بسم الله الرحمن الرحيم
Pengantar Ilmu Fiqih (5)
Segala puji bagi Allah
Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pengantar ilmu fiqih yang perlu kita ketahui
sebelum belajar fiqih, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas
karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
12. Sikap Seorang Muslim Terhadap Khilaf
Kaum muslimin di hadapan ilmu terbagi tiga, yaitu: ulama,
penuntut ilmu, dan orang awam.
Para ulama berhak ijtihad. Mereka
adalah orang yang mampu melihat dalil dan mengambil kesimpulan daripadanya. ia berhak
menggali hukum dari dalil itu meskipun hasil istinbatnya menyelisihi yang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ
يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan apabila datang kepada
mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri
(ulama) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (Qs.
An Nisaa: 83)
Jika
ijtihadnya betul, maka ia akan memperoleh dua pahala dan jika salah maka ia
memperoleh satu pahala karena niatnya mencari yang hak setelah melalui
jalur-jalurnya (seperti melalui Ushul Fiqh yang dimiliknya, pengetahuannya yang
luas terhadap dalil, Qawaa'id fiqhiyyah, dsb). Mereka tidak bisa disalahkan
jika ijtihadnya keliru, karena "Maa 'alal muhsiniin min sabiil", yakni
orang yang telah bersusah payah dengan niat yang baik untuk memperoleh yang hak
tidaklah bisa disalahkan.
Para ulama mujtahid ada yang mencapai derajat mujtahid mutlak,
seperti imam yang empat, Bukhari, Tirmidzi, dan semisalnya.
Ada pula mujtahid yang muqayyad mengikuti ushul (pijakan) salah
satu madzhab.
Jika seorang telah mencapai tingkatan ijtihad, maka hendaknya ia
memperhatikan masalah itu dan dalilnya, lalu menghukumi sesuai ijtihadnya.
Kalangan penuntut ilmu hendaknya
berittiba, yakni tidak ikut-ikutan kecuali setelah tahu dalilnya. Dan jika
dihadapkan kepadanya perbedaan pendapat ulama, maka ia memilih yang rajih
(lebih kuat) atau lebih dekat kepada dalil. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman,
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti
apa yang paling baik di antaranya…dst.” (Terj. Qs. Az Zumar: 18)
Sedangkan kalangan awam, maka mereka tidak dituntut untuk meneliti
masalah dan dalilnya, akan tetapi yang dilakukannya adalah bertanya kepada Ahli
Ilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” (Qs. An Nahl: 43)
Jika dihadapkan kepadanya perbedaan jawaban ulama, maka dipilihnya
ulama yang lebih wara, takwa, dan lebih dalam ilmunya, tidak mencari jawaban
yang sesuai hawa nafsunya atau mengutamakan fatwa-fatwa rukhshah (keringanan),
karena jika begitu sama saja ia mengikuti hawa nafsunya. Sedangkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan
tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Qs. Al Qashas: 50)
Sulaiman At Taimiy rahimahullah berkata, “Jika engkau
pegang rukhshah (keringanan) setiap ulama, maka akan berkumpul dalam dirimu
seluruh keburukan.” (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlih 2/92)
Intinya, bahwa khilaf tidak boleh membuat seseorang bertengkar dan
bermusuhan, hendaknya ia memberikan udzur kepada mereka yang berbeda dengannya,
tidak mencari-cari keringanan, dan bahwa kebenaran itu hanya satu, wallahu
a’lam.
13. Wajibkah bermadzhab?
Syaikh M. bin Umar Bazmul menerangkan, bahwa seorang muslim tidak
harus berpegang dengan salah satu madzhab, akan tetapi seorang muslim yang awam
mengikuti madzhab pemberi fatwanya. Jika difatwakan oleh muftinya, maka ia mengikutinya.
Jika suatu madzhab lebih tersebar di negerinya atau ulama suatu
madzhab lebih banyak, maka tidak mengapa memegang fatwa ulama negerinya, akan
tetapi tidak boleh ia mewajibkan dirinya mengikuti madzhab tertentu dengan
menolak madzhab yang lain, atau menganggap bahwa dirinya tidak boleh mengambil
madzhab yang lain, karena yang diwajibkan kepadanya adalah mengikuti Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ
“Sesungguhnya
aku telah meninggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan
tersesat setelahnya (jika berpegang kepada keduanya), yaitu kitabullah dan
sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah sampai mendatangi telagaku.” (Hr.
