بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Hadits Niat (1)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini syarah
(penjelasan) hadits tentang niat. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini
ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Umar radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan
seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang
siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya,
maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat
imam Ahli Hadits)
Syarh/penjelasan:
Imam Bukhari menyebutkan hadits ini di awal kitab
shahihnya sebagai mukadimah kitabnya, di sana tersirat bahwa setiap amal yang
tidak diniatkan karena mengharap Wajah Allah adalah sia-sia, tidak ada hasil
sama sekali baik di dunia maupun di akhirat. Al Mundzir menyebutkan dari Ar
Rabi’ bin Khutsaim, ia berkata, “Segala sesuatu yang tidak diniatkan mencari
keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla, maka akan sia-sia.”
Abu Abdillah rahimahullah berkata, “Tidak ada
hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih banyak, kaya dan
dalamnya faidah daripada hadits ini.”
Abdurrahman bin Mahdiy berkata, “Kalau seandainya
saya menyusun kitab yang terdiri dari beberapa bab, tentu saya jadikan hadits
Umar bin Al Khatthab yang menjelaskan bahwa amal tergantung niat ada dalam
setiap bab.”
Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa hadits
ini sepertiga Islam. Mengapa demikian?
Menurut Imam Baihaqi, karena tindakan
seorang hamba itu terjadi dengan hati, lisan dan anggota badannya, dan niat
yang tempatnya di hati adalah salah satu dari tiga hal tersebut dan yang paling
utama.
Menurut Imam Ahmad adalah, karena ilmu itu berdiri
di atas tiga kaidah, di mana semua masalah kembali kepadanya, yaitu:
Pertama, hadits “Innamal a’maalu bin niyyah” (Sesungguhnya amal
itu tergantung dengan niat).
Kedua, hadits “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa
radd” (Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak kami
perintahkan, maka amal itu tertolak).
Ketiga, hadits “Al
Halaalu bayyin wal haraamu bayyin,” (Yang halal itu jelas dan yang haram
itu jelas).”
Di samping itu, niat adalah tolok ukur suatu amalan; diterima atau tidaknya tergantung
niat dan banyaknya pahala yang didapat atau sedikit pun tergantung niat. Niat
adalah perkara hati yang urusannya sangat penting, seseorang bisa naik ke
derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan karena
niatnya.
Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
membuatkan perumpamaan terhadap kaidah ini dengan hijrah; yaitu barang siapa
yang berhijrah dari negeri syirk mengharapkan pahala Allah, ingin bertemu Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menimba ilmu syari’at agar bisa
mengamalkannya, maka berarti ia berada di atas jalan Allah (Fa hijratuhuu
ilallah wa rasuulih), dan Allah akan memberikan balasan untuknya. Sebaliknya,
barang siapa yang berhijrah dengan niat untuk mendapatkan keuntungan duniawi,
maka dia tidak mendapatkan pahala apa-apa, bahkan jika ke arah maksiat, ia akan
mendapatkan dosa.
Niat secara istilah adalah keinginan
seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya di hati bukan di lisan. Oleh
karena itu, tidak dibenarkan melafazkan niat, seperti ketika hendak shalat,
hendak wudhu, hendak mandi, dsb.
Menurut para fuqaha’ (ahli fiqh), niat memiliki
dua makna:
a. Tamyiiz (pembeda), hal ini ada dua macam:
Pertama, pembeda antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Misalnya antara
shalat fardhu dengan shalat sunat, shalat Zhuhur dengan shalat Ashar, puasa
wajib dengan puasa sunnah, dst.
Kedua, pembeda antara kebiasaan dengan ibadah. Misalnya mandi karena hendak
mendinginkan badan dengan mandi karena janabat, menahan diri dari makan untuk
kesembuhan dengan menahan diri karena puasa.
b. Qasd (meniatkan
suatu amal “Karena apa?” atau “Karena siapa?”)
Maksudnya apakah suatu amal ditujukan
karena mengharap wajah Allah Ta’ala saja (ikhlas) atau karena lainnya? Atau
apakah ia mengerjakannya karena Allah, dan karena lainnya juga atau tidak?
Hukum niat
Niat
adalah syarat sahnya amal. Ibnu Hajar Al ‘Asqalaaniy berkata, “Para fuqaha
(ahli fiqh) berselisih apakah niat itu rukun[i]
(masuk ke dalam suatu perbuatan) ataukah hanya syarat (di luar suatu
perbuatan)? Yang kuat adalah bahwa menghadirkan niat di awal suatu perbuatan
adalah rukun, sedangkan istsh-hab hukm/menggandengkan dengan suatu perbuatan
(tidak berniat yang lain atau memutuskannya[ii])
adalah syarat."
Pendapat ulama salaf tentang pentingnya niat dan pentingnya mempelajari
niat
Yahya bin Katsir berkata, “Pelajarilah niat,
karena niat itu lebih sampai daripada amal.”
Abdullah bin Abi Jamrah berkata, “Aku ingin
kalau seandainya di antara fuqaha (ahli fiqh) ada yang kesibukannya hanya
mengajarkan kepada orang-orang niat mereka dalam mengerjakan suatu amal dan
hanya duduk mengajarkan masalah niat saja.”
Sufyan
Ats Tsauriy berkata, “Dahulu orang-orang mempelajari niat sebagaimana kalian
mempelajari amal.”
Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin
Katsir di atas bahwa niat lebih sampai daripada amal, oleh karena itu Abu Bakr
Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu dapat mengungguli orang-orang Khawarij (kelompok
yang keluar dari barisan kaum muslimin dan memvonis kafir pelaku dosa besar)
dalam hal ibadah karena niatnya, di samping itu amalan yang kecil akan menjadi
besar karena niatnya. Sehingga dikatakan, “Memang Abu Bakr Ash Shiddiq dan
sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dikalahkan ibadahnya
oleh Khawarij, tetapi para sahabat mengungguli mereka karena niatnya.”
Ibnu Hazm mengatakan, “Niat itu rahasia suatu
ibadah dan ruhnya.”
Apa maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam “Amal itu tergantung niat?"
Maksudnya adalah sahnya suatu amal dan
sempurnanya hanyalah tergantung benarnya niat. Oleh karena itu apabila niat itu
benar dan ikhlas karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala maka akan sah pula suatu
amal dan akan diterima dengan izin Allah Ta’ala. Atau bisa juga maksudnya
adalah baiknya suatu amal atau buruknya, diterima atau ditolaknya, mubah atau
haramnya tergantung niat.
Apa maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam “Dan seseorang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya?”
Maksudnya adalah seseorang mendapatkan pahala
atau siksa terhadap amalnya tergantung niatnya, apabila niatnya baik maka akan
diberi pahala, sebaliknya jika tidak baik maka akan mendapat siksa.
Beberapa faedah tentang niat
1.
Mengikhlaskan
amal karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala dan membersihkannya dari segala macam
yang menodai keikhlasan adalah cara pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah
Ta’ala yang paling baik.
2.
Syarat
diterimanya amal ada dua; ikhlas[iii]
dan mutaaba’atur rasul (mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam).
Dalil bahwa syarat diterimanya amal adalah ikhlas berdasarkan hadits di atas,
sedangkan dalil bahwa syarat yang kedua adalah harus sesuai sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hadits berikut:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan
(agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya maka dia tertolak (tidak
diterima).” (HR. Bukhari-Muslim)
3.
Dari
hadits di atas kita ketahui, bahwa agar lurus dan diterimanya suatu amal
dibutuhkan batin dan zhahir yang baik. Batin akan menjadi baik dengan niat yang
ikhlas, dan zhahir akan menjadi baik dengan sesuai contoh atau ada perintah
dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
4.
Amal
yang kecil bisa menjadi besar karena niat yang benar, dan amal yang besar
menjadi kecil karena niat.
Bersambung...
Wallahu a'lam wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa
'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Makbatah Syamilah versi 3.45, Mausu'ah Haditsiyyah
Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur'ani was Sunnah), Untaian Mutiara
Hadits (Penulis), dll.
[i] Rukun artinya bagian dari suatu perbuatan dan jika tidak dikerjakan
maka tidak sah perbuatan itu, sedangkan syarat bukan bagian dari suatu
perbuatan. Kedua-duanya (rukun dan syarat) adalah penentu sah-tidaknya suatu
perbuatan.
[ii] Misalnya seseorang hendak shalat, ketika ia bertakbir dan masuk ke
dalam shalat ia tidak boleh berniat untuk memutuskan shalatnya, kalau berniat
begitu maka batal shalatnya.
[iii] Ikhlas
artinya beramal karena mengharap keridhaan Allah dan pahala-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar