بسم الله الرحمن الرحيم
Pengantar Ilmu Fiqih (1)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut pengantar ilmu fiqih yang perlu kita ketahui sebelum
belajar fiqih, memuat tentang:
(1) Ta’rif (Definisi) Fiqih
(2) Perbedaan ilmu Fiqih dengan Ilmu Ushul
Fiqih
(3) Hukum Belajar Fiqih
(4) Perintah dan Keutamaan Belajar Fiqih
(5) Perkembangan Ilmu Fiqih
(6) Madrasah Atsar (riwayat) dan Madrasah
Ra’yu (Pemikiran)
(7) Karakteristik Fiqih Ahli Hadits dan Ahli
Ra’yu
(8) Imam Madzhab Yang Empat
(9) Aqidah Imam Yang Empat
(10) Gambaran Perkembangan Madzhab Fiqih
(11) Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat di
Kalangan Ulama
(12) Sikap Seorang Muslim Terhadap Khilaf
(13) Wajibkah Bermadzhab?
Semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya
dan bermanfaat, Allahumma aamin.
1. Ta’rif (Definisi) Fiqih
Fiqih secara bahasa artinya Al Fahm (faham). Secara istilah, fiqih
artinya mengetahui hukum-hukum syar’i yang sifatnya amali yang diambil
dalil-dalilnya yang rinci.
Maksud ‘hukum-hukum syar’i’ adalah hukum terhadap suatu
perkara berdasarkan syariat; apakah wajib, sunah, haram, makruh, atau mubah.
Hukum Syar’i artinya firman Allah
yang terkait dengan perbuatan orang-orang mukallaf (yang telah terkena
kewajiban agama) baik berupa taklifi maupun wadh’i. Hukum Taklifi
adalah hukum yang berupa tuntutan (dikerjakan (wajib atau sunah) atau
ditinggalkan (haram atau makruh) atau pilihan (boleh/mubah). Hukum Wadh’i
adalah hukum terkait tanda atau sifat yang ditetapkan syariat untuk menunjukkan
sah atau tidaknya suatu amal, sebab, penghalang, dan syarat.
Hukum Taklifi menuntut untuk dikerjakan sesuatu atau ditinggalkan,
atau boleh dikerjakan dan ditinggalkan bagi mukallaf. Adapun hukum Wadh'iy,
tidaklah menjelaskan seperti itu, karena memang maksudnya adalah menjelaskan
sesuatu yang dijadikan syari' (pembuat syariat) sebagai sebab adanya sesuatu,
syaratnya atau penghalangnya agar seorang mukallaf mengetahui kapan berlaku
hukum syar'i dan kapan tidak berlaku sehingga ia benar-benar faham masalahnya.
Contoh hukum wadh’i adalah tibanya bulan Ramadhan yang
merupakan sebab wajibnya puasa. Tergelincirnya matahari yang merupakan sebab
wajibnya shalat Zhuhur. Kerabat sebagai sebab adanya kewarisan, dsb.
Maksud ‘yang sifatnya amali’ adalah bukan terkait akidah. Oleh karena itu,
pembahasan fiqih seputar masalah ibadah, muamalah, akhlak, dan adab.
Maksud ‘yang diambil dari dalil-dalilnya yang rinci’ yakni
terhadap semua masalah. Contoh wajibnya wudhu berdasarkan firman Allah Ta’ala
di surat Al Maidah ayat 6.
Adapun sumber hukum atau rujukan dalam masalah fiqih adalah
dalil-dalil syara, dimana yang disepakati ada empat; yaitu Al Qur’an, As
Sunnah, Ijma, dan Qiyas.
2. Perbedaan ilmu Fiqih dengan ilmu Ushul Fiqih
Dalam ilmu fiqih yang dilihat adalah dalil-dalil juz’i (rinci)
terhadap suatu masalah, sedangkan dalam ilmu Ushul yang dilihat adalah
dalil-dalil kulliy (umum dan menyeluruh) dari sisi dilalahnya (yang ditunjukkan
olehnya), bagaimana menggali hukum (istinbat) daripadanya; memperhatikan nash
dari sisi keumuman dan kekhususan, kemutlakan dan taqyidnya (pembatasan), dsb.
Contoh: Seorang ahli fiqih berdalih terhadap wajibnya shalat dengan
firman Allah Ta’ala,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat.” (Qs. Al Baqarah: 43)
Seorang Ahli Ushul menyatakan ‘Perintah menunjukkan wajib’,
‘larangan menunjukkan haram’, ‘perintah ini awalnya wajib namun dialihkan
menjadi sunah karena qarinah ini dan itu (sesuatu yang memalingkannya)’, ‘nash
yang umum tetap diberlakukan keumumannya, dan tidak dikhususnya kecuali ada
dalil’, dsb.
3. Hukum Belajar Fiqih
Menurut Syaikh M. bin Umar Bazmul, bahwa belajar fiqih ini ada
beberapa keadaan, yaitu:
Jika yang dipelajari dari ilmu fiqih adalah materi-materi yang
dibutuhkannya sehari-hari seperti bersuci, shalat, puasa, atau fiqih ibadah,
maka hal ini fardhu ‘ain (wajib bagi setiap orang), karena ‘maa laaa
yatimmul wajib illaa bihi fahuwa wajib’ (artinya: suatu kewajiban yang
tidak sempurna kecuali dengannya, maka penyempurna itu menjadi wajib).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut
ilmu wajib bagi setiap muslim.” (Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Terkadang materi fiqih menjadi sunah dipelajari jika lebih dari
kebutuhannya.
Demikian juga terkadang ilmu fiqh menjadi fardhu kifayah (wajib
bagi sebagian orang), karena suatu daerah butuh ada seorang atau beberapa orang
yang faqih (mengerti fiqih) yang bisa memperkenalkan kepada masyarakat
hukum-hukum fiqih dan menjawab masalah-masalah masyarakat dengan jawaban yang
sesuai syariat.
4. Perintah dan Keutamaan Belajar Fiqih
Semua dalil yang memerintahkan dan menerangkan keutamaan ilmu
syar’i, maka ilmu fiqih masuk ke dalamnya. Misalnya firman Allah Ta’ala,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak
sepatutnya bagi kaum mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari setiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (Qs. At Taubah: 122)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ
“Barang
siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan
ke surga.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh
Al Albani)
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang
siapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Dia akan memahamkan
orang itu terhadap agama.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
5. Perkembangan Ilmu Fiqih
Berikut fase perkembangan ilmu fiqih:
Fase pertama, di zaman Nabi
shallallahu alaihi wa sallam fiqih bersandar pada ketegasan wahyu Al Qur’an dan
As Sunnah. Fase ini bisa juga disebut sebagai marhalah tasyri’
(penetapan aturan). Marhalah ini sampai pada tahun ke-11 H; tahun wafatnya
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Fase kedua, di zaman para sahabat.
Fiqih di samping bersandar kepada ketegasan wahyu juga bersandar kepada
fatwa-fatwa para sahabat dan hasil istinbat (penggalian terhadap ayat dan
hadits) dan ijtihad mereka. Para sahabat berbeda-beda dalam keilmuan terhadap
syariat, sebagaimana mereka berbeda-beda dalam jumlah hadits yang mereka dengar
dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Di antara sahabat ada yang banyak fatwanya karena tinggal lama dan
karena banyaknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di zamannya, seperti para
khulafa rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu anhum),
Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Amr bin Ash, Abdullah bin Umar, Abdullah bin
Abbas radhiyallahu anhum, dan lain-lain.
Ada kurang lebih 130 orang sahabat yang memberikan fatwa, di
antara mereka:
Pertama, yang paling banyak
fatwanya, yaitu Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Aisyah, Zaid, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar
radhiyallahu anhum. JIka fatwa-fatwa mereka dihimpun bisa menjadi sebuah kitab
yang besar.
Kedua, yang jumlah fatwanya
tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit (pertengahan), di antaranya: Abu
Bakar, Utsman, Ummu Salamah, Anas, Abu Sa’id, Abu Hurairah, Abdullah bin Amr,
Ibnuz Zubair, Abu Musa, Jabir, Mu’adz, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Salman
radhiyallahu anhum.
Ketiga, para sahabat yang
sedikit berfatwa, seperti Abu Darda, Al Hasan dan Al Husain, Ubay bin Ka’ab,
Abu Ayyub, Asma, Zaid bin Arqam, Tsauban, dan Buraidah radhiyallahu anhum.
Fase ketiga, zaman tabi’in
(generasi setelah sahabat). Di fase ini ruang lingkup fiqih semakin luas dan
ilmu fiqih tersebar di beberapa negeri karena semakin luas wilayah Islam;
dimana para sahabat ada yang tinggal di Syam, di Irak, tetap di Madinah, di
Mekkah, di Mesir, dan lainnya, sehingga masing-masing negeri yang disinggahi
para sahabat menjadi menara fiqih dan ilmu, dimana para sahabat radhiyallahu
anhum menyampaikan ilmu yang diperolehnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, serta melakukan ijtihad. Dan para tabi’in adalah murid-murid para
sahabat.
Fase kedua dan keempat disebut juga marhalah qablal madzhahib.
Kebanyakan fiqih dan ilmu syariat tersebar di tengah-tengah umat
melaui murid-murid Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan
Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhum.
Fiqih Ibnu Mas’ud tersebar di Irak saat ia pindah ke sana atas
perintah Umar bin Khaththab untuk menyelesaikan berbagai problem di sana. Belajar kepada Beliau (Ibnu Mas’ud) Alqamah, dan belajar kepada
Alqamah muridnya, yaitu Ibrahim, belajar kepada Ibrahim, muridnya yaitu Hammad,
dan dari Hammad, Abu Hanifah menimba ilmu.
Fiqih Ibnu Abbas tersebar di Mekkah. Belajar kepada Beliau Amr bin Dinar, dan belajar kepada Amr bin
Dinar muridnya, yaitu Sufyan bin Uyaynah, belajar kepada Sufyan bin Uyaynah,
muridnya yaitu Syafi’i dan Ahmad.
Fiqih Zaid bin Tsabit dan Ibnu Umar tersebar di Madinah. Ibnu Umar belajar juga kepada Zaid bin Tsabit, dan belajar
kepada Ibnu Umar muridnya, yaitu Nafi dan Salim, belajar kepada Salim, muridnya
yaitu Az Zuhri, dan belajar kepada Nafi, muridnya, yaitu Malik. Malik juga
berguru kepada Az Zuhri. Dan kepada Malik, Syafi’i belajar, dan dari Imam Syafi’i,
Imam Ahmad belajar.
Gambarannya adalah sebagai berikut:
Para Fuqaha (Ahli Fiqih) di Masa Tabi’in
Di Madinah ada para fuqaha yang tujuh (Urwah bin Zubair, Sa’id bin
Al Musayyib, Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Kharijah bin Zaid bin Tsabit,
Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah, Abu Bakar bin Abdurrahman, dan Sulaiman bin
Yasar maula Ummul mu’minin Ummu Salamah), Salim, Nafi, dan Az Zuhri.
Di Mekkah ada Atha, Thawus, Mujahid, dan Ikrimah.
Di Bashrah ada Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Abu Qilabah, dan
Qatadah.
Di Kufah ada Alqamah dan muridnya, Ibrahim, Masruq, Ubaidah, dan
Syuraih Al Qadhi.
Fase keempat, zaman tabi’ut tabi’in (generasi setelah
tabi’in). Di fase ini muncul para imam mujtahidin, di antaranya imam madzhab
yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah).
Selain imam madzhab yang empat, ada pula madzhab-madzhab
(pemahaman-pemahaman) fiqih dari yang lain seperti: (a) madzhab Al Auza’iyyah
(dinisbatkan kepada Abdurrahman bin Amr Abu Amr Al Auza’i; imam negeri Syam
dalam bidang fiqih dan hadits, termasuk tabi’in besar yang wafat pada tahun 157
H di Beirut), (b) madzhab Ats Tsauriyyah (dinisbatkan kepada Sufyan bin Sa’id
bin Masruq Ats Tsauriy, seorang yang hafizh, ahli fiqh dan ahli ibadah, wafat
pada tahun 161 H). (c) madzhab Ad Dawudiyyah/Azh Zhahiriyyah (dinisbatkan
kepada Dawud bin Ali Abu Sulaiman Al Ashbahani Al Baghdadi, yang wafat pada
tahun 270 H). Di sana ada juga madzhab Al Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Al Hasan
Al Bashri (w. 110 H), Sufyan bin Uyaynah (w. 198 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238
H), Abu Tsaur (w. 148 H), Asy Sya’biy (w. 105 H), Sulaiman bin Mihran Al A’masy
(w. 147/148 H) dan Ibnu Jarir Ath Thabari (w. 310 H) rahimahumullah.
Sebab tersebarnya madzhab yang empat dan tetap bertahan adalah
karena Allah telah menetapkan untuk para imam yang empat ini para pengikutnya
yang membawa ilmu mereka ke generasi setelah dan seterusnya.
Empat madzhab tersebut dan madzhab-madzhab lainnya yang telah disebutkan
adalah madzhab-madzhab Ahlussunnah wal Jamah; diterima oleh umat ini secara
keseluruhan; baik ulamanya, para penuntut ilmunya, maupun kalangan awam.
Madzhab-madzhab tesebut adalah madzhab-madzhab ijtihad terhadap masalah syariah
yang sifatnya furu (cabang) yang sejalan secara garis besar dengan dasar-dasar
syariat.
Pada fase ini, para fuqaha (ahli fiqih) tetap mengutamakan atsar
para sahabat dan tabi’in. Manhaj mereka adalah tidak keluar dari apa yang
datang dari para sahabat radhiyallahu anhum.
Pada fase ini juga terkenal tentang tercelanya taqlid (sekedar
ikut-ikutan) dan fanatik madzhab, serta dorongan untuk ittiba’ (mengikuti
sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).
Imam
Abu Hanifah rahimahullah pernah berkata,
إِذَا قُلْتُ قَوْلاً يُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ تَعَالَى وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتْرُكُوْا قَوْلِيْ
"Jika
aku mengatakan sebuah perkataan yang menyelisihi kitab Allah Ta'ala dan berita
dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku."
Imam
malik rahimahullah pernah berkata,
لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلاَّ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلاَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Tidak
ada seorang pun setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan
pendapatnya boleh diambil dan ditinggalkan selain Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam."
Imam
Syafi'i rahimahullah pernah berkata,
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
"Kaum
muslim sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena
pendapat seseorang."
Imam
Ahmad rahimahullah berkata,
مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ
"Barang
siapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia
berada di tepi jurang kebinasaan." (Lihat takhrij semua perkataan imam
yang empat di mukadimah kitab Sifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wa sallam
karya Syaikh M. Nashiruddin Al Albani rahimahullah).
Fase keempat ini disebut juga marhalah madzhahib fiqhiyyah.
Fase kelima, pada fase ini dan
seterusnya manusia banyak melakukan taqlid (ikut-ikutan) dan fanatik terhadap
madzhab, serta kurang perhatian terhadap riwayat dan atsar.
Bersambung…
Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa
sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Ushul min Ilmil Ushul (M. bin
Shalih Al Utsaimin), Muqaddimah fi Ilmil Fiqh (M. bin Umar Bazmul), Al
Wajiz Fi Ushulil Fiqh (Dr. Abdul Karim Zaidan), Madkhal Ilal Fiqhil
Islami (Dr. Amir bin Umar Bahjat), https://www.sahab.net/forums/index.php?app=forums&module=forums&controller=topic&id=100894 , https://islamqa.info/ar/21420 , http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=107461dll.
0 komentar:
Posting Komentar