بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (14)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam
semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut
lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, yang
kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya
Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
BAB : MENYEMBELIH
BINATANG KARENA ALLAH TIDAK BOLEH DILAKUKAN DI TEMPAT PENYEMBELIHAN YANG BUKAN
KARENA ALLAH
Firman
Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا
مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا
لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا
إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ-لاَ تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا
لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ
فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُواْ وَاللهُ يُحِبُّ
الْمُطَّهِّرِينَ
“Dan
(di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid
untuk menimbulkan kemadharatan (kepada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan
untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan
orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka
bersumpah, "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah
menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam
sumpahnya).--“Janganlah kamu shalat dalam masjid itu selama-lamanya.
Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalam mesjid itu ada
orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang membersihkan diri.” (QS. At Taubah: 107-108)
**********
Jika
pada bab sebelumnya penyusun (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah)
menerangkan hukum menyembelih untuk selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala, maka
pada bab ini beliau menerangkan dilarangnya sarana yang bisa mengantarkan
terjadi penyembelihan untuk selain Allah Azza wa Jalla, dan dilarangnya menyerupai
orang-orang musyrik yang menyembelih untuk selain Allah, seperti untuk jin,
kuburan, patung, dan berhala.
Dalam
ayat di atas, Allah Subhaanahu wa Ta’ala melarang shalat di masjid dhirar yang
dibangun kaum munafik dengan maksud untuk menimpakan madharat (bahaya) kepada
kaum mukmin dan memecah-belah kesatuan mereka sekaligus untuk kekafiran kepada
Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana mereka meminta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat di dalamnya.
Sebelumnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mau memenuhi tawaran
mereka (kaum munafik) karena Beliau belum mengetahui niat jahat mereka, namun
setelah Allah turunkan ayat di atas, maka Beliau pun tahu niat jahat mereka,
sehingga Allah melarang Beliau melakukan shalat di sana dan memerintahkan
shalat di Masjid Quba atau masjid Nabawi yang memang dibangun atas dasar takwa.
Penulis
berdalih dengan ayat di atas untuk menerangkan terlarangnya penyembelihan yang
dilakukan karena Allah namun di tempat yang di sana dilakukan penyembelihan
untuk selain-Nya; yakni sebagaimana masjid dhirar yang dibangun atas dasar
maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dilarang melakukan shalat di sana meskipun
niatnya Lillah (karena Allah), maka penyembelihan yang dilakukan karena
Allah tidak boleh juga dilakukan di tempat yang di sana dilakukan penyembelihan
untuk selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Pada
ayat di atas juga, Allah Subhaanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang
memakmurkan masjid Quba’, bahwa mereka ingin membersihkan diri mereka baik dari
kotoran batin, yaitu syirk, maupun kotoran lahir, yaitu najis. Dan Allah
menyukai orang-orang yang memiliki sifat ini.
Kesimpulan:
1.
Dilarangnya menyembelih
binatang di tempat yang biasa dijadikan kaum musyrik sebagai penyembelihan
untuk selain Allah.
2.
Anjuran shalat secara
berjamaah.
3.
Menetapkan sifat mahabbah
(cinta) bagi Allah sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.
4.
Dorongan bersuci dari
najis dan menyempurnakan wudhu.
5.
Disyariatkan menutup jalan
yang mengantarkan kepada kemusyrikan.
**********
Dari
Tsabit bin Dhahhak ia berkata, “Ada seorang yang bernadzar menyembelih unta di
Buwanah, lalu ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
Beliau bertanya, “Apakah di sana terdapat salah satu berhala yang pernah
disembah kaum Jahiliyah?” Para sahabat menjawab, “Tidak ada.” Beliau bertanya
lagi, “Apakah di sana menjadi tempat perayaan hari raya mereka?” Para sahabat
menjawab, “TIdak.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْفِ بِنَذْرِكَ،
فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَلَا فِيمَا لَا
يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ
“Penuhilah
nadzarmu, karena tidak boleh memenuhi nadzar yang di dalamnya terdapat
kemaksiatan kepada Allah dan dalam hal yang tidak dimiliki anak cucu Adam.”
(HR. Abu Dawud, dan isnadnya menurut syarat Bukhari dan Muslim)
**********
Tsabit
bin Dhahhak bin Khalifah bin Tsa’labah bin Addiy Al Asyhali Al Khazrajiy Al
Anshari adalah seorang sahabat yang masyhur. Ia hadir dalam Bai’atur Ridhwan,
dan pernah dibonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang
Khandaq, serta menjadi penunjuk jalan Beliau ke Hamra’ul Asad. Ia wafat pada
tahun 64 H.
Nadzar secara
istilah adalah mewajibakn suatu ibadah yang sebelumnya tidak wajib baginya
secara syara’.
Buwanah adalah
nama sebuah tempat di sebelah selatan kota Makkah, sebelum Yalamlam; atau anak
bukit di belakang Yanbu’.
Dalam
hadits di atas diterangkan, bahwa ada seorang yang bernadzar menyembelih unta
di sebuah tempat, lalu ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam;
apakah boleh ia melakukannya atau tidak, kemudian Beliau menanyakan tempat
pelaksanaan penyembelihan tersebut; apakah sebelumnya terdapat sesembahan kaum
musyrik, atau kaum musyrik memuliakannya dan berkumpul di sana untuk
merayakannya. Setelah Beliau diberitahukan bahwa di tempat itu tidak ada
hal-hal demikian, maka Beliau menyuruh memenuhi nadzarnya. Selanjutnya Beliau
menerangkan, bahwa nadzar tidak boleh dilakukan jika terdapat maksiat kepada
Allah atau terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya. Contoh terhadap sesuatu
yang tidak dimilikinya adalah ketika seseorang bernadzar akan memerdekakan
budak milik orang lain.
Hadits
tersebut merupakan dalil yang tegas dilarangnya penyembelihan karena Allah
namun di tempat yang terdapat berhala atau terdapat perayaan kaum musyrik.
Kesimpulan:
1.
Larangan melaksanakan
nadzar di tempat yang terdapat berhala.
2.
Larangan melaksanakan
nadzar di tempat yang terdapat perayaan kaum musyrik.
3.
Hendaknya seorang mufti
bertanya lebih lanjut kepada penanya sebelum berfatwa.
4.
Syariat menutup jalan yang
bisa mengantarkan kepada kemusyrikan.
5.
Penyembelihan yang
dilakukan di tempat kaum musyrik menyembelih atau di tempat mereka mengadakan
perayaan merupakan sebuah kemaksiatan.
6.
Nadzar yang mengandung
maksiat tidak boleh dilaksanakan,
7.
Wajibnya menunaikan nadzar
yang kosong dari maksiat dan pada milikinya.
8.
Nadzar merupakan ibadah,
sehingga tidak boleh mengarahkannya kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
9.
Tidak menyerupai kaum musyrik
dalam ibadah dan hari raya mereka.
Bersambung...
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Al
Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan
Al Fauzan), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh), Maktabah
Syamilah versi 3.45, Al Ishabah fii Tamyizish Shahabah (Al Hafizh
Ibnu Hajar Al ‘Asqalani), dll.
0 komentar:
Posting Komentar