بسم
الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (11)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin,
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas
terhadap Kitab
Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, yang
kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya
Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
BAB : RUQYAH DAN TAMIMAH
Dalam
kitab Shahih dari Abu Basyir Al Anshariy radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia
pernah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Beliau
mengirimkan seorang utusan untuk menyampaikan pesan,
لاَ يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ، أَوْ
قِلاَدَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ
“Tidak boleh ada
lagi di leher unta kalung dari tali busur panah atau kalung apa pun kecuali
harus diputuskan.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan
Sunan Abu Dawud.
Abu Basyir Al Anshari adalah seorang sahabat yang hadir dalam
perang Khandaq. Ada nukilan dari Al Waqidiy, bahwa ia hadir dalam perang Uhud,
ketika itu usianya masih muda belia. Ada yang mengatakan, bahwa namanya adalah
Qais bin Ubaid bin Al Hurair, dan ia wafat pada tahun 40 H.
Hadits di atas menjelaskan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengirim seseorang untuk menyerukan ke tengah-tengah manusia agar
memutuskan kalung yang ada di leher unta yang dijadikan sebagai penangkal
penyakit ‘ain (yang diakibatkan oleh mata seorang yang hasad) atau untuk
menghindarkan malapetaka. Hal itu, karena perbuatan tersebut adalah syirk.
Kesimpulan:
1. Menggunakan tali busur untuk
menghindarkan musibah atau malapetaka termasuk syirk.
2. Perintah mengingkari perbuatan yang
munkar.
3. Menyampaikan ta’lim kepada manusia
hal-hal yang dapat menjaga keutuhan akidah mereka.
**********
Dari Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى، وَالتَّمَائِمَ، وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya
ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirk.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Tamimah adalah sesuatu
yang dikalungkan di leher anak-anak untuk menghindarkan mereka dari penyakit
‘ain. Jika yang dikalungkan itu diambil dari Al Qur’an, maka sebagian kaum
salaf memberikan keringanan dalam hal ini, dan sebagian lagi tidak
memperbolehkannya dan melarangnya, di antaranya adalah Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu.
Ruqyah yang disebut
juga dengan istilah azimah (jampi-jampi). Ini diperbolehkan jika penggunaannya
bersih dari perkara syirk, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memberikan keringanan dalam hal ruqyah ini untuk mengobati penyakit ‘ain
atau sengatan kalajengking.
Tilawah adalah sesuatu
yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat menjadikan istri cinta
kepada suaminya, atau suami cinta kepada istrinya (semacam pelet).
**********
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim, ia menshahihkannya dan disepakati oleh
Adz Dzahabiy.
Dalam hadits di atas Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa menggunakan hal-hal yang
disebutkan di atas dengan maksud menghindarkan musibah dan mendatangkan
manfaaat adalah syirk. Hadits ini meskipun bentuknya khabar (berita) namun
maksudnya adalah dilarangnya melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
Menurut pendapat yang shahih,
bahwa menggunakan Tamimah meskipun diambil dari ayat-ayat Al Qur’an adalah
dilarang sebagai bentuk pencegahan agar tidak jatuh ke dalam perbuatan syirk
dan untuk menjaga ayat-ayat Al Qur’an.
Adapun Ruqyah, maka yang
diperbolehkan adalah ruqyah yang bersih dari perkara syirk, dimana di dalamnya
tidak terdapat permohonan kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Ruqyah yang
diperbolehkan misalnya ruqyah yang menggunakan nama-nama Allah dan sifat-Nya,
dengan menggunakan ayat-ayat-Nya, dan doa-doa yang bersumber dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan Tiwalah, hukumnya
jelas haram tanpa ada khilaf lagi, karena termasuk sihir.
Kesimpulan:
1.
Dorongan untuk menjaga
keutuhan akidah dari hal-hal yang dapat merusaknya.
2.
Haramnya menggunakan tamimah,
jimat, dsb.
3.
Haramnya
melakukan tiwalah.
4.
Ruqyah yang
diperbolehkan adalah ruqyah yang bersih dari perkara syirk.
**********
Dari
Abdullah bin Ukaim secara marfu’, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا
وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barang
siapa yang memakai sesuatu (dengan anggapan, bahwa barang tersebut bermanfaat
atau dapat melindungi dirinya dari marabahaya) maka orang itu akan dijadikan
selalu bergantung kepadanya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
**********
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Ahmad dalam Al Musnad 4/211 dan Tirmidzi no. 2073, dan dihasankan oleh
Al Albani.
Abdullah bin Ukaim dipanggil
dengan panggilan Abu Ma’bad Al Juhanniy. Ia hidup di zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, namun tidak diketahui bahwa ia mendengar dari Beliau.
Hadits di atas menjelaskan, bahwa
barang siapa yang cenderung baik dengan hati maupu perbuatannya kepada sesuatu
yang diharapkan manfaat dan pengaruhnya dalam menghindarkan bahaya, maka Allah
akan menjadikan hatinya bergantung kepadanya dan ia akan mendapatkan
kekecewaan. Sebaliknya, barang siapa yang bergantung kepada Allah, maka Dia
akan mencukupinya dan memudahkan segala sesuatu yang sulit baginya.
Dalam hadits di atas terdapat
larangan bergantung kepada selain Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam mendatangkan
manfaat dan menghindarkan musibah.
Kesimpulan:
1.
Larangan bergantung kepada
selain Allah.
2.
Wajibnya bergantung kepada
Allah dalam segala urusan.
3.
Penjelasan tentang bahaya
syirk dan akibatnya.
4.
Balasan disesuaikan dengan
jenis amalan.
5.
Hasil dari sebuah sikap
akan kembali kepada pelakunya.
**********
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Ruwaifi’ radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku,
يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ
الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِي، فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ
لِحْيَتَهُ، أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا، أَوْ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ، أَوْ
عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ بَرِيءٌ
“Wahai
Ruwaifi’, semoga engkau berumur panjang setelahku. Oleh karena itu,
sampaikanlah kepada manusia, bahwa barang siapa yang mengikat janggutnya,
memakai kalung dari tali busur panah, beristinja dengan kotoran hewan atau
tulang, maka sesungguhnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri
darinya.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan oleh
Imam Ahmad 4/108-109 dan Abu Dawud no. 36 dan dishahihkan oleh Al Albani.
Ruwaifi’
bin Tsabit bin As Sakan bin Addiy bin Haritsah dari Bani Malik bin An Najjar.
Ia singgah di Mesir dan diangkat sebagai gubernur oleh Mu’awiyah untuk wilayah
Tharabulus di Syam pada tahun 46 H. Ia berhasil membuka benua Afrika pada tahun
47 H dan wafat di Barqah pada tahun 56 H.
Dalam hadits di atas Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa Ruwaifi’ akan berumur panjang
sehingga menemukan orang-orang yang menyelisihi petunjuk Beliau shallallahu
alaihi wa sallam, yaitu mengikat janggut karena sombong, memakai kalung dari
tali busur panah untuk menjaga diri dari penyakit ‘ain, dan beristinja dengan
kotoran atau dengan tulang, maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewasiatkan kepada Ruwaifi untuk menyampaikan kepada manusia, bahwa Beliau
berlepas diri dari orang-orang yang melakukan perbuatan itu. Hal ini menunjukkan
haramnya melakukan perbuatan tersebut.
Kesimpulan:
1.
Bukti kebenaran kerasulan
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, karena Ruwaifi ternyata masih hidup
hingga tahun 56 H.
2.
Perintah menyampaikan
kepada manusia perintah dan larangan dalam Islam.
3.
Disyariatkan memuliakan
janggut, yaitu dengan membiarkannya dan larangan menghabiskannya serta
mengikatnya.
4.
Larangan memakai kalung
sebagai penangkal dari penyakit ‘ain.
5.
Larangan beristinja dengan
kotoran dan tulang.
6.
Larangan yang disebutkan
dalam hadits di atas merupakan dosa-dosa besar.
**********
Waki’
meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair ia berkata, “Barang siapa yang memutuskan
tamimah (jimat) dari seseorang, maka ia seperti memerdekakan budak.”
Waki’
juga meriwayatkan dari Ibrahim, bahwa mereka (kawan-kawan Abdullah bin Mas’ud)
membenci semua macam tamimah baik berasal dari Al Qur’an maupun tidak.
**********
Perawi (periwayat) atsar di atas,
yaitu Waki bin Jarrah adalah seorang imam yang tsiqah, hafizh, dan Ahli Ibadah
dari kalangan Atba’u Tabi’in. Penulis banyak karya. Ia wafat pada tahun
197 H.
Adapun Ibrahim,
maka maksudnya Ibrahim An Nakha’i seorang imam yang tsiqah dan termasuk fuqaha (Ahli
Fiqh) dari kalangan tabi’in. ia wafat pada tahun 96 H.
Atsar
di atas menjelaskan, bahwa orang yang melepaskan sesuatu yang dipakai seseorang
sebagai jimat, maka ia akan memperoleh pahala seperti memerdekakan seorang
budak, karena ketika seseorang memakai jimat pada hakikatnya sedang berhamba kepada
setan dan menjadi budaknya, maka ketika ada seorang yang melepaskan jimat itu, maka
ia sama saja melepaskan orang itu dari perbudakan kepada setan.
Ibrahim
An Nakha’i menceritakan dari kawan-kawan Ibnu Mas’ud dan sebagian tabi’in utama,
bahwa mereka melarang secara mutlak memakai jimat meskipun pada jimat itu
tertulis sebagian ayat Al Qur’an untuk menutup jalan yang bisa menjurus kepada
kemusyrikan.
Kesimpulan:
1.
Keutamaan menyingkirkan
jimat dari seseorang, karena hal tersebut termasuk menyingkirkan kemungkaran
dan melepaskan manusia dari kemusyrikan.
2.
Haramnya memakai tamimah (jimat)
secara mutlak meskipun diambil dari ayat-ayat Al Qur’an sebagaimana dinyatakan
oleh banyak para tabi’in.
3.
Usaha keras kaum salaf
untuk menjaga akidah mereka dari peyimpangan.
Bersambung...
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Al
Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan
Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, Al Ishabah fii
Tamyizish Shahabah (Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani), Mausu’ah
Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’an was Sunnah), dll.
0 komentar:
Posting Komentar