بسم
الله الرحمن الرحيم
Kisah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam (bag. 7)
c.
Rongrongan kaum Quraisy
dan sekutu-sekutunya
Orang
Quraisy sejak permulaan Islam, sudah berusaha keras untuk memusnahkan Islam.
Tiga belas tahun lamanya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam berdakwah
di Makkah mendapatkan perlawanan yang sengit dari mereka. Sedangkan
pengikut-pengikutnya waktu itu disiksa di luar perikemanusiaan. Oleh sebab itu
Beliau berhijrah ke Madinah, daerah yang cocok untuk mengembangkan Islam.
Meskipun
kaum muslimin sudah meninggalkan Makkah, kaum Quraisy masih saja memusuhinya
dan bertekad untuk menghancurkannya.
Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah hanya sebagai pemimpin agama
saja, bahkan lebih dari itu Beliau adalah pemimpin untuk suatu masyarakat yang
sedang membangun suatu negara yang berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran
hakiki. Oleh karena itu, Beliau berkewajiban membela masyarakat itu dari setiap
rongrongan yang membahayakannya. Untuk tugas ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala
menurunkan ayat yang mengizinkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
dan umatnya mengangkat senjata guna
membela diri. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
أُذِنَ لِلَّذِينَ
يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.” (QS. Al Hajj: 39)
Inilah
ayat yang pertama kali turun mengenai peperangan. Dari ayat ini kita mengetahui
bahwa jihad disyari’atkan untuk membela diri dan membela dakwah ketika
dihalangi.
Perang
Badar
Dengan
turunnya ayat di atas (Al Hajj: 39), Mulailah Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam membentuk pasukan. Dikirimnya pasukan kecil (disebut sariyyah) dan
terkadang Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam ikut berangkat (disebut ghazwah)
untuk menghadang kaum kafir Quraisy yang hendak melakukan perjalanan ke Syam
untuk berdagang, akhirnya kaum kafir Quraisy pun merasakan ketidakamanan untuk
mengadakan perjalanan ke sana. Pernah suatu ketika kafilah dagang Quraisy
pulang dari Syam membawa hasil dagangannya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam berangkat bersama 300 lebih sahabatnya bersiap-siap menghadangnya, hal
ini pun diketahui oleh kafilah Quraisy tersebut yang dipimpin Abu Sufyan, maka
ia pun mengirim seseorang untuk pergi ke Makkah memberitahukan hal ini,
sekaligus meminta bantuan mereka. Akhirnya kaum kafir Quraisy pun menyiapkan
pasukan untuk melawan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
sahabatnya, mereka terdiri dari 1000 orang. Setelah mengetahui kaum Quraisy
keluar, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para
sahabatnya, dan semua sepakat untuk melawan orang-orang kafir. Di pagi hari
Jum’at tanggal 11 Ramadhan tahun ke 2 H, kedua kelompok saling berhadapan dan
terjadilah perang Badar. Kemenanangan diperoleh oleh Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan para sahabatnya dengan 14 orang gugur sebagai syahid.
Sedangkan dari kaum musyrikin telah tewas 70 orang dan 70 lainnya ditawan.
Setelah perang Badar, kaum muslimin kembali ke Madinah dengan gembira atas
pertolongan Allah dengan membawa para tawanan dan ghanimah (harta rampasan
perang). Di antara para tawanan ada yang menebus dirinya, ada juga yang
dilepaskan tanpa tebusan dan ada juga yang menebus dirinya dengan mengajarkan
baca-tulis kepada 10 orang anak muslim.
Perang
Uhud
Orang
Quraisy merasakan kekalahan perang Badar itu sebagai pukulan yang besar atas
mereka. Karena itu mereka bertekad untuk mengadakan pembalasan. Maka
disiapkanlah perbekalan yang cukup dan tentara dengan senjata yang lengkap
berjumlah tidak kurang dari 3000 orang. Turut membantu orang-orang Quraisy ini
beberapa kabilah Arab lain seperti Arab Kinanah dan Tihamah. Pada pertengahan
bulan Sya’ban tahun ke 3 H, berangkatlah pasukan kaum musyrikin ini menuju
Madinah. Setelah Nabi Muhammad shallalllahu 'alaihi wa sallam mendengar gerakan
musuh ini, Beliau pun keluar ke kota Madinah dengan kekuatan 1000 orang untuk
menghadang musuh yang menyerang. Tetapi baru saja Beliau berangkat, keluarlah
dari barisan segolongan kaum munafik yang dipimpin Abdullah bin Ubay, jumlahnya
300 oorang. Laskar yang masih setia kepada Nabi Muhammad shallalllahu 'alaihi
wa sallam terus berangkat bersama Beliau shallalllahu 'alaihi wa sallam,
jumlahnya 700 orang.
Di
kaki gunung Uhud yang terletak di sebelah utara Madinah, bertemulah kedua
pasukan. Mula-mula kaum muslimin menguasai jalan pertempuran itu, akan tetapi
karena ada di antara mereka yang tidak disiplin, maka berubahlah keadaannya;
regu pemanah banyak yang turun dari bukit meninggalkan posisinya, karena
melihat ghanimah sudah di depan mata. Ketika regu pemanah sudah turun, pasukan
musyrikin kembali berputar dari arah lain dipimpin oleh Khalid bin Walid yang
ketika itu masih kafir, akibatnya kaum muslimin terkepung dari depan maupun
belakang, pasukan kaum muslimin pun terpecah belah. Dalam pertempuran itu
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam terluka; gigi seri Beliau patah dan
kepala Beliau terluka. Betapa pun demikian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dengan kesabarannya berkata, “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena
sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Ketika
itu kaum musyrikin sempat berkerumun di sekitar Nabi Muhammad shallalllahu
'alaihi wa sallam, yang pada waktu itu Beliau didampingi oleh beberapa orang
Anshar. Saat orang-orang musyrikin menemukan Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa
sallam, maka Beliau bersabda, “Siapa yang siap menghadapi musuh?”, maka
Thalhah berkata, “Saya”, namun yang maju pertama adalah orang lain dari
kalangan Anshar, satu persatu dari mereka terbunuh, sehingga tinggallah
Thalhah, maka Thalhah pun maju bertempur. Pada pertempuran itu, Thalhah
mengalami luka-luka hingga 35 atau 39
luka.
Ketika
itulah Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى شَهِيدٍ
يَمْشِي عَلَى وَجْهِ الأَرْضِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ
“Barang siapa yang
ingin melihat orang yang syahid, namun masih berjalan di muka bumi, maka
lihatlah Thalhah bin Ubaidillah.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Dalam
situasi genting ini, Allah Subhaanahu wa Ta'aala menurunkan pertolongan-Nya.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan dari Sa’ad, ia berkata, “Aku melihat
Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam pada peperangan Uhud, didampingi oleh
dua orang yang bertempur dengan hebat melindungi Beliau dengan mengenakan
pakaian putih. Sebelumnya dan sesudahnya aku belum pernah melihatnya.” Dalam
sebuah riwayat disebutkan bahwa keduanya adalah malaikat Jibril dan Mika’il.
Di
akhir pertempuran, kaum muslimin berkumpul kembali ke hadapan Nabi Muhammad
shallalllahu 'alaihi wa sallam setelah terpecah belah, lalu Beliau menarik
pasukan ke celah bukit.
Dalam
peperangan ini gugur 70 orang dari kaum muslimin. Gugur pula paman Nabi Muhammad
shallalllahu 'alaihi wa sallam Hamzah bin Abdul Muththalib radhiyallahu 'anhu.
Kaum muslimin mendapatkan pengalaman yang tidak sedikit dari peperangan ini,
walaupun mereka pada lahirnya menderita kekalahan. Mereka berusaha untuk
mendapatkan kembali kedudukan mereka semula.
Perang
Ahzaab
Sementara
itu orang-orang non muslim, semakin giat bekerja sama dengan orang-orang
Quraisy untuk menyempurnakan kemenangan yang mereka capai. Terutama sekkali
orang-orang Yahudi yang ada di Madinah. Orang yahudi Bani Nadhir melakukan
percobaan pembunuhan atas diri Nabi shallalllahu 'alaihi wa sallam. Usaha
mereka gagal, dan mereka kemudian diusir dari Madinah. Tetapi mereka
menggabungkan diri dengan kaum Quraisy untuk menggempur kaum muslimin di
Madinah. Pada bulan Syawwal tahun ke-5 H, berhimpunlah laskar Al Ahzab (para
sekutu) yang terdiri dari kaum Quraisy, Ghatfan, Bani Salim, Bani Asad, Bani
Murrah, Bani Asyja’ dan orang Yahudi Bani Nadhir. Laskar ini kira-kira
berjumlah 10.000 orang memanggul senjata dan menyerbu kota Madinah. Dalam
peperangan ini, posisi kaum muslimin membela dan mempertahankan diri.
Rasulullah
shallalllahu 'alaihi wa sallam lalu bermusyawarah dengan para sahabatnya, maka
Salman Al Farisi menyarankan untuk menggali parit di sebelah utara kota Madinah.
Kaum muslimin segera membuat parit yang dalam dan lebar, dan dalam waktu
singkat mereka dapat menyelesaikannya. Bagian kota yang lain, mereka jaga
dengan rapi dan kuat, rumah-rumah dihubungkan dan lorong-lorong ditutup,
sehingga kota Madinah merupakan sebuah benteng. Ketika tentara Ahzab tiba di
pinggir kota Madinah, mereka tidak dapat menyeberangi parit (Khandaq) karena
selalu dihujani panah oleh kaum muslimin. Pihak penyerang berusaha menembus
garis-garis pertahanan lainnya, tetapi selalu dapat digagalkan. Lebih dari dua
puluh hari lamanya mereka mengepung Madinah, sehingga kaum muslimin menderita
kekurangan makanan. Pada saat yang kritis inilah, orang Yahudi Bani Quraizhah
yang masih menjadi warga kota madinah, melakukan pengkhianatan terhadap kaum muslimin
dari dalam sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya.
Saat
kondisi seperti ini datanglah kepada Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam
Nu’aim bin Mas’ud Al Anshariy radhiyallahu 'anhu dari Bani Ghatfan, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sudah masuk Islam, sedangkan kaumku tidak
mengetahui tentang keislamanku, maka perintahkanlah kepadaku apa yang engkau
mau.” Maka Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kamu hanya
seorang saja, maka patahkanlah semangat mereka untuk membela kami semampumu,
karena perang adalah tipu daya.”
Segeralah
Nu’aim pergi ke Bani Quraizhah, ia adalah kawan mereka di masa jahiliyyah,
ketika Nu’aim menemui mereka ia berkata, “Kalian sudah mengetahui rasa cinta
dan hubunganku dengan kalian,” mereka menjawab, “Ya.” Nu’aim berkata,
“Sesungguhnya orang-orang Quraisy tidak sama seperti kalian, negeri ini adalah
negeri kalian, di sana terdapat harta, anak dan istri kalian. Kalian tidak bisa
lagi pindah ke tempat lain, sedangkan orang-orang Quraisy dan Ghatfan datang
untuk memerangi Muhammad dan para sahabatnya. Kalian sudah menolong orang-orang
Quraisy, menolong negeri mereka, harta dan istri mereka. Jika mereka
(orang-orang Quraisy) mendapatkan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka
langsung menggunakan. Namun jika tidak, mereka akan kembali ke negeri mereka,
meninggalkan kalian dan membiarkan begitu saja Muhammad, akhirnya dia (Muhammad
shallalllahu 'alaihi wa sallam) akan balas dendam kepada kalian.”
Lalu
mereka berkata, “Kalau begitu, apa yang kami harus lakukan wahai Nu'aim?”
Nu’aim
berkata, “Janganlah berperang bersama mereka sampai mereka mau memberikan
jaminan kepada kalian.” Mereka pun berkata, “Sungguh tepat sekali pendapatmu.”
