بسم
الله الرحمن الرحيم
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 7)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang
Asma'ul Husna, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
**********
17- الْوَاجِبُ
فِي نُصُوْصِ الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ إِجْرَاؤُهَا عَلَى ظَاهِرِهَا دُوْنَ تَحْرِيْفٍ
لاَ سِيَّمَا نُصُوْصُ الصِِّفَاتِ حَيْثُ لاَ مَجَالَ لِلرَّأْيِ فِيْهَا
"Yang
wajib pada nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah adalah memberlakukannya sesuai
zhahirnya[i]
tanpa mentahrif (menta'wil), terlebih pada nash-nash yang membicarakan sifat,
di mana tidak ada tempat bagi ra'yu (pendapat) di sana."
Dalil kaeidah di atas adalah firman Allah Ta'ala:
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wÎ/ttã öNä3¯=yè©9 cqè=É)÷ès? ÇËÈ
"Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya." (Terj.
QS. Yusuf: 2)
Ayat ini menunjukkan, bahwa kita wajib memahaminya
sesuai dengan zhahirnya dalam bahasa Arab, kecuali ada dalil syar'i yang
menghalangi untuk dibawa kepada zhahirnya.
Demikian juga Allah Subhaanahu wa Ta'aala mencela
orang-orang Yahudi karena tahrif (pentakwilan) yang mereka lakukan, Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
* tbqãèyJôÜtGsùr& br& (#qãZÏB÷sã öNä3s9 ôs%ur tb%x. ×,Ìsù öNßg÷YÏiB tbqãèyJó¡o zN»n=2 «!$# ¢OèO ¼çmtRqèùÌhptä .`ÏB Ï÷èt/ $tB çnqè=s)tã öNèdur cqßJn=ôèt ÇÐÎÈ
"Apakah
kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari
mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya,
sedang mereka mengetahui?" (Terj. QS. Al Baqarah: 75)
Sedangkan dalil 'aqli(akal)nya adalah karena yang
berfirman tentu lebih mengetahui maksudya daripada yang lain, dan Allah Ta'ala
berfirman kepada kita dengan bahasa Arab yang jelas, maka kita wajib
menerimanya sesuai zhahirnya. Karena jika tidak demikian, akan timbul pandangan
yang berbeda dan umat akan berpecah.
**********
18- ظَوَاهِرُ نُصُوْصِ
الصِّفَاتِ مَعْلُوْمَةٌ لَنَا بِاعْتِبَارٍ وَمَجْهُوْلَةٌ لَنَا بِاعْتِبَارٍ آخَرَ
:
فَبِاعْتِبَارِ الْمَعْنَى هِيَ مَعْلُوْمَةٌ وَبِاعْتِبَارِ الْكَيْفِيَّةِ
الَّتِي هِيَ عَلَيْهَا مَجْهُوْلَةٌ
"Zhahir
dari nash-nash sifat dari satu sisi diketahui, namun dari sisi lain tidak
diketahui; dari sisi makna diketahui, namun dari sisi kaifiyat (bagaimana
hakikatnya) tidak diketahui."
Dalil
kaeidah ini adalah firman Allah Ta'ala:
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿrã/£uÏj9 ¾ÏmÏG»t#uä t©.xtFuÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ
"Ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah agar mereka
mentadabburi (memikirkan) ayat-ayat-Nya dan agar mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai fikiran." (Terj. QS. Shaad: 29)
$¯RÎ) çm»oYù=yèy_ $ºRºuäöè% $|Î/ttã öNà6¯=yè©9 cqè=É)÷ès? ÇÌÈ
"Sesungguhnya
Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab agar kamu memahami(nya)." (Terj. QS. Az
Zukhruf: 3)
Mentadabburi hanyalah bisa dalam hal-hal yang bisa
dicapai manusia, sehingga mereka dapat mengambil pelajaran daripadanya.
Demikian juga dijadikan-Nya Al Qur'an berbahasa Arab agar dipahami oleh
orang-orang yang bisa berbahasa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa maknanya adalah
ma'lum (diketahui).
Sedangkan dalil 'aqlinya adalah karena mustahil Allah
Subhaanahu wa Ta'aala menurunkan kitab atau mengutus Rasul-Nya lalu berbicara
dengan bahasa yang tidak dipahami atau makna yang masih majhul (tidak
diketahui), hal ini jelas bertentangan
dengan hikmah Allah Ta'ala. Di samping itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala
menerangkan tentang kitab-Nya:
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»t#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOÅ3ym AÎ7yz ÇÊÈ
"Alif
laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci[ii],
yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahatahu," (Terj. QS. Huud: 1)
Adapun dalil bahwa kaifiyatnya adalah majhul sudah
diterangkan sebelumnya, di antara dalilnya adalah:
ÞOn=÷èt $tB tû÷üt/ öNÍkÉ÷r& $tBur öNßgxÿù=yz wur cqäÜÏtä ¾ÏmÎ/ $VJù=Ïã ÇÊÊÉÈ
"Dia
mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka,
sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." (Terj. QS. Thaahaa: 110)
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui kelirunya
madzhab Mufawwidhah, yakni orang-orang yang menyerahkan kepada Allah Ta'ala
pengetahuan tentang makna dari nash-nash yang menyebutkan sifat.
**********
19- ظَاهِرُ النُّصُوْصِ مَا
يَتَبَادَرُ مِنْهَا إِلَى الذِّهْنِ مِنَ الْمَعَانِي وَهُوَ يَخْتلف بِحَسَبِ
السِّيَاقِ وَمَا يُضَافُ إِلَيْهِ الْكَلاَمُ
"Zhahir
nash-nash ada yang maknanya langsung dipahami oleh akal, namun ia berbeda-beda
tergantung susunan kalimat dan kalimat yang dihubungkan kepadanya."
Adanya kaedah ini
karena sebuah kata terkadang dalam suatu susunan memiliki makna tertentu dan
pada susunan lain memiliki makna yang lain. Demikian juga disusunnya beberapa
kata menimbulkan makna tertentu dan makna lain dari sisi yang lain.
Contoh kata-kata
"Al Qaryah" (kampung), terkadang maknanya adalah sebuah kaum dan
terkadang tempat tinggal, negeri atau kampung. Contoh yang bermakna kaum adalah
firman Allah Ta'ala:
bÎ)ur `ÏiB >ptös% wÎ) ß`øtwU $ydqà6Î=ôgãB @ö6s% ÏQöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# ÷rr& $ydqç/ÉjyèãB $\/#xtã #YÏx© 4 tb%x. y7Ï9ºs Îû É=»tGÅ3ø9$# #YqäÜó¡tB ÇÎÑÈ
"Tidak
ada suatu negeripun (yang durhaka kaumnya), melainkan Kami membinasakannya
sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras.
yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh)." (Al
Israa': 58)
Sedangkan contoh yang bermakna tempat tinggal adalah:
$£Js9ur ôNuä!%y` !$uZè=ßâ zOÏdºtö/Î) 3tô±ç6ø9$$Î/ (#þqä9$s% $¯RÎ) (#þqä3Î=ôgãB È@÷dr& ÍnÉ»yd Ïptös)ø9$# ( ¨bÎ) $ygn=÷dr& (#qçR$2 úüÏJÎ=»sß ÇÌÊÈ
"Dan
ketika utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira,
mereka mengatakan, "Sesungguhnya Kami akan menghancurkan penduduk negeri
(Sodom) ini; sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zalim." (Terj. QS. Al 'Ankabut: 31)
Contoh lainnya adalah perkataan kita "Saya membuat
barang ini dengan tangan saya." Tangan tersebut berbeda dengan tangan yang
disebutkan dalam firman Allah Ta'ala:
tA$s% ߧÎ=ö/Î*¯»t $tB y7yèuZtB br& yàfó¡n@ $yJÏ9 àMø)n=yz £yuÎ/ ( |N÷y9õ3tGór& ÷Pr& |MZä. z`ÏB tû,Î!$yèø9$# ÇÐÎÈ
Allah berfirman, "Wahai iblis, apakah
yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua
tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk
orang-orang yang (lebih) tinggi?"." (Terj. QS. Shaad: 75)
Karena tangan pada contoh sebelumnya dihubungkan kepada
makhluk sehingga sesuai dengannya, sedangkan pada ayat di atas tangan tersebut
dihubungkan kepada khaaliq (Pencipta) sehingga yang layak dengan-Nya. Oleh
karena itu, tidak ada seorang pun yang sehat fitrah dan akalnya berkeyakinan
bahwa tangan Khaaliq sama dengan tangan makhluk.
Contoh lain ka'idah di atas adalah ucapan "Tidak
ada di dekatmu selain Zaid" dengan ucapan "Tidak ada Zaid kecuali di
dekatmu". Kalimat pertama dengan kalimat kedua berbeda meskipun
menggunakan kata-kata yang sama. Hal ini karena susunan yang berbeda dapat
mempengaruhi makna.
Dari penjelasan di atas kita memahami bahwa zhahir
nash-nash sifat ada bisa yang langsung dipahami akal maknanya. Nah, dalam hal
ini orang-orang terbagi menjadi beberapa golongan:
Pertama, orang yang menjadikan
lafaz yang zhahir yang langsung dipahami itu makna yang sesungguhnya yang layak
bagi Allah Ta'ala, sehingga mereka membiarkan kandungannya seperti itu. Mereka
ini adalah kaum salaf; di mana mereka berkumpul di atas prinsip yang ditempuh
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Mereka inilah yang
layak memperoleh gelar Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dan mereka semua telah sepakat
terhadap hal ini sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar, ia berkata,
"Ahlus Sunah sepakat untuk mengakui sifat-sifat Allah yang disebutkan
dalam Al Qur'an dan As Sunnah, mengimaninya dan membawa kepada hakikat tidak
majaz, hanyasaja mereka tidak mentakyif (menanyakan bagaimana) sedikit pun
daripadanya serta tidak membatasi sifat-Nya dengan sifat terbatas."
Al Qaadhiy Abu Ya'laa dalam kitabnya Ibthaalut
ta'wil berkata, "Tidak boleh menolak hadits-hadits itu serta tidak
boleh menyibukkan diri untuk mentakwilnya. Bahkan yang wajib adalah membawa
kepada zhahirnya dan bahwa yang demikian adalah sifat-sifat Allah dan tidak
sama dengan sifat semua makhluk serta dengan tidak meyakini tasybih
(keserupaan) dalam hal tersebut, akan tetapi mengikuti seperti yang
diriwayatkan dari Imam Ahmad dan ulama lainnya."
Inilah pendapat yang benar dan jalan yang lurus lagi
bijaksana karena hal itu merupakan praktek sempurna dari yang ditunjukkan oleh
Al Qur'an dan As Sunnah. Di samping itu, pendapat tersebut merupakan pendapat
kaum salaf (para sahabat dan tabi'in), dan tidak mungkin mereka bersama-sama
berbicara yang batil secara tegas serta tidak menyebutkan yang hak (benar) yang
wajib diyakini.
Kedua, orang yang menjadikan lafaz yang
zhahir yang langsung dipahami itu yang terdiri dari nash-nash yang menyebutkan
sifat Allah Ta'ala sebagai makna yang batil; tidak layak bagi Allah Ta'ala,
yaitu dengan menyerupakan sifat tersebut dengan sifat makhluk. Pendapat kaum
musyabbihah (yang menyerupakan sifat Allah dengan makhluk) sangat batil dan
haram berdasarkan beberapa sisi:
a.
Sikap tersebut merupakan tindakan
jahat kepada nash dan menghilangkan maksud sesungguhnya dari nash itu,
bagaimana mungkin nash-nash yang menyebutkan sifat-sifat Allah Ta'ala berarti
menunjukkan keserupaan dengan makhluk, padahal Allah Ta'ala berfirman di ayat
lain:
}§øs9
¾ÏmÎ=÷WÏJx. Öäïx« ( u
"Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia." (Terj. QS. Asy Syuuraa: 11)
b.
Akal menghendaki perbedaan antara Khaaliq
dengan makhluk baik dalam dzaat maupun sifat.
c.
Pemahaman yang dipahami kaum
musyabbihat ini dalam memahami nash-nash sifat menyelisihi pemahaman kaum salaf
sehingga pemahaman tersebut batil.
Jika orang yang menyerupakan tersebut berkata,
"Saya tidak memahami tentang turunnya Allah dan Tangan-Nya kecuali seperti
hal makhluk, dan Allah Ta'ala tidaklah berbicara kepada kita kecuali dengan
sesuatu yang kita pahami," maka dijawab:
1. Bahwa
Allah yang berbicara kepada kita, Dia-lah yang berfirman tentang Diri-Nya, "Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia." (Terj. Asy Syuuraa: 11), Dia
juga yang melarang hamba-hamba-Nya membuatkan misal untuk-Nya atau mengadakan
tandingan bagi-Nya. Firman-Nya:
xsù (#qç/ÎôØs? ¬! tA$sVøBF{$# 4 ¨bÎ) ©!$# ÞOn=÷èt óOçFRr&ur w tbqçHs>÷ès? ÇÐÍÈ
"Maka
janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Terj. QS. An Nahl:
74)
xsù (#qè=yèøgrB ¬! #Y#yRr& öNçFRr&ur cqßJn=÷ès? ÇËËÈ
"Karena
itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui." (Terj.
QS. Al Baqarah: 22)
Firman Allah Ta'ala tersebut adalah hak
(benar), yang satu dengan yang lainnya saling membenarkan.
2. Bukankah
kita percaya bahwa dzaat Allah Ta'ala tidaklah sama dengan dzaat makhluk, maka
sifat-Nya tidak sama dengan sifat makhluk.
3. Tidakkah
anda memperhatikan pada makhluk, ada yang sama nama, namun berbeda dalam hal
hakikat dan kaifiyyat (bagaimana keadaannya), jika pada makhluk saja ada
perbedaan antara yang satu dengan yang lain, tentu antara khaaliq dengan
makhluk lebih berbeda lagi.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji':
Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin.
[i] Zhahir secara bahasa artinya jelas dan terang.
Sedangkan secara istilah, zhahir artinya lafaz yang menunjukkan suatu makna
yang rajih, meskipun masih ada kemungkinan makna yang lain. Mengamalkan yang
zhahir adalah wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya dari zhahirnya,
inilah jalan yang ditempuh kaum salaf.
[ii] Maksudnya: diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai akidah,
hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar