalah kelompok kaum musyrik
yang mengarahkan ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perbuatan yang
dilakukan mereka adalah syirik yang merupakan dosa yang paling besar dan tidak
diampuni Allah Azza wa Jalla.
2. Nasrani (Kristen)
Kelompok ini meyakini trinitas (tiga tuhan
serangkai; ada tuhan bapak, ibu, dan anak). Kelompok dan ajaran ini telah
dinyatakan kafir oleh Allah Azza wa jalla dalam firman-Nya,
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ
إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang
mengatakan, "Bahwa Allah salah seorang dari yang tiga," padahal
sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti
dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka
akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Qs. Al
Maidah: 73)
3. Hululiyyah
Kelompok ini menyatakan bahwa ‘Allah
berada di segenap tempat’, Mahatinggi Allah dari pernyataan mereka ini.
4. Ittihadiyyah
Kelompok ini menyatakan kesatuan wujud, yakni
tidak ada perbedaan antara Khaliq (pencipta) dengan makhluk. Bahkan tokoh
mereka –semoga Allah melaknatnya –menyatakan: anjing dan babi adalah
tuhan kita, dan tuhan itu juga rahib yang ada di gereja.
5. Jahmiyyah
Kelompok ini mengingkari nama-nama dan
sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala.
Mereka sama saja menolak nash-nash Al Qur’an
dan As Sunnah yang menyebutkan nama-nama dan sifat-sifat Allah.
6. Musyabbihah
Kelompok ini menyerupakan mahkluk dengan
Khaliq seperti kaum Nasrani. Mereka menetapkan untuk Allah Al Khaliq dengan
sifat-sifat makhluk yang lemah.
Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Qs. Asy Syuuraa: 11)
Dalam ayat ini terdapat bantahan kepada kaum
musyabbihah, sekaligus terdapat bantahan kepada kaum Jahmiyyah dan Mu’aththilah
(yang meniadakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala).
7. Qadariyyah
Kelompok ini menolak qadar atau taqdir Allah
Azza wa Jalla. Mereka juga mengatakan bahwa ‘Allah tidak menciptakan
kebaikan dan keburukan’ atau mengatakan bahwa ‘Allah menciptakan
kebaikan dan tidak menciptakan keburukan’. Padahal beriman kepada qadar
termasuk rukun iman yang enam.
8. Jabriyyah
Kelompok ini mengatakan bahwa hamba dipaksa
dalam perbuatannya, seperti halnya pohon yang bergerak karena hembusan angin.
9. Murji’ah
Kelompok ini banyak cabangnya.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ‘maksiat
tidaklah membahayakan keimanan sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat jika di
atas kekafiran’.
Ada pula di antara mereka yang mengatakan ‘iman
hanyalah pengetahuan di hati saja’.
Ada pula yang mengatakan bahwa ‘iman itu
hanyalah ucapan di lisan’.
Dan ada pula di antara mereka yang mengatakan
bahwa ‘amal tidak termasuk bagian dari keimanan’.
10. Mu’tazilah
Kelompok ini mengatakan bahwa ‘Al Qur’an
adalah makhluk’ dan bahwa ‘pelaku maksiat (dosa besar) dari kalangan
Ahli Tauhid akan kekal di neraka jika mereka mati dan tidak bertobat’.
10. Khawarij
Kelompok ini mengkafirkan kaum muslimin yang
melakukan dosa besar meskipun pelakunya masih di atas Tauhid, dan mereka juga
menyatakan bahwa pelakunya akan kekal di neraka jika ia meninggal dunia di atas
dosa itu.
11. Syi’ah Rafidhah
Kelompok ini menyelisihi kaum muslimin dalam
segala hal baik secara garis besar maupun secara rinci, baik dalam ushul
(dasar) maupun furu (cabang).
12. Shufiyyah (Sufi)
Kelompok ini ada yang ekstrem dan ada yang
tidak.
Yang ekstrem sampai menyatakan ‘wihdatul
wujud’ (semua yang ada adalah tuhan). Mereka ini seperti para pengikut Ibnu
Arabi, Ibnu Sab’in, dan semisalnya.
Dalam ibadahnya mereka banyak mengadakan cara
sendiri dalam mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla tidak memperhatikan
sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
13. Asya’irah, Kullabiyyah, dan Maturidiyyah
Kelompok ini menyimpang dari manhaj
Ahlissunnah wal jamaah dalam masalah asma wa shifat, membatasi sifat Allah dalam
jumlah tertentu, mentakwil sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Demikian pula keliru
dalam masalah iman, Kullabiyyah dan Maturidiyyah menyatakan bahwa iman tidak
bertambah dan tidak berkurang. Sumber utama pengambil akidah mereka adalah ilmu
kalam dan akal.
14. Waqifah
Kelompok ini mengatakan ‘kami tidak
menyatakan Al Qur’an sebagai makhluk atau bukan makhluk’.
15. Bathiniyyah
Kelompok ini adalah kelompok Zindik munafik.
Mereka tidak beriman kepada kebangkitan dan pembalasan.
16. Qaramithah
Kelompok ini cabang dari kelompok
Bathiniyyah.
17. Al ‘Almaniyyah (Sekularisme)
Kelompok ini memisahkan antara agama dengan
negara dan kehidupan sehari-hari.
18. Masuniyyah (Freemasonry)
Kelompok ini adalah kelompok yang terstruktur
untuk merusak manusia demi kepentingan orang-orang Yahudi.
19. Wujudiyyah
Kelompok ini mengingkari tuhan sebagaimana
mengingkari adanya kebangkitan.
20. Babiyyah
Kelompok ini adalah kelompok yang kafir atau
mengingkari semua yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
21. Qadiyaniyyah (Ahmadiyyah)
Kelompok ini mengikuti nabi palsu Mirza Gulam
Ahmad.
22. Qaumiyyah
Kelompok ini tidak bisa membedakan antara
iman dan kufur. Kelompok ini terlalu fanatik dengan bangsa sendiri, terkadang
melupakan nasib bangsa lain dan tidak memperhatikan sisi agama.
23. Ra’sumaliyyah (Kapitalisme)
Kelompok ini menolak ajaran Islam dalam
berekonomi dan tidak peduli terhadap ancaman Allah Azza wa Jalla. Kelompok ini
berusaha memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dalam usaha tanpa
memperhatikan aturan agama.
24. Isytirakiyyah (Sosialisme)
Kelompok ini juga meninggalkan agama dalam
berekonomi dan mengedepankan hawa nafsu. Kelompok ini menolak kepemilikan
secara perorangan secara mutlak.
25. Hadatsah
Kelompok ini di antara sikapnya adalah
mencela akidah Islam, menyamarkan kebenaran kepada manusia, dan melakukan ilhad
(penyimpangan) dalam agama Allah.
26. Ilhad (Atheisme)
Kelompok ini tidak mempercayai adanya tuhan,
dimana mereka sama saja menolak dalil baik dalil naqli (wahyu) maupun dalil
aqli (akal).
27. Liberaliyyah (Liberalisme)
Kelompok ini menginginkan kebebasan dalam
hidupnya, menolak adanya aturan baik aturan agama maupun aturan negara.
Kelompok ini membuat masyarakat tidak bedanya dengan hewan.
28. Ta’addudiyyah Diniyyah (Pluralisme)
Kelompok ini membenarkan semua agama dan
meninggalkan amar makruf dan nahi munkar.
29. ‘Aqlaniyyah (rasionalisme)
Kelompok ini hanya mengandalkan akal dalam
mencapai maslahat dan meninggalkan agama, serta menyatakan bahwa akal adalah
sumber pengetahuan, padahal akal manusia terbatas tidak menjangkau segalanya.
30. Syuyu’iyyah (komunisme)
Kelompok ini adalah kelompok yang tidak
meyakini ajaran agama.
31. Dimaqrathiyyah (Demokrasi)
Kelompok ini menyatakan bahwa kekuasaan di
tangan rakyat, dimana dalam roda pemerintahan rakyatlah yang berkuasa, sehingga
jika suatu larangan dalam agama atau pemerintahan tidak sejalan dengan kehendak
rakyat, maka larangan itu bisa dicabut.
32. Mutakallimin (Ahlul Kalam)
Kelompok ini menetapkan akidah berdasarkan
akal dan filsafat. Disebut Kalam karena isinya perdebatan dan pendapat. Kalam
dan filsafat inilah yang membuat akidah kaum muslimin menjadi rusak dan
munculnya berbagai kelompok menyimpang.
Kelompok ini berusaha mencari kebenaran termasuk
masalah akidah hanya bersandar kepada akal dan pendapat tanpa wahyu, sehingga
hasilnya zhann (persangkaan).
Kelompok-Kelompok Sesat lainnya
Di negeri kita Indonesia juga banyak bermunculan
kelompok sesat, di antaranya: Ahmadiyyah, Lia Eden atau Salamullah, Al Qiyadah
Al Islamiyah, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Tarekat Tajul Khalwatiyah,
Kerajaan Ubur-Ubur, Islam Jamaah, NII, Isa Bugis, Inkar Sunnah, Lembaga
Kerasulan, dll.
10 Ciri Aliran Sesat Menurut MUI
MUI dalam rapat kerja nasional tahun 2007 menyebutkan
10 kriteria sebuah aliran keagamaan dianggap menyimpang atau sesat, yaitu:
1. Mengingkari salah satu rukun
iman dan rukun Islam.
2. Meyakini dan mengikuti akidah
yang tidak sesuai dengan dalil syar’i .
3. Meyakini turunnya wahyu
sesudah Alquran.
4. Mengingkari kebenaran
Alquran.
5. Menafsirkan Alquran yang tidak
berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
6. Mengingkari kedudukan hadis
nabi sebagai sumber ajaran Islam.
7. Menghina, melecehkan, atau
merendahkan nabi dan rasul.
8. Mengingkari Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam sebagai utusan terakhir.
9. Mengubah, menambah, dan
mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan secara syar'i.
10. Mengafirkan sesama Muslim
tanpa dalil syar’i.
Demikianlah pembahasan kelompok-kelompok
sesat dan menyimpang agar kita dapat menjauhinya.
Nasihat
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ
يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Qs. Al An’aam: 116)
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memberitahukan keadaan
mayoritas manusia yang berada di atas kesesatan, dan mengingatkan agar tidak
mengikuti kebanyakan manusia, karena yang mereka ikuti hanyalah persangkaan
belaka.
Hal itu, karena agama mereka telah menyimpang,
sebagaimana amal dan ilmu mereka pun ikut menyimpang.
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa banyaknya orang yang
melakukan sesuatu bukanlah menjadi tolok ukur terhadap suatu kebenaran, dan
menunjukkan bahwa sedikitnya orang yang menempuh tidaklah menunjukkan tidak
berada di atas kebenaran, oleh karenanya para pengikut kebenaran adalah orang
yang paling sedikit jumlahnya, namun paling tinggi kedudukan dan pahalanya di
sisi Allah.
Dalam ayat ini juga terdapat bantahan terhadap beberapa
pemikiran yang dibuat manusia, yang kemudian dianut oleh sebagian orang atas
dasar ikut-ikutan, seperti liberalisme, sosialisme, komunisme, pluralisme,
kapitalisme, sekularisme dan sebagainya.
Ikuti Kebenaran dan Jangan Lihat Banyaknya Orang Yang
Melakukan
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Kita tidak
tertipu dengan kebanyakan manusia melakukannya, karena perbuatan manusia
terkadang di atas kejahilan. Yang dijadikan patokan adalah ada dalil dalam
syariat bukan karena dilakukan oleh pada umumnya manusia." (Al Qaulul
Mufid 1/204)
"Kami tidaklah melihat kebenaran dengan banyaknya
orang yang mengikuti, akan tetapi kami melihat kebenaran ketika sesuai dengan
Al Quran dan As Sunnah." (Asy Syarhul Mumti 4/379)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para
ulama sepakat, bahwa apabila seseorang telah mengetahui kebenaran, maka tidak boleh
baginya menyelisihinya karena mengikuti seseorang." (Majmu Fatawa
7/71)
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
"Hendaklah setiap muslim waspada tidak tertipu dengan jumlah yang banyak
sambil menyatakan, "Orang-orang berdatangan kepadanya dan biasa terhadap
hal itu, maka aku ikut bersama mereka." Ini adalah musibah yang besar yang
membuat binasa kebanyakan orang-orang terdahulu. Engkau wahai orang yang
berakal, hendaknya memperhatikan dirimu dan menghisabnya, berpegang dengan
kebenaran meskipun ditinggalkan manusia. Demikian pula berhati-hati terhadap
apa yang dilarang Allah meskipun dikerjakan oleh manusia, karena kebenaran itu lebih berhak diikuti. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Qs. Al An’aam:
116)
"Dan kebanyakan manusia tidak beriman, meskipun
engkau menginginkannya." (Qs. Yusuf: 103)
Sebagian kaum salaf berkata, "Jangan menjauhi
kebenaran karena sedikitnya orang yang mengikuti, dan jangan tertipu dengan
kebatilan meskipun orang yang binasa itu banyak." (Majmu Fatawa
12/411-416)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata,
"Janganlah salah seorang di antara kamu menjadi imma'ah!"
Kawan-kawannya mengatakan "Apa itu Imma'ah wahai Abu
Abdurrahman?"
Abdullah Bin Masud menjawab, "Yaitu orang yang
mengatakan 'saya mengikuti orang-orang, jika mereka mendapatkan petunjuk, maka
saya akan mendapatkan petunjuk, dan jika mereka sesat saya juga sesat'.
Ingatlah! Hendaknya salah seorang di antara kalian menguatkan dirinya, yaitu
ketika manusia kufur, namun dia tidak kufur." (Diriwayatkan oleh Thabrani
dalam Al Kabir no. 8765)
Jalan Keluar dari Penyimpangan
عَنْ
أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ : وَعَظَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ،
وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا
مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا، قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu dia
berkata, “Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami
bergetar dan air mata kami bercucuran. Kami berkata, “Wahai Rasulullah,
seakan-akan ini merupakan nasihat perpisahan, maka berilah kami wasiat.” Beliau bersabda, “Saya wasiatkan
kalian untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin
kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena barang siapa yang
hidup di antara kalian (sepeninggalku), maka ia akan menyaksikan banyak
perselisihan. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku
dan sunnah Khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah
(genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara
yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.“ (HR. Abu Dawud
dan Tirmidzi, dia (Tirmidzi) berkata, “Hasan shahih”)
Syarh/penjelasan
Kalimat, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan
kami nasehat (mau’izhah)”.
Mau’izhah artinya mengingatkan disertai targhib (dorongan) dan
tarhib (ancaman). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memberikan
nasihat melihat waktu yang tepat dan tidak terlalu
sering agar para sahabat tidak bosan. Dalam memberikan nasihat, Beliau juga
tidak secara panjang lebar, dan kata-kata Beliau dalam nasihatnya menyentuh
hati. Di samping
itu, Beliau mengikuti Al Qur’an dalam memberikan nasihat, yaitu menyertakan
targhib dengan tarhib, sehingga tidak membuat putus asa manusia dan tidak
membuat manusia berani melakukan maksat. Sebagian kaum salaf berkata,
إنَّ الْفَقِيهَ كُلُّ الْفَقِيهِ
الَّذِي لَا يُؤَيِّسُ النَّاسَ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ وَلَا يُجَرِّئُهُمْ عَلَى مَعَاصِي
اللَّهِ
“Sesungguhnya
orang yang betul-betul faqih adalah orang yang tidak membuat putus asa manusia
dari rahmat Allah dan tidak membuat mereka berani mengerjakan maksiat kepada
Allah.”
Sabda Beliau “bertakwa kepada Allah”, maksudnya adalah mencari
perlindungan dari azab Allah dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Hal ini merupakan hak Allah Azza wa Jalla. Dan tidak ada wasiat
yang paling mulia dan paling lengkap melebihi wasiat untuk bertakwa kepada
Allah Azza wa Jalla (lihat juga surat An Nisaa’: 131).
Sabda Beliau “tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian”
maksudnya tunduk dan patuh kepada para pemimpin baik adil maupun zalim, yakni
dengarkanlah apa yang mereka katakan dan jauhilah apa yang mereka larang,
meskipun yang memimpin kalian seorang budak. Tentunya jika mereka tidak
memerintahkan bermaksiat. jika ternyata memerintahkan bermaksiat, maka tidak
boleh ditaati. Perintah menaati ulil amri disebutkan di surat An Nisaa’ ayat
59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisaa’: 59)
Pada ayat tersebut, taat kepada ulil amri tidak diberi tambahan “taatilah”
sebagaimana ketika memerintahkan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hal itu
karena taat kepada ulil amri tidak mutlak.
Ibnu Rajab Al Hanbaliy berkata, “Adapun mendengar dan taat kepada
pemerintah kaum muslimin, maka di dalamnya terdapat kebahagiaan di dunia.
Dengannya, maslahat kehidupan hamba menjadi tertib, dan dengannya pula mereka
bisa menampakkan agama mereka dan menaati Tuhan mereka.”
Sabda Beliau, “Karena barang siapa yang hidup di antara kalian
(sepeninggalku), maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Oleh
karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
Khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk” yakni siapa saja yang diberi
umur panjang, maka ia akan melihat banyak perselisihan baik dalam masalah
akidah, ibadah, manhaj (jalan hidup), dsb. yang membuat seseorang kebingungan
untuk memilih mana jalan yang harus ia ikuti, terlebih karena masing-masing
golongan yang ada seakan-akan di atas kebenaran, bahkan berdalil meskipun
sebenarnya salah dalam berdalil.
Imam Syathibiy rahimahullah berkata, “Oleh karena
itu, wajib bagi orang yang memperhatikan dalil syar’i untuk melihat apa yang
difahami generasi terdahulu, dan apa yang mereka kerjakan, karena hal itu lebih
membuatnya dekat dengan kebenaran.” (Al Muwafaqat 3/77)
Ternyata apa yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan memang
benar, yakni benar-benar terjadi perselisihan yang banyak di zaman para
sahabat, terlebih di zaman setelahnya dst. Namun demikian, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan begitu saja umatnya kebingungan,
bahkan Beliau memberikan jalan keluar saat kita menghadapi kondisi tersebut,
yaitu dengan berpegang dengan sunnah (jalan yang ditempuh) Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam saat menyaksikan keadaan yang beraneka ragam
tersebut; meskipun menyelisihi kebanyakan orang. Tidak sebatas itu, Beliau juga
menyuruh kita mengikuti para khalifah (pengganti) Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam yang rasyidin (mendapat petunjuk), yang tidak lain adalah para sahabat
Beliau, terutama khalifah yang empat; Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali
radhiyallahu 'anhum. Hal itu, karena bisa saja di antara golongan-golongan itu
berdalih dengan ayat atau hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
namun dalam memahaminya tidak seperti yang dipahami Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam menambahkan dengan sunnah (jalan yang ditempuh atau pemahaman) para
sahabat, yakni apakah para sahabat memahami seperti itu ketika mendengar ayat
atau hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, terutama pada ayat
atau hadits-hadits yang membutuhkan penjelasan tambahan karena masih samar.
Oleh karena itu Al Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam mukaddimah kitab tafsirnya:
“Apabila ada seseorang yang bertanya, “Apa
cara terbaik dalam menafsirkan (Al Qur’an)?” Jawab, “Sesungguhnya cara terbaik
dalam hal ini adalah menafsirkan Al Qur’an dengan (penjelasan) Al Quran, yang
masih belum jelas di ayat ini mungkin dijelaskan di ayat lain. Jika kamu tidak
menemukan (penjelasan di ayat lain), maka dengan melihat As Sunnah, karena ia
adalah pensyarah Al Qur’an dan penjelasnya…dst.” Kemudian Ibnu Katsir
melanjutkan, “Jika kita tidak menemukan (penjelasannya) dalam Al Qur’an dan
As Sunnah, maka kita melihat pendapat para sahabat, karena mereka lebih
tahu tentang hal itu…dst.” Ibnu Katsir berkata lagi, “Jika kamu tidak
menemukan dalam Al Qur’an, As Sunnah juga dari para sahabat, maka dalam hal ini
para imam melihat pendapat para taabi’iin…dst.”
Dengan cara seperti ini, yakni merujuk kepada
Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi pertama Islam (As Salafush
Shaalih), kita dapat selamat dari perselisihan. Dan oleh karena itu, seseorang harus
memahami manhaj (cara beragama) generasi terdahulu yang merupakan manhaj Ahlussunnah
wal jama’ah, silahkan lihat di sini: http://wawasankeislaman.blogspot.com/p/aqidah_5.html
Pada hadits di atas juga kita diperintahkan
menjauhi bid’ah, yakni mengada-ada dalam agama yang dibawa Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam. Hadits ini merupakan dalil terlarangnya berbuat bid’ah. Oleh
karena itu, jika seorang yang berbuat bid’ah berkata, « Bukankah
tidak ada larangannya saya mengerjakan ibadah ini ? » Maka jawablah
dengan hadits ini, yakni Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang
semua bid’ah dalam agama. Karena jika disebutkan satu persatu tidak mungkin,
disebabkan banyaknya jumlah bid’ah.
Hadits di atas juga menerangkan bahwa bid’ah dalam agama semuanya sesat,
tidak ada yang hasanah (baik).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa