بسم
الله الرحمن الرحيم
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 6)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang
Asma'ul Husna, semoga Allah menjadikannya ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
aamiin.
**********
13- اَلصِّفَاتُ
الثُّبُوْتِيَّةُ تَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ : ذَاتِيَّةٍ وَفِعْلِيَّةٍ
"Sifat
tsubutiyyah terbagi menjadi dua; Dzaatiyyah dan Fi'liyyah."
Sifat Dzaatiyyah adalah sifat yang
senantiasa dimiliki seperti 'ilm (mengetahui), qudrah (mampu), bashar
(melihat), 'izzah (perkasa), hikmah (bijaksana), 'uluw (tinggi) dan 'azhamah
(agung). Termasuk ke dalam sifat Dzaatiyyah adalah sifat khabariyyah (berita)
seperti muka, kedua tangan dsb.
Sifat Fi'liyyah adalah sifat yang
terkait dengan kehendak-Nya; jika Dia menghendaki Dia melakukannya dan jika Dia
menghendaki, maka tidak dilakukan-Nya. Contohnya adalah istiwaa' 'alal 'arsy (bersemayam
di atas 'Arsy) dan turun ke langit dunia.
Terkadang sifat itu ada yang Dzaatiyyah-Fi'liyyah
dilihat dari dua sisi. Contohnya Al Kalaam (berbicara), sifat ini dilihat dari
sisi asalnya merupakan sifat dzaatiyyah, karena Allah Ta'ala senantiasa mutakallim
(berbicara), sedangkan jika dilihat dari sisi satuan dari kalam merupakan sifat
fi'liyyah, karena berbicaranya Allah Ta'ala tergantung kehendak-Nya, Dia
berbicara kapan saja dan dengan apa yang
dikehendaki-Nya. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala:
!$yJ¯RÎ) ÿ¼çnãøBr& !#sÎ) y#ur& $º«øx© br& tAqà)t ¼çms9 `ä. ãbqä3usù ÇÑËÈ
"Sesungguhnya
keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya,
"Jadilah!" Maka terjadilah ia." (Terj. QS. Yaasin: 82)
Setiap sifat yang tergantung dengan kehendak-Nya, maka
sifat itu mengikuti hikmah-Nya. Hikmah itu terkadang kita ketahui dan terkadang
tidak, akan tetapi kita mengetahui dengan ilmu yang yakin bahwa Allah
Subhaanahu wa Ta'aala tidaklah menghendaki sesuatu kecuali sesuai hikmah-Nya,
sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah Ta'ala:
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ
"Dan
kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali jika dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." (Terj. QS. Al
Insaan: 30)
**********
14- يَلْزَمُ فِي
إِثْبَاتِ الصِّفَاتِ التَّخَلِّي عَنْ مَحْذُوْرَيْنِ عَظِيْمَيْنِ
أَحَدِهِمَا : التَّمْثِيْلِ وَالثَّانِي : التَّكْيِيْفِ
"Dalam
menetapkan sifat wajib menjauhi dua hal besar yang dilarang: Pertama, tamtsil.
Kedua, takyif."
Tamtsil maksudnya keyakinan
dari orang yang menetapkan sifat bahwa sifat yang ditetapkan Allah Ta'ala itu
sama dengan sifat makhluk. Keyakinan ini jelas batil berdasarkan dalil sam'i
(wahyu) dan 'aqli. Dalil sam'inya adalah firman Allah Ta'ala, "Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia." (Terj. QS. Asy Syuuraa: 11)
Sedangkan dalil 'aqlinya adalah:
Pertama, kita mengetahui bahwa antara
pencipta dengan yang dicipta pasti berbeda dzatnya. Hal ini menghendaki adanya
perbedaan dalam sifat, karena sifat dari setiap yang disifati sesuai dengan
yang layak baginya. Cobalah perhatikan sifat makhluk yang berbeda-beda dzatnya,
antara unta dengan semut jelas berbeda kekuatannya. Jika antara makhluk yang
satu dengan lainnya berbeda-beda, lalu bagaimana antara makhluk dengan khaaliq,
tentu lebih berbeda lagi.
Kedua, bagaimana mungkin Tuhan yang
mencipta lagi Mahasempurna dari semua sisi sama sifatnya dengan makhluk yang
dicipta yang memiliki kekurangan lagi butuh ada yang menyempurnakannya? Oleh
karena itu keyakinan seperti ini, jelas mengurangi hak khaaliq, karena sama
saja menyamakan yang sempurna dengan yang tidak sempurna.
Ketiga, kita sering memperhatikan makhluk
yang satu dengan lainnya, di sana ada yang sama nama namun berbeda hakikat dan
kaifiyat(bagaimana)nya. Contohnya adalah manusia memiliki tangan, namun tidak
sama dengan tangan gajah, manusia memang punya kekuatan, namun kuatnya berbeda
dengan kekuatan unta meskipun namanya berbeda. Yang satu disebut tangan, yang
satu lagi disebut tangan, yang satu punya kekuatan, yang satu lagi juga punya
kekuatan, ternyata keduanya berbeda dalam kaifiyat dan sifatnya. Dari sini
diketahui, bahwa samanya nama tidak mesti sama pula hakikatnya.
Tasybih sama seperti
tamtsil, namun ada yang membedakan keduanya, yaitu tamtsil adalah menyamakan
dalam semua sifat, sedangkan tasybih adalah menyamakan pada sebagian besar
sifat.
Takyif adalah keyakinan
dari orang yang menetapkan sifat Allah bahwa kaifiyat (bagaimana hakikat) sifat
Allah itu adalah begini dan begitu, namun tanpa menyebutkan sesuatu yang diserupakan.
Keyakinan ini juga batil berdasarkan dalil sam'i dan 'aqli. Dalil sam'inya
adalah firman Allah Ta'ala, "Dia mengetahui apa yang ada di hadapan
mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat
meliputi ilmu-Nya."(Terj. QS. Thaahaa: 110)
Termasuk hal yang sudah maklum adalah bahwa kita tidak
mengetahui kaifiyat (bagaimana) sifat Tuhan kita, karena Allah Ta'ala hanya
memberitakan dan tidak memberitakan bagaimana hakikatnya.
Sedangkan dalil dari akal adalah karena sesuatu itu tidak
diketahui kaifiyat sifatnya kecuali setelah mengetahui kaifiyat dzatnya atau
mengetahui yang sebanding dengannya atau dengan berita benar yang berasal
darinya, dan ternyata semua cara itu tidak ada untuk mengetahui kaifiyat sifat
Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, Imam Malik pernah ditanya tentang
bagaimana cara Allah bersemayam di atas 'Arsy dalam firman-Nya:
ß`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ
(Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang
bersemayam di atas 'Arsy." (Terj. QS. Thaahaa: 5)
maka Imam Malik menundukkan kepalanya sampai keluar
keringat, lalu ia berkata:
الْإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ
وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
"Bersemayam
sudah diketahui (artinya), bagaimana kaifiyatnya tidaklah dimengerti,
mengimaninya wajib dan menanyakannya bid'ah." (Disebutkan oleh Al
Laalikaa'iy dalam Ushulul I'tiqad, Abu Nu'aim dalam Al Hilyah,
Baihaqi dalam Al Asmaa' wash Shifaat, Adz Dzahabiy dalam As Siyar dan
Al 'Uluww, Ad Daarimiy dalam Ar Radd 'alal Jahmiyyah, Abu Isma'il
Ash Shaabuniy dalam 'Aqidatus salaf, Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid,
Ibnu Qudamah dalam Lum'atul I'tiqad, As Suyuuthiy dalam Ad Durrul
Mantsur, Al Baghawiy dalam Syarhus Sunnah, dishahihkan oleh Al
Albani dan dijayyidkan isnadnya oleh Al Haafizh sebagaimana dalam Al Fat-h)
Oleh karena itu, berhati-hatilah dari sikap takyif atau
berusaha ke arahnya, karena jika kita melakukannya, kita akan jatuh ke dalam
kebinasaan yang sulit melepaskan diri darinya. Jika setan melemparkan sesuatu
ke dalam hati kita tentang hal itu, maka ketahuilah itu adalah godaannya, di
saat seperti ini kita harus berlindung kepada Allah Ta'ala. Allah Ta'ala
berfirman:
$¨BÎ)ur y7¨Zxîu\t z`ÏB Ç`»sÜø¤±9$# Øø÷tR õÏètGó$$sù «!$$Î/ ( ¼çm¯RÎ) uqèd ßìÏJ¡¡9$# ÞOÎ=yèø9$# ÇÌÏÈ
"Dan jika setan mengganggumu dengan
suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah
yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Terj. QS.
Fush-shilat: 36)
15- صِفَاتُ
اللهِ تَعَالَى تَوْقِيْفِيَّةٌ لاَ مَجَالَ لِلْعَقْلِ فِيْهَا
"Sifat
Allah Ta'ala adalah tauqifiyyah (diam menunggu dalil), tidak ada tempat bagi
akal untuk membayangkan dan membicarakannya."
Oleh karena itu, kita tidak menetapkan sifat bagi Allah
Ta'ala kecuali yang ditunjukkan oleh Al Qur'an dan As Sunnah. Imam Ahmad
berkata:
لاَ يُوْصَفُ اللهُ إِلاَّ بِمَا
وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ أَوْ وَصَفَهُ بِهِ رَسُوْلُهُ لاَ يَتَجَاوَزُ الْقُرْآنَ وَالْحَدِيْثَ
"Allah
tidak boleh disifati kecuali dengan sifat yang ditetapkan-Nya untuk Diri-Nya
atau ditetapkan rasul-Nya; tidak boleh melewati Al Qur'an dan Al Hadits."
(Lihat Al Fatwa Al Hamawiyyah hal. 271)
Cara menetapkan sifat dari Al Qur'an dan As Sunnah ada
tiga cara:
Pertama, penegasan sifat tersebut, seperti:
'izzah (perkasa), quwwah (kuat), rahmah (sayang), batsy (memberikan hukuman),
wajh (muka), yadain (dua tangan) dsb.
Kedua, dari kandungan nama-Nya. Misalnya:
Al Ghafuur yang menunjukkan sifatnya maghfirah (mengampuni), As Samii' yang
menunjukkan sifatnya sam' (mendengar) dsb.
Ketiga, penegasan berbuat atau sifat yang
menunjukkan demikian. Misalnya bersemayam di atas 'Arsy, turun ke langit dunia,
datang pada hari kiamat untuk memberikan keputusan di antara hamba-hamba-Nya,
intiqam (memberikan pembalasan kepada para pelaku dosa). Dalil bersemayam di atas
'Arsy dan turun ke langit dunia sudah disebutkan, sedangkan dalil datang pada
hari kiamat dan memberikan pembalasan kepada para pelaku dosa adalah:
uä!%y`ur y7/u à7n=yJø9$#ur $yÿ|¹ $yÿ|¹ ÇËËÈ
"Dan
datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris." (Terj. QS. Al Fajr:
22)
$¯RÎ) z`ÏB úüÏBÌôfßJø9$# tbqßJÉ)tFZãB ÇËËÈ
"Kami
akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa." (Terj. QS. As
Sajdah: 22)
**********
16- الْأَدِلَّةُ
الَّتِي تُثْبَتُ بِهَا أَسْمَاءُ اللهِ تَعَالَى وَصِفَاتُهُ هِيَ كِتَابُ اللهِ
تَعَالَى وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَلاَ تُثَبَّتُ
أَسْمَاءُ اللهِ بِغَيْرِهِمَا
"Dalil-dalil
yang digunakan untuk menetapkan nama-nama Allah dan sifat-Nya adalah Al Qur'an
dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam; tidak boleh menetapkan
tanpa dalil dari keduanya[i]."
Dalil kaedah ini adalah firman Allah Ta'ala:
"Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)." (Terj. QS. An
Nisaa': 59)
Sedangkan dalil 'akalnya adalah karena memperdalam
pembicaraan tentang hal yang wajib bagi Allah, hal yang mustahil atau pun hal
yang jaa'iz (boleh) termasuk masalah ghaib yang tidak mungkin dicapai oleh akal,
maka kita wajib merujuk kepada wahyu (Al Qur'an dan As Sunnah).
Oleh karena itu, apa yang disebutkan dalam Al Qur'an
dan As Sunnah wajib kita tetapkan, dan apa saja yang dinafikan di dalam
keduanya, maka wajib kita nafikan dengan menetapkan kesempurnaan pada kebalikannya.
Apa saja yang tidak ditetapkan dan tidak dinafikan, maka wajib diam pada
lafaznya; tidak ditetapkan dan tidak dinafikan, karena tidak ada dalil yang
menetapkan dan meniadakan.
Adapun tentang maknanya, maka perlu ada perincian; Jika
maksudnya hak (benar) yang layak bagi Allah Ta'ala, maka diterima, namun jika
maknanya tidak layak bagi Allah Ta'ala, maka wajib ditolak.
Di antara sifat yang ditetapkan sebagaimana yang
disebutkan dalam dalil adalah semua sifat yang ditunjukkan oleh nama di antara
nama-nama Allah Ta'ala, di mana kandungannya ada yang muthaabaqah, tadhammun
atau iltizam[ii].
Di antaranya juga adalah semua sifat yang ditunjukkan oleh salah satu
perbuatan-Nya seperti istiwaa' 'alal 'arsy (bersemayam di atas 'Arsy), turun ke
langit dunia, datang untuk memberikan keputusan di antara hamba-hamba-Nya pada
hari kiamat dan lainnya di antara perbuatan-Nya yang tidak terhitung macamnya
terlebih satuannya,
ã@yèøÿtur ª!$# $tB âä!$t±t ÇËÐÈ
"Dan
Allah memperbuat apa yang Dia kehendaki." (Terj. QS. Ibrahim:
27)
Di antara sifat tersebut adalah wajah, dua mata, dua
tangan dsb. Demikian juga kalam (berbicara), masyii'ah (berkehendak) dan
iraadah (berkeinginan) dengan dua pembagiannya; yang kauniy dan syar'iy. Yang
kauniy berarti masyii'ah (kehendak-Nya terhadap alam semesta), sedangkan yang
syar'iy adalah yang dicintai-Nya (seperti perintah-perintah yang ada dalam
syari'at-Nya).
Ada juga sifat ridha, mahabbah (cinta), ghadhab
(murka), karaahah (benci) dsb.
Kemudian di antara sifat yang dinafikan
bagi Allah Ta'ala dan ditetapkan kebalikannya karena ada kesempurnaan di sana
adalah mati, tidur, mengantuk, 'ajz (lemah), lelah, zhalim, lalai, memiliki
kesamaan dsb.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji':
Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin.
0 komentar:
Posting Komentar