بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Hadits Niat (2)
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan
syarah (penjelasan) hadits tentang niat. Semoga Allah menjadikan penulisan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Beberapa
faedah tentang niat
5. Perbuatan maksiat itu selamanya tidak bisa
menjadi ketaatan meskipun niatnya baik. Misalnya seseorang bermain judi dengan
niat agar hasilnya bisa membantu orang-orang miskin, membangun masjid atau
lainnya. Orang yang melakukan hal ini adalah pelaku maksiat dan ia berdosa
meskipun niatnya baik, karena suatu perbuatan tidak bisa menjadi ketaatan dengan
niat yang baik kecuali apabila perbuatan itu adalah perbuatan yang mubah bukan
yang haram.
6. Amal dikatakan
saleh apabila bersih dan benar. Bersih maksudnya hanya karena Allah Subhaanahu
wa Ta'aala saja, dan benar maksudnya sesuai sunnah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana dikatakan Fudhail bin ‘Iyaadh
rahimahullah ketika menafsirkan ayat berikut,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan
hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik
amalnya.”(QS. Al Mulk : 2)
Maksudnya
yang paling bersih dan paling benar.” Lalu orang-orang bertanya, “Wahai Abu
‘Ali! Apa maksud yang paling bersih dan paling benar?” Ia menjawab,
“Sesungguhnya amal apabila bersih namun tidak benar maka tidak diterima, dan
apabila benar namun tidak bersih juga tidak diterima, bersih adalah karena Allah,
dan benar adalah di atas Sunnah.”
7.
Sah atau tidaknya suatu amal
tergantung niat. Sempurnanya pahala yang didapat atau kurangnya juga tergantung
niat. Sebagaimana suatu amal mubah bisa menjadi sebuah ketaatan atau sebuah
kemaksiatan karena niat.
Oleh karena itu, apabila niat seseorang mengerjakan suatu
ibadah karena riya’, maka akan menjadi dosa. Sebaliknya, apabila seseorang
berjihad dengan niat meninggikan kalimat Allah, maka sempurnalah pahalanya.
Barang siapa berjihad dengan niat agar mendapatkan ghanimah semata, maka ia
tidak mendapatkan pahala mujahid fii sabiilillah.
8.
Niat tempatnya di hati,
melafazkannya adalah hal yang bid’ah.
9.
Dalam hadits ini terdapat
bantahan terhadap mereka yang ditimpa was-was sampai mengulangi wudhu’ atau
shalat karena merasa belum pas niatnya, dimana setan mengatakan kepada mereka,
”Kamu belum berniat,” sehingga ia ulangi lagi wudhu’ atau shalatnya.
10.
Seseorang wajib berhati-hati
terhadap pembatal amalan seperti riya’, sum’ah, beramal karena tujuan duniawi,
dan ’ujub (bangga diri).
11.
Keutamaan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Hijrah artinya berpindah dari negeri kufur (negeri yang tampak semarak
syi’ar-syi’ar kekufuran dan tidak bisa ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti
azan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan shalat ‘Ied) ke negeri Islam, hukumnya ada dua:
a. Wajib, yaitu apabila seseorang
tidak bisa menegakkan/menjalankan agamanya.
b. Sunat,
yaitu apabila seseorang bisa
menegakkan agamanya.
Hijrah tetap berlaku sampai hari Kiamat. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَ لاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Hijrah tidaklah terputus
sampai tobat terputus, dan tobat tidaklah terputus sampai matahari terbit dari
barat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul
Jami’ no. 7469)
Telah terjadi beberapa macam hijrah dalam Islam, yaitu:
a.
Berpindah dari negeri syirk
ke negeri Islam, sebagaimana hijrah dari Mekah ke Madinah.
b.
Berpindah dari negeri yang
berbahaya ke negeri yang aman, sebagaimana hijrah ke Habasyah.
c.
Meninggalkan apa yang
dilarang Allah, sebagaimana dalam sabda Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
“Orang muslim (yang paling utama) adalah
seseorang yang kaum muslim lainnya selamat dari gangguan lidah dan tangannya,
dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang
Allah.” (HR. Bukhari)
12.
Banyaknya maksud (tujuan)
yang baik dalam niat hukumnya boleh. Misalnya seseorang melakukan shalat
mengharap ridha Allah dan pahala-Nya, mengharap juga dengan shalatnya itu
ketenangan dengan bermunajat kepada Allah, dan mengharapkan ketenteraman batin
dan dada yang lapang.
13.
Niat yang baik dapat
menjadikan perbuatan yang biasa (’aadaah) menjadi ibadah. Misalnya ketika
dihidangkan makanan ia merasakan karunia Allah dan nikmat-Nya kepada dirinya,
dimudahkan-Nya untuk memakan makanan tersebut sedangkan orang lain tidak, orang
lain berada dalam ketakutan sedangkan dia berada dalam keamananan dan
kenikmatan, dia pun memulai makan dengan nama Allah (bismillah) dan
menyudahinya dengan memuji Allah, dia juga meniatkan dengan makannya itu agar
bisa menjalankan ketaatan kepada-Nya.
Ibnul Qayyim dan ulama yang
lain mengatakan, “Orang-orang yang ‘aarif (mengenal Allah) itu,
perbuatan yang biasa mereka lakukan menjadi ibadah, sedangkan orang-orang ‘awam
menjadikan ibadah mereka sebagai kebiasaan.”
Zaid Asy Syaamiy berkata, “Sesungguhnya saya suka memiliki niat dalam
segalanya meskipun dalam makan dan minum.”
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Siapa saja yang suka amalnya menjadi
sempurna, maka perbaguslah niat, karena Allah akan memberikan pahala kepada
seorang hamba apabila ia memperbagus niatnya walaupun pada saat ia menyuap
makanan.”
14.
Apabila seseorang
mengerjakan suatu ibadah dengan niat murni untuk mendapatkan dunia misalnya
menjadi muazin dengan niat agar diberi uang atau menjadi imam masjid agar
digaji, maka orang yang seperti ini batal (tidak diterima) ibadahnya dan
terjatuh ke dalam syirk qasd (syirk dalam hal tujuan). Orang ini juga terancam
dengan ayat berikut:
مَن كَانَ يُرِيدُ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا
وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ-- أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي
الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ
يَعْمَلُونَ
“Barang
siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dunia itu tidak akan dirugikan.--Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di
akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka
usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Terj. QS.
Huud: 15-16)
15.
Seseorang tidak boleh
meninggalkan suatu amal karena takut riya’. Fudhail bin ‘Iyaadh mengatakan,
“Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal karena manusia
adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari keduanya.”
Maksudnya adalah sebagaimana beramal karena manusia
adalah riya’ atau syirk, begitu pula meninggalkan (tidak jadi mengerjakan)
suatu amal karena manusia adalah riya’
pula.”
16.
Seseorang yang dalam
ibadahnya bertujuan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah namun ada
tujuan duniawi yang hendak diperolehnya, maka bisa mengurangi balasan
keikhlasan. Misalnya,
a.
Ketika melakukan thaharah
(bersuci), disamping berniat ibadah kepada Allah, ia juga berniat untuk
membersihkan badan.
b.
Puasa disamping untuk
mendekatkan diri kepada Allah sekaligus untuk diet.
c.
Menunaikan ibadah haji
disamping untuk beribadah kepada Allah sekaligus untuk melihat tempat-tempat bersejarah
atau untuk bertamasya.
17.
Bagaimanakah apabila yang mencampuri niat yang benar itu adalah
urusan dunia? Misalnya seseorang naik haji sambil berniat dalam
hajjinya itu untuk melakukan perniagaan yang halal, atau seseorang berperang
niatnya itu disamping niat berjihad di jalan Allah adalah agar mendapatkan
ghanimah (harta rampasan perang). Pertanyaannya adalah apakah amalnya ini
(hajji dan perangnya) sah? Jawab, “Para ahli ilmu sepakat tentang sahnya amal
ini, mereka berdalil dengan ayat 198 surat Al Baqarah berikut,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّين
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
(rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari
'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. dan berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya
kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Abu Umaamah At Taimiy bertanya kepada Ibnu Umar,
إِنَّا نُكْرِي فَهَلْ لَنَا مِنْ حَجٍّ قَالَ أَلَيْسَ تَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ وَتَأْتُونَ الْمُعَرَّفَ وَتَرْمُونَ الْجِمَارَ وَتَحْلِقُونَ رُءُوسَكُمْ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ الَّذِي سَأَلْتَنِي فَلَمْ يُجِبْهُ حَتَّى نَزَلَ عَلَيْهِ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام بِهَذِهِ الْآيَةِ ( لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ) فَدَعَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتُمْ حُجَّاجٌ * (احمد).
“Sesungguhnya kami ini orang
yang suka melakukan sewa-menyewa, apakah kami akan mendapatkan (pahala) hajji?”
Ibnu Umar menjawab, “Bukankah kamu thawaf di baitullah, mendatangi Mu’arraf,
kamu melempar jamrah dan mencukur kepala?” Ia menjawab, “Ya”, Ibnu Umar pun
berkata, “Pernah datang seseorang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
menanyakan tentang yang kamu tanyakan, Beliau pun tidak menjawab sampai Jibiril
turun dengan membawa ayat ini “Laisa ‘alakum junaahun…dst." Maka
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun memanggil orang itu dan berkata,”Kalian
adalah hujjaj (orang-orang yang berhajji)." (HR. Pentahqiq Musnad Ahmad
berkata, "Isnadnya shahih.")
Namun apabila yang lebih
berat niatnya adalah yang bukan ibadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran di
akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia, bahkan dikhawatirkan akan
menyeretnya kepada dosa. Sebab ia
menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah, namun malah dijadikan sarana
untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa
ada seorang yang berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا أَجْرَ لَهُ فَأَعْظَمَ ذَلِكَ النَّاسُ وَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَعَلَّكَ لَمْ تُفَهِّمْهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَهُوَ يَبْتَغِي عَرَضًا مِنْ عَرَضِ الدُّنْيَا فَقَالَ لَا أَجْرَ لَهُ فَقَالُوا لِلرَّجُلِ عُدْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ لَهُ لَا أَجْرَ لَهُ * (ابوداود وحسنه الألباني في صحيح سنن ابي داود رقم 2196)
“Wahai Rasulullah, ada
seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta
dunia?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak
mendapatkan pahala”, orang-orang pun merasakan keberatan, dan berkata,
“Kembalilah kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, mungkin saja, kamu belum memberikan
penjelasan yang rinci.” Maka orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, ada
seseorang yang ingin berjihad di jalan Allah dan ingin mendapatkan harta
dunia?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dia tidak
mendapatkan pahala”, sampai-sampai si penanyapun bertanya lagi hingga ketiga
kalinya, namun Beliau tetap bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” (HR. Abu
Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana cara untuk mengetahui apakah
lebih banyak tujuan untuk beribadah ataukah selain ibadah ?”
Jawab, “Caranya
ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan
niatnya lebih besar tertuju kepada ibadah, dan apabila sebaliknya maka ia tidak
mendapatkan pahala.”
18.
Tidak
boleh seseorang meninggalkan suatu amal karena takut riya’, Fudhail bin ‘Iyaadh
mengatakan, “Meninggalakan suatu amal karena manusia adalah riya’, beramal
karena manusia adalah syirk, sedangkan ikhlas semoga Allah menjagamu dari
keduanya.”
19.
Imam Nawawiy berkata tentang maksud perkataan
Fudhail bin ‘Iyadh tersebut, “Barang siapa yang hendak mengerjakan amal saleh
lalu ia meninggalkannya karena takut riya’ kepada manusia maka sesungguhnya ia
telah berbuat riya’ karena meninggalkanya itu. Hal itu, karena meninggalkan
suatu perbuatan karena manusia dan segala sesuatu (yang dilkakukan) karena
manusia adalah riya’, sebagaimana beramal karena manusia adalah riya’ atau
syirk, begitu pula meninggalkan (suatu amalan) karena manusia adalah riya’
juga.”
Bersambung...
Wallahu a'lam wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa
'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Makbatah Syamilah versi 3.45, Mausu'ah Haditsiyyah
Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur'ani was Sunnah), Untaian Mutiara
Hadits (Penulis), dll.
0 komentar:
Posting Komentar