Nu’aim
pun pergi kepada orang-orang Quraisy dan berkata kepada mereka, “Kalian sudah
mengetahui rasa cinta dan sayangku kepada kalian?” Mereka menjawab, “Ya.”
Nu’aim berkata, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi sekarang menyesali sikap
mereka melanggar perjanjian dengan Muhammad dan para sahabatnya, sekarang
mereka sudah mengirim surat kepada Muhammad bahwa mereka akan mengambil jaminan
dari kalian yang akan mereka serahkan kepada Muhammad, lalu mereka bela dia
untuk melawanmu. Oleh karena itu, jika mereka meminta jaminan kepada kalian,
janganlah diberikan.”
Nu’aim
juga pergi ke Bani Ghatfan dan mengatakan hal yang sama. Ketika tiba malam
Sabtu, mereka mengirimkan utusan kepada orang-orang Yahudi dan berkata,
“Sesungguhnya kami tidak memiliki kedudukan di negeri ini dan makanan sudah
habis, maka bangkitlah bersama kami mengalahkan Muhammad,” orang Yahudi pun
mengirim seseorang memberitahukan, “Bahwa hari ini adalah hari sabtu, kalian
sudah mengetahui tentang hal yang menimpa orang-orang sebelum kami ketika
mereka melanggar hari itu. Namun demikian, kami tidak akan berperang bersama
kalian, sampai kalian mau memberikan jaminan kepada kami.”
Ketika
utusan itu memberitahukan demikian, maka orang-orang Quraisy dan Ghatfan
berkata, “Demi Allah, benar sekali kamu wahai Nu’aim.” Mereka pun mengirim
orang untuk memberitahukan orang-orang Yahudi, “Sesungguhnya kami, demi Allah,
tidak akan mengirim seorang pun kepada kalian. Oleh karena itu, keluarlah
bersama kami untuk mengalahkan Muhammad.” Maka orang Yahudi bani Quraizhah
berkata, “Demi Allah, benar sekali kata-katamu hai Nu’aim.”
Akhirnya
kedua kelompok itu pun saling meninggalkan yang lain dan terjadilah keretakan
pada barisan mereka, semangat pun menjadi kendor.
Dan
memang wajar hal itu terjadi, karena kaum Ahzab terdiri dari golongan yang
tidak sama tujuan dan kepentingan, masing-masing juga ingin merebut
kepemimpinan. Pada waktu yang tepat ini, Allah pun menurunkan hujan lebat di
malam hari dan angin yang kencang kepada pasukan Ahzab itu yang menyapu bersih
kemah-kemah dan perbekaan mereka serta mengkocar-kacirkan pasukan-pasukannya.
Masing-masing golongan dari para penyerang itu, pulang ke negerinya tanpa
membawa hasil apa-apa. Allah mengabulkan doa nabi Muhammad shallalllahu 'alaihi
wa sallam saat Beliau berdoa, “Ya Allah yang menurunkan kitab dan cepat
hisab-Nya, hancurkanlah tentara Ahzab. Ya Allah, hancurkan dan goyanglah
mereka.”
Dalam
peperangan ini, gugur sebagai syuhada enam orang, di antaranya Sa’ad bin Mu’adz
akibat luka yang dideritanya. Dia meninggal setelah menjatuhkan hukuman kepada
Bani Quraizhah. Di pihak kaum musyrikin jatuh korban tiga orang.
Cerita
tentang Ahzab ini disebutkan dalam Al Qur’an di surat Al Ahzab. Setelah
peperangan ini, masuklah ke dalam agama Islam dua orang pemimpin Quraisy; ‘Amr
bin ‘Aash dan Khalid bin Walid.
Bersambung…
Wallahu a'lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji':
Al
Qur'anul Karim (Terj.
DEPAG bagian mukadimah), Ar Rahiiqul Makhtum (Syaikh Shafiyyurrahman),
Sunan At Tirmidzi, dll.
0 komentar:
Posting Komentar