بسم
الله الرحمن الرحيم
Kaum Salaf Dan Akhlak Mereka Kepada Teman
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat,
amma ba'du:
Berikut pembahasan
tentang kaum salaf dan akhlak mereka dalam berteman, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Kedermawanan Ibnul
Mubarak
Al Khathib berkata, “Telah
mengabarkan kepada kami Umar bin Ibrahim dan Abu Muhammad Al Khallal. Mereka
berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Muhammad bin Ismail Al
Katib, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al Hasan Al Muqri, aku
mendengar Abdullah bin Ahmad Ad Daurqi, aku mendengar Muhammad bin Ali bin Al
Hasan bin Syaqiq, aku mendengar ayahku berkata, “Jika tiba musim haji, maka
kawan-kawan Ibnul Mubarak dari penduduk Marwa berkumpul di hadapannya dan
berkata, “Kami siap menemanimu,” lalu Ibnul Mubarak berkata, “Kumpulkan
ongkos-ongkos kalian!” Lalu ia mengambil ongkos mereka dan meletakkannya di
sebuah kotak dan menguncinya, kemudian ia yang membayarkan sewa rumah mereka
serta membayarkan ongkos mereka dari Marwa ke Bagdad, ia terus saja mentraktir
dan memberikan mereka makananan yang enak dan snack yang paling lezat.
Sekeluarnya mereka dari Bagdad, mereka juga memakai pakaian yang paling bagus
dan penuh wibawa hingga mereka tiba di Madinah, lalu beliau bertanya kepada
masing-masing mereka, “Oleh-oleh apa yang diminta keluargamu agar engkau
belikan untuk mereka dari Madinah?” Masing-masing mereka mengatakan, “Mereka
pesan ini dan itu.” Selanjutnya beliau membawa mereka meninggalkan Mekkah, dan
terus saja beliau mentraktir mereka hingga mereka tiba di Marwa. Beliau juga
mengecatkan rumah dan pintu mereka. Setelah tiga hari berlalu, beliau membuat
pesta untuk mereka dan memberi mereka pakaian. Setelah mereka makan dan
bergembira, beliau memerintahkan (pelayannya) membawakan kotak uang mereka.
Beliau membukanya dan menyerahkan bungkusan kepada pemiliknya, masing-masing
sudah ada namanya.” (Siyar A’amin Nubala 8/385, 386)
Dari Zaid bin Aslam,
dari ayahnya ia berkata, “Ibnu Umar pernah berkata, “Wahai Abu Khalid
(panggilan Aslam, budak yang dimerdekakan Umar bin Khaththab radhiyallahu
anhu), sesungguhnya aku melihat Amirul Mukminin selalu bersamamu dibandingkan
sahabat-sahabatmu. Beliau tidaklah keluar safar melainkan engkau selalu
bersamanya. Beritahukanlah kepadaku tentang hubunganmu terhadapnya!” Ia
menjawab, “Sesungguhnya Beliau (Umar) merasa bukan orang yang terpandang.
Beliau biasa menyiapkan kendaraan kami, dan menyiapkan barangnya sendiri. Suatu
hari, kami sedang bersiap-siap, ternyata Beliau sudah menyiapkan kendaraan
kami, dan juga kendaraannya sendiri. Beliau bersenandung,
“Janganlah malam ini
membuatmu gelisah
Pakailah gamis dan
sorbanmu
Jadilah teman yang
berguna, berbaktilah, bantulah orang banyak, sehingga dengan itu engkau telah
membantu dirimu sendiri.”
(Siyar A’lamin Nubala
4/99)
Bilal bin Sa’ad
meriwayatkan dari orang yang melihat Amir bin Abdullah At Tamimi di Romawi.
Beliau memiliki hewan bighal (peranakan kuda dan keledai) yang dikendarainya
bergantian; ia membawa orang-orang yang berhijrah dengan menaikinya secara
bergantian. Bilal berkata, “Apabila beliau memutuskan untuk berperang, beliau
menyeleksi orang yang akan menemaninya. Apabila beliau tertarik dengannya,
Beliau akan meminta syarat agar bisa melayani mereka, demikian juga agar
bertindak sebagai muazin, serta membiayai mereka sebatas kemampuannya.” (Siyar
A’lamin Nubala 4/17).
Dari Mush’ab bin Ahmad
bin Mush’ab ia berkata, “Abu Muhammad Al Marwazi pernah singgah di Bagdad
ketika hendak ke Mekkah. Aku senang jika bisa mendampingi beliau. Aku pun
mendatanginya dan meminta untuk bisa menemaninya, namun beliau tidak
mengizinkanku di tahun itu. Pada tahun kedua dan ketiga, aku mendatanginya
lagi, memberinya salam dan meminta hal itu lagi, maka beliau berkata,
“Bersiaplah, namun dengan satu syarat, yaitu salah seorang di antara kita ada
yang menjadi pemimpin safar yang perintahnya tidak boleh dibantah.” Aku
berkata, “Kalau begitu engkau pemimpinya.” Ia balik berkata, “Bahkan engkau
yang menjadi pemimpin (safar).” Aku menjawab, “Engkau lebih tua dan lebih layak
terhadapnya.” Ia berkata, “Kalau begitu, jangan menyelisihiku.” Aku menjawab,
“Ya.” Maka aku berangkat bersamanya. Ketika itu saat tiba waktu makan, maka ia
selalu mendahulukan diriku. Ketika aku berusaha menolak, beliau langsung
berkata, “Bukankah aku telah meminta syarat darimu agar tidak menyelisihiku.”
Demikianlah tindakan beliau selama di perjalanan sehingga aku menyesal menemani
perjalanannya karena ternyata menyusahkannya. Suatu hari, kami kehujanan di
tengah perjalanan, lalu ia berkata kepadaku, “Wahai Abu Ahmad, carilah mil
(batu pembatas satu mil),” lalu ia berkata kepadaku, “Duduklah di lantainya.”
Lalu beliau mendudukkan diriku di lantainya, sedangkan kedua tangannya
diletakkan di atas batul mil sambil berdiri sampai badannya condong ke arahku.
Beliau juga mengenakan kain yang lebar untuk melindungiku dari hujan, sehingga
aku berangan-angan tidak pergi bersamanya karena aku begitu menyusahkan beliau.
Begitulah yang beliau lakukan sampai kami tiba di Mekkah, semoga Allah
merahmatinya.” (Shifatush Shafwah 4/148, 149).
Kisah Itsar (Mengutamakan
Orang Lain)
Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seorang yang datang kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau meminta jamuan kepada istri-istrinya,
namun istri-istrinya menjawab, “Kita tidak memiliki apa-apa selain air.” Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah yang mau membawa
orang ini (ke rumahnya) dan menjamunya?” Lalu salah seorang Anshar berkata,
“Saya.” Maka ia pergi dengannya menemui istrinya, ia berkata, “Muliakanlah tamu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Istrinya menjawab, “Kita tidak
memiliki apa-apa selain makanan untuk anak-anak kita.” Ia (suaminya) menjawab,
“Siapkanlah makananmu, nyalakan lampu dan tidurkanlah anak-anakmu ketika mereka
hendak makan malam.” Maka istrinya menyiapkan makanannya, menyalakan lampunya
dan menidurkan anak-anaknya, lalu ia berdiri seakan-akan sedang memperbaiki
lampunya, kemudian ia memadamkannya. Keduanya (Suami dan istri) seakan-akan
memperlihatkan kepada tamunya bahwa keduanya makan, sehingga keduanya tidur
malam dalam keadaan lapar. Ketika tiba pagi harinya, maka ia mendatangi
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Beliau bersabda, “Tadi malam
Allah takjub melihat perbuatan kamu berdua.” Maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala
menurunkan ayat, “Dan mereka mengutamakan (kaum muhajirin), atas dirinya
sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan barang siapa yang dijaga dirinya
dari kekikiran, maka mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Terj. QS.
Al Hasyr: 9).
Hudzaifah Al Adawi
berkata, “Pada saat perang Yarmuk (peperangan yang terjadi antara kaum muslimin
melawan kekaisaran Romawi timur pada tahun 15 H/636 M), aku mencari sepupuku
dengan membawa sedikit air sambil kuberkata (dalam hati), “Jika ia masih hidup,
aku akan beri dia minum, dan mengusap wajahnya,” maka aku pun menemuinya, lalu
aku berkata, “Maukah engkau kuberi minum?” Lalu ia berisyarat kepadaku
menunjukkan dirinya mau. Tiba-tiba terdengar suara seseorang ‘aah’, maka
sepupuku berisyarat kepadaku agar aku pergi mendatanginya, dan ternyata dia
adalah Hisyam bin Ash, lalu aku berkata, “Maukah engkau kuberi minum?” Tiba-tiba
terdengar suara seseorang ‘aah’, maka Hisyam berisyarat kepadaku agar aku pergi
mendatanginya, lalu aku mendatanginya, ternyata ia telah wafat, maka aku
kembali menemui Hisyam, ternyata ia telah wafat pula, dan aku kembali menemui
sepupuku, ternyata ia telah wafat pula, semoga Allah merahmati mereka semua. (Minhajul
Muslim hal. 123)
Telah diriwayatkan,
bahwa ada tiga puluh orang lebih yang berkumpul di hadapan Abul Hasan Al
Anthakiy, mereka membawa roti yang sedikit yang tidak cukup untuk mereka semua,
maka mereka potong kecil-kecil dan memadamkan lampunya, lalu duduk untuk makan.
Saat meja diangkat, ternyata roti-roti itu tetap dalam keadaan sebelumnya tanpa
berkurang sedikit pun, karena salah seorang di antara mereka tidak ada yang
memakannya demi mengutamakan orang lain daripada dirinya sehingga tidak ada
satu pun yang makan.” (Minhajul Muslim hal. 124)
Basyar bin Harits pernah
didatangi oleh seseorang pada saat dirinya sakit yang membawa kepada
kematiannya. Orang itu mengeluhkan kebutuhan kepadanya, maka Basyar melepaskan
gamis yang dipakainya dan memberikannya kepadanya, lalu ia meminjam gamis untuk
dipakainya, kemudian ia wafat mengenakan gamis itu. (Minhajul Muslim hal.
124).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa
shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah
versi 3.45, Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf (Abdul
Aziz Nashir Al Julail dan Bahauddin Fatih Aqil), Maktabah Syamilah versi
3.45, Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), dll.
0 komentar:
Posting Komentar