بسم
الله الرحمن الرحيم
Mengenal Kemukjizatan Al Qur’an (1)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin,
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan
singkat tentang kemukjizatan Al Qur’an, semoga Allah menjadikan penyusunan
risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
Kemujizatan Al Qur’an dari sisi bahasa
Al Qur’an merupakan mukjizat yang kekal,
sebaik-baik perkataan, dan memiliki kefasihan pada tingkatan tertinggi, karena
memang turun dari sisi Allah yang Mahabijaksana.
Jika kita perhatikan ayat-ayat Al Qur’an,
maka seluruhnya bersih dari tanafurul huruf (huruf yang sulit diucapkan) dan
tanafurul kalimat (kata yang sulit diucapkan), tidak menyalahi kaidah tata
bahasa, dan tidak terdapat kata-kata yang asing.
Para ulama menjelaskan, bahwa Allah Ta’ala
mengutus setiap nabi dengan membawa mukjizat yang sesuai dengan kondisi zaman
itu. Di zaman Nabi Musa sihir merebak di mana-mana, dan para tukang sihir
dimuliakan, maka Allah Ta’ala mengutus Nabi Musa ‘alaihis salaam dengan
mukjizat yang membuat mata terbelalak dan membuat heran para tukang sihir, para
tukang sihir akhirnya yakin bahwa hal itu dari sisi Allah, mereka pun masuk
Islam dan menjadi orang-orang saleh. Di zaman Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam ilmu
pengobatan tersebar di mana-mana, maka Allah Ta’ala mengutus Nabi ‘Isa ’alaihis
salaam dengan mukjizat yang tidak bisa ditandingi oleh para dokter. Bagaimana
mungkin dokter mampu menghidupkan benda mati, mengobati orang yang buta sejak
lahir dan yang terkena penyakit sopak. Demikian juga Nabi kita Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah mengutusnya di zaman para fushaha’ (pandai
bahasa) dan para syu’araa (ahli syair). Allah Ta’ala memberikan kepada Beliau
kitab yang tidak bisa ditandingi oleh siapa pun meskipun jin dan manusia
berkumpul untuk membuatnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/45)
Abu Isa Ar Rummani berkata, “Adapun balaghah
(sastra), maka ada tiga tingkatan. Ada yang paling tinggi, ada yang sedang, dan
ada yang di bawahnya. Yang paling tinggi itulah yang menjadi mukjizat, yaitu
balaghahnya Al Qur’an, sedangkan yang berada di bawahnya seperti balaghah para
sastrawan. Namun balaghah itu bukan hanya memahamkan makna, karena terkadang
dapat difahami juga perkataan dua orang yang berbicara, dimana yang satu fasih,
sedangkan yang satu tidak. Demikian juga balaghah bukan hanya mewujudkan lafaz
yang sesuai makna, karena terkadang lafaz sudah sesuai dengan maknanya namun
jelek dan tidak disukai, membuat jauh dan terlalu menyusahkan diri. Bahkan
balaghah adalah menyampaikan makna ke hati dengan tampilan lafaz yang paling
indah. Dengan demikian, tingkatan tertinggi balaghah adalah pada Al
Qur’an.”
Imam Baihaqi meriwayatkan dalam Dalailun
Nubuwwah dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Al Walid bin Mughirah
pernah datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu Beliau membacakan
Al Qur’an kepadanya hingga hatinya tersentuh. Berita ini pun sampai ke telinga
Abu Jahal sehingga membuatnya mendatangi Al Walid dan berkata, “Wahai paman!
Kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu.” Al Walid berkata, “Untuk apa?” Ia
menjawab, “Untuk memberikannya kepadamu. Karena engkau telah mendatangi
Muhammad untuk menentangnya.” Al Walid berkata, “Kaum Quraisy tahu, bahwa aku
adalah orang yang paling kaya hartanya.” Abu Jahal berkata, “Katakanlah tentang
Muhammad perkataan yang sampai kepada kaummu bahwa engkau mengingkarinya atau
membencinya.” Al Walid berkata, “Apa yang perlu aku ucapkan terhadapnya? Demi
Allah, tidak ada di antara kalian yang lebih tahu tentang syair daripada diriku, paling tahu tentang syair
rajaz dan qasidahnya dibanding aku, serta tidak ada yang lebih tahu tentang
syair jin daripada aku. Demi Allah, yang diucapkannya tidak mirip hal itu. Demi
Allah, yang diucapkannya itu manis, dihias keindahan, di atasnya berbuah,
bagian bawahnya subur, tinggi dan tidak terkalahkan, serta menghantam yang
berada di bawahnya.” (Hr. Baihaqi)
Contoh Fasihnya Al Qur’an
Firman Allah Ta’ala,
قِيلَ يَا نُوحُ اهْبِطْ بِسَلَامٍ مِنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَمٍ
مِمَّنْ مَعَكَ وَأُمَمٌ سَنُمَتِّعُهُمْ ثُمَّ يَمَسُّهُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Difirmankan, "Wahai Nuh! Turunlah
dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat
(yang mukmin) yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri
kesenangan kepada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa
azab yang pedih dari kami." (Qs. Hud:
48)
Dalam ayat ini diulang huruf mim sampai 16
kali, namun para pembaca Al Qur’an tidak merasakan kesulitan dalam membacanya,
dan tidak terasa berat saat disimak.
Contoh lainnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا
فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ
قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra
Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan
korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak
diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata, "Aku pasti
membunuhmu!" Habil menjawab, "Sesungguhnya Allah hanya menerima
(korban) dari orang-orang yang bertakwa.”
(Qs. Al Maidah: 27)
Dalam ayat ini huruf qaaf diulang sebanyak 10
kali, namun para pembaca Al Qur’an merasakan ringan diucapkan padahal sifatnya
syiddah (tertahan suara), qalqalah (memantul), jahr (tertahan nafas), dan
isti’al (naiknya bagian belakang lisan sehingga menjadi tebal).
Benarlah firman Allah Ta’ala,
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan
Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Qs. Al Qamar: 17)
Al Ashmu’i menceritakan, bahwa ia mendengar
ucapan seorang budak wanita, lalu ia berkata kepadanya, “Alangkah fasih
perkataanmu!” Budak itu berkata, “Apakah ini masih dianggap fasih di hadapan
firman Allah Ta’ala,
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ
فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ
مِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa,
"Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia
ke sungai (Nil). Janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati,
karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya
(salah seorang) dari para rasul.” (Qs. Al
Qashas: 17)
Dalam ayat ini Allah Ta’ala menggabungkan
antara dua perintah, dua larangan, dua berita, dan dua kabar gembira.
Contoh lainnya adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(30) أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ (31)
“Sesungguhnya surat itu dari SuIaiman, dan
sesungguhnya (isi)nya, "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang.--Bahwa janganlah kamu berlaku sombong terhadapku dan datanglah
kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri." (Qs. An Naml: 30-31)
Dalam ayat ini terdapat tiga perkara, dari
siapa surat itu, isinya apa, dan kebutuhannya apa?
Keindahan lafaz-lafaz Al Qur’an
Lafaz-lafaz Al Qur’an dipenuhi hiasan lafaz,
di antaranya:
a. Jinas, yaitu dua lafaz yang
sama, namun berbeda dalam makna (arti). Jinas ini ada dua macam:
Pertama,
Jinas Tam, yaitu samanya lafaz namun berbeda makna. Contoh firman Allah Ta’ala,
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ
كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ
“Dan pada hari terjadinya kiamat,
bersumpahlah orang-orang yang berdosa; "Mereka tidak berdiam (dalam kubur)
melainkan sesaat (saja)." Seperti itulah mereka selalu dipalingkan (dari
kebenaran).” (Qs. Ar Ruum: 55)
Lafaz “
السَّاعَة ” yang pertama maksudnya Kiamat, sedangkan
yang kedua maksudnya waktu yang sebentar.
Kedua, Jinas
Naqish yaitu adanya kesamaan namun tidak seluruhnya. Contoh firman Allah
Ta’ala,
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ (9) وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
(10)
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah
kamu berlaku sewenang-wenang.--Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah
kamu menghardiknya.” (Qs. Adh Dhuha: 9-10)
Lafaz “
تَقْهَرْ ” dan “
تَنْهَرْ ” ada kesamaan namun tidak seluruhnya.
b. Saja’, yaitu persesuaian
dua fashilah (pemisah) dalam natsar (prosa; bukan syair) pada
huruf akhirnya.
Ibnul Qayyim berkata, “Saja’ atau tidak
merupakan dua uslub yang dipakai oleh lisan para ahli sastra bangsa Arab dan
para oratornya, mereka menyebutkannya tanpa susah payah dan tanpa serampangan.
Dalam Al Qur’an ada ayat yang kosong dari saja’ dan ada ayat yang banyak
dipenuhi saja’, bahkan sebagian surat dari awal ayat hingga akhirnya dipenuhi
saja’ seperti ayat iqtarabatis saa’ah (surah Al Qamar), surah Adh Dhuha, dan Al
kautsar, maka fahamilah.”
Akan tetapi saja’ yang disebutkan Al Qur’an
tidak seperti saja para peramal atau lainnya, bahkan sebagai saja’ yang
mengandung mukjizat yang mengalahkan para sastrawan. Oleh karena itu, Al Qur’an
merupakan asas dimana kaidah-kaidah dalam ilmu Balaghah kembali kepadanya.
Contoh betapa tingginya sastra Al Qur’an
adalah firman Allah Ta’ala,
أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى (21) تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى (22)
“Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki
dan untuk Allah (anak) perempuan?--Yang demikian itu tentulah suatu pembagian
yang tidak adil.” (Qs. An Najm: 21-22)
Disebutkan, bahwa Amr bin Ash pernah menjadi
delegasi untuk menemui Musailamah Al Kadzdzab sang nabi palsu. Ketika bertemu,
Musailamah berkata kepada Amr bin Ash, “Surat apa yang diturunkan kepada
kawanmu pada masa ini?”
Amr bin Ash berkata, “Sungguh telah
diturunkan kepadanya surat yang singkat namun dalam maknanya.”
“Apa itu?” Tanya Musailamah.
Amr membacakan ayat,
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
Demi masa.--Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian,--Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati agar menaati kebenaran dan nasehat menasehati
agar menetapi kesabaran.” (Qs. Al ‘Ashr: 1-3)
Lalu Musailamah berfikir sejenak kemudian
berkata, “Demikian juga telah diturunkan kepadaku surat semisalnya.”
Amr berkata, “Surat apa itu?”
Ia menjawab, “Yaitu:
يَا وَبْرُ يَا وَبْرُ، إِنَّمَا أَنْتَ أُذُنَانِ وَصَدْرٌ، وَسَائِرُكَ
حَفْزُ نَقْزٍ
Wahai marmut! Wahai marmut! Engkau adalah
binatang yang memiliki dua telinga dan dada yang besar. Selebihnya badanmu
kecil dan jelek.
Musailamah berkata, “Bagaimana menurutmu
wahai Amr?”
Amr menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya
engkau tahu bahwa diriku menyaksikan bahwa engkau adalah pendusta.” (Lihat Tafsir
Ibnu Katsir 4/683) [i]
Kemujizatan Al Qur’an dari sisi berita
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الم (1) غُلِبَتِ الرُّومُ (2) فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ
سَيَغْلِبُونَ (3) فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ
وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4) بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ
وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (5)
“Alif laam Miim--Telah dikalahkan bangsa
Romawi[1],--Di negeri yang terdekat[2] dan mereka setelah dikalahkan itu akan
menang[3]--Dalam beberapa tahun lagi[4]. Milik Allah-lah urusan sebelum dan setelah
(mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah
orang-orang yang beriman,--Karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang
dikehendaki-Nya. Dia Maha Perkasa lagi Penyayang.” (Qs. Ar Ruum: 1-5)
[1] Maksudnya: Romawi Timur yang berpusat di
Konstantinopel.
[2] Maksudnya: terdekat ke negeri Arab yaitu
Syria dan Palestina sewaktu menjadi jajahan kerajaan Romawi Timur.
[3] Bangsa Romawi adalah satu bangsa yang
beragama Nasrani yang mempunyai kitab suci sedang bangsa Persia beragama
Majusi, menyembah api dan berhala (musyrik). Kedua bangsa itu saling perang
memerangi. Ketika tersiar berita kekalahan bangsa Romawi oleh bangsa Persia,
maka kaum musyrik Mekah menyambutnya dengan gembira karena berpihak kepada
orang musyrikin Persia. Sedangkan kaum muslimin berduka cita karenanya.
Kemudian turunlah ayat ini dan ayat yang berikutnya menerangkan bahwa bangsa
Romawi setelah kalah itu akan mendapat kemenangan dalam masa beberapa tahun
saja. Hal itu benar-benar terjadi. Beberapa tahun setelah itu menanglah bangsa
Romawi dan kalahlah bangsa Persia. Dengan kejadian yang demikian nyatalah
kebenaran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai Nabi dan Rasul dan
kebenaran Al Quran sebagai firman Allah.
[4] Waktu antara kekalahan bangsa Romawi
(tahun 614-615) dengan kemenangannya (tahun 622 M.) bangsa Romawi kira-kira
tujuh tahun.
2. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (Qs. Al Hijr: 9)
Al Qur’anul
Karim sejak diturunkan dari sisi Allah belasan abad yang lalu tidak mengalami
perubahan karena dijaga kemurniannya oleh Allah Azza wa Jalla.
Di antara bukti
penjagaan Allah terhadap Al Qur’an adalah dengan dihapal dan dituliskan Al
Qur’an sejak zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam (ketika Al Qur’an masih
turun), dibukukan di zaman Abu Bakar radhiyallahu anhu, diriwayatkan secara
mutawatir (jumlah yang banyak dari setiap generasi ke generasi dan dari zaman
ke zaman) baik maktub (tulisannya) maupun manthuq (pembacaannya),
dihafal oleh kaum muslimin dalam jumlah yang sangat banyak sejak zaman Nabi
shallallahu alaihi wa sallam sampai sekarang, tetap disebutkan teks asli Al
Qur’an berbahasa Arab ketika diterjemehkan ke dalam bahasa lain, adanya tim
tashih di berbagai negara yang mengecek kemurnian Al Qur’an ketika Al Qur’an
hendak dicetak untuk diperbanyak, dan dibuatnya software dan aplikasi yang
memuat Al Qur’an 30 juz baik tulisan maupun suara sesuai perkembangan zaman.
Imam Baihaqi (Dalaailun Nubuwwah 7/159,160)
meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Yahya bin Aktsam, ia berkata,
“Khalifah Al Ma’mun memiliki majlis penelitian, ketika itu masuk ke majlis
tersebut seorang Yahudi dengan pakaian yang indah dan memakai wewangian, lalu
ia berbicara dengan fasihnya. Saat
majlis itu selesai, maka Al Ma’mun memanggilnya dan bertanya, “Apakah engkau
orang Israel (Yahudi)?” Ia menjawab, “Ya.” Al Ma’mun berkata, “Masuk Islamlah,
agar aku berbuat sesuatu untukmu,” Al Ma’mun menjanjikan sesuatu untuknya. Ia
menjawab, “Aku akan tetap di atas agamaku dan agama nenek moyangku,” maka orang
itu pergi. Setelah berlalu setahun, maka ia datang kembali dalam keadaan telah
masuk Islam, lalu ia berbicara tentang fiqih dan berbicara dengan fasihnya.
Ketika majlis Al Ma’mun selesai, maka Al Ma’mun memanggilnya dan bertanya,
“Bukankah engkau kawan kami yang dulu?” Ia menjawab, “Ya.” “Lalu apa
yang menyebabkan kamu masuk Islam,” tanya Al Ma’mun. Ia menjawab, “Setelah aku
pergi dari tempatmu, aku menguji beberapa agama, dan aku sebagaimana yang
engkau lihat adalah orang yang pandai dalam menulis, maka aku coba mendatangi
Taurat dan menyalinnya. Aku salin tiga naskah, aku tambahkan dan aku kurangkan,
kemudian aku masukkan ke sinagog, lalu Tauratku terjual. Kemudian aku
mendatangi Injil dan menyalinnya. Aku salin tiga naskah, aku tambahkan dan aku
kurangkan, kemudian aku tawarkan ke gereja, lalu Injilku terjual. Kemudian aku
mendatangi Al Qur’an, lalu aku salin tiga naskah; aku tambahkan dan aku
kurangkan, kemudian aku tawarkan ke penjual buku, maka mereka menelitinya, dan
saat mereka menemukan adanya penambahan dan pengurangan, mereka pun membuangnya
dan tidak mau membeli. Dari sana aku pun tahu, bahwa kitab ini adalah kitab yang
terpelihara. Inilah sebab yang membuatku masuk Islam.”
Yahya bin Aktsam berkata, “Pada tahun itu aku naik haji
dan bertemu dengan Sufyan bin Uyaynah, lalu aku sampaikan kisah itu, maka ia
berkata, “Sesuai sekali dengan yang disebutkan dalam kitabullah (Al Qur’an),”
aku bertanya, “Di ayat berapa?” Ia menjawab, “Yaitu pada firman Allah Ta’ala
tentang Taurat dan Injil, “Disebabkan mereka diperintahkan memelihara
kitab-kitab Allah,” (QS. Al Maidah: 44); mereka mendapat amanah untuk
menjaganya, tetapi malah menyia-nyiakannya. Allah Azza wa Jalla juga berfirman,
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz Dzikr (Al Qur’an), dan Kamilah
yang menjaganya.” (QS. Al Hijr: 9); Allah menjaga Al Qur’an untuk
kita, sehingga tidak akan terlantar.”
Bersambung...
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina
Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan
bin Musa
Maraji’:
Maktabah Syamilah versi 3.45, Hidayatul
Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), Risalah Ilal Qalbi
(Wahid Abdussalam bali), https://ferkous.com/home/?q=rihab-4-13 ,
dll.
[i] Tentang
keshahihan kisah ini perlu ditinjau kembali, karena Amr bin Ash telah masuk
Islam lebih dulu sebelum Musailamah mengaku sebagai nabi, sedangkan Musailamah mengaku sebagai nabi pada tahun ke-10 H. Ketika
itu Amr bin Ash menjadi delegasi kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersama kaumnya pada tahun ke-10 H sebagaimana dalam As Sirah An Nabawiyyah
karya Ibnu Hisyam (3/74), sedangkan Amr bin Ash masuk Islam pada tahun ke-8 H
menurut pendapat yang shahih sebagaimana disebutkan dalam Al Ishabah
karya Al Hafizh Ibnu Hajar (2/3). Dalam Al
Ishabah (3/225) disebutkan, bahwa Amr bin Ash pernah diutus Rasulullah
shalallahu alaihi wa sallam ke Bahrain. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
wafat sedangkan Amr berada di sana, dan bahwa Amr pernah bertemu dengan
Musailamah, lalu Musailamah memberinya keamanan dan berkata kepadanya,
“Sesungguhnya Muhammad diutus untuk perkara besar, sedangkan aku diutus untuk
perkara ringan,” lalu disebutkan hal yang sama dengan kisah di atas. Al Hafizh
juga menyandarkan kisah ini kepada Ibnu Syahin dalam Ash Shahabah.
Dengan demikian, bahwa kisah tersebut terjadi setelah Amr bin Ash masuk Islam,
tidak sebelumnya, wallahu a’lam.(Lihat: https://ferkous.com/home/?q=rihab-4-13)
0 komentar:
Posting Komentar