Daruquthni (4/245), Hakim dalam Al Mustadrak, Baihaqi dalam Al Kubra
(10/114). Penyusun Al Majma berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar, namun
dalam sanadnya terdapat Shalih bin Musa Ath Thalhi, seorang yang dhaif.” Syaikh
M. bin Umar Bazmul berkata, “Dalam sanad tersebut semuanya terdapat Shalih bin
Musa, akan tetapi Hakim dan Baihaqi di tempat yang sama menyebutkan dari Ibnu
Ibnu Abbas sebuah hadits yang isinya, “Wahai manusia! Sesungguhnya aku telah
meninggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang kepadanya, maka
kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan sunnahku.” Ini
merupakan syahid yang shalih (baik). Dan dalam Al Muwaththa di kitab Al
Jami, bab larangan memperdalam berbicara tentang qadar disebutkan, “Dari Malik,
bahwa sampai kepadanya, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat
selama berpegang kepada keduanya, yaitu KItabullah dan sunnah Nabi-Nya.”
Sehingga hadits ini insya Allah naik menjadi hasan lighairih.”)
Lajnah Da’imah (Komite Fatwa Ulama KSA) pernah ditanya, “Apa hukum
membatasi diri dengan madzhab yang empat dan mengikuti mereka dalam setiap
keadaan dan waktu?”
Lajnah menjawab, “Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam
semoga terlimpah kepada Rasul-Nya, keluarganya, dan para sahabatnya, amma
ba’du:
Pertama, madzhab yang empat
dinisbatkan kepada imam yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad. Madzhab Hanafi dinisbatkan kepada Abu Hanifah, dan
begitulah seterusnya.
Kedua, para imam tersebut
mengambil fiqih dari Al Qur’an dan As Sunnah, dan melakukan ijtihad. Seorang
mujtahid jika benar mendapatkan dua pahala; karena ijtihadnya dan karena
benarnya. Jika salah, maka mendapatkan pahala karena ijtihadnya, dan dimaafkan
kekeliruannya.
Ketiga, bagi seorang yang
mampu melakukan istinbath (mengeluarkan hukum) dari Al Qur’an dan As Sunnah,
maka ia boleh langsung mengambilnya sebagaimana para ulama sebelumnya, dan
tidak dibenarkan baginya bersikap taqlid (ikut-ikutan) jika dia meyakini bahwa
ternyata yang hak (benar) tidak demikian, bahkan hendaknya ia pegang yang ia
yakini bahwa itu hak (benar), dan boleh baginya taqlid dalam hal yang ia tidak
mampu dan ia butuh terhadap hal itu.
Keempat, barang siapa yang
tidak mampu beristinbath, maka boleh mengikuti orang yang ia merasa tenang
mengikutinya. Dan jika dirinya belum merasa tenang, maka hendaknya bertanya
agar dirinya tenang.
Kelima, dari penjelasan di
atas jelas bagimu, bahwa engkau tidak boleh mengikuti pendapat dalam setiap
keadaan dan waktu, karena mereka bisa keliru, bahkan yang diikuti adalah
kebenaran di antara pendapat mereka yang memang ditunjukkan dalil. (Fatawa
Al Lajnah 5/28).
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata, "Kami
meyakini, bahwa Islam lebih luas lagi dari pembatasan pada madzhab yang empat.
Oleh karena itu, kami saat hendak mendalami fiqih Islam, maka kami merujuk
fiqih kami kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
sebagai dasar, lalu kami tidak hanya menggunakan madzhab yang empat saja dalam
memahaminya, tetapi dengan madzhab-madzhab yang lain yang masih tercatat dalam
kitab-kitab yang masih ditulis tangan terkait fiqih, seperti madzhab Imam Al
Auza'i, Abdullah bin Al Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Sufyan Ats Tsauri dan
banyak lagi yang semisal mereka." (Al Huda wan Nuur, 10)
14. Mengenal Fiqih Syafi’i
Ada seorang yang bertanya kepada Syaikh Masyhur Hasan Salman
hafizhahullah (murid Syaikh Al Albani rahimahullah),
“Sebagian penuntut ilmu ada yang lebih mengutamakan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah daripada Imam Syafi’i, apa komentar Anda?”
Ia menjawab, “Ini adalah kejahilan dan kezaliman. Seandainya Imam
Ibnu Taimiyah mendengar kata-kata ini tentu beliau akan marah sekali. Sedangkan
Imam Syafi’i rahimahullah tidak pernah menempatkan dirinya pada posisi itu.
Tentang Imam Syafi’i, saya pernah mendengar guru kami Al Albani berkata
beberapa kali tentang beliau, “Kalau sekiranya boleh bagi seseorang bertaklid
kepada orang lain, maka aku tidak akan bertaklid kecuali kepada Imam Syafi’i.”
Guru kami Syaikh Al Albani mengenal jauh Ibnu Taimiyah, hidup
bersama kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah, serta tahu kitab-kitab karya Ibnu
Taimiyah, sehingga sikap mengedepankan Ibnu Taimiyah di atas Imam Syafi’i
adalah karena tidak mengetahui kedudukan Imam Syafi’i.
Manusia dalam hal memadukan antara hadits dan fiqih butuh Imam
Syafi’i rahimahullah.
Imam Syafi’i saat memasuki negeri Irak mendapatkan madrasah ra’yu.
Saat itu ada halaqah (majlis) Abu Hanifah dan ada halaqah Ahli
Hadits, namun beliau hadir di halaqah ini dan itu, lalu beliau berkata, “Aku
akan memadukan antara dua halaqah ini (majlis ra’yu dan hadits).”
Maka Imam Syafi’i pun memadukan antara fiqih hadits dan hadits itu
sendiri, yakni madrasah Imam Syafi’i memadukan antara hadits riwayat (kajian
makna hadits) dan hadits dirayah (kajian sanad hadits).
Imam Ahmad saat bertemu dengan Imam Syafi’i, maka Imam Syafi’i
mendapatkan Imam Ahmad sebagai seorang yang memiliki riwayat yang banyak. Imam
Syafi’i berkata kepada Imam Ahmad, “Engkau ibarat apotik, sedangkan kami para
dokternya (yang membuat resep). Obat ada pada sisimu; riwayat-riwayat ada pada
dirimu.” Riwayat-riwayat pada Imam Ahmad lebih banyak daripada riwayat-riwayat
Imam Syafi’i. akan tetapi siapakah yang menyimpulkannya? Tentunya Imam Syafi’i.
Oleh karena itu, ketika Imam Syafi’i berdebat dengan seseorang,
dan orang yang pertama beliau debat adalah Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani
(murid Abu Hanifah) karena beliau tidak
berjumpa dengan Imam Abu Hanifah. Para ulama menyatakan, bahwa di sana ada rahasia
yang dalam, yakni Imam Syafi’i lahir di masa wafatnya Abu Hanifah, sehingga ia
tidak berjumpa dengan Abu Hanifah, namun ia berjumpa dengan murid-murid Abu
Hanifah. Ketika itu, Imam Syafi’i punya perdebatan menarik dengan Muhammad bin
Al Hasan Asy Syaibani. Para ulama menyatakan, bahwa Imam Syafi’i jika berdebat
dengan seseorang, maka seakan-akan beliau seperti singa yang membuka mulutnya,
yakni membuat lawan debatnya tidak bisa bicara (bungkam).
Dengan demikian, kedudukan Imam Syafi’i sangat tinggi. Akan tetapi
terkadang timbul sikap ghuluw (berlebihan) dari sebagian penuntut ilmu, dimana
sikap itu timbul karena kejahilan dan tidak mengetahui pihak kedua.
Saya pernah mendengar seorang pemuda berkata kepada guru kami Al
Albani di perpustakaannya, “Engkau lebih tahu daripada para imam Ahli Hadits
seperti Abu Dawud dan Tirmidzi. Buktinya mereka menuliskan hadits-hadits
dha’if, sedangkan aku tidak melihat dalam kitab-kitabmu hadits-hadits dha’if.”
Maka Syaikh Al Albani marah besar ketika itu.
Bahkan ada yang berkata kepada beliau –dan ini termasuk yang saya
dengar-, “Engkau lebih tahu daripada Ibnu Taimiyah,” maka Syaikh Al Albani pun
marah besar.
Maka di manakah kedudukan guru kami Al Albani dan Ibnu Taimiyah?
Tentunya, hal ini tidak mengurangi keutamaan guru kami Al Albani, akan tetapi
hanya untuk mengenal kedudukan Syaikh Al Albani dan Ibnu Taimiyah rahimahullah,
dan mengenal kedudukan Ibnu Taimiyah dengan Imam Syafi’i.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ
بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
“Dan aku diperintahkan supaya verlaku adil di antara kamu.
Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu. bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu
amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan
antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)." (Qs. Asy Syuuraa: 15)
Sikap adil adalah wajib. Akan tetapi, bukankah mungkin ada
kebenaran pada pihak yang kalah utama dan ada kesalahan pada pihak yang utama?
Jelas mungkin sekali.
Ilmu adalah hujjah. Maksudku bukanlah, bahwa Imam Syafi’i lebih
utama dari fulan, dan bahwa semua pernyataannya adalah benar, sedangkan semua
pernyataan orang lain adalah salah. Ilmu itu tidak demikian. Ilmu itu didasari
hujjah, bukti, dan dalil.
Akan tetapi secara garis besar, para ulama besar adalah
orang-orang besar. Allah menjadikan mereka diterima, dan mereka juga
orang-orang yang menyiapkan pondasi. Jelas berbeda antara orang yang menyiapkan
pondasi dengan orang yang menggunakan pondasi itu dan mencabangkannya. Para
imam itu telah menyiapkan pondasi.
Meskipun begitu, mudah-mudahan pertanyaan yang diajukan
mendapatkan jawaban insya Allah, wallahu a’lam.
4 Sya’ban 1438 H/20 April 2018 M
(Lihat teks asli Fatwa Syaikh Masyhur Hasan Salman, di link ini: http://meshhoor.com/fatwa/2140/ )
Beberapa catatan:
1. Tidak ada perbedaan di kalangan ulama dalam masalah Aqidah. Hal
itu, karena akidah dasarnya adalah tauqifi (diam menunggu dalil) dan tidak ada
ruang ijtihad di sana. Di samping itu, saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam
menyebutkan tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan, semuanya terancam
dengan neraka kecuali satu golongan yang keadaannya seperti keadaan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Perbedaan hanyalah dalam masalah fiqih yang di antara sebabnya
adalah karena adanya ijtihad ketika mengambil kesimpulan hukum fiqih dari
dalil-dalilnya secara rinci selama ijtihad itu memenuhi syarat dan berasal dari
para ahlinya. Akan tetapi jika dalilnya telah tampak di hadapan salah seorang
mujtahid, maka wajib baginya mengambil yang sesuai dalil dan meninggalkan
perkara yang tidak ada landasan dalilnya.
Sebagian ulama berkata,
وَلَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا إِلاَّ خِلاَفٌ لَهُ حَظٌّ مِنَ النَّظَرِ
“Tidak
semua khilaf itu diakui, kecuali khilaf yang memiliki sudut pandang dari
dalil.”
Perbedaan yang timbul dari ijtihad fiqih ketika dalilnya belum
tampak di antara ulama yang berselisih pendapat, maka dalam hal ini tidaklah
diingkari jika seseorang mengambil salah satu pendapat. Oleh karena itu, ada
ungkapan yang masyhur ‘Laa inkaara fi masa’ilil ijtihad’ (tidak ada
pengingkaran dalam masalah ijtihad), dan perselisihan ini tidak boleh
menimbulkan permusuhan, karena masing-masingnya berkumungkinan di atas
kebenaran. (Diringkas dari Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan dalam Al Ijtima wa
Nabdzul Furqah hal. 48-50).
2. Bagi seorang penuntut ilmu hendaknya memahami, bahwa pernyataan
kami ‘harus berpegang kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alahi
wa sallam’ bukan berarti tidak boleh mempelajari fiqih sebuah madzhab.
Hal itu adalah karena seorang penuntut ilmu di zaman sekarang
tidaklah mempelajari fiqih kecuali melalui salah satu di antara madzhab-madzhab
yang ada, dimana madzhab-madzhab itu telah tetap kitabnya, telah diketahui
dasarnya, dan ada syarahnya, serta banyak karya tulis tentang berbagai masalah.
Jika seorang penuntut ilmu mempelajari fiqih melalui salah satu madzhab, maka
caranya sudah benar, akan tetapi dengan syarat, jika dalam madzhab tersebut
terdapat ketetapan yang menyalahi dalil, maka ia harus mengikuti dalil dan
meninggalkan madzhab tersebut.
3. Bagi penuntut ilmu hendaknya ketika mempelajari fiqih dengan
salah satu madzhab memilih kitab-kitab madzhab yang memiliki sandaran yang
jelas. Misalnya:
a. Ath Thalihah sebuah nazham fiqih Maliki yang memiliki
sandaran pendapat dalam madzhab Maliki, karya Muhammad An Nabighah Al Ghalawiy
Asy Syinqiti rahimahullah (w. 1245 H).
b. Syarh Al Manzhumah dengan nama ‘Uqud Rasmil Mufti’ karya
Ibnu Abidin yang memuat risalah-risalah karya Ibnu Abidin (w. 1252 H) yang
menerangkan kepada kita kitab-kitab yang jelas riwayatnya di kalangan madzhab
Hanafi.
c. Mukaddimah Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab karya Imam
Nawawi (w. 676 H) yang akan menerangkan kepada kita terkait madzhab Syafi’I,
kitab-kitabnya, istilah-istilahnya, dan hal lain yang dibutuhkan untuk mereka
yang hendak mendalami fiqih Syafi’i.
d. kitab Al Madkhal Ilaa Madzhabil Imam Al Mubajjal Ahmad ibni
Hanbal karya Ibnu Badran rahimahullah (w. 1346 H), di dalamnya menerangkan
kitab-kitab ulama madzhab Hanbali yang terpercaya, istilah-istilah dalam
madzhab tersebut, serta yang dibutuhkan oleh seorang yang mendalami madzhab
Hanbali.
4. Jika engkau bertanya, “Manakah di antara madzhab yang empat
yang lebih disarankan untuk dipelajari?”
Jawab, “Madzhab Hanbali dan madzhab Syafi’i, karena keduanya
termasuk madzhab yang mudah dan memiliki banyak syaikh yang mengajarkannya di
berbagai Negara. Tetapi jika engkau berada di negeri dimana para ulamanya
bermadzhab Hanafi atau Maliki, maka silahkan pelajari fiqih kepada para syaikh
di negeri itu agar engkau dapat mengambil pelajaran dari mereka. Apa yang
disebutkan di sini juga bukan sebagai sikap meremehkan madzhab mana pun, yang
terpenting bagi kita adalah mengikuti dalil meskipun menyelisihi madzhab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, "Kalian tentu tahu bahwa mazhab Imam Ahmad adalah mazhab yang
sangat tinggi kedudukannya, karena madzhab tersebut mengetahui apa yang dibawa
oleh Rasul shallallahu alaihi wa sallam, serta berupaya untuk mengikutinya,
demikian pula mengetahui atsar atau riwayat para sahabat dan tabiin, dan pada
semua mazhab kaum muslimin ada kebaikan, akan tetapi manusia butuh kepada
mazhab Imam Ahmad dalam banyak masalah." (Jami'ul Masa'il 9/251)
5. Imam Syathibi dan lainnya dari kalangan ulama seperti Ibnu
Shalah menerangkan, bahwa tidak patut bagi orang awam mengkritik kitab-kitab
fiqih atau mengkritik fatwa-fatwa yang disampaikan oleh ulama.
6. Sikap berwala (cinta dan membela) orang yang sama madzhabnya
dan memusuhi orang yang berlainan madzhabnya dalam hal fiqih adalah tercela.
7. Madzhab-madzhab fiqih yang empat adalah madzhab-madzhab yang
diterima kaum muslimin, dan tidak dibenarkan menyerukan untuk membatalkannya
atau meninggalkan kitab-kitab itu.
8. Orang yang bermadzhab jika telah mencapai tingkatan ijtihad dan
menyelisihi madzhab imamnya karena melihat yang lain lebih rajih adalah hal
yang baik.
Wallahu a’lam wa shalllahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa
shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Ushul min Ilmil Ushul (M. bin
Shalih Al Utsaimin), Al Khilaf bainal Ulama (Syaikh Ibnu Utsaimin), Muqaddimah
fi Ilmil Fiqh (M. bin Umar Bazmul), Al Wajiz Fi Ushulil Fiqh (Dr.
Abdul Karim Zaidan), Madkhal Ilal Fiqhil Islami (Dr. Amir bin Umar
Bahjat), https://www.sahab.net/forums/index.php?app=forums&module=forums&controller=topic&id=100894 , https://islamqa.info/ar/21420 , http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=107461dll.
0 komentar:
Posting Komentar