بسم الله الرحمن الرحيم
Ringkasan Fikih Safar
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga
tercurah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya sampai hari kiamat. Amma ba'du:
Berikut ini masalah-masalah seputar safar yang perlu diketahui
oleh setiap musafir agar perjalanan mereka diberkahi, insya Allah.
1.
Perjalanan yang disebut sebagai safar
Setiap perjalanan yang dianggap oleh orang-orang sebagai safar
(bepergian jauh) secara uruf (adat kebiasaan), maka tidak syak lagi bahwa
perjalanan tersebut adalah safar, baik jaraknya jauh atau tidak begitu jauh,
lama atau hanya sebentar. Yang dijadikan patokan dalam hal ini adalah 'uruf
(kebiasaan umum yang berlaku). Hal itu, karena dalil-dalil safar yang berlaku
di
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا
مِنَ الصَّلَاةِ
"Dan
apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
menqashar shalat(mu)…dst" (QS. An Nisaa': 101)
Akan tetapi jumhur ulama melihat kepada jarak yang Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam biasa melakukan qashar pada jarak tersebut, yaitu
kurang lebih 4 barid (1 barid 12 mil, 1 mil = 1609 m, jadi 4 barid = 48 mil
atau 70 km lebih atau 80 km), sehingga ketika seseorang berpegang dengan jarak
ini untuk kehati-hatian, maka tidak mengapa.
Ibnu Abbas dan Ibnu Umar melakukan
qashar dan berbuka puasa dalam perjalanan 4 barid, yaitu 16 farsakh.
Menurut mayoritas ulama,
untuk safar yang haram (seperti safar untuk maksiat) tidak diperbolehkan
mengqashar shalat.
2.
Menjadikan suatu tempat sebagai tempat tinggal (baca:
Istiithaan).
Istiithaan terbagi menjadi dua:
a.
Seseorang menempati tempat tinggal aslinya (kampung halamannya).
b.
Seseorang menempati tempat lain sebagai tempat tinggalnya.
Untuk yang pertama, jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu, dan dalam
dirinya ada niat kembali lagi serta tidak menjadikan tempat lain sebagai tempat
tinggalnya, maka keluarnya dianggap sebagai musafir.
Untuk yang kedua, jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya itu meskipun
perginya ke kampung halamannya untuk berkunjung, dan tidak bermaksud tinggal di
3.
Mulai berlaku hukum-hukum safar
Apabila seseorang berpisah dari bangunan-bangunan kotanya, maka
mulai berlaku hukum safar baginya, dan ia tidak menyempurnakan
shalatnya (menjadi 4 rakaat) sampai ia memasuki awal rumah-rumah(yang ada di
kota)nya. Hal ini berdasarkan hadits
Anas radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Aku shalat Zhuhur bersama Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah empat rak'at, dan di Dzulhulaifah dua
rak'at." (Hr. Bukhari)
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat,
bahwa orang yang hendak safar boleh mengqashar saat keluar dari (meninggalkan)
semua rumah-rumah kampung yang daripadanya ia safar.”
Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata, "Yang dijadikan
patokan adalah berpisah badan dari bangunan yang ada, bukan berpisah pandangan,
yakni tidak disyaratkan dalam berpisah itu harus tidak melihat rumah-rumah,
bahkan cukup berpisah badan." (Asy Syarhul Mumti' 4/512)
4.
Adab safar
a.
Tidak boleh bertathayyur
Seorang musafir tidak boleh merasa sial dengan sesuatu sehingga
dia tidak melanjutkan safarnya, bahkan yang demikian termasuk syirik.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ،
ثَلَاثًا، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ»
“Thiyarah
(merasa sial dengan sesuatu) itu syirik. Thiyarah (merasa sial dengan sesuatu)
itu syirik. Tidak ada di antara kita kecuali terlintas hal itu, akan tetapi
Allah menghilangkannya dengan tawakkal.” (Hr. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al
Albani)
b.
Dianjurkan memilih hari Kamis
Hal ini berdasarkan hadits Ka'ab bin Malik berikut, ia berkata: "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam hampir tidak keluar dalam safar kecuali pada hari
Kamis." (HR. Bukhari)
c.
Berdoa ketika berangkat dan ketika pulang.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
apabila telah berada di atas untanya untuk keluar bersafar, Beliau bertakbir
tiga kali dan mengucapkan,
« سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا
وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ
الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ
عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى
الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ
الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ » .
"Mahasuci
Allah yang menundukkan binatang ini bagi kami, dan sebelumnya kami tidak mampu
menundukkannya, dan sesungguhnya hanya kepada Tuhan kamilah kembali. Ya Allah,
sesungguhnya kami meminta kepada-Mu dalam safar kami ini kebaikan, ketakwaan dan amalan yang Engkau
ridhai. Ya Allah, ringankanlah bagi kami safar ini dan dekatkanlah yang jauh.
Ya Allah, Engkaulah teman di perjalanan dan pengganti kami bagi keluarga. Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan safar, pandangan
yang menyedihkan dan buruknya tempat kembali pada harta dan keluarga."
dan apabila Beliau pulang, maka Beliau mengucapkan kata-kata yang
sama, namun menambah (dengan kata-kata):
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ
لِرَبِّنَا حَامِدُونَ » .
"Dalam
keadaan kembali, bertobat, beribadah dan memuji Tuhan Kami." (HR. Muslim)
d.
Dianjurkan mengucapkan "A'uudzu
bikalimaatillahittaammah min syarri maa khalaq" ketika singgah di suatu
tempat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ
بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ . لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ
حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ » .
"Barang
siapa yang menempati suatu tempat, lalu mengucapkan, "A'uudzu…dst."
(artinya: Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan
makhluk-Nya), maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi
dari tempat itu." (HR. Muslim)
e.
Dianjurkan bertakbir ketika menaiki tempat
tinggi dan bertasbih ketika turun.
Jabir radhiyallahu 'anhu berkata, "Kami ketika menaiki tempat
tinggi bertakbir dan ketika turun bertasbih." (HR. Bukhari)
f.
Dianjurkan berdoa ketika masuk ke sebuah
kampung.
Doanya adalah sebagai berikut:
اَللَّهُمَّ رَبَّ
السَّموَاتِ السَّبْعِ وَمَا أَظْلَلْنَ ، وَرَبَّ الْأَرَضِيْنَ السَّبْعِ وَمَا
أَقْلَلْنَ ،وَرَبَّ الشَّيَاطِيْنِ وَمَا أَضْلَلْنَ ، وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا
ذَرَيْنَ. أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ اْلقَرْيَةِ وَخَيْرَ أَهْلِهَا ، وَخَيْرَ مَا
فِيْهَا، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّ أَهْلِهَا ، وَشَرِّ مَا فِيْهَا
“Ya Allah, Tuhan
langit yang tujuh dan apa yang dinaunginya, Tuhan bumi yang tujuh dan apa yang
berada di atasnya, Tuhan setan-setan dan makhluk yang disesatkannya, Tuhan angin
dan apa yang dibawanya. Aku meminta kepada-Mu kebaikan kampung ini dan kebaikan
penghuninya serta kebaikan yang ada di dalamnya. Aku pun berlindung kepada-Mu
dari keburukannya, keburukan penghuninya dan keburukan yang ada di dalamnya.”
(HR. Nasa'i dalam 'Amalul yaum, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi, Hakim dan ia
menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabi)
g.
Wanita yang bersafar harus disertai mahram.
Haram hukumnya bagi wanita bersafar sendiri. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
« لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ
وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ » .
"Janganlah
sekali-kali seseorang berkhalwat (berduaan) dengan wanita kecuali ditemani
mahram, dan janganlah seorang wanita bersafar kecuali bersama mahram."
(HR. Muslim)
Dalam hadits Abu Sa'id Al Khudriy disebutkan contoh mahram:
...إِلاَّ وَمَعَهَا أَبُوهَا أَوِ ابْنُهَا
أَوْ زَوْجُهَا أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا » .
"…
Kecuali bersamanya ada bapaknya atau anaknya atau suaminya atau saudaranya atau
mahram lainnya." (HR. Muslim)
Larangan di atas adalah umum bagi setiap wanita, baik masih kecil
atau sudah dewasa.
Syarat mahram adalah muslim,
laki-laki, baligh dan berakal.
h. Jika jumlah orang yang bepergian ada tiga orang atau lebih
disunahkan mengangkat ketua rombongan.
اِذَا خَرَجَ
ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا اَحَدَهُمْ (ابو داود وصححه الالباني)
"Apabila keluar tiga orang untuk
bepergian, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka
sebagai ketua." (Hr. Abu Dawud)
i.
Dianjurkan bagi musafir ketika berpamitan dengan
keluarga dan kawannya mendoakan mereka.
Doanya adalah:
أَسْتَوْدِعُكَ
اللهَ الَّذِي لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ
“Aku menitipkan
kamu kepada Allah, di mana tidak akan sia-sia titipan-Nya.” (Hr. Ibnu Majah)
Sedangkan
keluarga atau kawannya dianjurkan menjawab dengan kata-kata,
أَسْتَوْدِعُ اللهُ
دِيْنَكَ وَاَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ
“Aku titipkan kamu
kepada Allah baik agama, amanat maupun akhir-akhir amalmu.” (Hr. Tirmidzi)
5.
Rukhshah (keringanan) bagi musafir
ü Boleh menyapu bagian atas khuff (sepatu
yang menutupi kedua mata kaki) ketika berwudhu', tanpa perlu melepasnya. Hal
ini apabila ia memasukkan kedua kakinya ke dalam sepatu dalam keadaan suci dari
hadats kecil maupun besar, selama tiga hari tiga malam. Namun jika ia mukim (dimana
ia sudah menyempurnakan shalatnya), maka lamanya hanya sehari semalam (24 jam).
ü Boleh bertayammum jika tidak
mendapatkan air atau kesulitan mencarinya.
ü Ketika seorang musafir bertayammum,
lalu di tengah menjalankan shalat ditemukan air, maka ia jadikan shalatnya
sebagai shalat sunah dan menyelesaikannya, lalu ia berwudhu dan mengulangi
shalat fardhunya. Adapun jika ia mendapatkan air setelah selesai shalat, maka
shalatnya sah dan tidak perlu diulangi.
ü Seorang musafir yang tidak mengetahui
arah kiblat wajib berusaha mencarinya baik dengan bertanya atau lainnya. Jika
telah berusaha mencarinya, lalu ia shalat dan setelah shalat ternyata tidak
menghadap kiblat, maka shalatnya sah; tidak perlu diulangi. Namun, jika ia
tidak berusaha mencarinya, dan ternyata shalatnya tidak menghadap kiblat, maka ia
wajib mengulangi (lihat Al Mumti' 2/281)
ü Jika ketika shalat diberitahukan bahwa
arah kiblatnya salah, maka ia harus beralih ke arah kiblat dalam shalatnya.
ü Dianjurkan membaca surat-surat pendek setelah
Al Fatihah dalam shalat ketika safar. Dalam Shahih Muslim disebutkan,
"Bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat Isya bersama para sahabat ketika
safar dengan membaca Wat Tiini waz zaitun."
ü Disyari'atkan mengqashar (mengurangi)
jumlah shalat yang empat rakaat menjadi dua, seperti shalat Zhuhur, ‘Ashar dan
‘Isya. Kecuali jika dia bermakmum kepada imam yang bukan musafir (mukim), maka
ia mengikuti imam (tidak mengqashar shalat) meskipun ia masbuq, yakni
mendapatkan imam sudah rakaat kedua, sisanya dua rakaat lagi, maka selesai
shalat ia harus sempurnakan menjadi empat rakaat.
ü Bagi musafir yang telah singgah di
tempat yang dituju harus tetap menjaga shalat berjamaah. Kecuali ketika ia
masih dalam perjalanan, maka tidak mesti berhenti untuk shalat berjamaah saat
mendengar azan.
ü Boleh menjama' (menggabung) Zhuhur dan
‘Ashar atau Maghrib dan Isya, baik jama' taqdim (di awal waktu seperti
melakukan shalat Zhuhur dan Ashar di waktu Zhuhuhr) maupun jama' ta’khir (di
akhir waktu seperti melakukan shalat Zhuhur dan Asharnya di waktu Ashar), hal
ini jika perjalanan berat atau ia butuh menjamak.
ü Boleh melakukan shalat sunah di atas
kendaraannya ke mana saja kendaraannya menghadap (lebih utama ketika takbiratul
ihram menghadap kiblat), namun untuk shalat fardhu hendaklah dia turun dan
menghadap ke kiblat, kecuali jika tidak memungkinkan untuk turun dan waktu
shalat akan habis.
ü Boleh berbuka puasa.
ü Boleh meninggalkan shalat Jumat dan
menggantinya dengan shalat Zhuhur.
ü Dzikir setelah shalat cukup sekali dari
dua shalat yang dijamak.
ü Barang siapa yang belum shalat Zhuhur,
lalu ia mendapatkan imam dalam keadaan shalat Ashar, maka ia ikut masuk shalat
bersama imam dengan niat shalat Zhuhur. Setelah selesai shalat bersama mereka,
maka dia lakukan shalat Ashar.
ü Jika seseorang mendapatkan imam shalat
Isya, sedangkan dirinya belum shalat Maghrib, maka ia bisa bergabung bersama
imam dengan niat shalat Maghrib. Pada rakaat ketiga ia duduk bertasyahhud dan
menunggu imam menyempurnakan rakaatnya, lalu ia salam bersama imam. Setelah itu
ia shalat Isya.
ü Menurut pendapat sebagian ulama, tidak bisa dijamak antara shalat Jum’at dengan
shalat ‘Ashar. namun kalau seorang musafir shalat Zhuhur (karena tidak wajib
baginya shalat Jum’at) maka boleh menjamak dengan ‘Ashar.
ü Jika seseorang mengadakan perjalanan
jauh, misalnya naik kereta atau pesawat, dan waktu shalat fardhu belum habis di
tempat tujuan, maka hendaknya ia shalat fardhu di tempat tujuan agar dapat
melakukan shalat secara sempurna (bisa berdiri dan menghadap kiblat) meskipun
dengan melakukan jamak. Contoh seseorang berangkat dari stasiun jam 11.00 dan
kereta akan sampai ke tempat tujuan jam 16.30, maka ia bisa tunda pelaksanaan
shalat Zhuhur dan Ashar setelah sampai ke tempat tujuan, lalu ia jamak shalat
Zhuhur dan Ashar di tempat tujuan dengan jamak ta’khir (di akhir waktu) agar
dapat melakukan shalat secara sempurna. Atau jika kereta berangkat jam 13.00
dan akan sampai ke tempat tujuan jam 19.00, maka ia lakukan shalat Zhuhur dan Ashar
di waktu Zhuhur dengan dijamak takdim (di awal waktu). Tetapi jika sampai ke
tempat tujuan waktu shalat habis, maka ia lakukan shalat di atas kendaraan.
Misalnya kereta berangkat jam 11.00 dan sampai ke tempat tujuan jam 19.00, maka
dalam hal ini ia shalat di kendaran dan tidak menunggu sampai ke tempat tujuan.
Jika musafir sebagai imam
Dari Umar radhiyallahu 'anhu bahwa ia ketika
datang ke Mekah, shalat mengimami mereka dua rakaat, maka ia berkata (setelah shalat), “Wahai penduduk
Mekah! Sempurnakanlah shalatmu karena kami orang-orang yang sedang safar.” (Diriwayatkan
oleh Malik, Imam Syaukani berkata, “Atsar Umar (ini) para perawi isnadnya
adalah para imam yang tsiqah.”)
Berlakunya qashar untuk semua musafir
Abu Bakar Jabir Al Jazaa’iriy dalam Minhaajul
Muslim berkata, “Tidak ada bedanya dalam hal disunnahkan qashar baik yang
bersafar dengan berkendaraan maupun berjalan kaki, baik yang berkendaraan hewan
maupun yang berkendaraan mobil atau pesawat. Hanyasaja, bagi pelaut jika jarang
turun dari kapalnya sepanjang tahun, dan ia memiliki keluarga di
kapalnya, maka tidak disunnahkan mengqashar shalat,
bahkan hendaknya ia menyempurnakan, karena ia seperti orang yang menjadikan kapal sebagai tempat tinggalnya.”
Shalat Sunah ketika safar
Ibnul Qayyim pernah berkata, “Termasuk
tuntunan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam safarnya adalah hanya melakukan shalat fardhu saja, dan tidak ada
riwayat bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sunnah
sebelum shalat fardhu maupun setelah shalat fardhu (shalat sunnah rawaatib),
kecuali shalat sunnah witir dan shalat sunnah sebelum shalat fajar, kedua
shalat itu tidak pernah ditinggalkan Beliau baik ketika tidak safar (hadhar)
maupun ketika safar.”
Namun, tidak mengapa bagi musafir melakukan
shalat sunnah mutlak dan melakukan shalat dzwaatul asbaab (shalat yang memiliki
sebab) seperti shalat Dhuha, shalat sunnah setelah wudhu’, shalat kusuf, shalat
tahiyyatul masjid ketika masuk masjid, demikian juga melakukan sujud tilawah
(karena membaca ayat sajadah), (Lihat Fatwa
Syaikh Ibnu Baz dalam fatawa Muhimmah Tata’allaq bish shalaah hal. 97-98)
Kapankah seseorang menyempurnakan shalatnya?
Seorang musafir tetap mengqashar shalat selama
sebagai musafir. Jika ia berdiam karena suatu keperluan yang ia tunggu
selesainya, maka ia tetap mengqashar shalat karena ia dianggap musafir meskipun
berdiam lama. Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu 'anhu ia berkata,
أَقَامَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا
يَقْصُرُ الصَّلَاةَ
“Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar
shalat.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud
1094).
Ibnul Mundzir berkata, “
Namun
apabila ia berniat mukim, maka ia sempurnakan shalatnya setelah lewat 19 hari
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berikut,
أَقَامَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ
إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا
“Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berdiam (dalam safar) selama sembilan
belas hari, maka Beliau mengqashar shalat. Kami pun sama, apabila bersafar
selama sembilan belas hari, kami mengqashar shalat. Tetapi, apabila kami lebih
dari itu, maka kami sempurnakan.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu
Dawud, namun dalam riwayat Abu Dawud disebutkan ‘tujuh belas hari’.)
Menurut Ash Shan’ani, tidak samar lagi bahwa tidak ada dalil
waktu berlaku qashar dan peniadaan qashar setelah lewat dari waktu tersebut.
Jika tidak ada dalil penentuan lama waktunya, maka pendapat yang lebih dekat
adalah ia tetap mengqashar sebagaimana yang dilakukan para sahabat, karena
tidaklah dinamakan ‘mukim’ jika seseorang ragu-ragu setiap hari antara mukim
atau pergi meskipun lama waktunya (Subulus salam 1/390).
Namun yang lain berpendapat, bahwa jika musafir berniat mukim
lebih dari empat hari di tempat yang disinggahi, maka ia sempurnakan shalatnya
dan tidak mengqashar shalat, karena dengan niatnya untuk mukim membuat hatinya
tenang, dan telah hilang sebab yang karenanya disyariatkan qashar, yaitu
kecemasan dan kesibukan dalam safarnya. Memang Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam tinggal di Tabuk selama 20 hari dengan mengqashar shalat, namun menurut
sebagian ulama, bahwa hal itu karena Beliau tidak berniat mukim.
Kapan musafir harus
menyempurnakan shalat?
1. Apabila musafir bermakmum kepada yang mukim. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِه
Artinya:
Imam itu dijadikan untuk diikuti.
Demikian
pula berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma ketika ia ditanya
tentang menyempurnakan shalat di belakang orang yang mukim, “Itu adalah
sunnah Abil Qaasim (Rasulullah) shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Hr. Ahmad,
dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwaa’). Baik ia mendapatkan shalat dari awalnya,
satu rakaat saja maupun ia hanya mendapatkan tasyahhud akhir bersama orang yang
mukim.
2. Apabila musafir bermakmum kepada orang yang masih ia ragukan;
apakah ia sebagai musafir atau mukim, maka ketika ia masuk ke dalam shalat dan
ia tidak tahu; apakah ia musafir atau mukim seperti karena berada di bandara
atau semisalnya, maka dia harus menyempurnakan, karena qashar itu harus
didasari niat yang pasti, dan jika masih ragu-ragu, maka ia sempurnakan.
3. Apabila seseorang teringat shalat yang ditinggalkannya di saat
mukim ketika safar, misalnya seorang musafir
ketika safar dirinya ingat bahwa tadi ia shalat Zhuhur di negerinya
dalam keadaan tidak berwudhu, atau ia teringat sebuah shalat yang terlewatkan
ketika belum safar, maka dalam hal ini ia harus mengerjakan shalat secara
sempurna. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ
نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barang
siapa yang tertidur dari shalat atau lupa, maka hendaknya ia shalat ketika
ingat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Yakni
ia harus melakukan secara sempurna, dan mengqadhanya pun harus secara sempurna.
4. Apabila musafir bertakbiratul ihram untuk suatu shalat yang
seharusnya dikerjakan secara sempura, namun shalatnya batal dan dia
mengulanginya lagi, misalnya seorang musafir shalat di belakang orang yang
mukim, dimana dalam keadaan ini dia harus menyempurnakan, tetapi ternyata
shalatnya batal, lalu dia mengulanginya lagi, maka ia harus mengulanginya
dengan melakukan shalat secara sempurna, karena hal itu merupakan pengulangan
terhadap shalat yang harusnya dikerjakan secara sempurna.
5. Jika musafir berniat mukim secara mutlak (tanpa dibatasi waktu
atau pekerjaan tertentu) atau menjadikan tempat yang disinggahinya sebagai
tempat tinggalnya, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya, karena telah
terputus hukum safar baginya. Tetapi apabila ia membatasi safarnya dengan waktu
tertentu atau pekerjaan tertentu yang akan selesai, maka ia sebagai musafir
yang bisa mengqashar shalat.
Menjama dua shalat
Diperbolehkan pada
safar yang berlaku qashar untuk menjamak shalat antara Zhuhur dan Ashar, serta
antara Maghrib dan Isya pada salah satu waktunya. Hal ini berdasarkan hadits
Mu’adz, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada perang Tabuk apabila
berangkat sebelum matahari tergelincir, maka Beliau menunda shalat Zhuhurnya
hingga Beliau gabung dengan shalat Ashar dan melakukan kedua shalat itu dengan
dijamak. Tetapi apabila Beliau berangkat setelah matahari tergelincir (tiba
waktu Zhuhur), maka Beliau shalat Zhuhur dan Ashar dengan dijamak, kemudian
Beliau berangkat. Beliau juga melakukan hal yang sama pada shalat Maghrib dan
Isya (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Dalam menjamak shalat tidak disyaratkan harus
berturut-turut (muwaalah) kalau pun diselangi sesuatu tidak mengapa, namun
lebih utama melakukannya secara muwaalah (berturut-turut) sebagaimana yang
dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menjamak ini
berlaku baik seseorang masih di perjalanan atau sudah singgah, karena ia
termasuk rukhshah (keringanan) dalam safar sehingga tidak disyaratkan adanya
kondisi berjalan seperti keringanan-keringanan safar lainnya, hanyasaja yang
paling utama adalah bagi orang yang sudah singgah tidak melakukan jamak, karena
Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menjamak ketika telah singgah di Mina.
Diperbolehkan juga
menjamak shalat bagi seorang yang mukim jika dia mendapatkan kesulitan
ketika tidak menjamak. Hal ini berdasarkan pernyataan Ibnu Abbas
radhiyallahu anhuma, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menjamak
antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya ketika di Madinah
bukan karena kondisi mengkhawatirkan dan bukan karena kondisi hujan.” Dalam
sebuah riwayat disebutkan, “Bukan karena kondisi mengkhawatirkan atau karena
safar.” (Hr. Muslim)
Ibnu Abbas ditanya,
“Karena apa Beliau melakukan hal itu (menjamak shalat)?” Ia menjawab, “Beliau
tidak ingin menyusahkan umatnya.”
Oleh karena itu,
jika seseorang mendapatkan kesulitan ketika tidak menjamak, maka boleh baginya
menjamak shalat, baik karena sakit atau ada uzur yang bukan sakit baik ia mukim
maupun musafir.
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5/219)
berkata, “Jamaah dari kalangan imam berpendapat bolehnya menjama’ shalat ketika
tidak safar karena dibutuhkan, bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai
kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan kawan Imam
Malik. Al Khaththabiy menceritakan semisalnya dari Al Qaffal, Asy Syaasyi Al
Kabir dari kalangan kawan Imam Syafi’i dari Abu Ishaq Al Marwaziy dari jamaah
Ahli Hadits, dan hal itu dipilih oleh Ibnul Mundzir. Hal ini juga diperkuat
oleh perkataan Ibnu Abbas, “Beliau bermaksud untuk tidak menyulitkan
umatnya.” Ia tidak menyebutkan alasannya karena sakit atau lainnya, wallahu
a’lam.”
Yang selanjutnya
adalah uzur yang berupa sakit. Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan
wanita yang tertimpa darah istihadhah untuk menjamak antara dua shalat,
sedangkan istihadhah salah satu di antara penyakit.
Termasuk dalam hal ini adalah orang yang beser,
orang yang menyusui yang kerepotan, orang yang terluka dimana darahnya tidak
berhenti-berhenti atau orang yang mimisan (selalu keluar darah dari hidung),
juga sakit lainnya yang jika dikerjakan shalat tanpa dijama’ shuwriy (akan
diterangkan setelah ini) akan mengakibatkan kepayahan yang sangat dan lemah.
Menjama’ ketika sakit bisa dengan jama' taqdim maupun
ta'khir, namun sebaiknya ia melakukan jama' shuuriy yaitu dengan shalat Zhuhur
di akhir waktu dan shalat ‘Ashar di awal waktu serta shalat maghrib di akhir
waktu dan shalat ‘isya di awal waktu. (ini disebut jama’ shuuwriy) sehingga ia
tetap shalat pada waktunya.
Di antara uzur yang
membolehkan jamak selain safar dan sakit adalah:
1.
Hujan deras yang membuat baju
menjadi basah dan membuat seseorang kesulitan karenanya.
Boleh menjama’ shalat Zhuhur dan ‘Ashar atau Maghrib dan ‘Isya
ketika hujan (termasuk dingin yang sangat, angin kencang, jalan bersalju atau
berlumpur), baik dengan Jam’ut taqdim maupun Jam’ut ta’khir. Dalilnya adalah
hadits berikut:
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ
كَانَ إِذَا جَمَعَ الأُمَرَاءُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى الْمَطَرِ
جَمَعَ مَعَهُمْ .
Dari Naafi’, bahwa Abdullah bin Umar apabila para imam melakukan jama’ antara Maghrib dengan Isya
ketika hujan, maka ia ikut menjama’ bersama mereka. (Shahih, HR. Malik, Al
Irwa’ 3/40)
Dari Musa bin ‘Uqbah, bahwa Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjama’ antara
Maghrib dan Isya yang terakhir ketika hujan, dan sesungguhnya Sa’id bin Al
Musayyib, Urwah bin Az Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para syaikh zaman
itu melakukan shalat bersama mereka dan tidak mengingkarinya.” (Shahih, HR.
Baihaqi, Al Irwa’ 3/168,169).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Boleh menjama’ shalat
karena (jalan) berlumpur banyak, angin kencang di malam yang gelap dsb.
meskipun hujan tidak turun menurut pendapat yang paling shahih dari dua
pendapat ulama, dan hal itu lebih baik dilakukan daripada shalat di rumahnya,
bahkan meninggalkan menjama’ shalat dengan mengerjakan shalat di rumah adalah
bid’ah menyelisihi sunnah, karena sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah mengerjakan shalat lima waktu di masjid-masjid dengan berjamaah. Hal itu
juga lebih baik daripada shalat di rumah dengan kesepakatan kaum muslimin.
Shalat di masjid-masjid dengan menjama’ adalah lebih baik daripada shalat di
rumah-rumah meskipun dipisah (tidak dijama’) menurut kesepakatan para imam yang
membolehkan jama’ seperti Malik, Syafi’i dan Ahmad.”
Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iriy dalam Minhajul
Muslim berkata, “Sebagaimana penduduk negeri juga boleh menjama’ Maghrib
dan Isya di masjid pada malam yang hujan, dingin yang sangat atau angin (yang
kencang) jika mereka kesulitan kembali untuk shalat Isya di masjid, karena
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjama’ antara shalat Maghrib dan
Isya di malam yang hujan.”
2.
Ada lumpur dan tanah becek yang
membuat kesulitan bagi pejalan kaki.
3.
Ada angin kencang dan dingin di luar
biasanya,
4.
Menjama’ Ketika di ‘Arafah dan Muzdalifah.
Para ulama sepakat bahwa menjama’ shalat Zhuhur dan ‘Ashar ketika
di ‘Arafah dengan jam’ut taqdim (di waktu Zhuhur) di mana setelahnya ia wuquf,
dan menjama’ shalat Maghrib dan ‘Isya dengan jam’ut ta’khir (di waktu ‘Isya) di
Muzdalifah adalah sunnah (yang tidak ada pilihan lain selainnya). Hal ini
beradasarkan riwayat yang sahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahwa Beliau shalat Zhuhur dan ‘Ashar di Arafah dengan satu kali azan dan dua
iqamat, dan ketika Beliau mendatangi Muzdalifah, maka Beliau shalat Maghrib dan
Isya di sana dengan satu kali azan dan dua iqamat (HR. Abu Dawud (1906))
Hukum tayammum di atas pesawat
Pertanyaan: Seseorang yang biasa berwudhu untuk setiap
kali shalat, lalu ia bertayammum di pesawat dan melakukan shalat karena
khawatir habisnya waktu shalat Subuh padahal ada air di pesawat, akan tetapi
kalian tahu bahwa pesawat tidak ada selang air untuk mencuci najis yang menimpa
badan dan pakaian seseorang, lalu orang ini shalat dan menghadap dengan wajah
dan daadanya ke arah kiblat semampunya, maka apakah shalatnya sah?
