بسم
الله الرحمن الرحيم
Pengantar Ilmu Balaghah (3)
Mengenal Tingginya Sastra Al Qur’an
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin,
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan
pengantar ilmu Balaghah agar kita mengetahui tingginya sastra Al Qur’an, semoga
Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
ILMU MA’ANI
Dzikr dan Hadzf
Jika seseorang perlu menerangkan lebih lanjut
untuk memberikan faedah kepada pendengar, maka sebaiknya disebutkan. Inilah
yang disebut Dzikr.
Tetapi jika pada suatu lafaz sudah diketahui
menunjukkan faedah lainnya, maka sebaiknya tidak perlu disebutkan tambahan
penjelasan. Inilah yang disebut Hadzf.
Jika dzikr dan hadzf sama-sama kuat, maka
tidak dikuatkan salah satunya kecuali ada beberapa faktor.
Contoh disebutkan lebih lanjut adalah firman
Allah Ta’ala,
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk
dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Al Baqarah: 5)
Disebutkan lebih lanjut ini karena faktor
untuk menguatkan dan memperjelas.
Taqdim dan Ta’khir (Mendahulukan dan
Mengakhirkan)
Pada dasarnya tidak ada suatu kata itu lebih
utama didahulukan dari pada yang lain, karena semua kata itu sama-sama penting
atau diperlukan. Oleh karena itu, saat ada yang didahulukan, maka karena ada
faktor tertentu, seperti untuk pengkhususan. Misalnya ayat,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya
kepada Engkau kami menyembah, dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan.”
(Qs. Al Fatihah: 5)
Di ayat ini maf’ul (obyek) didahulukan.
Qashr
Qashr maksudnya pembatasan, atau menunjukkan
tidak yang lain. Biasanya menggunakan huruf nafy (tidak) ditambah istitsna
(pengecualian). Contoh:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ
“Dan
Muhammad itu hanyalah seorang rasul.” (Qs. Ali Imran: 144)
Bisa juga dengan menggunakan huruf “إِنَّمَا
” atau athaf dengan huruf “ لاَ
“, “
بَلْ
“, dan “
لَكِنْ
“ Contoh:
أَنَا
نَاظِمٌ لاَ نَاثِرٌ
Saya
seorang pengarang prosa bukan pengarang puisi.
مَا
أَنَا حَاسِبٌ بَلْ كَاتِبٌ
Saya seorang penghitung, bukan penulis.
Qashr juga bisa dengan mendahulukan kata yang
seharusnya diakhirkan, seperti pada ayat,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya
kepada Engkau kami menyembah, dan hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan.”
(Qs. Al Fatihah: 5)
Washl dan Fashl
Washl maksudnya
menghubungkan suatu kalimat dengan kalimat lain, terutama menggunakan huruf
‘athaf wau. Sedangkan Fashl artinya tidak menghubungkan
(dengan huruf wau).
Washl wajib pada dua tempat:
1. Jika dua kalimat sama-sama khabar atau
insya, dan ada segi persamaan atau persesuaian dalam pengertian, serta tidak
ada penghalang untuk ‘athaf. Contoh:
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ (13) وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ
(14)
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak
berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan,--Dan
sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” (Qs. Al Infithar: 13-14)
فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلًا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا
“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan
menangis banyak,” (Qs. At Taubah: 82)
2. Jika tidak athaf dapat menimbulkan
perbedaan dengan yang dimaksudkan.
Contoh: ketika seseorang ditanya, “Apakah Ali
sudah sembuh?” Jawab:
لاَ وَشَفَاهُ اللهُ
“Belum, semoga Allah menyembuhkannya.”
Jika huruf wau dibuang, maka dapat mengandung
arti doa agar tidak sembuh, namun ketika ditambahkan huruf wau mengandung arti
doa agar disembuhkan Allah.
Adapun fashl, maka diberlakukan
karena kedua kalimat sebagai satu kesatuan dengan kalimat pertama, dimana
kalimat kedua sebagai badal (pengganti), penjelas, atau penguat, dsb. Contoh:
وَاتَّقُوا الَّذِي أَمَدَّكُمْ بِمَا تَعْلَمُونَ (132) أَمَدَّكُمْ بِأَنْعَامٍ
وَبَنِينَ (133)
“Dan bertakwalah kepada Allah yang telah
menganugerahkan kepadamu apa yang kamu ketahui.--Dia telah menganugerahkan
kepadamu binatang-binatang ternak, dan anak-anak,” (Qs. Asy Syu’ara: 132-133)
فَمَهِّلِ الْكَافِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا
“Karena itu beri tangguhlah orang-orang kafir
itu, yaitu beri tangguhlah mereka itu barang sebentar.” (Qs. Ath Thariq: 17)
Atau karena kalimat kedua menjadi jawaban
terhadap pertanyaan yang timbul dari kalimat pertama. Contoh pada ayat,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Qs. Yusuf: 53)
Atau agar tidak dimasukkan dua kalimat dalam
satu hukum (pernyataan) karena adanya penghalang. Contoh ayat:
وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ
مُسْتَهْزِئُونَ (14) اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ
“Dan apabila mereka kembali kepada
setan-setan mereka, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami sependirian
dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok."--Allah akan (membalas)
olok-olokan mereka.” (Qs. Al Baqarah: 14-15)
Kalimat “
اللَّهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ ” tidak boleh di’athafkan dengan kalimat
sebelumnya karena dapat menimbulkan kesan, bahwa kalimat itu termasuk kalimat
mereka.
Musawah, Ijaz, dan Ithnab
Setiap yang terlintas di hati, bisa
diungkapkan dengan tiga cara: musawah, ijaz, dan ithnab,
Musawah,
yakni dengan ungkapan yang sedang, tidak terlalu ringkas dan tidak terlalu
panjang sesuai keadaan mukhathab (pendengar) dan situasi pembicaraannya. Contoh
ayat:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang
memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka.” (Qs. Al An’aam: 68)
وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ
“Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan
bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah.” (Qs. Al Baqarah: 110)
Ijaz, yaitu
menyatakan maksud dengan ungkapan yang sangat ringkas, tetapi memenuhi
maksudnya. Contoh firman Allah Ta’ala,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ
“Dan dalam Qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu,” (Qs. Al
Baqarah: 179)
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
“Ingatlah! Menciptakan dan memerintah adalah
hak Allah.” (Qs. Al A’raaf: 54)
Contoh lainnya sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam,
إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Sesungguhnya amal tergantung niat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Jika tidak terpenuhi maksudnya, maka disebut ikhlal.
Ithnab, yaitu
menyatakan maksud dengan ungkapan yang panjang dengan adanya faedah. Contoh
ayat,
رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا
"Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah
lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban,”
(Qs. Maryam: 4)
Ithnab bisa dengan menyebutkan yang umum
setelah khusus, seperti pada ayat:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku,
orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman
laki-laki dan perempuan.” (Qs. Nuh: 28)
Bisa juga dengan menambahkan dorongan untuk
mau memaafkan, seperti pada firman Allah Ta’ala,
إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ
تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka),
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. At Taghabun: 14)
Ithnab bisa juga berupa menguatkan
peringatan, seperti firman Allah Ta’ala,
كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4)
“Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui
(akibat perbuatanmu itu),--Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.” (Qs. At Takatsur: 3-4)
Ithnab juga bisa berupa i’tiradh, yaitu
adanya lafaz di tengah kalimat karena suatu tujuan, seperti pada ayat,
وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَا يَشْتَهُونَ
“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak
perempuan --Maha suci Allah--, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan)
apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).” (Qs. An Nahl: 57)
Bisa juga ithnab berupa tadzyiil, yakni
menambahkan kalimat dengan kalimat lain setelahnya sebagai penguatan. Contoh
firman Allah Ta’ala,
ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِمَا كَفَرُوا وَهَلْ نُجَازِي إِلَّا الْكَفُورَ
“Demikianlah Kami memberi balasan kepada
mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian
itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Qs. Saba’: 17)
Demikian juga ithnab bisa berupa ihtiras
(penjagaan), yaitu tambahan kalimat agar tidak menimbulkan kesalahpahaman,
contoh firman Allah Ta’ala,
اسْلُكْ يَدَكَ فِي جَيْبِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ
“Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu,
niscaya ia keluar putih tidak bercacat bukan karena penyakit.” (Qs. Al Qashas: 32)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Maktabah Syamilah versi 3.45, Qawa’idul
Lughatil Arabiyyah (Hifni Bek Dayyab, dkk.), Hidayatul
Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), https://www.alukah.net/sharia/0/103195/
, https://mawdoo3.com/الأساليب_البلاغية_في_اللغة_العربية#. , http://www.3refe.com/vb/showthread.php?t=225470 , http://kertugas.blogspot.com/2018/01/majaz-aqli-dalam-ilmu-balagah-kata.html, l.
Dll.
0 komentar:
Posting Komentar