بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqh Amar Ma'ruf-Nahi Munkar
Sesungguhnya Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar merupakan prinsip penting dalam
Islam. Hal itu dikarenakan, baiknya kehidupan manusia tergantung
sejauh mana keta'atan mereka kepada Allah dan rasul-Nya, dan untuk mencapai
keta'atan secara sempurna atau mendekati ke arahnya dibutuhkan saling
mengingatkan, meluruskan dan memperbaiki atau dengan kata lain harus diadakan
Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar. Dengan demikian, ummat Islam menjadi ummat
terbaik. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
"Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (Ali
Imraan: 110)
Ta'rif (definisi) Ma'ruf dan
Munkar
Ma'ruf secara syara' artinya semua yang diperintahkan
syara', dipujinya perbuatan itu dan dipuji juga pelakunya. Termasuk ke dalam
ma'ruf adalah semua keta'atan. Contoh perkara ma'ruf mengajak manusia untuk
beribadah hanya kepada Allah Ta'ala, beriman kepada Rasul-Nya, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, berhajji bagi yang mampu, berbakti
kepada orang tua, berkata jujur, memenuhi janji, menunaikan amanah, menghidupkan
Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menyambung tali silaturrahim
(hubungan kekerabatan), berbuat baik kepada keluarga, tetangga, anak yatim,
orang miskin dan melakukan akhlak mulia lainnya. Munkar secara syara' artinya
semua yang diingkari syara', dicelanya perbuatan itu dan pelakunya. Termasuk ke
dalam munkar adalah semua kemaksiatan. Contoh perkara munkar adalah kufur
kepada Allah dan berbuat syirk, meninggalkan shalat atau menundanya hingga
lewat waktunya, meninggalkan shalat Jum'at dan jama'ah, durhaka kepada orang
tua, memutuskan tali silaturrahim, berbuat jahat kepada tetangga, bermu'amalah
dengan cara riba, berkata dusta, ghibah (menggunjing orang), namimah (mengadu
domba), wanita membuka auratnya, mengurangi takaran dan timbangan, mengadakan
bid'ah dalam agama dan lain-lain.
Hukum Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar
Amar ma'ruf dan nahi munkar hukumnya wajib bagi setiap
muslim yang mampu melakukannya. Wajibnya adalah wajib kifayah (lih. Ali Imraan:
104), jika sudah ada yang melakukannya, maka yang lain tidak berdosa. Letak
kewajibannya terletak di kemampuan, sehingga seseorang wajib melakukannya
sesuai kemampuan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الإِيمَانِ
“Barangsiapa
yang melihat kemungkaran di antara kamu, maka rubahlah dengan tangannya. Jika
tidak mampu, maka dengan lisannya dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya,
itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan
Ahmad)
Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkata: "Amar
ma'ruf dan nahi munkar bisa saja menjadi fardhu 'ain (wajib bagi masing-masing
orang) seperti berada di tempat, di mana hanya dia yang mengetahuinya atau
tidak ada yang dapat menyingkirkan kemunkaran itu kecuali dia, juga seperti
orang yang melihat isterinya, budaknya atau anaknya melakukan kemunkaran atau
meremehkan perkara ma'ruf."
Perlunya Amar Ma'ruf dan Nahi
Munkar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ
فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ
أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ، فَكَانَ الَّذِينَ فِى أَسْفَلِهَا إِذَا
اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا : لَوْ أَنَّا
خَرَقْنَا فِى نَصِيبِنَا خَرْقاً ، وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا . فَإِنْ
يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعاً ، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى
أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعاً
"Perumpamaan
orang yang menjalankan perintah Allah dengan orang yang melanggarnya seperti
beberapa orang yang hendak menaiki kapal, mereka melakukan undian untuk
menaikinya, akhirnya sebagian mereka menempati bagian atas dan yang lain bagian
bawah. Penumpang yang berada di bawah ketika hendak mengambil air selalu
melewati orang-orang yang berada di atas, lalu ada di antara mereka yang
mengusulkan, "Apa tidak sebaiknya, kita lobangi tempat kita sehingga tidak
mengganggu orang yang berada di atas kita." Jika mereka semua meninggalkan
(tidak mencegahnya), maka mereka semua akan binasa, namun jika mereka
mencegahnya, maka mereka akan selamat, selamat semuanya." (HR. Bukhari,
Tirmidzi dan Ahmad)
وَالَّذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ، لَتَأْمُرُنَّ
بِالْمَعْرُوْفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُوْشِكُنَّ اللهُ يَبْعَثُ
عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
"Demi
Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya. Kamu harus melakukan amar ma'ruf dan
nahi munkar, atau jika tidak, Allah bisa segera menimpakan azab dari sisi-Nya
dan ketika kamu berdo'a tidak dikabulkan-Nya." (HR. Tirmidzi, ia berkata,
"Hadits hasan.")
Bahkan meninggalkan amar ma'ruf dan nahi munkar adalah
kebiasaan orang-orang yahudi sehingga mereka dilaknat, lih. Al Maa'idah:
78-79.
Syarat perbuatan yang wajib
diingkari (dilakukan nahi munkar)
Syarat perbuatan yang wajib diingkari adalah:
1. Perbuatan itu adalah munkar (maksiat), baik maksiat
kecil maupun besar.
2. Kemungkaran itu masih berjalan. Oleh karena itu, jika
sudah berhenti, maka cukup dinasehati pelakunya.
3. Kemungkaran itu nampak, tanpa dimata-matai, karena
tidak boleh memata-matai seorang muslim.
4. Perbuatan tersebut memang sudah diketahui munkar
berdasarkan Al Qur'an, hadits, ijma' atau qiyas yang jaliy (jelas). Adapun
masalah yang diperselisihkan (khilafiyyah), maka tidak berlaku nahi mungkar di sana, karena al
ijtihaad laa yunqadhu bil ijtihad (ijtihad ridak dapat dibatalkan dengan
ijtihad), namun bid'ah dalam agama bukanlah masalah khilafiyyah.
Ada
yang menambahkan syarat melakukan nahi munkar, yaitu mendapatkan izin dari
imam, namun pendapat ini lemah karena masing-masing kaum muslimin sejak zaman
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar tanpa
meminta izin dari imam.
Adab
beramar ma'ruf dan bernahi munkar
Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf dan
nahi munkar hendaknya memperhatikan adab-adab berikut:
ü Memiliki
niat yang ikhlas.
ü Memiliki
ilmu, yakni bahwa yang diperintahkannya adalah benar-benar perkara yang ma'ruf
menurut syara' (ada dalilnya), sebagaimana yang dilarangnya adalah perkara yang
munkar menurut syara'.
ü Hendaknya ia
bersikap wara’, yakni tidak mengerjakan perkara munkar yang hendak dicegahnya
serta tidak meninggalkan perkara ma'ruf yang hendak diperintahkannya (terutama
hal-hal yang wajib, jangan sampai ia meninggalkannya). Misalnya ia menyuruh
orang lain melaksanakan shalat berjama'ah, namun dirinya malah meninggalkannya
–padahal yang rajih hukum shalat berjama'ah adalah wajib-. Lih. surat Al Baqarah: 44.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
يُجَاءُ
بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ ، فَتَنْدَلِقُ
أَقْتَابُهُ فِى النَّارِ ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ ،
فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ ، فَيَقُولُونَ : أَىْ فُلاَنُ ، مَا
شَأْنُكَ ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ
الْمُنْكَرِ ؟ قَالَ : كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ ،
وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
"Akan
dihadapkan seseorang nanti pada hari kiamat, lalu dilempar ke dalam neraka
sampai usus-ususnya keluar. Ia pun berputar seperti berputarnya keledai di
penggilingan. Lalu para penghuni neraka berkumpul mendatanginya dan berkata,
"Hai fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu menyuruh mengerjakan yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar?" ia menjawab: "Saya menyuruh
kamu mengerjakan yang ma'ruf, namun saya sendiri tidak mengerjakan dan saya menyuruh
kamu menjauhi yang munkar, namun saya sendiri melakukannya." (HR. Bukhari,
Muslim dan Ahmad)
ü Hendaknya ia
berakhlak mulia, sabar memikul sikap kasar dari orang lain, menyuruh dengan
lemah lembut, demikian juga melarang dengan lemah lembut. Ia tidak marah dan
dendam ketika mendapatkan gangguan dari orang yang dilarangnya, bahkan ia
bersabar dan mema’afkan. Allah berfirman:
"Dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik, cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu, termasuk
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (terj. Luqman: 17)
ü Jangan
sampai untuk mengetahui kemungkaran ia melakukan tajassus (memata-matai),
karena tidak dibenarkan mengetahui hal yang mungkar dengan cara memeriksa dan
memata-matai, lih. Al Hujurat: 11.
ü Sebelum
melakukan amr ma’ruf dan nahy mungkar, hendaknya ia memberitahukan dahulu mana
yang ma’ruf, karena mungkin orang tersebut meninggalkannya disebabkan
ketidaktahuan, atau ia memberitahukan bahwa perkara tersebut adalah mungkar,
karena bisa jadi, orang yang diingkarinya menyangka perbuatannya bukan munkar.
ü Hendaknya ia
bersikap bijak (hikmah), yakni dengan memposisikan sesuatu pada tempatnya,
hendaknya ia mengetahui tingkatan dakwah (mana yang harus didahulukan dalam
dakwah), keadaan mad'uw (orang yang didakwahi) serta memperhatikan maslahat dan
mafsadat yang mungkin timbul. Lihat dalilnya di surat An Nahl: 125.
ü Dalam beramr
ma’ruf dan bernahy mungkar hendaknya ia gunakan cara yang lebih ringan dahulu,
menasihatinya dengan kata-kata yang dapat menyentuh perasaannya seperti menyebutkan
ayat atau hadits yang isinya targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman). Jika tidak
berhasil, maka dengan cara di atasnya (agak tegas). Jika tidak berhasil juga,
maka dengan tangannya –hal ini bila kita memiliki kekuasaan terhadapnya-. Namun
bila tidak mampu melakukan hal itu, kita bisa meminta bantuan kepada saudara
kita atau pemerintah.
ü Jika ia
tidak mampu merubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya karena mungkin ia
mengkhawatirkan keadaan dirinya, hartanya atau kehormatannya, ia pun tidak kuat
bersabar menghadapi ancaman, maka ia wajib mengingkari meskipun dengan hatinya.
Kemungkinan
yang akan terjadi setelah nahi munkar
Dalam
melakukan nahi munkar, biasanya ada 4 kemungkinan yang akan terjadi:
1.
Yang munkar menjadi hilang dan digantikan
dengan yang ma’ruf.
2.
Yang munkar berkurang atau menjadi lebih
kecil, namun tidak hilang secara keseluruhan.
3.
Yang munkar menjadi hilang, namun digantikan
dengan kemunkaran yang sama besarnya.
4.
Yang munkar itu hilang, namun digantikan
dengan kemunkaran yang lebih besar.
Maka dalam menghadapi dua kemungkinan pertama (no. 1 & 2), nahi
mungkar disyari’atkan. Pada no. 3 merupakan tempat berijtihad dan pada no. 4
kita jangan melakukan nahy munkar.
Kelompok manusia dalam beramar ma'ruf dan bernahi munkar
Ada dua kelompok manusia yang keliru
dalam menanggapi amar ma’ruf dan nahi munkar:
Pertama, golongan
yang meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Misalnya menyerah kepada
keadaan, tidak punya ghirah (rasa cemburu) keagamaan dsb.
Kedua, golongan yang melakukan amar
ma’ruf dan nahi munkar dengan tangan secara membabi buta. Dalam arti tanpa mengerti persoalan secara
jelas atau tanpa menimbang manfa’at dan mafsadat. Contohnya adalah orang-orang
yang bermodal semangat, ia langsung menghantam sana dan sini tanpa mengindahkan dhawabit (ka’idah-ka’idah)
dalam beramr ma’ruf dan bernahi munkar.
Yang benar adalah pertengahan di antara keduanya,
yaitu ia tetap peduli terhadap amar ma'ruf dan nahi munkar serta melakukannya
dengan memperhatikan dhawabith yang ada.
Kapankah gugur Amar Ma'ruf dan
Nahi Munkar?
Amar ma'ruf dan nahi munkar bisa menjadi gugur dalam
keadaan-keadaan tertentu, di antaranya:
1. Ketika nasehat sudah tidak diterima dan tidak
bermanfa'at, karena kondisi sudah berubah, misalnya masing-masing orang bangga
dengan pendapat dan sikapnya, dunia di nomer satukan, hawa nafsu diperturutkan,
lihat surat Al
A'laa: 9 dan Al Maa'idah: 105.
2. Jika dilakukan amar ma'ruf dan nahi munkar ternyata
malah menimbulkan kemungkaran yang lebih besar lagi. Lih. Al An'aam: 108.
3. Tidak memiliki kemampuan atau mengkhawatirkan bahaya
bagi dirinya, keluarganya atau kaum muslimin.
Perhatikanlah keadaan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan para sahabatnya saat masih di Makkah, Beliau tidak
melakukan jihad atau pembelaan ketika sebagian sahabat disakiti, hal itu karena
jumlah kaum muslimin masih sedikit, jika dilakukan perlawanan, maka kaum
muslimin bisa habis dibinasakan.
Namun perlu diingat, bahwa gugurnya amar ma'ruf dan
nahi munkar dalam keadaan di atas adalah dengan tangan dan lisan, adapun hati
bagaimana pun juga wajib mengingkari dan tidak meridhainya.
Nasehat ulama
Imam Ahmad dalam risalah As Shalah berkata:
"Semoga Allah merahmati seseorang yang melihat saudaranya mendahului imam,
ia ruku' atau sujud bersamaan dengannya atau ketika ada orang yang shalat
sendiri dan cara shalatnya salah, ia pun menasehatinya, memerintah dan melarang
serta tidak mendiamkannya. Karena menasehatinya adalah wajib dan harus baginya,
dan mendiamkannya adalah dosa. Sesungguhnya setan ingin kalian bersikap diam
terhadap apa yang diperintahkan Allah, ia juga ingin kalian meninggalkan
tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan yang diperintahkan Allah, dan
tidak memberi nasehat antara sesama kalian agar kalian sama-sama berdosa. Setan
juga ingin agama ini lenyap dan hilang, ia ingin agar kalian tidak menghidupkan
sunnah dan agar kalian tidak mematikan bid'ah…"
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar