بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Hadits Niat (3)
Segala puji
bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan
syarah (penjelasan) hadits tentang niat. Semoga Allah menjadikan penulisan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Masalah
fiqh yang berkaitan dengan niat[i]
1.
Ishtish-haabun niyyah (menempelnya niat)
Apa maksud
istish-haabun niyyah? Jawab: “Ishthish-haab secara bahasa artinya menemani
(mulaazamah), sedangkan menurut fuqaha adalah, “Menempelnya niat dalam suatu
amal dari awal sampai selesai.” Istish-habun niyyah itu terbagi dua: Ishthish-hab
dzikr dan Ishthish-hab hukm.
Ishthish-hab
dzikr misalnya
seorang yang beribadah tetap terus menghadirkan niatnya dari awal ibadahnya
hingga selesai.
Lalu apakah
hal ini wajib? Jawab, “Tidak. Tidak wajib menghadirkan niat dari awal sampai
selesai karena akan membuat kesulitan orang yang beribadah, juga karena
seseorang tidak mampu untuk tidak memikirkan hal lain ketika beribadah. Oleh
karena itu, dianjurkan saja untuk menghadirkan niat dari awal sampai selesai
namun tidak wajib.
Sedangkan ishthish-hab
hukm yaitu seseorang berniat untuk memasuki suatu ibadah dan tidak
memutuskannya (membatalkannya), atau mengerjakan hal yang bertentangan dengan
yang diniatkannya, istish-hab hukum ini adalah syarat sahnya amal. Oleh karena
itu, ia wajib melakukan hal itu dari awal sampai selesai (yakni tidak berniat
melakukan ibadah yang lain). Misalnya seseorang ingin shalat, ketika ia
bertakbir dan masuk ke dalam shalat, ia tidak boleh berniat untuk memutuskan
(membatalkan) shalatnya, apabila ia berniat untuk memutuskan shalatnya maka
batallah shalatnya itu. Contoh lain adalah seseorang yang berpuasa niatnya
untuk beribadah kepada Allah Tabaraka wa Ta'aala, lalu ia niatkan untuk
memutuskan puasanya, maka puasanya batal karena putusnya niat (tidak
ishthish-hab hukm).
2. Memutuskan
niat dalam ibadah-ibadah berikut :
a. Shalat.
Apabila
seseorang berniat untuk keluar dari shalat dengan memutuskan niatnya (seperti
dengan berniat melakukan hal yang lain) maka shalatnya batal sesuai kesepakatan
ulama sebagaimana dinukil oleh As Suyuuthiy dan lain-lain.
b. Puasa.
Apabila
seseorang berniat keluar dari puasa maka batallah puasanya menurut pendapat
yang rajih dari pendapat Ahli Ilmu dan pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama
karena niat itu syarat dalam puasa secara keseluruhan. Oleh karena itu, apabila
diputuskan di tengah-tengahnya (dengan berniat
buka) sehingga sisa puasanya tidak di atas niat maka maka batal puasanya itu.
Jika batal sebagiannya maka seluruhnya (dari terbit fajar sampai tenggelam
matahari) ikut batal.
c. Nusuk (ibadah
Hajji atau Umrah).
Apabila
seseorang berniat keluar dari nusuknya setelah memulai maka ia tidak boleh
keluar dari nusuknya kecuali setelah ditunaikan nusuknya itu atau dengan
bertahallul karena ih-shaar (terhalang), inilah yang dipegang jumhur ulama dan
sebagai pendapat yang rajih menurut kebanyakan Ahli Ilmu, berdasarkan dalil “Wa
atimmul hajja wal ‘umrata lillah” (artinya: sempurnakan hajji dan umrah
karena Allah)[ii].
Asy Sya’biy dan Ibnu Zaid berkata, “Maksud ‘sempurnakanlah’ adalah
sempurnakanlah hajji dan umrah setelah memulai masuk ke dalamnya (ihram),
karena siapa saja yang sudah berihram untuk nusuk (naik hajji atau umrah) ia
wajib meneruskan dan tidak boleh dibatalkan.”
3. Qalbun niyyah
(mengubah niat dari ibadah yang satu ke ibadah yang lain).
Kapankah seseorang boleh qalbun niyyah?
Jawab: Seseorang boleh qalbun niyyah karena ada maslahat syar’i.
Misalnya;
a. Dalam shalat
1)
Seseorang bertakbir dalam shalat fardhu dengan perkiraan bahwa
waktunya sudah masuk, lalu ternyata belum masuk, maka ia boleh mengubah niatnya
dari shalat fardhu ke shalat sunnah.
2)
Seseorang bertakbir untuk shalat sendiri, kemudian ada shalat jamaah
yang ditegakkan, maka menurut pendapat yang shahih dari pendapat ahli ilmu
adalah ia mengubah niat shalat fardhu sendiri menjadi shalat sunnah, lalu ia
menyempurnakan shalat sunnahnya itu, kemudian ikut shalat berjamaah.
b. Dalam hajji
Seseorang berihram (berniat) hajji ifrad (hajji
saja) atau qiran (menggabung antara hajji dengan umrah) namun tidak membawa
hady (binatang sembelihan), iapun kemudian mengubah niatnya ke hajji tamattu’
maka ini boleh bahkan mustahab (dianjurkan), karena tamattu’ (mendahulukan
umrah baru hajji) lebih utama daripada hajji qiran.
4. Hukum-hukum
yang berkaitan dengan niat menjadi imam dan makmum
a. Hukum niat
menjadi imam
Pendapat
yang rajih dan shahih dari pendapat Ahli Ilmu adalah bahwa niat menjadi imam
itu bukanlah syarat sah shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah. Misalnya
seorang shalat zhuhur sendiri lalu datang orang lain ikut shalat bersamanya
sebagai ma’mum maka shalatnya insya Allah adalah sah. Contoh yang lain adalah
seorang shalat sunnah lalu ada orang lain yang ikut shalat bersamanya, maka
boleh bagi orang lain untuk berma’mum kepadanya dan ikut shalat bersamanya
meskipun ia berniat di awal shalatnya sendiri.
b. Lalu apa
hukum berniat menjadi ma’mum? Jawab: Imam madzhab yang empat sepakat bahwa
bagi seseorang kalau hendak berma’mum harus berniat sebelum memasuki shalat.
Mengapa
ma’mum harus berniat berma’mum sebelum memasuki shalat bersama imam? Jawabnya,
“Karena berniat untuk mengikuti adalah perbuatan lebih dari niat shalat
sendiri, perbuatan lebih itu adalah mutaaba’ah (mengikuti imam), juga karena
ma’mum tidak melakukan perbuatan shalat kecuali setelah dipimpin imam, oleh
karenanya butuh berniat.”
c. Apa hukum
orang yang melakukan shalat fardhu berma’mum kepada orang yang melakukan shalat
sunnah? Jawab: Hukumnya adalah boleh, sebagaimana Mu’adz bin Jabal setelah
shalat Isya di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu ia shalat lagi
mengimami kaumnya (sebagaimana dalam riwayat Muslim), shalat yang kedua yang
dilakukan Mu’adz adalah sunnah sedangkan kaumnya melakukan shalat fardhu di
belakangnya.
d. Orang yang
shalat fardhu bermakmum di belakang orang yang shalat fardhu.
Apabila
seorang shalat fardhu bermakmum kepada orang yang shalat fardhu, maka makmum
yang shalat fardhu di belakangnya ada tiga keadaan :
1. Zhahir dan
bathin keduanya (imam dan makmum) sama.
2. Zhahir
keduanya sama (seperti gerakannya) sedangkan bathin keduanya berbeda.
3. Zhahir dan
bathinnya berbeda.
Zhahir di sini maksudnya adalah hai-ah/sifat (praktek atau gerakan
shalat), sedangkan bathin maksudnya adalah niatnya.
Contoh
no. 1 adalah imam shalat ‘Ashar dan makmum juga shalat ‘Ashar maka keduanya;
zhahir dan bathinnya sama.
Contoh no. 2 adalah imam shalat ‘Ashar sedangkan makmum shalat Zhuhur,
ini maksud zhahirnya sama namun bathin (niatnya) berbeda.
Contoh
no. 3 imam shalat ‘Isya sedangkan makmum shalat Maghrib, inilah yang dimaksud
berbeda zhahir dan bathin.
Contoh
no. 1 sudah sama-sama kita ketahui hukumnya dengan jelas, lalu bagaimana
dengan no. 2 dan 3?
Jawab:
No. 2 dan 3 ini ada ikhtilaf di kalangan Ahli Ilmu, yang shahih dan rajih di
antara pendapat itu adalah untuk no. 2 itu boleh dilakukan meskipun imam dan
makmum berbeda bathinnya (niatnya) berdasarkan hadits yang lalu. Adapun no. 3
tidak boleh dilakukan karena imam itu dijadikan untuk diikuti.
Namun Syaikh
Ibnu Baz dalam masalah ini berpendapat ketika ia ditanya sbb.[iii]:
“Terkadang
ketika menjama’ antara Maghrib dan ‘Isya
karena hujan, ada sebagian jamaah yang hadir (terlambat). Ketika itu imam
melakukan shalat ‘Isya, orang-orang itu (yang datang terlambat) langsung masuk
ke dalam shalat bersama imam dengan mengira bahwa ia (imam) shalat Maghrib,
lalu apa sikap yang harus mereka lakukan?”
Ia menjawab, “Mereka harus duduk setelah rakaat
ketiga (tidak bangkit bersama imam), membaca tasyahhud dan doa lalu melakukan
salam bersama imam[iv].
Kemudian mereka melakukan shalat ‘Isya setelahnya untuk mencapai keutamaan
jamaah dan mengerjakan shalat secara tertib dimana hal itu wajib…dst.”.
e. Shalat sunat
dengan niat lebih dari satu hukumnya boleh, misalnya seseorang shalat sunat
dengan niat shalat sunat wudhu’, shalat tahiyyatul masjid, dan shalat sunat
rawatib Zhuhur, maka tidak mengapa, namun lebih utama dipisah. Adapun untuk
shalat fardhu, maka tidak bisa sambil berniat shalat sunat.
f. Shalat orang
yang mukim di belakang musafir, apa hukumnya? Jawab: “Para fuqaha sepakat
bolehnya orang yang mukim berma’mum kepada yang musafir sebagaimana dalam
hadits bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila datang ke Makkah, Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dengan orang-orang sebanyak 2 rak’at
(diqashar), setelah selesai Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَهْلَ مَكَّةَ أَتِمُّوا صَلَاتَكُمْ فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ * (مالك)
“Wahai penduduk Makkah, sempurnakan shalat kalian
karena kami orang yang sedang safar.” (HR. Malik)
Catatan: Seorang musafir jika sebagai imam mengimami
orang-orang yang mukim hendaknya setelah shalat memberitahukan kepada ma’mumnya
agar menyempurnakan shalatnya.
g. Apa hukum
shalat orang musafir di belakang orang yang mukim?
Jawab,
“Para fuqaha sepakat bolehnya musafir bermakmum kepada yang mukim, caranya si
musafir ikut shalat 4 rakaat dengan yang mukim, karena makmum diperintahkan
mengikuti imam.” Hal ini sebagaimana dalam riwayat Ahmad bahwa Ibnu Abbas
pernah ditanya oleh Musa bin Salamah,
إِنَّا إِذَا كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا أَرْبَعًا وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ * (احمد)
“Kami jika bersama kamu
melakukan shalat empat rakaat dan apabila kami pulang ke rumah, kami melakukan
dua rakaat?” Ibnu Abbas berkata, “Itu adalah Sunnah Abil Qaasim (sunnah Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam).” (Diriwayatkan oleh Ahmad)
Wallahu a'lam wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa
'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Makbatah Syamilah versi 3.45, Mausu'ah Haditsiyyah
Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur'ani was Sunnah), Untaian Mutiara
Hadits (Penulis), dll.
0 komentar:
Posting Komentar