بسم الله الرحمن الرحيم
Aqidah Islam (24)
Tentang Jamaah dan
Imamah
61- الجماعة:
في هذا الباب هم أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم والتابعون لهم بإحسان، المتمسكون
بآثارهم إلى يوم القيامة، وهم الفرقة الناجية . وكل من التزم بمنهجهم فهو من
الجماعة، وإن أخطأ في بعض الجزئيات .
62- لا يجوز التفرق في الدين: ولا
الفتنة بين المسلمين، ويجب رد ما اختلف به المسلمون إلى كتاب الله، وسنة رسوله صلى
الله عليه وسلم، وما كان عليه السلف الصالح.
63- من خرج عن الجماعة وجب نصحه،
ودعوته، ومجادلته بالتي هي أحسن، وإقامة الحجة عليه، فإن تاب وإلا عوقب بما يستحق
شرعاً .
64- إنما يجب حمل الناس على الجمل
الثابتة بالكتاب والسنة، والإجماع، ولا يجوز امتحان عامة المسلمين بالأمور
الدقيقة، والمعاني العميقة .
65- الأصل في جميع المسلمين سلامة القصد والمعتقد، حتى يظهر خلاف
ذلك، والأصل حمل كلامهم على المحمل الحسن، ومن ظهر عناده وسوء قصده فلا يجوز تكلف
التأويلات له.
66- فرق أهل القبلة الخارجة عن السنة متوعدون بالهلاك والنار، وحكمهم
حكم عامة أهل الوعيد، إلا من كان منهم كافراً في الباطن، أو كان خلافه في أصول
العقيدة التي أجمع عليها السلف . والفرق الخارجة عن الإسلام كفار في الجملة،
وحكمهم حكم المرتدين.
67- الجمعة والجماعة من أعظم شعائر الإسلام الظاهرة، والصلاة خلف
مستور الحال من المسلمين صحيحة، وتركها بدعوى جهالة حالة بدعة .
68- لا تجوز الصلاة خلف من يظهر البدعة، أو الفجور من المسلمين مع
إمكانها خلف غيره، وإن وقعت صحت، ويأثم فاعلها إلا إذا قصد دفع مفسدة أعظم، فإن لم
يوجد إلا مثله أو شر منه جازت خلفه، ولا يجوز تركها . ومن حُكم بكفره فلا تصح
الصلاة خلفه .
69- الإمامة الكبرى تثبت بإجماع الأمة، أو بيعة ذوي الحل والعقد
منهم، ومن تغلب حتى اجتمعت عليه الكلمة وجبت طاعته بالمعروف، ومناصحته، وحرم
الخروج عليه إلا إذا ظهر منه كفر بواح فيه من الله برهان .
61. Jamaah
dalam masalah ini, yaitu para sahabat Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dan berpegang teguh dengan jejak
mereka sampai hari kiamat. Merekalah yang dimaksud dengan Al Firqah An Najiyah
(golongan yang selamat). Orang yang senantiasa menerapkan manhaj mereka, maka
dia termasuk dalam jamaah, sekali pun melakukan kesalahan dalam sebagian
masalah kecil.
62.
Tidak boleh berselisih dalam agama, juga tidak boleh memfitnah (menguji) sesama
kaum muslimin. Segala masalah yang mengandung perbedaan pendapat di antara umat
Islam wajib dikembalikan kepada Kitabullah, sunnah Rasulullah dan kesepakatan
para Salafush Shalih.
63.
Orang yang keluar dari jamaah wajib diberi nasehat. Kita wajib menyampaikan
dakwah kepadanya. Dia harus diajak berdiskusi dengan cara yang baik dan
menjelaskan hujjah (dalil, bukti, argumentasi) kepadanya. Apabila dia tidak mau
bertobat, maka dia diberi hukuman yang layak sesuai dengan syara'.
64.
Wajib membawa umat Islam kepada ungkapan dan kalimat yang tersebut di dalam Al
Qur'an, sunnah dan ijma'. Kita tidak boleh menguji orang-orang awam dari kaum
muslimin dengan perkara-perkara yang pelik dan pengertian-pengertian yang
mendalam.
65.
Pada dasarnya seluruh kaum muslimin mempunyai tujuan dan keyakinan yang baik,
kecuali jika tampak sesuatu yang bertentangan dengan hal tersebut. Pada dasarnya
ucapan mereka pun harus dipahami dengan pemahaman yang baik, tetapi barang siapa
yang menampakkan kedurhakaan dan tujuan jahatnya maka tidak boleh dicari
penafsiran yang dibuat-buat terhadap dirinya.
66.
Golongan-golongan lain dari Ahlul Qiblat (kaum muslimin) yang menyimpang dari
Sunnah berhak mendapatkan ancaman siksaan dan neraka. Hukum mereka adalah
sebagaimana hukum orang-orang yang berhak mendapatkan ancaman pada umumnya,
kecuali mereka yang kafir dalam batinnya atau menyelisihi dasar-dasar ‘aqidah
yang telah disepakati kaum salaf. Golongan-golongan yang keluar dari agama
Islam secara mutlak adalah kafir, dan hukum bagi mereka adalah hukum bagi
orang-orang yang murtad.
67.
Shalat Jum'at dan jamaah termasuk syi'ar Islam terpenting yang tampak dan
shalat bermakmum kepada seorang muslim yang tidak diketahui hal-ikhwalnya
adalah sah, sedangkan tidak bermakmum kepadanya dengan dalih tidak mengetahui
hal-ikhwalnya adalah bid'ah.
68.
Tidak boleh shalat bermakmum kepada orang yang menampakkan bid'ah atau
kefasikan, selama bisa bermakmum kepada yang lain. Akan tetapi jika hal itu
terjadi, maka shalatnya sah dan berdosa orang yang melakukannya, kecuali jika tujuannya
adalah untuk menghindari mafsadah (bahaya) yang lebih besar. Andaikan tidak ada
orang lain kecuali dia atau ada yang lebih jahat lagi, maka boleh shalat
bermakmum kepadanya dan kita tidak boleh meninggalkannya. Barang siapa yang
dihukumi sebagai kafir maka tidak sah bermakmum kepadanya.
69.
Imamah Kubra (pengangkatan khalifah atau pemimpin) terjadi dengan kesepakan
umat atau bai'at[i]
dari wakil-wakil umat yang disebut ahlu al halli wal 'aqd[ii]. Barang siapa yang
memperoleh kemenangan sehingga terjadilah kesepakatan terhadap dirinya, maka
dia wajib ditaati dengan baik, wajib dibela dan kita tidak boleh keluar dari
kepemimpinannya, kecuali jika dia secara terang-terangan menampakkan kekafiran
dan dapat terbukti dari nash yang jelas dari Allah Ta'ala.
Syarh/Keterangan:
No. 61: Jika
seorang bertanya siapakah Ahlussunnah wal Jamaa’ah, maka jawabannya adalah apa
yang disebutkan di nomor 61 di atas, lihat dalilnya di surat At Taubah: 100.
Mereka disebut Ahlussunnah karena menisbatkan diri kepada sunnah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam, dan disebut jamaah karena berkumpul di atas kebenaran yang
tetap berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah, dimana mereka ini adalah para sahabat
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik meskipun jumlah mereka
sedikit sebagaimana yang dikatakan Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ”Jamaah
itu adalah yang sesuai dengan kebenaran meskipun engkau sendiri, maka
sesungguhnya engkau termasuk jamaah ketika itu.”
Imam Syathibi dalam Al I’tisham
berkata, ”Sesungguhnya jamaah adalah apa yang ditempuh oleh Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik.”
Semoga Allah Subhaanahu wa
Ta'aala menjadikan kita sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, Allahumma aamiin.
Faedah:
Nama lain Ahlussunnah wal Jama’ah
adalah Ahlussunnah, Ahlul jamaa’ah, Al Jamaa’ah, As Salafush Shalih, Ahlul
Atsar, Ahlul Hadits, Al Firqatun Najiyah, Ath Thaa’ifatul Manshuurah dan Ahlul
Ittiba’.
No. 62: Dalil tidak
boleh berpecah belah ada di surat Ali Imran: 103, sedangkan dalil yang
memerintahkan mengembalikan perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunnah, serta
kepada para ulama ada di surat An Nisaa’: 59 dan 83.
Adapun larangan menguji kaum
muslimin dengan perkara-perkara rumit adalah berdasarkan perkataan Ali radhiyallahu
'anhu,
“Berbicaralah dengan manusia sesuai yang mereka pahami. Sukakah kamu jika
Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (Diriwayatkan oleh Bukhari). Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu juga berkata, “Engkau
tidaklah menyampaikan suatu hadits kepada kaum yang tidak dicapai oleh akal
mereka kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” (Diriwayatkan
oleh Muslim).
No. 63: Berdasarkan prinsip ini, jika imam mendapatkan di
antara rakyatnya ada yang hendak keluar atau memberontak dari kepemimpinannya,
maka hendaknya imam melakukan surat-menyurat atau berkomunikasi dengan kelompok
yang hendak memberontak itu, menyingkirkan syubhat yang menimpa mereka dan
menegakkan hujjah kepada mereka dengan menyebutkan dalilnya. Jika mereka mau
kembali kepada kebenaran, maka diterima dan jika tidak mau maka mereka
diperangi (lihat surat
Al Hujurat: 9) jika imam tidak sanggup menerangkan hujjah, maka ia bisa meminta
ulama untuk menjelaskannya.
No. 64: Untuk penjelasan no. 64 ini sebagiannya sudah
diterangkan di no. 62, sebagai tambahan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Bahwa yang wajib adalah menjadikan firman Allah dan sabda Rasul-Nya sebagai
asal dan mentadabburi maknanya, memahami dan mengetahui bukti dan dalilnya,
baik (dalil) ‘aqli maupun sam’i (naqli) serta mengetahui dilalah Al Qur’an
terhadap ini dan itu, dan menjadikan ucapan manusia yang terkadang sesuai dengannya
dan terkadang tidak sebagai sesuatu yang mutasyabihat (samar) yang masih
mujmal, sehingga dikatakan kepada orang-orang yang menggunakan lafaz-lafaz
tertentu, mungkin maksudnya ini dan itu dan maksudnya ini dan itu, jika maksud
mereka sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
diterima, dan jika maksud mereka menyelisihinya, maka ditolak. Contohnya adalah
lafaz murakkab, jism, mutahayyiz, jauhar, jihat, ‘ardh dan semisalnya.” (Majmu’
Fatawa di juz 3, pasal Ahludhdhalal alladziina farraquu diinahum)
No. 66: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan tidak
semua yang menyelisihi sesuatu dari akidah (Ahlussunnah wal Jamaaah) ini mesti
binasa (masuk neraka), karena yang menyelisihinya bisa saja berijtihad namun
salah yang Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengampuni kekeliruannya, bisa juga
tidak sampai ilmu kepadanya sehingga hujjah tegak atasnya, dan bisa juga ia
mempunyai kebaikan yang dengannya Allah hapuskan kesalahannya…dst.” (Majmu’
Fatawa juz 1, dari Maktabah Syamilah).
No. 69: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya As
Siyaasah Asy Syar'iyyah, “Wajib diketahui, bahwa memimpin urusan manusia
termasuk kewajiban agama yang besar, bahkan agama tidak dapat tegak kecuali
dengannya. Hal itu, karena anak cucu Adam (manusia) tidak akan sempurna
maslahatnya kecuali jika bersatu-padu karena butuhnya antara yang satu dengan
yang lain, dan ketika mereka berkumpul, maka harus ada pemimpinnya,
sampai-sampai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي
سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
"Apabila
tiga orang keluar untuk safar, maka hendaknya mereka mengangkat salah seorang
dari mereka sebagai pemimpin." (HR. Abu Dawud dari Abu Sa'id Al Khudriy,
dan dinyatakan "Hasan shahih" oleh Syaikh Al Albani).
Oleh karena itu, para sahabat segera memilih Abu Bakar
radhiyallahu 'anhu untuk menjadi khalifah pengganti Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. Dengan demikian, pengangkatan imam hukumnya wajib, yang
telah jelas kewajibannya berdasarkan syara' dan ijma' para sahabat radhiyallahu
'anhum sebagaimana yang dikatakan Ibnu Khaldun.
Wallahu a’lam, wa shallallahu
’alaa Muhammad wa ’alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Mujmal Ushul Ahlissunnah
(Dr. Nashir Al ’Aql), Syarah ’Aqidah Wasithiyyah (Syaikh Shalih Al Fauzan), Kitab
Tauhid (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), Mukhtashar ’Aqidati Ahlis Sunnah wal
Jama’ah (Syaikh M. Bin Ibrahim Al Hamd) dll.
[i] Faedah:
Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya sebagai berikut:
“ Kita sering mendengar jama'ah-jama'ah kecil mengadakan bai'at kepada
imam yang mereka tunjuk, masing-masing jama'ah memiliki imam, sehingga terjadi
banyak bai'at, lantas apakah yang demikian dibenarkan? »
Syaikh
Shalih Al Fauzan berkata, "Bai'at hanya boleh diberikan kepada penguasa
(pemerintah) kaum muslimin. Bai'at-bai'at yang berbilang-bilang dan bid'ah itu
merupakan akibat perpecahan. Setiap kaum muslimin yang berada dalam satu
pemerintahan dan satu kekuasaan wajib memberikan satu bai'at kepada satu orang
pemimpin. Tidak dibenarkan memunculkan bai'at-bai'at yang lain. Bai'at-bai'at
tersebut merupakan hasil perpecahan kaum muslimin pada zaman ini dan akibat
kejahilan terhadap agama.”
[ii] Ahlu al hal
wal 'aqd adalah dewan yang mewakili kaum muslimin yang berhak mengeluarkan
keputusan, tentunya keputusan yang tidak menyimpang dari Al-Qur'an dan Sunnah.
0 komentar:
Posting Komentar