بسم
الله الرحمن الرحيم
Kisah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam (bag. 9)
Perang
Hunain
Setelah
selesai Fat-h (penaklukan) Makkah beberapa hari lamanya Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam menghadapi lagi kabilah-kabilah Arab yang masih
membangkang dan memusuhi kaum muslimin. Dua kabilah yang terkenal berani dan
kuat yaitu Hawazin dan Tsaqif berhimpun untuk menyerang kaum muslimin. Berita
ini sampai kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Beliau
menyusun kekuatan tentara yang terdiri dari 12.000 orang (10.000 dari kaum
muslimin yang berangkat dari Madinah untuk Fat-hu Makkah dan 2000 orang
penduduk Makkah yang masih baru masuk Islam). Pada hari Sabtu 6 Syawwal tahun 8
H, Beliau bersama pasukannya berangkat menuju tempat musuh. Orang-orang Hawazin
dan Tsaqif memilih tempat yang strategis, yaitu tanah pegunungan yang
berbukit-bukit dan berliku-liku. Mereka bersembunyi di balik bukit-bukit
menunggu tentara kaum muslimin lewat di jalan sempit bawahnya. Ketika kaum
muslimin tiba di tempat tersebut yang bernama lembah Hunain, datanglah serbuan
yang mendadak dari musuh. Tentara kaum muslimin menjadi panik dan lari bercerai
berai. Peristiwa ini diceritakan Allah Subhaanahu wa Ta'aala dalam Al Qur’an sebagai
berikut:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ
اللّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ
كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا
رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ
“Sesungguhnya Allah
telah menolong kamu (wahai kaum mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan
(ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena
banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat
kepadamu sedikit pun, dan bumi yang Luas itu telah terasa sempit olehmu,
kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (QS. At Taubah:
25)
Dengan
ketenangan yang diberikan Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada Nabi-Nya Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Beliau berhasil menghimpun kembali pasukan
kaum muslimin yang kacau balau itu. Serangan pembalasan kemudian dilancarkan
sampai musuh dapat dikalahkan. Sisa pasukan musuh yang kalah, melarikan diri ke
Tha’if. Dan dalam benteng Tha’if inilah musuh mempertahankan diri. Beberapa
waktu lamanya musuh mempertahankan diri, namun tidak berhasil juga
menundukkannya. Akhirnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pulang ke
Ja’ranah, tempat tawanan dan rampasan-rampasan, meninggalkan benteng itu, tetapi
memblokir daerah sekitarnya. Di Ja’ranah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam didatangi oleh delegasi (utusan) Hawazin. Mereka menyatakan tobat kepada
Allah dan masuk Islam. Hawazin meminta kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam agar harta benda dan kaum keluarga mereka yang ditawan dibebaskan dan
dikembalikan kepada mereka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum
muslimin tidak keberatan memenuhi permintaan mereka; semua tawanan dan rampasan
dari mereka pun dikembalikan seluruhnya. Sedangkan penduduk Tha’if, karena
tidak tahan menderita akibat pemblokiran kaum muslimin akhirnya mereka
mengirimkan delegasi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk
menyampaikan keinginan mereka memeluk Islam. Dengan demikian berakhirlah
peperangan dengan kabilah Tsaqif itu.
Perang
Tabuk
Fat-hu
Makkah adalah pemisah antara yang hak dan yang batil, setelahnya orang-orang
Arab semakin mantap menerima risalah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam, keadaan berubah secara total dan manusia masuk ke dalam agama Allah
berbondong-bondong. Kaum muslimin pun sekarang tenang dan mudah menyebarkan
ajaran Islam dan mendakwahkannya.
Namun
di sana ada kekuatan besar yang menghalangi kaum muslimin, yaitu pasukan
Romawi. Utusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang diutus
menyampaikan surat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam kepada pembesar
Bashra pernah dibunuh, yaitu Al Harits bin Umair Al Azdiy radhiyallahu 'anhu
oleh Syurahbil bin ‘Amr Al Ghassaaniy. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam juga pernah mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah
untuk menyerang mereka, namun tidak berhasil.
Pada
tahun ke 9 H, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam mempersiapkan pasukan
untuk menghadapi tentara Romawi di sebelah utara. Banyak kesulitan yang
dihadapi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyusun tentara,
karena musim panas mulai datang, di Madinah ketika itu sedang musim panen dan
lagi medan perang yang dituju sangat jauh. Selain itu lawan yang bakal mereka
hadapi bukan sembarangan, yaitu tentara Romawi yang terkenal kuat dan terlatih.
Di samping itu, ada segolongan orang yang tidak mau memenuhi perintah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana diterangkan dalam surat At
Taubah: 38, 42, 81 dan 83. Orang-orang munafik mendapatkan kesempatan untuk
melemahkan semangat kaum muslimin. Akan tetapi pahlawan-pahlawan Islam yang
jiwa mereka sudah pasrah kepada Tuhannya, senantiasa siap memanggul senjata
menaati perintah Allah Ta'ala dan Rasul-Nya shallahu 'alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun berhasil membentuk tentara yang disebut
“Jaisyul ‘Usrah” (laskar pada saat susah). Pasukan Islam ini kemudian
meninggalkan Madinah menuju ke utara. Orang-orang Romawi yang semula mau
menyerang, sangat terkejut menyaksikan bala tentara Islam dalam jumlah besar
dan dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri
dan pahlawan-pahlawan padang pasir yang tidak kenal mundur. Oleh karena itu,
mereka mundur kembali ke dalam negerinya untuk membela diri. Namun laskar Islam
tidaklah mengejar mereka tetapi berkemah di suatu tempat bernama tabuk,
karenanya peperangan ini dinamakan “Perang Tabuk.”
Dengan
demikian, kemuliaan Islam dan kaum muslimin semakin tinggi, disegani dan
diperhatikan oleh musuh-musuh Islam.
Di
Tabuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan
pasukan-pasukannya kepada kabilah-kabilah Arab yang tinggal di tapal batas
tanah Arabia dengan Syam, untuk mengadakan perjanjian-perjanjian dengan kaum
muslimin. Setelah sepuluh malam lebih berkemah di Tabuk. Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam beserta pengikut-pengikutnya pulang ke Madinah.
Selesailah perang Tabuk, dan peperangan inilah yang paling terakhir diikuti
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Masuk
Islamnya kabilah-kabilah Arab
Selesai
kota Makkah ditaklukkan dan perang Tabuk juga selesai, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam tidak lagi menghadapi tugas-tugas berat. Dalam tahun ke 9 H
ini, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menerima banyak utusan-utusan
kabilah-kabilah Arab dari segala penjuru yang datang berduyun-duyun menghadap
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menyatakan bahwa suku mereka
menjadi pemeluk Islam. Peristiwa yang menggembirakan ini disebutkan dalam Al
Qur’an surat An Nasr ayat 1-3.
Demikianlah,
agama Islam telah dapat merata ke seluruh jazirah Arab. Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam telah dapat menyaksikan buah perjuangannya yang
dilakukan selama dua puluh tiga tahun, 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di
Madinah. Bangsa Arab yang tadinya hidup
berpecah belah dan saling bermusuhan, kini hidup bersatu di bawah satu pimpinan
dan bernaung di bawah satu panji, panji Islam.
Tugas
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam selesai
Ketika
para utusan kabilah-kabilah Arab datang menghadap Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam untuk menjadi pemeluk Islam, kemudian disusul dengan turunnya
surat An Nashr, maka terasalah oleh Beliau bahwa tugasnya sudah hamper selesai.
Karena merasa tugasnya hampir selesai, Beliau pun berniat menunaikan ibadah haji
(hajji wada’/perpisahan) ke makkah. Pada tanggal 25 Dzulqa’dah tahun ke 10 H,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan Madinah menuju Makkah,
diikuti kaum muslimin dengan jumlah kira-kira 100.000 orang.
Saat
menunaikan ibadah haji, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan
sebuah pidato di hadapan kaum muslimin di bukit ‘Arafah pada tanggal 9
Dzulhijjah 10 H. di antara isi khutbah Beliau adalah:
« إِنَّ دِمَاءَكُمْ
وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِى شَهْرِكُمْ
هَذَا فِى بَلَدِكُمْ هَذَا أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ
تَحْتَ قَدَمَىَّ مَوْضُوعٌ وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ وَإِنَّ
أَوَّلَ دَمٍ أَضَعُ مِنْ دِمَائِنَا دَمُ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ كَانَ
مُسْتَرْضِعًا فِى بَنِى سَعْدٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ
مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ
فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ
بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا
تَكْرَهُونَهُ . فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَقَدْ تَرَكْتُ
فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابَ اللَّهِ .
“Sesungguhnya darahmu
dan hartamu terpelihara sebagaimana terpeliharanya hari ini, bulan ini dan
negrimu ini. Ingatlah, semua perkara jahiliyyah sudah berada di bawah kedua
kakiku dan sudah dihapus. Darah jahiliyyah pun sudah dihapus, dan darah yang
pertama aku hapus adalah darah putera Rabi’ah bin Al Harits, ia adalah seorang
yang mencari wania susu di Bani Sa’ad, lalu dibunuh oleh Hudzail. Riba yang
biasa berlaku di zaman jahiliyyah pun dihapus, dan riba yang pertama kali aku
hapus adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib, riba tersebut dihapus semuanya.
Bertakwalah
kalian kepada Allah dalam hal wanita, karena kamu mengambil mereka dengan
amanah Allah, menghalalkan kehormatannya dengan kalimat Allah. Kamu punya hak
yang wajib mereka penuhi, yaitu agar mereka tidak mengizinkan masuk ke rumahmu
orang yang kamu tidak suka. Jika mereka melanggar, maka pukullah mereka dengan
pukulan yang tidak keras. Mereka pun memiliki hak yang wajib kalian penuhi,
yaitu memberi rezeki dan pakaian secara ma’ruf.
Dan
aku tinggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang dengannya,
niscaya kalian tidak akan tersesat setelahnya, yaitu kitab Allah[1].”
(HR. Muslim)
Selesai
menyampaikan pidato, turunlah surat Al Ma’idah ayat 3, yang menjelaskan telah
sempurnanya agama yang Beliau bawa,
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ
الإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu
agamamu dan Aku lengkapkan kepadamu nikmat-Ku serta Aku ridhai Islam itu
menjadi agama bagimu”[2]. (Al-Maidah: 3)
Setelah
selesai mengerjakan ibadah haji, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kembali ke
Madinah. Kira-kira tiga bulan setelah haji wada’ itu, Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam menderita demam beberapa hari, sehingga tidak dapat mengimami
shalat berjamaah, maka disuruhnya Abu Bakar menggantikan Beliau menjadi imam.
Dan
pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 H, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam wafat dalam usia 63 tahun. Dua puluh tiga tahun lamanya, sejak Beliau
diangkat menjadi rasul, berjuang tidak mengenal lelah dan derita untuk
menegakkan agama Allah, agama Islam. Tidak ada satu pun kebaikan kecuali beliau
telah menunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada satu pun keburukan kecuali
beliau telah memperingatkan umatnya agar dijauhi.
Semoga
shalawat dan salam tercurah kepada Beliau, keluarganya, sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutinya hingga akhir zaman. Allahumma Aamin.
Makna
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam hamba Allah dan Rasul-Nya
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa
makna syahadat Laailaahaillallah adalah bersaksi (meyakini dan mengakui) bahwa
tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja (laa ma’buuda bihaqqin
illallah) yang mengharuskan hanya beribadah kepada Allah Ta’ala dan meniadakan
sesembahan selain-Nya, maka kita pun harus mengetahui makna Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya.
Maksud Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagai hamba Allah adalah kita meyakini dan mengakui bahwa Muhammad adalah hamba
Allah; manusia seperti halnya kita, yang menunjukkan tidak bolehnya kita
bersikap ifrath (berlebih-lebihan terhadap Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam), kita tidak boleh menempatkan
Beliau sebagai tuhan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani kepada
Isa putra Maryam, kita tidak boleh berdoa kepada Beliau, meminta kepada Beliau,
ruku’-sujud kepada Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengarahkan ibadah
lainnya kepada Beliau. Demikian pula kita tidak boleh berkeyakinan, bahwa
Beliau mengetahui yang gaib.
Adapun maksud Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam adalah utusan Allah adalah meyakini dan meyakini, bahwa
Beliau adalah utusan Allah kepada semua manusia sebagai pemberi kabar gembira
dan peringatan serta mengajak mereka kepada Allah Ta'ala, sehingga kita tidak
boleh bersikap tafrith (meremehkan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam). Oleh
karena Beliau adalah utusan Allah, maka sikap kita kepada Beliau adalah menaati
perintahnya, menjauhi larangannya, menerima setiap yang datang darinya dan
membenarkan setiap perkataan dan berita yang disampaikannya dan beribadah
kepada Allah sesuai contohnya. Wallahu a'lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji':
Al
Qur'anul Karim (Terj.
DEPAG bagian mukadimah), Ar Rahiiqul Makhtum (Syaikh Shafiyyurrahman),
Tafsir Ibnu Katsir, dll.
[1] Beliau mengatakan
hanya kitab Allah kepada para sahabat agar tidak tersesat adalah karena para
sahabat sudah mengetahui bahwa maksudnya adalah bersama Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
[2] Namun, ayat ini
bukanlah ayat yang terakhir turun, ayat yang terakhir turun menurut Ibnu Abbas
adalah surat Al Baqarah: 281.
0 komentar:
Posting Komentar