بسم
الله الرحمن الرحيم
Kaedah Penting Asma'ul Husna
(bag. 8)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang tiga
golongan dalam memahami nash-nash sifat, semoga Allah menjadikannya ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
**********
Ketiga, orang yang
menjadikan makna yang langsung dipahami akal itu, yakni pada nash-nash sifat sebagai
makna yang batil yang tidak layak bagi Allah Ta'ala, yaitu dengan
menyerupakannya, akibatnya mereka mengingkari apa saja yang ditunjukkan oleh
nash tersebut berupa makna yang layak bagi Allah Ta'ala. Mereka ini adalah kaaum
mu'aththilah (orang-orang yang meniadakan sifat bagi Allah Ta'ala), baik
peniadaan mereka umum dalam semua nama dan sifat maupun khusus pada keduanya
atau salah satunya. Mereka mengalihkan nash-nash tersebut dari zhahirnya kepada
makna-makna yang mereka tentukan berdasarkan akal mereka. Di samping itu,
masing-masing mereka berbeda dalam mentakwilnya, perbuatan seperti ini pada
hakikatnya merupakan tahrif (penyimpangan). Sikap ini adalah batil berdasarkan
beberapa sisi:
- Sikap tersebut merupakan tindak kejahatan terhadap nash, karena menjadikannya mengandung makna yang batil yang tidak layak bagi Allah Ta'ala.
- Sikap tersebut sama saja mengalihkan firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dari zhahirnya, padahal Allah Ta'ala berbicara kepada manusia dengan bahasa Arab yang jelas agar mereka mengerti dan memahami maksudnya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga berbicara kepada manusia dengan bahasa yang fasih. Oleh karena itu, firman Allah Ta'ala dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wajib dibawa kepada zhahirnya, namun dengan tetap menjauhkan diri dari takyif (menyebutkan bagaimana hakikat) dan tamtsil (menyamakan).
- Mengalihkan firman Allah Ta'ala dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari zhahirnya kepada makna yang menyelisihinya merupakan berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu. Hal ini hukumnya haram. Allah Ta'ala berfirman:
ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }În/u |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎötóÎ/ Èd,yÛø9$# br&ur (#qä.Îô³è@ «!$$Î/ $tB óOs9 öAÍit\ã ¾ÏmÎ/ $YZ»sÜù=ß br&ur (#qä9qà)s? n?tã «!$# $tB w tbqçHs>÷ès? ÇÌÌÈ
Katakanlah, "Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk
itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui."
(Terj. QS. Al A'raaf: 33)
- Mengalihkan nash-nash sifat dari zhahirnya menyelisihi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta kaum salaf dan para imamnya, sehingga menjadi batil, karena kebenaran tanpa diragukan lagi ada pada pihak mereka.
- Kita katakan kepada kaum mu'aththilah, "
Apakah anda lebih mengetahui tentang Allah
Ta'ala ataukah Diri-Nya?"
"Bukankah apa yang diberitakan Allah
Ta'ala merupakan kebenaran?"
"Bukankah anda mengetahui bahwa tidak
ada perkataan yang lebih fasih dan lebih jelas daripada firman Allah Ta'ala?
"Apakah anda menyangka bahwa Allah
Ta'ala hendak menyembunyikan yang hak terhadap makhluk-Nya dalam nash-nash
tersebut agar mereka bisa menggalinya sendiri berdasarkan akal mereka?"
Pertanyaan ini terkait dengan Al Qur'an.
Sedangkan pertanyaan yang terkait dengan As
Sunnah adalah,
"Apakah anda mengetahui ada orang yang
lebih 'alim (mengetahui) tentang Allah daripada Rasul-Nya?
"Bukankah apa yang diberitakan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan kebenaran?"
"Siapakah manusia yang lebih fasih
lisannya dan leih jelas daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam?"
"Siapakah manusia yang paling tulus
kepada hamba-hamba Allah daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam?"
Dengan demikian, anda tidak dibenarkan
bersikap lancing dan ikut campur dalam penetapan Allah Ta'ala tentang
sifat-sifat-Nya bagi Diri-Nya atau penetapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bagi Diri-Nya secara hakikat dan zhahir yang layak bagi Allah Ta'ala.
Demikian juga anda tidak dibenarkan bersikap lancing dan berani menafikan
hakikatnya dan memalingkan kepada makna yang menyalahi zhahirnya tanpa ilmu.
Di antara kaum mu'aththilah, ada yang meratakan kaedahnya
kepada semua sifat atau bahkan sampai mengena kepada nama-nama Allah Ta'ala,
ada juga yang bertentangan sehingga mereka menetapkan sebagian sifat dan
menolak sebagian yang lain seperti kaum 'Asyaa'irah dan Maaturidiyyah. Mereka
menetapkan apa saja yang mereka ingin tetapkan dengan alasan bahwa akal
menunjukkan demikian, mereka juga menafikan semua yang mereka ingin nafikan
dengan alasan bahwa akal menafikannya atau tidak menunjukkan demikian.
Contohnya adalah mereka menetapkan sifat iradah (kehendak) bagi Allah Ta'ala,
namun menafikan sifat rahmah (sayang).
Mereka menetapkan sifat iradah tersebut berdasarkan
dalil sam'i (naqli) dan 'aqli (akal). Dalil naqlinya seperti firman Allah
Ta'ala:
£`Å3»s9ur ©!$# ã@yèøÿt $tB ßÌã ÇËÎÌÈ
"Akan
tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya." (Terj. QS. Al
Baqarah: 253)
Sedangkan dalil 'aqlinya adalah karena perbedaan
makhluk dan pengkhususan sebagian makhluk dengan sesuatu yang khusus baginya
baik dzat maupun sifat menunjukkan adanya sifat iradah. Mereka menafikan sifat
rahmah dengan alasan karena "sayang" itu menunjukkan kelunakan dan
kelembutan kepada yang disayang serta menunjukkan ketundukan, dan menurut mereka
hal ini mustahil bagi Allah Ta'ala. Akhirnya mereka mentakwil dalil-dalil sam'i
yang menetapkan sifat rahmah bagi Allah Ta'ala kepada maksud
"berbuat" atau "berkeinginan melakukan." Mereka tafsirkan
Ar Rahiim dengan arti yang memberi nikmat atau yang hendak memberikan nikmat. Maka
terhadap mereka yang menolak sifat rahmah ini kita jawab:
- Sesunggunya sifat rahmah ada berdasarkan dalil sam'i, bahkan dalil yang menunjukkan sifat rahmah lebih banyak daripada dalil yang menunjukkan sifat iradah. Bukankah sering disebut nama-Nya Ar Rahiim dalam Al Qur'an?
- Sifat rahmah ini tidaklah mustahil berdasarkan akal. Hal itu, karena nikmat yang datang silih berganti kepada hamba-hamba-Nya dari setiap arah, dan tertolaknya musibah dari mereka di setiap waktu menunjukkan adanya sifat rahmah bagi Allah Ta'ala. Bahkan sifat rahmah ini sangat jelas dan gamblang dalilnya karena tampak baik bagi orang tertentu maupun kepada orang yang lain secara umum, berbeda dengan sifat iradah yang tampak bagi orang-orang tertentu.
- Penafian sifat rahmah dengan alasan bahwa sifat tersebut menghendaki lembut, lunak dsb. Jika mereka mau jujur dan konsisten tentu mereka akan menafikan sifat iradah juga.
- Adapun alasan bahwa karena pada sifat rahmah terdapat ketundukan. Maka dijawab, bahwa bukankah kita melihat raja-raja yang kuat ada sifat rahmah (sayang), namun tidak menunjukkan ketundukan dari mereka.
- Kalau seandainya sifat rahmah itu memang menunjukkan demikian, maka itu adalah rahmah bagi makhluk, adapun bagi khaaliq (Allah Ta'ala), maka rahmah yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya serta tidak menghendaki adanya kekurangan dari satu sisi pun.
- Dalil 'aqli lainnya yang menunjukkan adanya sifat rahmah adalah karena kita menyaksikan adanya rahmah pada makhluk yang menunjukkan adanya rahmah bagi Allah Ta'ala. Di samping itu, karena rahmah merupakan kesempurnaan, dan Allah lebih berhak dengan kesempurnaan. Kita juga menyaksikan rahmah yang khusus bagi Allah Ta'ala seperti diturunkan-Nya hujan, dihilangkan-Nya kemarau panjang dsb. yang menunjukkan adanya rahmah bagi Allah Ta'ala.
Oleh karena itu, dalam beriman kepada nama-nama Allah
dan sifat-Nya jalan yang benar adalah jalan yang ditempuh kaum salaf, yaitu
mereka menetapkan nama-nama dan sifat bagi Allah Ta'ala, mengikuti apa yang
ditetapkan Allah Ta'ala dalam kitab-Nya dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam tetapkan dalam As Sunnah, tanpa tahrif (mentakwil), ta'thil
(meniadakan), tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa takyif
(menyebutkan bagaimana atau menanyakan bagaimana hakikatnya).
Faedah:
Sesungguhnya orang yang menta'thil juga melakukan
tamtsil dan orang yang mentamtsil juga melakukan ta'thil.
Mengapa orang yang melakukan ta'thil juga melakukan
tamtsil? Jawab: Ia melakukan ta'thil karena keyakinannya bahwa menetapkan sifat
menghendaki sikap menyerupakan Allah dengan makhluk, awalnya ia menyamakan
sifat Allah Ta'ala dengan makhluk-Nya, selanjutnya ia meniadakannya.
Sedangkan orang yang melakukan tamstil sama saja
melakukan ta'thil adalah karena:
a. Ia
menolak nash yang menetapkan sifat itu, karena ia menjadikan nash itu
menunjukkan penyerupaan, padahal tidak ada yang menunjukkan demikian, bahkan
hanya menunjukkan sifat yang sesuai bagi Allah Ta'ala.
b. Ia
sama saja menolak semua nash yang menunjukkan tidak samanya Allah dengan
makhluk-Nya.
c. Ia
sama saja meniadakan kesempurnaan bagi Allah Ta'ala, karena sama saja telah menyamakan
Allah Ta'ala dengan makhluk yang memiliki kekurangan.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraji':
Al Qawaa'idul Mutsla fi Asmaa'illahi wa shifaatihil 'Ula karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin.
0 komentar:
Posting Komentar