بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (50)
Larangan
Mengucapkan As Salaamu ‘Alallah
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak merujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At
Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga
Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, aamin.
**********
Bab: Larangan Mengucapkan As
Salaamu ‘Alallah
Dalam kitab Shahih
dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu ia berkata, “Kami pernah shalat bersama
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu kami mengucapkan,
اَلسَّلاَمُ عَلَى اللهِ مِنْ عِبَادِهِ، اَلسَّلاَمُ عَلَى فُلاَنٍ، وَفُلاَنٍ
“Semoga keselamatan
untuk Allah dari hamba-hamba-Nya, dan semoga keselamatan untuk fulan dan
fulan,”
Maka Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُوْلُوا السَّلاَمُ عَلَى اللهِ؛ فَإِنَّ اللهَ هُوَ السَّلاَمُ
“Janganlah kamu katakan
‘semoga keselamatan untuk Allah’, karena Allah adalah Maha Pemberi
keselamatan.”
**********
Penjelasan:
Hadits Ibnu Mas’ud di atas diriwayatkan oleh Bukhari no. 835 dan Muslim no. 402.
Oleh karena salam kepada
seseorang mengandung arti meminta keselamatan untuknya dari berbagai bahaya dan
keburukan, dan tidak mungkin hal itu ditujukan kepada Allah Azza wa Jalla
karena Dia Mahakaya; tidak membutuhkan sesuatu apa pun dan Pemberi keselamatan,
kepada-Nya ditujukan doa; bukan didoakan, maka penulis (Syaikh Muhammad At
Tamimi) membuat bab ini untuk menerangkan akan kesucian Allah dari sikap butuh,
kekurangan, dan bahwa Dia berhak disifati dengan kekayaan dan kesempurnaan.
Dalam hadits di atas
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu menyebutkan, bahwa dahulu para sahabat
mengucapkan salam untuk Allah, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang
mereka terhadap hal itu dan menerangkan, bahwa ucapan itu tidak layak bagi
Allah Ta’ala, karena Dia adalah As Salam (Pemberi kesalamatan) dan dari-Nya
keselamatan, sehingga tidak pantas dimohonkan keselamatan untuk-Nya, bahkan
Dialah yang memberikan keselamatan kepada hamba-hamba-Nya dan menghindarkan
mereka dari mara bahaya dan bencana.
Kesimpulan:
1. Larangan
mengucapkan “As Salaamu ‘alallah”.
2. As salam adalah
salah satu nama Allah Ta’ala.
3. Pengajaran
kepada orang yang tidak tahu.
4. Hukum
digandengkan dengan illat(sebab)nya.
**********
Bab: Berdoa Dengan Ucapan ‘Ya
Allah, ampunilah aku jika Engkau kehendaki”
Dalam Shahih Bukhari dari
Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ، اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي
إِنْ شِئْتَ، لِيَعْزِمِ المَسْأَلَةَ، فَإِنَّ اللهَ لاَ مُكْرِهَ لَهُ
“Janganlah salah seorang
di antara kamu berkata, “Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau kehendaki. Ya
Allah, sayangilah aku jika Engkau kehendaki. Hendaknya ia sungguh-sungguh
meminta, karena tidak ada sesuatu pun yang memaksa-Nya.”
Dalam riwayat Muslim
disebutkan,
وَلْيُعَظِّمِ الرَّغْبَةَ، فَإِنَّ اللهَ لَا يَتَعَاظَمُهُ شَيْءٌ أَعْطَاهُ
“Hendaknya ia memiliki
harapan besar, karena sesungguhnya tidak ada yang membuat berat bagi Allah
sesuatu apa pun.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas
diriwayatkan oleh Bukhari no. 6339 dan Muslim no. 2679.
Oleh karena ucapan “Ya
Allah, ampunilah aku jika Engkau kehendaki” menunjukkan lemahnya harapan,
kurang serius meminta, dan dari satu sisi seakan tidak butuh kepada Allah, di
samping memberikan kesan bahwa Allah terpaksa melakukan sesuatu, dimana itu
semua bertentangan dengan Tauhid, maka penulis (Syaikh Muhammad At Tamimi)
membuat bab ini di kitab tauhidnya.
Dalam hadits di atas
Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang menggantungkan permohonan ampunan
dan rahmat kepada kehendak-Nya, dan Beliau menyuruh seseorang meminta tanpa
menggantungkan dengan kehendak-Nya, dan bahwa hal itu memberikan kesan
seakan-akan Allah terasa berat memenuhi kebutuhan makhluk-Nya atau terpaksa
memenuhinya dimana hal ini jelas tidak benar, padahal Allah Mahakaya dan
berbuat apa yang Dia kehendaki.
Selain itu, ucapan “Ya
Allah, ampunilah aku jika Engkau kehendaki” menunjukkan lemahnya semangat
seorang hamba dalam berdoa dan seakan tidak butuh kepada-Nya padahal dirinya
senantiasa butuh dalam keadaan apa pun.
Kesimpulan:
1. Larangan
menggantungkan permohonan dengan kehendak Allah, dan perintah agar berdoa
kepada Allah dalam permohonan apa pun; tanpa tambahan kalimat “Jika Engkau
kehendaki.”
2. Menyucikan Allah
Ta’ala dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya.
3. Luasnya karunia
Allah, dan sempurna kekayaan-Nya.
4. Perintah
sungguh-sungguh dalam berdoa.
**********
Bab: Larangan Mengucapkan “Abdi atau Amati (Hambaku)
Dalam kitab Shahih
dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: أَطْعِمْ رَبَّكَ وَضِّئْ رَبَّكَ، وَلْيَقُلْ: سَيِّدِي
وَ مَوْلاَيَ، وَلاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ: عَبْدِي أَمَتِي، وَلْيَقُلْ: فَتَايَ وَفَتَاتِي
وَغُلاَمِي
“Janganlah salah seorang
di antara kamu berkata (kepada budak atau pembantunya), “Hidangkan makanan
untuk gustimu dan ambilkan air wudhu untuk gustimu,” bahkan hendaknya ia
mengatakan, “Tuanku dan majikanku.” Dan janganlah salah seorang di antara
kalian berkata (kepada budaknya), “Hamba laki-lakiku, dan hamba
perempuanku,” tetapi katakanlah,
“Bujangku, gadisku, atau anakku.”
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan
dalam Shahih Bukhari no. 2552 dan Muslim no. 2249.
Dalam hadits di atas
diterangkan, bahwa kata-kata yang disebutkan memberi kesan keikutsertaan yang
lain dalam hal ketuhanan, maka kata-kata tadi dilarang sebagai bentuk adab
kepada Allah Ta’ala dan menjaga tauhid serta menutup sarana yang mengarah
kepada syirik.
Dalam hadits tersebut
Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang beberapa lafaz yang dapat memberikan
kesan syirik, di samping terdapat bentuk adab yang buruk terhadap Allah Azza wa
Jalla seperti menyebut secara mutlak gusti kepada manusia atau menyebut hamba kepada
manusia, karena hanya Allah Ar Rabb dan yang berhak disembah. Selanjutnya
Rasulullah shallallahu alaih wa sallam mengarahkan agar menggantinya dengan
lafaz yang aman dari kesan syirik dan menyekutukan Allah Ta’ala. Hal ini
merupakan penjagaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam terhadap tauhid dan
akidah.
Kesimpulan:
1. Larangan
menggunakan lafaz-lafaz yang memberi kesan syirik atau menyamakan dengan Allah
Ta’ala,
2. Menutup semua
sarana yang bisa mengantarkan kepada kemusyrikan,
3. Menyebutkan kata
lain sebagai gantinya yang aman dari kesan syirik.
**********
Bab: Larangan Menolak
Permintaan Orang Yang Menyebut Nama Allah
Dari Ibnu Umar
radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
«مَنِ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ،
وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ، وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ، وَمَنْ صَنَعَ
إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ، فَادْعُوا
لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ»
“Barang siapa yang
meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah, maka lindungilah dia. Barang siapa
yang meminta dengan menyebut nama Allah, maka berilah dia. Barang siapa yang
mengundangmu, maka penuhilah undangannya. Barang siapa yang berbuat baik
kepadamu, maka balaslah dia. Jika kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk
membalasnya, maka doakanlah sampai kalian merasa telah membalasnya.” (Hr. Abu Dawud
dan Nasa’i dengan sanad yang shahih)
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan
oleh Abu Dawud no. 1672, Abd bin Humaid no. 806, dan Nasa’i 5/82, dishahihkan
oleh Al Albani.
Disebutkan bab ini dalam
kitab Tauhid karena jika tidak memberi orang yang meminta dengan menyebut nama Allah
sama saja tidak memuliakan dan mengagungkan Allah, dimana hal ini dapat
mengurangi kesempurnaan tauhid.
Dalam hadits di atas,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan beberapa perkara utama, di sana
terdapat pengagungan terhadap hak Allah Ta’ala dengan memberi orang yang
meminta kepadanya sambil menyebut nama Allah, demikian pula terdapat
pengagungan terhadap hak orang mukmin dengan memenuhi undangannya, membalas
kebaikannya baik serupa atau lebih baik daripadanya jika mampu, dan jika tidak
mampu maka dengan mendoakannya sampai merasa telah membalasnya.
Kesimpulan:
1. Tidak boleh
ditolak orang yang meminta dengan menyebut nama Allah demi memuliakan Allah dan
mengagungkan-Nya.
2. Barang siapa
yang meminta perlindungan dengan nama Allah, maka hendaknya ia dilindungi.
3. Perintah
memenuhi undangan orang mukmin, seperti undangan walimah dan sebagainya. Akan tetapi
yang wajib dipenuhi adalah undangan walimah.
4. Perintah membalas
kebaikan seseorang.
5. Perintah
mendoakan orang yang telah berbuat baik kepadanya saat tidak mampu membalasnya.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa
shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraaji’: Al
Mulakhkhash fi Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Hidayatul Insan
bitafsiril Qur’an (penulis), dll.
0 komentar:
Posting Komentar