بسم الله الرحمن الرحيم
Aqidah Islam (17)
Tidak Ada Yang
Mengetahui Perkara Gaib Selain Allah Ta’ala
33.لا يعلم الغيب الا الله وحده, واعتقاد أن أحدا غير الله
يعلم الغيب كفر, مع الإيمان بأن الله يطلع بعض رسله على شيء من الغيب.
34.اعتقاد صدق المنجمين والكهان كفر واتيانهم والذهاب إليهم
كبيرة.
35.الوسيلة المأمور بها فى القران هي ما يقرب إلى الله
تعالى من الطاعات المشروعة. والتوسل ثلاثة أنواع:
-
مشروع: وهوالتوسل الى الله تعالى بأسمائه وصفاته أوبعمل صالح من المتوسل أوبدعاء
الحي الصالح.
- بدعي: وهوالتوسل الى الله تعالى
بما لم يرد فى الشرع, كالتوسل بذوات الأنبياء والصالحين أو جاههم أو حقهم أو
حرمتهم ونحو ذلك.
- شركي: وهواتخاذ الأموات وسائط فى
العبادة ودعائهم وطلب الحوائج منهم والإستعانة بهم ونحو ذلك.
33. Tidak
ada yang mengetahui perkara gaib selain Allah saja. Meyakini bahwa selain Allah
ada pula yang mengetahui perkara gaib adalah sebuah kekufuran. Namun kita
mengimani bahwa Allah terkadang memperlihatkan sedikit perkara gaib kepada
sebagian rasul-Nya.
34. Percaya kepada ahli nujum dan para dukun adalah
kekufuran, sedangkan mendatangi dan pergi ke tempat mereka adalah dosa besar.
35. Wasilah yang diperintahkan di dalam Al Qur'an
ialah apa yang mendekatkan seseorang kepada Allah Ta'ala, berupa ketaatan yang
disyariatkan. Tawassul (mengadakan perantara) ada tiga macam:
a) Masyru'
(disyari’atkan), yaitu tawassul kepada Allah Ta'ala dengan asma dan sifat-Nya,
dengan amal saleh yang dikerjakannya, atau melalui doa orang saleh yang masih
hidup.
b) Bid'ah,
yaitu tawassul kepada Allah Ta'ala dengan cara yang tidak disebutkan dalam
syari'at, seperti tawassul dengan pribadi para nabi dan orang-orang shaleh,
dengan kedudukan mereka, kehormatan mereka, dan sebagainya.
c)
Syirik, yaitu apabila menjadikan
orang-orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah, termasuk
berdoa kepada mereka, meminta hajat, memohon pertolongan kepada mereka, dsb. (Mujmal Ushul Ahlissunah karya Dr. Nashir Al
‘Aql).
Penjelasan:
No. 33: Gaib artinya sesuatu yang
tersembunyi bagi manusia berupa perkara-perkara di masa yang akan datang,
perkara-perkara yang telah lalu dan apa saja yang tidak mereka lihat. Tidak
ada yang mengetahui yang gaib selain Allah sendiri. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman:
Katakanlah,
"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib,
kecuali Allah...dst.” (Terj. An Naml: 65)
Oleh karena
itu meyakini bahwa selain Allah ada pula yang mengetahui perkara gaib sama saja
menolak Al Qur’an, sehingga hal itu dianggap sebagai sebuah kekafiran.
Namun
demikian, terkadang Allah Subhaanahu wa Ta'aala memperlihatkan kepada rasul
yang dikehendaki-Nya sedikit perkara gaib karena hikmah dan maslahat. Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
”(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu.---Kecuali kepada Rasul
yang diridhai-Nya...dst.” (Terj. Al Jin: 26-27).
Perlu
diketahui, bahwa perkara gaib terbagi dua:
1.
Gaib Nisbiy
Gaib Nisbiy artinya gaib yang relatif, yakni bagi sebagian orang tidak mengetahui, namun bagi
yang lain mengetahui.
Contoh gaib nisbiy adalah kita yang berada di sebuah tempat
tidak mengetahui apa yang sekarang terjadi di tempat lain, kita tidak
mengetahui apakah terjadi kecelakaan atau tidak di tempat lain tersebut? Namun
bagi orang-orang yang berada di tempat sana
mengetahui hal yang terjadi di sana
seperti kecelakaan dsb. Peristiwa yang terjadi di tempat lain itu bagi kita
adalah gaib, dan bagi mereka yang berada di sana tidak gaib (bukan gaib). Sehingga
gaib ini disebut gaib nisbi (relatif).
2.
Gaib Mutlak
Gaib Mutlak artinya
gaib yang tidak siapa pun mengetahuinya selain Allah sendiri. Contoh gaib mutlak adalah seperti yang disebutkan Allah
Ta’ala dalam akhir surat
Luqman berikut:
“Sesungguhnya Allah,
hanya pada sisi-Nya saja pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang
menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tidak ada
seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok. dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan
mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (terj. Luqman: 34)
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa hanya Allah saja
yang mengetahui kapan kiamat, kapan turun hujan, apa yang ada dalam rahim,
apakah dia akan menjadi orang bahagia atau celaka? Apa yang akan dikerjakan
besok dan di mana seseorang akan mati.
No. 34: Ilmu nujum (perbintangan) terbagi dua:
Pertama, Ilmu Ta’tsir, yakni ilmu nujum yang meyakini bahwa
bintang-bintang mempunyai pengaruh terhadap keadaan alam semesta atau
menjadikan keadaan bintang, planet dan benda angkasa lainnya sebagai dasar
penentuan berbagai peristiwa di bumi. Jika dia percaya bahwa keadaan itu adalah
faktor yang mempengaruhi mutlak atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di bumi
atau percaya bahwa bintang-bintang dengan sendirinya dapat memberi pengaruh,
dalam arti bahwa bintang-bintang itu yang mengadakan peristiwa (kejadian) dan
keburukan, maka ia dinyatakan musyrik
akbar (murtad). Tetapi jika ia percaya bahwa keadaan itu hanya merupakan
isyarat yang menyertai peristiwa-peristiwa bumi, maka ia dinyatakan sebagai
musyrik dengan tingkatan syirk kecil yang mengurangi kesempurnaan tauhid.
Perbintangan sesungguhnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap
peristiwa-peristiwa yang ada di bumi. Anggapan bahwa perbintangan berpengaruh
terhadap peristiwa-peristiwa di bumi atau berpengaruh terhadap kepribadian
seseorang (seperti dalam zodiak) termasuk berkata sesuatu atas nama Allah
Subhaanahu wa Ta'aala tanpa ilmu.
Kedua, Ilmu Tasyir, yaitu menjadikan keadaan bintang dan
benda angkasa sebagai petunjuk penentuan arah mata angin, arah kiblat,
pengetahuan tentang akhir musim dingin dan panas, letak geografis suatu negara
dan semacamnya. Jenis ini dibolehkan dalam Islam.
Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan dalam shahihnya,
bahwa Qatadah berkata, “Allah menciptakan bintang untuk
tiga hal; menghias langit, melempar setan-setan dan sebagai rambu-rambu yang
dipakai petunjuk arah (dalam perjalanan). Barang siapa yang memalingkan dari
hal itu, maka ia telah salah, menyia-nyiakan bagiannya dan membebani diri
terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.”
Adapun tentang percaya kepada dukun, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا
يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
"Barang siapa mendatangi peramal atau
dukun, lalu ia membenarkan kata-katanya, maka ia telah kufur kepada Al Qur'an
yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Ahmad
dan Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 5939)
Dukun atau dalam bahasa Arab diebut kahin
artinya orang yang memberitakan tentang perkara gaib di masa mendatang.
Bertanya kepada peramal
atau dukun terdapat perincian sbb:
Pertama,
hanya sekedar bertanya. Hal ini adalah haram berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam:
« مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ
لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً » .
"Barang siapa mendatangi peramal, lalu bertanya tentang
sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari." (HR.
Muslim)
Hadits ini
menunjukkan bahwa mendatangi dukun dan peramal adalah sebuah dosa yang sangat
besar.
Kedua,
bertanya dan membenarkan, maka yang demikian adalah kekufuran, karena sama saja
membenarkan pengakuannya mengetahui yang gaib, padahal tidak ada yang
mengetahui hal gaib selain Allah (lihat surat
An Naml: 65), juga berdasarkan hadits yang sudah disebutkan sebelumnya.
Ketiga,
bertanya dengan maksud mengetesnya apakah ia benar atau dusta, bukan untuk memegang
perkataannya. Hal ini tidak mengapa, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad, "Apa yang kamu sembunyikan?" ia
menjawab, "Ad Dukh (dukhan/asap),” maka Beliau bersabda, "Hinalah
kamu, sesungguhnya kamu tidak akan dapat melewati batas(kemampuan)mu."
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya tentang sesuatu yang
disembunyikannya untuk mengetesnya.
Keempat, bertanya untuk menampakkan kelemahannya dan kedustaannya,
misalnya mengetesnya dengan sesuatu yang
dapat memperlihatkan kelemahan dan kedustaannya. Hal ini baik sekali, bahkan
harus dilakukan, karena membatalkan perkataan para dukun adalah diperintahkan.
No. 35: Wasilah yang disebutkan dalam Al Qur’an surah Al Maa’idah ayat
35 maksudnya adalah melakukan ketaatan yang disyari’atkan. Oleh karena itu,
tidak bisa dijadikan dalih untuk membenarkan tawassul yang bid’ah atau syirk.
Tawassul
atau mengadakan perantara terbagi menjadi tiga macam; ada yang disyari’atkan,
ada yang bid’ah, dan ada yang termasuk syirk.
Tawassul yang
disyari’atkan seperti yang diterangkan di atas adalah
menggunakan nama-nama dan sifat-Nya (lihat dalilnya di surah Al A’raaf: 180).
Contoh bertawassul dengan nama-Nya adalah mengatakan, “Ya Allah, Engkau
adalah Ar Razzaq (Maha Pemberi rezeki), maka karuniakanlah rezeki kepadaku.” Sedangkan contoh bertawassul dengan sifat-Nya adalah mengatakan,
“Aku meminta kepada-Mu ya Allah dengan rahmat-Mu yang meliputi segala
sesuatu agar Engkau menyayangi dan mengampuniku.”
Contoh
tawassul dengan menyebut amal saleh yang dikerjakannya adalah kisah tiga orang
yang yang
bermalam di gua, tiba-tiba batu besar jatuh menutupi gua tersebut,
masing-masing dari mereka pun berdoa dengan menyebutkan amal saleh yang mereka
kerjakan (sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain).
Contoh tawassul dengan doa orang
saleh yang masih hidup adalah sebagaimana yang dilakukan para sahabat, di mana mereka
meminta Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa kepada Allah agar
Allah menurunkan hujan kepada mereka. Atau misalnya seseorang berkata kepada
seorang ustadz yang saleh, “Ustadz, doakan saya agar Allah menyelamatkan
saya di perjalanan.”
Ingat, bahwa tawassul dengan doa orang saleh syarat
dibolehkannya adalah jika “masih hidup” dan "ada di hadapan kita".
Adapun jika sudah meninggal, maka tidak boleh, karena setelah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam wafat, para sahabat tidak mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam, bahkan mereka mendatangi paman Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam yaitu Abbas bin Abdul Muththalib agar ia berdoa kepada Allah supaya
Allah menurunkan hujan (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari).
Adapun
contoh tawassul yang bid’ah adalah seperti tawassul dengan menyebut pribadi
nabi dan orang-orang saleh, jah (kedudukannya), haknya dan kehormatannya,
seperti ucapan “Bijaahin nabi…dst.” (dengan kedudukan Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam), “…bi ahlil badri yaa Allah.” (dengan pribadi para
sahabat yang ikut perang Badar, ya Allah) dan semisalnya.
Sedangkan
contoh tawassul yang syirk adalah ketika seseorang meminta kepada Allah, dia adakan
perantara seperti nabi, wali, orang-orang saleh atau orang-orang yang dianggapnya
dekat dengan Allah padahal mereka semua sudah meninggal, sehingga dia meminta
dan bertawakkal kepada perantara itu. Hal ini tidak bedanya dengan yang
dilakukan kaum musyrikin, di mana mereka menyembah berhala dan patung-patung
agar berhala dan patung itu -menurut anggapan mereka- mendekatkan diri mereka
kepada Allah (lihat Az Zumar: 3). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika
kalian menetapkan perantara antara Allah dengan makhluk-Nya seperti hijab
antara raja dengan rakyatnya, di mana perantara itu yang akan mengangkat
kebutuhan makhluk kepada Allah, dan Allah hanya akan memberi hadiah dan rezeki
dengan perantaraan mereka itu. Sehingga manusia meminta kepada mereka (perantara
itu), lalu perantara itu meminta kepada Allah sebagaimana halnya perantara di
hadapan raja yang akan memintakan kebutuhan manusia karena kedekatan mereka,
dan manusia meminta kepada mereka sebagai adab mereka (tidak langsung) meminta
kepada raja atau menganggap bahwa permintaan mereka kepada perantara lebih
bermanfaat daripada permintaan kepada raja (secara langsung) karena mereka
dekat dengan raja daripada orang yang meminta kebutuhan; barang siapa yang
menetapkan mereka sebagai perantara seperti ini, maka sesungguhnya ia telah
kafir lagi musyrik, wajib dimintai tobatnya. Jika mau (maka dibiarkan), namun
jika tidak, maka dibunuh. Mereka telah menyerupakan Allah; menyerupakan makhluk
dengan Al Khaliq dan mengadakan tandingan bagi Allah.” (Majmu’ Fatawa 1/126).
Wallahu a’lam,
wa shallallahu ‘alaa Muhamad wa sallam.
Marwan bin Musa
0 komentar:
Posting Komentar