Jawab: Segala puji bagi Allah, shalawat
dan salam semoga terlmpah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
kepada keluarganya dan para sahabatnya, amma ba’du:
Pertanyaan yang diajukan ada yang tidak jelas, sehingga
jawaban kami sesuai pemahaman kami dari pertanyaan tersebut. Jika maksud
pernyataan Anda ‘seorang yang berwudhu untuk setiap kali shalat’ adalah seorang
yang biasa berwudhu, akan tetapi ia bertayammum di pesawat padahal ada air,
jika ia sanggup menggunakan air dalam keadaan bagaimana pun yang bisa dilakukan,
maka shalatnya tidak sah, ia wajib mengqadhanya, karena wudhu merupakan syarat
sahnya shalat. Tanpa berwudhu, maka shalatnya tidak sah kecuali jika tidak ada
air atau tidak mampu menggunakan air, maka tayammum dapat menempati posisinya.
Biasanya berwudhu di atas pesawat itu bisa dilakukan, sedangkan uzur yang
disampaikan tentang tidak adanya seelang air untuk istinja dan semisalnya tidak
tepat. Bahkan kalau kita menganggap bahwa ia terkena najis, maka yang demikian
tidak merubah sedikit pun tentang wajibnya berwudhu dan tidak juga merubah
keabsahannya.
Masalah berikutnya adalah tentang hukum shalat ketika
ada najis, jika ia sanggup membersihkannya, maka tidak boleh shalat dalam
keadaan terkena najis sedangkan ia tahu. Jika ia tetap melakukannya maka tidak
sah shalatnya dan wajib mengqadhanya. Tetapi jika tidak tahu, maka shalatnya
tetap sah menurut sebagian ahli ilmu, dan inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Untuk lebih rincinya, lihat fatwa no.
67038.
Jika tidak memungkinkan berwudhu dalam keadaan
bagaimana pun, maka tayammum dan shalat yang dilakukan pada waktunya adalah
benar. Demikian juga jika ia tidak sanggup membersihkan najis, maka ia shalat
sesuai keadaannya, karena suci dari najis disyaratkan jika ingat dan mampu, dan
menjadi gugur ketika seseorang tidak mampu dan lupa.
Dalam Majmu Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin ada jawaban terhadap pertanyaan berikut:
Apabila tidak ada air atau air membeku, atau dihalangi
dari menggunakannya karena khawatir kebocoran di pesawat atau tertimpa bahaya
karenanya atau karena air tidak cukup, maka bagaimana berwudhu sedangkan debu
pun tidak ada?
Ia menjawab, “Berwudhu sebagaimana yang engkau sebutkan
memang sulit, sedangkan Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Allah tidak mengadakan dalam agama ini suatu kesulitan bagi
kalian.”
(Qs. Al Hajj: 78)
Oleh karena itu, jika seorang yang berkendaraan
bertayammum di atas ranjang baik ada debu atau tidak, maka ia harus tetap shalat
merkipun dirinya masih belum bersih karena kesulitan membersihkan diri,
sedangkan Allah Ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (Qs. At Taghabun:
16)
Akan tetapi jika memungkinkan baginya turun di bandara pada akhir waktu
kedua, yang masih bisa shalat sebelumnya dijamak dengannya, maka hendaknya ia
meniatkan untuk jamak takhir dan melakukan dua shalat itu di bandara ketika
telah turun. Tetapi jika tidak memungkinkan, seperti jika waktu tersebut adalah
waktu kedua, atau shalat itu tidak bisa dijamak dengan shalat setelahnya
seperti shalat Ashar dengan shalat Maghrib, atau shalat Isya dengan shalat
Subuh, atau shalat Subuh dengan shalat Zhuhur, maka orang ini shalat sesuai
keadaannya.”
Selanjutnya terkait menghadap kiblat semampunya yang
dilakukannya, maka inilah yang diinginkan dalam keadaan ini, karena menghadap
kiblat adalah syarat sahnya shalat fardhu kecuali jika tidak mampu, sehingga
ketika itu ia lakukan apa yang bisa dilakukan, lihat juga fatwa no. 178121.
Wallahu a’lam.”
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa
‘alaa Aalihi wa shahbihi wa salllam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar