بسم الله الرحمن الرحيم
'Aqidah Islam (11)
Beriman kepada Qadar
Termasuk Aqidah Islam adalah beriman kepada qadar.
21-
الإيمان بالقدر خيره وشره من الله تعالى وذلك
بالإيمان بأن الله تعالى علم ما يكون قبل ان يكون وكتب ذلك فىاللوح المحفوظ وان ما
شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن فلايكون الا ما يشاء والله تعالى على كل شيء قدير وهو
خالق كل شيئ فعال لما يريد.
Beriman kepada qadar
Allah yang baik maupun yang buruk, yaitu dengan beriman bahwa Allah Ta'ala
Mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi sebelum terjadinya, mencatat semua
itu dalam Al Lauhul Mahfuzh, dan bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi,
sedangkan yang Dia tidak kehendaki tidak akan terjadi. Oleh karena itu,
tidaklah terjadi sesuatu kecuali dengan kehendak-Nya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
Maha Kuasa atas segala sesuatu, Dia pula yang menciptakan segala sesuatu dan
berbuat apa yang Dia kehendaki. (Mujmal Ushul Ahlissunah karya Dr. Nashir Al ‘Aql).
Tamhid/Pengantar:
Perlu
diketahui, bahwa beriman kepada qadar termasuk tauhid rububiyyah, di mana dalam
qadar terdapat dalil bahwa Allah yang mengatur alam semesta ini, di samping
sebagai Penciptanya dan Pengusanya.
Qadar
termasuk rahasia Allah yang tidak diketahui kecuali oleh-Nya saja, dan ia
tertulis dalam Al Lauhul Mahfuzh. Kita tidaklah mengetahui qadar yang
ditetapkan Allah bagi kita kecuali setelah terjadinya.
Sikap
umat Islam dalam masalah qadar
Dalam
masalah qadar, umat Islam terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama,
golongan yang ghuluw (berlebihan) dalam masalah qadar, dalam arti bahwa manusia
sama sekali tidak memiliki kemampuan maupun pilihan. Menurut golongan ini,
manusia ibarat sebuah pohon yang bergerak karena hembusan angin. Mereka yang
berkeyakinan seperti ini terkenal dengan golongan Jabriyyah. Nampaknya, mereka
tidak bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi oleh kehendaknya dengan
perbuatan yang terjadi tanpa kehendaknya. Tidak diragukan lagi, bahwa golongan
ini tersesat, karena sudah kita maklumi bersama, bahwa manusia bisa membedakan
antara perbuatan yang terjadi oleh kehendaknya dengan perbuatan yang terjadi
tanpa kehendak darinya.
Kedua,
golongan yang ghuluw dalam menetapkan adanya kemampuan dan pilihan dalam diri
manusia, sampai-sampai mereka meniadakan kekuasaan Allah di sana. Golongan ini beranggapan, bahwa manusia
berkuasa mutlak dalam tindakannya. Golongan ini dikenal dengan sebutan golongan
Qadariyyah. Mereka juga tersesat sebagaimana golongan Jabriyyah. Terhadap
golongan ini, Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma pernah berkata:
“Demi Allah yang nyawa Ibnu Umar di
Tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar
gunung Uhud, lalu dia infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan
menerimanya sampai dia beriman kepada qadar.”
Ketiga,
golongan yang beriman kepada qadar, di mana mereka menempuh jalan tengah antara
Jabriyyah dan Qadariyyah, dan berjalan di atas dalil naqli (Al Qur'an dan As
Sunnah) maupun dalil 'aqli (akal). Mereka inilah Ahlussunnah wal Jama'ah.
Mereka berpandangan, bahwa perbuatan-perbuatan yang terjadi di alam semesta
terbagi menjadi dua bagian:
1. Perbuatan yang dilakukan oleh Allah Ta'ala pada
makhluk-Nya. Maka dalam hal ini, tidak ada kehendak (pilihan) bagi makhluk-Nya.
Misalnya diturunkan-Nya hujan, ditumbuhkan-Nya tanaman, ada makhluk yang
dihidupkan-Nya dan ada yang dimatikan-Nya, ada yang ditimpakan penyakit dan ada
yang diberi kesehatan dan lain sebagainya.
2. Perbuatan yang dilakukan makhluk yang memiliki
kehendak. Maka dalam hal ini, perbuatan tersebut terjadi oleh pilihan pelakunya
dan kehendaknya, karena Allah Ta'ala telah mengadakan kehendak untuk mereka,
seperti firman Allah Ta'ala,
"Bagi siapa saja
di antara kamu yang ingin menempuh jalan yang lurus."
(Terj. At Takwir: 28)
"Di antara kamu
ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki
akhirat." (Terj. Ali Imran: 152)
Manusia bisa merasakan
antara perbuatan yang terjadi dengan pilihannya dan perbuatan yang terjadi
tanpa ada pilihan (kehendak)nya. Seseorang yang turun dari atas genting dengan
tangga merasakan bahwa ia berbuat atas kehendaknya. Sedangkan seorang yang
terjatuh dari atas genting merasakan bahwa dirinya tidak menghendaki demikian.
Kritik terhadap
golongan Jabriyyah dan Qadariyyah
Jika kita mengikuti
pendapat golongan Jabriyyah yang berlebihan dalam menetapkan qadar, tentu
syari'at Islam ini percuma saja. Hal itu, karena menganggap bahwa manusia tidak
memiliki pilihan menghendaki tidak perlu dipuji dan diberikan balasan kebaikan
orang yang mengerjakan perbuatan baik, serta tidak perlu dicela dan diberikan
siksaan orang yang mengerjakan keburukan, karena perbuatan itu bukan mereka
yang melakukannya. Dan jika ternyata diberikan siksa, maka sama saja Allah
menzalimi mereka, Mahasuci dan Maha Tinggi Dia dari keyakinan rusak seperti
ini. Padahal Allah Subhaanahu wa Ta'aala Maha Adil dan tidak pernah menzalimi
hamba-hamba-Nya, Dia berfirman saat orang-orang zalim dimasukkan ke dalam
neraka:
Allah berfirman, "Lemparkanlah
olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras
kepala,--Yang sangat enggan melakukan kebajikan, melanggar batas lagi
ragu-ragu,-- Yang mempersekutukan Allah dengan tuhan lain, maka lemparkanlah dia
ke dalam siksaan yang keras ".—(Setan) yang menyertainya berkata (pula),
"Ya Tuhan Kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dia sendiri yang berada
dalam kesesatan yang jauh".-- Allah berfirman, "Janganlah kamu
bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan
ancaman kepadamu." -- Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku
sekali-kali tidak menzalimi hamba-hamba-Ku."
(Terj. Qaaf: 24-29)
Dalam ayat di atas,
Allah Azza wa Jalla menerangkan bahwa hukuman tersebut bukanlah karena Dia
menzalimi mereka, bahkan yang demikian merupakan keadilan-Nya, karena
sebelumnya Dia telah memberikan ancaman, bahwa jika mereka menolak ajakan
rasul, mereka akan ditimpa azab yang pedih. Allah telah menerangkan kepada
mereka jalan yang benar dan jalan yang salah dengan mengutus para rasul, namun
mereka lebih memilih jalan yang salah atas pilihan mereka sendiri tanpa
dipaksa. Dari sini kita mengetahui batilnya orang yang beralasan dengan qadar
ketika bermaksiat.
Adapun golongan
Qadariyyah, yakni mereka yang beranggapan bahwa manusia berkuasa mutlak
terhadap tindakannya dan bahwa Allah sama sekali tidak berkuasa. Maka pendapat
ini tertolak berdasarkan nash-nash syar'i dan waaqi' (realita). Dalam Al Qur'an
disebutkan:
"(Yaitu) bagi
siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.-- Dan kamu tidak
dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah,
Tuhan semesta alam." (Ter. At Takwir: 28-29)
Sedangkan realita di
lapangan menunjukan bahwa ketika seseorang berniat melakukan sesuatu, ternyata
apa yang diniatkannya tidak terlaksana. Hal ini menunjukkan
bahwa Allah tidak menghendakinya.
Dengan demikian,
jalan yang benar adalah jalan yang ditempuh Ahlussunnah wal jama'ah, di mana
jalan tersebut merupakan jalan As Salafush Shalih, yakni bahwa manusia berbuat
sesuai kehendak dan pilihannya, namun kehendak dan pilihannya mengikuti
kehendak Allah Ta'ala, jika Dia menghendaki, maka akan terjadi perbuatan itu
dan jika tidak menghendaki, maka tidak akan terjadi perbuatan itu.
Faedah:
Apa maksud firman
Allah "Barang siapa disesatkan oleh
Allah, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) baginya."
(Terj. An Nisaa': 88)
Jawab: Allah Subhaanahu
wa Ta'aala memberikan hidayah kepada orang yang layak menerima hidayah, karena
diketahui-Nya bahwa orang tersebut menginginkan kebenaran dan bahwa hatinya
memang lurus. Dia pun menyesatkan orang yang layak disesatkan, karena
diketahui-Nya bahwa orang tersebut tidak menginginkannya. Hikmah
(kebijaksanaan) Allah menghendaki bahwa orang tersebut tidak berhak mendapatkan
hidayah, kecuali apabila Allah memperbaiki hatinya dan menjadikan orang
tersebut menginginkan hidayah. Allah
Ta'ala berfirman:
"Maka tatkala
mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik."
(Terj. Ash Shaf: 5)
Maksudnya karena
mereka berpaling dari kebenaran, maka Allah membiarkan mereka sesat dan
bertambah jauh dari kebenaran.
Ayat di atas
menunjukkan bahwa sebab tersesatnya seorang hamba adalah karena dirinya sendiri.
Tingkatan beriman
kepada Qadar
Beriman
kepada qadar tidaklah sempurna kecuali dengan beriman kepada empat perkara:
Pertama, beriman bahwa Allah
Ta’ala mengetahui segala sesuatu baik secara garis besar maupun secara terperinci,
Dia juga mengetahui semua makhluk-Nya sebelum menciptakan mereka, mengetahui
rezki mereka, ajal, ucapan dan amal mereka, mengetahui rahasia dan yang
terang-terangan dari mereka juga mengetahui siapa penghuni surga dan siapa
penghuni neraka (lih. Ath Thalaq: 12).
Kedua, beriman bahwa Allah
Ta’ala telah mencatat taqdir segala sesuatu dalam sebuah kitab (Al Lauhul
Mahfuzh), lihat surat
Al Hadid: 22. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ
الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ
سَنَةٍ
“Allah
telah mencatat taqdir semua makhluk lima
puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim)
Ketiga, beriman bahwa semua
yang terjadi adalah dengan kehendak (masyi’ah) Allah Ta’ala antara rahmat dan
hikmah-Nya. Apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi dan yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, lihat dalilnya di surat At Takwir: 29.
Keempat, beriman bahwa Allah Ta’ala menciptakan segala
sesuatu, (lih. Al Furqan: 2), termasuk perbuatan hamba-hamba-Nya (lih. Ash
Shaaffat: 96).
Bolehkah beralasan dengan taqdir ketika maksiat?
Beralasan
dengan taqdir ketika bermaksiat tidak benar berdasarkan alasan berikut:
Pertama, Allah
Azza wa Jalla telah memberikan kemampuan kepada manusia serta menjadikannya
bisa memilih antara berbuat atau tidak.
Kedua, manusia
merasakan bahwa perbuatannya dilakukan tanpa ada yang memaksa, dan ia juga bisa
membedakan antara perbuatan yang dipaksa dengan yang tidak.
Ketiga, manusia bisa
membedakan antara perbuatan yang terjadi karena keinginannya dengan yang tidak.
Yang tidak diinginkannya, misalnya gemetar sendiri, tergelincir di jalan
dsb.
Keempat, bagaimana menurut anda bila ada
seseorang yang merampas harta anda lalu ia berkata kepada anda, “Saya melakukan
hal ini karena qadar Allah, maka jangan salahkan saya” apakah anda akan
menerima alasannya? Tentu anda tidak akan menerima alasannya.
Marwan bin Musa
Maraji’: Risalah fil
qadhaa' wal qadar (Syaikh Ibnu 'Utsaimin), Mujmal Ushul Ahlissunnah wal
jama'aah fil 'aqiidah (Dr. Nashir Al 'Aql) dll.
0 komentar:
Posting Komentar