بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (36)
(Merasa Aman Dari Siksa Allah dan
Berputus Asa Dari Rahmat-Nya)
Segala
puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya
Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak kami
rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr.
Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah menjadikan
penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Merasa Aman Dari
Siksa Allah dan Berputus Asa Dari Rahmat-Nya
Firman
Allah Ta’ala,
أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ
اللهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Maka apakah
mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang
merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”
(Qs. Al A’raaf: 99)
وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلاَّ الضَّآلُّونَ
"Tidak ada
orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang
sesat." (Qs. Al Hijr: 56)
**********
Penjelasan:
Dalam
bab ini penyusun (Syaikh Muhammad At Tamimi) hendak menerangkan, bahwa merasa
aman dari siksa Allah dan berputus asa dari rahmat-Nya termasuk dosa besar, dan
bahwa keduanya dapat menafikan kesempurnaan tauhid. Demikian pula hendaknya
seorang mukmin menggabungkan antara takut dan berharap dalam hidupnya.
Imam
Nawawi rahimahullah dalam Riyadhush Shalihin berkata, “Ketahuilah, bahwa yang cocok untuk
seorang hamba ketika sehatnya adalah memiliki rasa takut dan harap, dimana keadaan
rasa takut dan harapnya seimbang. Tetapi ketika sakit, maka yang diutamakan
adalah rasa harap. Kaedah-kaedah syariat dari nash-nash Al Qur’an, As Sunnah,
dan lainnya menunjukkan seperti itu.” (Riyadhush Shalihin bab Al Jam’u
bainal Khauf war Raja)
Pada
ayat pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan keadaan penduduk negeri
yang mendustakan para rasul, bahwa yang membuat mereka bersikap seperti itu
adalah karena merasa aman dari azab Allah dan tidak takut kepada-Nya, sehingga
mereka terus di atas maksiat dan pelanggaran.
Sedangkan
pada ayat kedua, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan tentang kekasih-Nya,
yaitu Nabi Ibrahim alaihis salam, bahwa saat ia mendapatkan kabar gembira
tentang kelahiran anaknya; yaitu Ishak alaihis salam, maka ia menganggap
aneh hal tersebut karena usianya yang telah tua, lalu malaikat menyatakan,
“Janganlah engkau termasuk orang-orang yang berputus asa.” Nabi Ibrahim alaihis
salam menjawab, bahwa dirinya tidak putus asa, akan tetapi hanya takjub dan
heran.
Kesimpulan:
1.
Peringatan agar tidak
merasa aman dari azab Allah, dan bahwa hal itu termasuk dosa besar.
2.
Peringatan agar tidak
berputus asa dari rahmat Allah, dan bahwa hal itu termasuk dosa besar.
3.
Seorang mukmin harus
memadukan antara rasa takut dan rasa harap dalam dirinya.
4.
Rasa takut dan rasa
harap termasuk ibadah, sehingga tidak boleh diarahkan kepada selain Allah
Ta’ala.
**********
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang dosa-dosa besar, maka
Beliau bersabda,
اَلشِّرْكُ بِاللهِ، وَالْيَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ،
وَالْأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللهِ
“Syirik kepada
Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari azab Allah.”
Dari
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu ia berkata, “Dosa yang paling besar adalah syirik
kepada Allah, merasa aman dari azab Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan
tidak berharap lagi pertolongan-Nya.” (Diriwayatkan oleh Daruquthni)
**********
Penjelasan:
Tentang
hadits Ibnu Abbas yang pertama, Syaikh Muhammad Al ‘Allawi berpendapat, bahwa
dalam isnadnya ada kelemahan. Diriwayatkan oleh Al Bazzar (106) dalam Kasyf,
dan Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya (5201) dari jalan Syabib bin Basyar, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Dalam isnad tersebut ada Syabib bin Basyar yang
keadaannya diperselisihkan ulama. Ad Duri dari Ibnu Ma’in menyatakan tsiqah,
namun Abu Hatim menyatakan lunak haditsnya. Haditsnya adalah hadits para syaikh
(orang tua). Ibnu Hibban menyebutnya dalam Ats Tsiqat dan berkata,
“Sering keliru.” Oleh karenanya, Syaikh M. Al Allawi menyatakan, “Lebih
dekat adalah lemah, wallahu a’lam.”
Menurut
Ibnu Katsir (dalam tafsir surat An Nisa ayat 31), bahwa isnadnya perlu diteliti
lagi, lebih mirip mauquf (sampai kepada sahabat), dan telah diriwayatkan
seperti itu dari Ibnu Mas’ud (yaitu hadits setelahnya yang disebutkan di atas).
Namun
Syaikh Al Albani menghasankannya dalam Shahihul Jami no. 4479 dan dalam Ash
Shahihah no. 2051, demikian pula Al Iraqi dalam takhrij Al Ihya
(4/17). Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah berkata, “Diriwayatkan
oleh Al Bazzar dalam Musnadnya (hal. 18 -Zawaidnya): Telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Ishaq Al Aththar, telah menceritakan kepada kami Adh
Dhahhak bin Makhlad, telah menceritakan kepada kami Syabib bin Basyar, dari
Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwa ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah,
apa saja dosa-dosa besar?” Beliau menjawab,
الْكَبَائِرُ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالْإِيَاسُ مِنْ
رَوْحِ اللهِ وَالْقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ
“Syirik kepada
Allah, tidak berharap pertolongan Allah dan putus asa dari rahmat-Nya.” Al
Albani berkata, “Ini adalah isnad yang hasan jika sekiranya aku tidak mengenali
Al Aththar ini, akan tetapi selainku dari kalangan para pendahulu telah
mengenalnya, atau mendapatkan mutabaahnya. Haitsami berkata dalam Al Majma
(1/104), “Diriwayatkan oleh Al Bazzar dan Thabrani, dan para perawinya
ditsiqahkan.” Al Manawi berkata, “Penyusun (Imam As Suyuthi) mengisyaratkan
tentang hasannya.” Az Zain Al Iraqi dalam Syarh At Tirmidzi berkata, “Isnadnya
hasan.” Al Albani berkata, “Kami tidak menemukan dalam Mu’jam Thabrani Al
Kabir dari jalan ini dan dengan lafaz yang marfu ini, tetapi yang ada
diriwayatkan secara mauquf sampai kepada Ibnu Abbas dalam haditsnya yang
panjang (1/187/3): Telah menceritakan kepada kami Bakar bin Sahl, telah
mengabarkan kepada kami Abdullah bin Shalih, telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah
bin Shalih, dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, dst. Ini adalah sanad
yang dhaif. Tetapi ia memiliki syahid yang mauquf yang diriwayatkan oleh Ma’mar
dari Abu Ishaq dari Wabrah, dari Amir Abu Thufail dari Ibnu Mas’ud. Demikian pula
dimutaba’ahkan oleh Mis’ar dari Wabrah. Ini adalah isnad yang shahih
sebagaimana yang dikatakan Haitsami. Dimutaba’ahkan pula oleh Ashim bin Abin
Nujud dari Abu Wail dari Abdullah. Syaikh Al Albani berkata, “Isnad ini hasan. Semuanya
disebutkan oleh Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir (1/13/3). Selanjutnya
lebih jelas lagi bagiku tentang Abdullah bin Ishaq Al Aththar, ia adalah
Abdulah bin Ishaq Al Jauhari Al Bashri. Al Mizziy menyebutkannya dalam kelompok
para perawi yang meriwayatkan dari Adh Dhahhak bin Makhlad Abu Ashim An Nabil.
Ibnu Hibban juga menyebutkannya dalam Ats Tsiqat (8/363) ia berkata, “Lurus
haditsnya.” Syaikh Al Albani melanjutkan perkataannya, “Dengan demikian, sanad
hadits ini hasan. Wallahu a’lam.” (Silsilah Ash Shahihah 5/79).
Adapun
atsar (riwayat) Ibnu Mas’ud yang kedua diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya
(10/459) no. 19701, demikian pula Thabrani dalam Mu’jam Kabirnya (9/156)
no. 8784. Haitsami dalam Majmauz Zawaid (1/104) berkata, “Diriwayatkan
oleh Thabrani dan isnadnya shahih.”
Dalam
hadits di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa
dosa-dosa besar itu di antaranya syirik kepada Allah Azza wa Jalla; yakni
dengan mengadakan tandingan bagi Allah Ta’ala baik dalam ibadah (dengan menyembah
dan mengarahkan ibadah kepada selain Allah) maupun dalam rububiyyah
(dengan menganggap bahwa di samping Allah ada juga penguasa alam semesta
lainnya). Inilah dosa yang paling besar. Selanjutnya adalah tidak berharap lagi
kepada Allah Azza wa Jalla dimana hal ini merupakan bentuk buruk sangka kepada
Allah Azza wa Jalla dan tidak mengetahui luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
serta merasa aman dari azab Allah Azza wa Jalla.
Menurut
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, maksud ‘putus asa dari pertolongan
Allah’ (al ya’su min rauhillah) adalah seorang menganggap tidak mungkin
hilang sesuatu yang ditakutinya itu, dan memperoleh yang diinginkan. Sedangkan maksud
‘putus asa dari rahmat Allah Ta’ala’ (al qunuth min rahmatillah)
maksudnya menganggap tidak mungkin memperoleh rahmat Allah dan memperoleh apa
yang diharapkan.
Kesimpulan:
1.
Haramnya merasa aman
dari azab Allah dan putus asa dari rahmat-Nya sebagaimana sikap yang dilakukan
kaum Murji’ah dan Khawarij, dan bahwa keduanya termasuk dosa besar.
2.
Syirik adalah dosa
yang paling besar.
3.
Seorang hamba
hendaknya berada di antara rasa takut dan rasa harap. Jika takut tidak
membuatnya putus asa, dan jika berharap tidak membuatnya merasa aman dari azab
Allah Azza wa Jalla.
4.
Ancaman bagi orang
yang berputus asa dari rahmat Allah.
5.
Ancaman bagi orang
yang merasa aman dari azab Allah Azza wa Jalla.
**********
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa
alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Al Qaulul Mufid
Syarh Kitab At Tauhid (M. bin Shalih Al Utsaimin), Maktabah Syamilah
versi 3.45, dll.
0 komentar:
Posting Komentar